• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. PROFIL EKSTRAK DAUN SUJI DAN SCC SELAMA

1. Profil Kadar Klorofil Selama Pencernaan in vitro

Berdasarkan hasil analisis kandungan total klorofil selama pencernaan in vitro pada ekstrak daun suji maupun SCC dengan perlakuan tanpa kolesterol dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Adapun cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada perlakuan tanpa penambahan kolesterol tidak dilakukan perhitungan kadar klorofil pada fraksi kolesterol karena tidak ada pemberian kolesterol.

Gambar 11. Kandungan klorofil ekstrak daun suji dan SCC tanpa perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro. Keterangan : F0 = fraksi awal, F2 = fraksi gastric, F3 = fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat

2.61 2.282 1.489 1.181 0.14 2.928 2.882 0.107 1.356 0.235 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 K ad ar K lo ro fi l ( m g /g ) S uji S CC F0 F1 F2 F3 F4 F0 F1 F2 F3 F4

Gambar 12. Kandungan klorofil ekstrak daun suji dan SCC dengan perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro.

Keterangan : F0 = fraksi awal, F1 = fraksi awal+kolesterol, F2 = fraksi gastric, F3 = fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat

Pada fraksi awal baik sampel ekstrak suji maupun sampel SCC memiliki kadar klorofil yang hampir setara yaitu 2.534 mg/g untuk ekstrak suji dan 2.457 mg/g untuk larutan SCC. Pengukuran tersebut dilakukan secara spektrofotometri. Kesetaraan nilai kadar klorofil pada fraksi awal tersebut didapatkan karena sebelumnya telah dilakukan kesetaraan. Pada fraksi selanjutnya kadar klorofil mengalami penurunan baik pada perlakuan pemberian kolesterol maupun tanpa kolesterol. Diduga sebagian besar klorofil terdegradasi menjadi turunannya. Persentase penurunan kadar klorofil dari tiap fraksi terhadap fraksi awal secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4 dan cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 4. Persentase penurunan kadar klorofil terhadap fraksi awal selama pencernaan in vitro

Persentase Penurunan Kadar klorofil Terhadap Fraksi Awal

(%) Sampel Dengan Kolesterol Tanpa Kolesterol Suji-Fraksi awal (F0) 0 0

Suji-Fraksi awal + kolesterol (F1) 12.57 -

Suji-Fraksi gastric (F2) 42.95 39.94

Suji-Fraksi digesta (F3) 54.75 42.78

Suji-Fraksi dialisat (F4) 94.64 84.96

SCC-Fraksi awal (F0) 0 0

SCC-Fraksi awal + kolesterol (F1) 1.57 -

SCC-Fraksi gastric (F2) 96.35 98.33

SCC-Fraksi digesta (F3) 53.69 51.45

SCC-Fraksi dialisat (F4) 91.97 84.37

Pengaturan kondisi pH 2 pada fase gastric sulit dicapai pada sampel ekstrak daun suji dibandingkan sampel SCC. Diduga komponen- komponen yang terdapat pada sampel ekstrak daun suji memiliki kapasitas buffer. Akibatnya asam yang harus ditambahkan untuk mengatur kondisi menjadi pH 2 pada sampel ekstrak daun suji lebih banyak dibandingkan dengan SCC. Diduga pada kondisi in vivo, hal ini akan memberi efek positif yaitu menahan degradasi klorofil menjadi feofitin.

Pada fraksi gastric atau fraksi lambung, kadar klorofil ekstrak daun suji mengalami penurunan berkisar 39-42% dari kadar klorofil fraksi awal. Diduga sebagian besar klorofil terdegradasi menjadi turunannya akibat perlakuan pemberian HCl dan pepsin. Kondisi asam pada pH 2 tersebut sangat mempercepat degradasi klorofil. Perubahan klorofil menjadi turunannya ditandai dengan perubahan warna yang semakin coklat. Perubahan warna menjadi sangat jelas terlihat pada sampel ekstrak daun suji dibandingkan sampel larutan SCC. Diduga klorofil berubah menjadi feofitin. Perubahan ekstrak daun suji selama pencernaan dapat dilihat pada Gambar 13.

Menurut hasil penelitian Ferruzi et al (2001), dikatakannya bahwa hanya dalam waktu ½ jam pada fase lambung (pH 2) lebih dari 95%

kandungan klorofil dari pure daun bayam segar menjadi bentuk feofitinnya. Selanjutnya feofitin dimetabolisme oleh mikroflora usus antara lain menjadi feoforbid.

Gambar 13. Ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro

A = fraksi awal, B = fraksi gastric, C = fraksi digesta, D = fraksi dialisat

Menurut Gross (1991), feofitin adalah klorofil bebas magnesium. Feofitin a dan b secara mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Dalam asam lemah ion Mg yang ada dalam klorofil akan disubstitusi oleh ion H+ yang akan menyebabkan berubahnya warna hijau menjadi coklat yaitu warna feofitin. Di samping itu, pengaruh pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein sehingga memudahkan terjadinya reaksi terhadap gugusan fitol, yang bila bereaksi dengan asam mengakibatkan terlepasnya fitol dari molekul klorofil (Hutchings, 1994).

Pengaruh pH lambung pada perubahan klorofil menjadi feofitin selama fase gastric dalam sistem pencernaan telah dikemukakan oleh Ferruzi et al (2001). Berdasarkan penelitiannya dengan menggunakan pure bayam segar diketahui bahwa kandungan awal klorofil a dari pure bayam segar tersebut adalah sekitar 77% dan klorofil b sekitar 23% (Gambar 6). Dengan perlakuan pH 2 ternyata keduanya berubah menjadi feofitin a dan b dengan persentase masing-masing 70% dan 30%.

Kemudian pada pH 4 kecenderungan klorofil a dan b stabil dengan persentase klorofil a 72% dan klorofil b 22% sedangkan sisanya adalah feofitin a dan feofitin b. Pada perlakuan pH 6, selama pencernaan klorofil a dan klorofil b relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil sensitif terhadap kondisi asam.

Berbeda dengan ekstrak daun suji, pada larutan SCC penurunan kadar klorofil pada fase gastric sangat tajam sekali yaitu 96-98%. Hal tersebut tampak sekali pada Gambar 14 yang memperlihatkan perubahan warna dari larutan SCC selama pencernaan in vitro. Penurunan kadar klorofil yang sangat rendah ini mungkin disebabkan karena kondisi asam yang terjadi. Kondisi yang sangat asam tersebut tidak mengakibatkan perubahan kadar klorofil secara keseluruhan menjadi feofitin. Hal ini bisa dibuktikan dengan naiknya kembali kadar klorofil pada fraksi digesta. Kondisi yang terjadi pada fraksi gastric di SCC adalah terjadinya gumpalan klorofil yang bersifat reversible dimana gumpalan tersebut dapat larut kembali pada pH usus di fraksi digesta (Gambar 14). Pengukuran kadar klorofil maupun kolesterol dilakukan secara spektrofotometri. Untuk itu dilakukan tahap sentrifuse dan penyaringan sebelum pengukuran. Dengan kata lain yang diukur adalah kadar klorofil yang terlarut. Pada fraksi gastric setelah disentrifuse dan disaring berwarna bening, sedangkan fraksi digesta kembali berwarna hijau. Oleh karena itu, kadar klorofil pada fraksi gastric tersebut rendah. Kemungkinan yang terjadi pada larutan SCC fraksi gastric tersebut adalah terbentuknya garam NaCl dari HCl dan SCC yang mengandung Natrium sehingga mengalami pengendapan.

Gambar 14. Larutan SCC selama pencernaan in vitro

A = fraksi awal, B = fraksi gastric, C = fraksi digesta, D = fraksi dialisat

Setelah melalui fase lambung, digesta kemudian dinetralisasi secara gradual oleh NaHCO3 yang berdifusi keluar kantung. Kondisi netral tercapai setelah 1 jam diinkubasi bergoyang. Setelah kondisi netral tercapai digesta kemudian diberi enzim pankreatin, ekstrak bile dan lipase. Netralisasi diperlukan agar enzim-enzim pankreatin dapat bekerja optimum seperti halnya yang terjadi didalam tubuh. Pada fase intestinal ini, degradasi klorofil masih tetap berlangsung hingga sekitar 44-56% dari fraksi awal. Namun, persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan fase gastric yaitu sekitar 20.68% dari kandungan klorofil fase lambung. Penurunan masih tetap terjadi diduga karena perlakuan inkubasi.

Studi mengenai stabilitas SCC dalam pencernaan secara in vitro

telah dilakukan oleh Ferruzi et al (2002). Dari studi tersebut diketahui bahwa Cu(II)klorin e4 merupakan komponen utama dalam fraksi digesta. Cu(II)klorin e6 memiliki kestabilan yang rendah selama pencernaan, namun dapat ditingkatkan kestabilannya apabila berada dalam matriks saus apel. Hal ini diduga karena adanya antioksidan lain dan matriks apel yang melindungi keberadaannya.

Pada fraksi dialisat, kadar klorofil yang terhitung menunjukkan adanya penyerapan klorofil dan derivatnya dalam kantung dialisis sebagai model penyerapan. Kadar klorofil terdialisis dari ekstrak daun suji perlakuan tanpa kolesterol hampir sama dengan kadar klorofil SCC terdialisis yaitu sebesar 0.38 mg/g (Gambar 11). Sedangkan pada perlakuan dengan penambahan kolesterol kadar klorofil ekstrak daun suji yang terdialisis lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar klorofil terdialisis dari SCC (Gambar 12). Apabila dibandingkan kadar klorofil yang terdialisis dari ekstrak daun dengan perlakuan tanpa kolesterol dan dengan perlakuan penambahan kolesterol diperoleh keterangan bahwa kadar klorofil yang terdialisis dari ekstrak daun suji dengan perlakuan penambahan kolesterol lebih sedikit. Rendahnya kadar klorofil terdialisis dari ekstrak daun suji pada perlakuan dengan penambahan kolesterol diduga karena adanya interaksi antara klorofil ekstrak daun suji dan kolesterol. Selain itu kemungkinan ekstrak daun suji memiliki komponen yang bisa mengikat kolesterol dibandingkan dengan SCC. Sedikitnya kadar klorofil yang terhitung menunjukkan bahwa tidak semua klorofil dan derivatnya terserap oleh kantung dialisis.

Dokumen terkait