• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH .1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi .1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi

2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya

Perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar dan memotivasi siswa (Brophy dan Good 1974; Skinner dan Belmont 1993; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Motivasi yang terbentuk pada siswa selanjutnya akan mempengaruhi luaran-luaran penting terkait sekolah, seperti misalnya perhatian, upaya, tujuan, kualitas kerja, perilaku, kesejahteraan, skor ujian, peringkat, dan penyelesaian sekolah (Hidi dan Harackiewicz 2000; Linnenbrink dan Pintrich 2002a; Pintrich 2003; Reeve 1996; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008).

Perbedaan individu guru (seperti umur, gender, pengalaman mengajar) dan perbedaan kontekstual guru (seperti mata ajaran dan tingkat kelas yang diajar) dapat mempengaruhi praktek pengajaran guru (Hardre dan Sullivan 2008). Umur dan gender telah terbukti relevan terhadap seberapa dekat guru mendukung dan

menjalin hubungan interpersonal dengan siswanya (Jacobs et al. 1998 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Pengalaman mengajar terkait dengan fleksibilitas dan kepercayaan diri guru, yang mempengaruhi praktek kelas (Bransford, Brown, dan Cocking 1999 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Mata ajaran dan tingkat kelas yang diajarkan dapat mempengaruhi upaya dan investasi guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan kisaran yang sempit ataupun lebar (Lemke 1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008).

Penelitian mengenai persepsi guru tentang program PLH residensial (yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk berinteraksi dengan alam) di New Jersey School of Conservation mengungkapkan bahwa para guru merasa bahwa pendidikan lingkungan seharusnya dimasukkan dalam persiapan akademik para siswanya karena memiliki pengaruh positif, dan para guru yang terlibat langsung memandang program PLH residensial tersebut sebagai suatu tuntutan pekerjaan (Smith-Sebasto 2007). Simmons (1988) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) menyatakan bahwa para guru ikut serta dalam program PLH residensial karena memiliki persepsi bahwa program tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya; karena percaya bahwa program tersebut memberikan siswa kesempatan pertumbuhan personal dan sosial serta memberi kesempatan untuk lebih mempelajari lingkungan dan diri mereka sendiri; para siswa menikmati keberadaan mereka di alam dan menikmati pengalaman itu sendiri. Schartner (2000) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) mengungkapkan bahwa para guru mengikuti program PLH residensial karena merasa bahwa mereka diharapkan untuk mengikuti program tersebut jika mengajar pada tingkat kelas tertentu, yang berdasarkan keputusan administratif atau lingkup sekolah, sesuai untuk mendapatkan pengalaman di alam.

Penelitian Muntasib et.al. (2009) yang dilaksanakan di 2 Sekolah Dasar (SD) contoh (SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Picung 05) dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMPN I Pamijahan) di Kabupaten Bogor, serta 2 SD (SDN Lembur Sawah 03 dan SDN Bojongwaru) di Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa persepsi guru dari SDN Gunung Bunder Kabupaten Bogor yang memandang PLH/PHL bukan hanya sebagai beban tugas namun juga sebagai sesuatu hal yang penting dan bernilai positif bagi siswanya serta motivasi yang baik dari guru di

15

SDN tersebut untuk menerapkan PLH/PHL di sekolahnya telah memberikan hasil pengetahuan dan pemahaman siswa yang relatif lebih luas dibandingkan empat sekolah contoh lainnya. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi peran serta guru dalam kegiatan PLH dan cara guru mengajarkan PLH kepada siswanya, dan pada akhirnya mempengaruhi respon siswa. Artinya bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH merupakan hal yang penting untuk diidentifikasi sebagai langkah awal untuk mencapai efektivitas pengajaran PLH.

Robbins (2003) menguraikan bahwa motif/motivasi dan sikap merupakan bagian dari faktor individu yang mempengaruhi terbentuknya persepsi. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH dapat diidentifikasi berdasarkan motivasi guru dalam mengajar PLH dan sikap guru terhadap PLH.

Motivasi guru dalam mengajar PLH

Motivasi guru secara alamiah berkaitan dengan sikap guru terhadap pekerjaannya, yaitu hasrat/keinginan untuk berperan serta dalam proses-proses pedagogis (pembelajaran) di dalam lingkungan sekolah, minat/perhatian guru terhadap disiplin siswa dan kendali di dalam kelas, sehingga menjadi dasar keterlibatan guru dalam kegiatan-kegiatan akademik dan non-akademik di sekolah (Ofoegbu 2004). Ryan dan Deci (2000) dalam Teori Determinasi-Diri

(Self-Determination Theory - SDT) membedakan berbagai tipe motivasi berdasarkan

alasan atau tujuan yang menyebabkan dilakukannya suatu tindakan, yaitu amotivasi, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik yang berada pada suatu kontinum determinasi-diri yang semakin tinggi (Gambar 2).

Perilaku Non determinasi diri Determinasi-diri

Tipe

Motivasi Amotivasi Motivasi Ekstrinsik

Motivasi Intrinsik Tipe Pengaturan/ Regulasi Non-regulasi Regulasi Eksternal Regulasi ter-introjeksi Regulasi ter-identifikasi Regulasi ter-integrasi Regulasi intrinsik Lokus

Kausalitas Impersonal Eksternal

Agak eksternal

Agak

internal internal internal

Amotivasi adalah suatu kondisi saat seseorang kurang memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dan kurang memiliki motivasi, yaitu saat mereka tidak mampu untuk mengatur diri sendiri dalam suatu perilaku tertentu (Pelletier et al. 1999 diacu dalam Deci dan Ryan 2001). Motivasi intrinsik mengacu pada perilaku yang dilakukan karena secara melekat perilaku tersebut bersifat menarik

dan menyenangkan (Ryan dan Deci 2000). Perilaku tersebut memiliki internal perceived locus of causality/lokus kausalitas yang dirasa berasal dari dalam

(deCharms 1968 diacu dalam Niemic dan Ryan 2009). Motivasi ekstrinsik merupakan suatu konstruk yang terjadi saat suatu aktivitas dilakukan untuk memperoleh suatu luaran tertentu yang terpisah dari aktivitas itu sendiri (Ryan dan Deci 2000), yang dikelompokkan menjadi empat tipe motivasi berdasarkan derajat otonomi yang dialami individu, yaitu regulasi eksternal, regulasi terintrojeksi, regulasi teridentifikasi dan regulasi terintegrasi (Niemic dan Ryan 2009), yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

1) Regulasi eksternal. Perilaku dilakukan untuk mendapatkan penghargaan (reward) atau menghindari hukuman (punishment).

2) Regulasi terintrojeksi. Perilaku dilakukan untuk memuaskan kontingensi internal, seperti peningkatan-diri atau menghindari penghinaan-diri. Salah satu tipe regulasi terintrojeksi adalah keterlibatan ego yang mengacu pada harga diri (self-esteem) seseorang sebagai bagian dari performanya. Ego memberikan tekanan internal untuk menghindari rasa malu atau untuk merasa diri berguna.

3) Regulasi teridentifikasi. Perilaku dilakukan karena dianggap bernilai atau penting bagi individu tersebut.

4) Regulasi terintegrasi merupakan tipe motivasi ekstrinsik yang paling bersifat otonomi. Regulasi yang teridentifikasi telah bersintesis dengan aspek lainnya dalam pribadi seseorang, sehingga dorongan yang timbul dirasakan berasal dari diri seseorang.

Brookhart dan Freeman (1992) diacu dalam Watt dan Richardson (2008) menyebutkan bahwa motivasi intrinsik, ekstrinsik dan altruistik telah disoroti sebagai kelompok alasan yang paling penting bagi seseorang dalam memutuskan untuk mengajar. Vallerand, et al. (2008) menyatakan bahwa motivasi intrinsik

17

akan memberikan luaran yang paling positif. Motivasi intrinsik dapat diukur dengan dua cara, yaitu dengan ukuran keperilakuan dari motivasi intrinsik yang disebut “free choice” atau kebebasan memilih (Deci 1971 diacu dalam Ryan dan Deci 2000), dan penggunaan self-report atau laporan-pribadi mengenai

daya-tarik dan kesenangan dari suatu aktivitas itu sendiri (Ryan 1982; Harackiewicz

1979 diacu dalam Ryan dan Deci, 2000). Robbins (2003) menguraikan mengenai model motivasi intrinsik Ken Thomas yang berpendapat bahwa motivasi intrinsik akan dicapai jika orang mengalami perasaan choice (memilih), competence (kompeten), meaningfulness (berarti), dan progress (kemajuan), yang diuraikan sebagai berikut:

1. Choice adalah kesempatan untuk dapat memilih aktivitas tugas yang masuk akal bagi seseorang dan melakukannya dengan cara yang dirasa sesuai.

2. Competence adalah pencapaian yang dirasakan saat dengan terampil melakukan aktivitas tugas yang dipilih.

3. Meaningfulness adalah kesempatan untuk mengejar tujuan tugas yang berharga, tujuan yang berarti di dalam skema hal-hal yang lebih besar.

4. Progress adalah perasaan bahwa seseorang membuat kemajuan yang nyata dalam mencapai tujuan tugas.

Motivasi guru untuk mengajar PLH dapat diukur berdasarkan daya tarik dari kegiatan mengajar PLH dan kesenangan/kenikmatan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH, rasa memiliki kompetensi/kemampuan untuk mengajar PLH, upaya yang dicurahkan dalam pengajaran PLH, nilai/manfaat pengajaran PLH bagi guru, tekanan dan beban yang dirasakan guru dalam mengajarkan PLH, serta rasa adanya kebebasan memilih dalam mengajar PLH. Ryan (1982) telah mengembangkan skala untuk mengukur motivasi intrinsik yang disebut sebagai

Intrinsic Motivation Inventory (IMI scale) yang terdiri dari subskala interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, value/usefulness, pressure/tension, dan perceived choice.

Sikap guru terhadap PLH

Sikap merupakan suatu pernyataan evaluatif seseorang terhadap obyek, orang atau peristiwa tertentu, yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu (Siagian 2004; Robbins 2003, 2005). Hollander (1981) menyatakan ada

dua hal mendasar mengenai sikap, yaitu bahwa (1) sikap memberikan dasar

untuk menginterpretasikan dunia dan memproses informasi baru, dan (2)

sikap merupakan suatu cara untuk memperoleh dan mempertahankan identifikasi sosial.

Triandis (1971) menguraikan bahwa sikap adalah suatu gagasan yang didorong oleh emosi yang mempengaruhi kecenderungan sekelompok tindakan terhadap suatu kelompok situasi sosial tertentu. Definisi tersebut menggambarkan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif/perilaku (Triandis 1971; Shavitt dan Brock 1994; Azwar 1995; Robbins 2003, 2005).

Gambar 3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam Triandis 1971)

Hollander (1981) menguraikan bahwa komponen kognitif kepercayaan-ketidakpercayaan adalah hal-hal yang telah dipelajari oleh seorang individu mengenai sesuatu hal yang membentuk kepercayaan-ketidakpercayaan terhadap hal tersebut; komponen afektif suka-tidak suka mengacu pada emosi seorang

STIMULI (individu, situasi, isu-isu sosial, kelompok-kelompok

sosial, dan “obyek-obyek sikap” lainnya)

SIKAP Respon sistem syaraf simpatetik Pernyataan verbal afeksi AFEKSI Respon perseptual Pernyataan verbal tentang kepercayaan KOGNISI Tindakan nyata Pernyataan verbal terkait perilaku PERILAKU Variabel bebas terukur

Variabel antara Variabel terikat/tak bebas terukur

19

individu, sedangkan komponen aksi adalah kesiapan untuk berperilaku sejalan dengan sikap yang dimiliki seorang individu. Mann (1969) diacu dalam Azwar (1995) menjelaskan bahwa: 1) komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; 2) komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah emosi, dan aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang; 3) komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

Sikap seseorang terbentuk karena pengaruh orang lain, yaitu orang tua, guru dan rekan-rekannya, dan dapat berubah dipengaruhi situasi dan pengalaman seseorang (Siagian 2004). Hollander (1981) menyatakan bahwa sikap dan nilai memiliki persistensi, namun juga dinamis dalam arti keduanya dapat berubah, meskipun umumnya sikap lebih mudah berubah.

Shavitt dan Brock (1994) menyatakan bahwa sikap tidak dapat diamati secara langsung, namun harus disimpulkan berdasarkan respon-respon teramati (dan terukur) dari tiga komponen sikap. Azwar (1995) mengungkapkan bahwa pengukuran sikap sebagai salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain observasi perilaku, penanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap dan pengukuran terselubung. Skala sikap Likert merupakan teknik pengukuran sikap yang paling banyak digunakan karena mudah disusun dan dapat digunakan, sehingga skala ini secara rutin menunjukkan korelasi tinggi dengan skala sikap lainnya (Shavitt dan Brock 1994).

Sikap guru terhadap PLH dapat diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu

self-efficacy dan outcome expectancy (Sia 1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan

Utley 2008). Bandura (1977) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan bahwa self-efficacy (efektivitas diri) adalah persepsi atau kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu, sedangkan outcome expectancy (luaran yang diharapkan) adalah kepercayaan atau harapan seseorang untuk mendapatkan suatu luaran tertentu dari perilaku yang

ditunjukkannya. Efektivitas diri yang diyakini oleh seseorang berkaitan dengan tingkat motivasi dan capaian kinerja individu tersebut (Bandura 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Enoch dan Riggs (1990) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan efektivitas diri guru sebagai kemampuan guru untuk mengajar secara efektif. Efektivitas guru juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja siswa (Berman dan McLauglin 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008).

Kepercayaan guru memiliki dampak yang sangat besar terhadap perilakunya di kelas (Pajares 1992 dan Richardson 1996 diacu dalam Moseley dan Utley 2008), karena kepercayaan memainkan bagian penting dalam pengorganisasian pengetahuan dan informasi oleh guru dan penting dalam membantu guru beradaptasi, memahami dan memaknai diri dan dunianya (Schommer 1990, Taylor 2003, Taylor dan Caldarelli 2004 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Guru yang memiliki kepercayaan diri dalam kemampuannya mengajar

(self-efficacy beliefs) akan bertahan lebih lama, memberikan fokus akademik yang

lebih besar di kelas, dan menunjukkan tipe umpan balik berbeda dibandingkan guru yang memiliki harapan yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuannya untuk mempengaruhi pembelajaran siswa (Gibson dan Dembo 1984 diacu dalam Moseley et al. 2002). Czerniak (1990) diacu dalam Moseley et al. (2002) menemukan bahwa guru dengan self-efficacy/efektivitas diri yang tinggi lebih cenderung menggunakan strategi pengajaran inkuiri dan berpusat pada siswa, sedangkan guru dengan efektivitas diri yang rendah lebih cenderung menggunakan strategi yang terarah pada guru seperti ceramah dan membaca teks.

Efektivitas diri guru dalam kaitannya dengan PLH dapat diuraikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya mengajarkan PLH secara efektif, sedangkan outcome expectancy guru terhadap PLH diuraikan sebagai perkiraan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa dalam pembelajaran PLH (Moseley et al. 2002). Sikap guru yang positif terhadap PLH, dalam hal ini memiliki efektivitas diri dan outcome expectancy yang tinggi, akan dapat memberi arah yang positif terhadap perilaku guru dalam mengajarkan PLH kepada siswa melalui penyajian berbagai materi dengan menggunakan metode-metode pengajaran aktif yang lebih berpusat pada siswa, sehingga diharapkan

21

efektivitas pembelajaran PLH dapat tercapai dengan terbentuknya sikap positif dan terwujudnya perilaku ramah lingkungan pada siswa. Sia (1992) telah mengembangkan skala untuk mengukur sikap guru terhadap PLH berdasarkan

self-efficacy dan outcome expectancy, yang disebut Environmental Education

Efficacy Beliefs Instrument (EEEBI). Skala EEEBI yang telah diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi sikap guru terhadap PLH dalam upaya mengetahui persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.