• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR RESTI MEILANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR RESTI MEILANI"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI GURU

DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN

KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR

RESTI MEILANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Resti Meilani

(4)

ABSTRACT

RESTI MEILANI. The Perception of Teachers in relation to the Implementation of Environmental Education at Elementary Schools of Forest Margin Area, Gunung Salak Endah, Bogor Regency. Under direction of E.K.S. HARINI MUNTASIB and SOERYO ADIWIBOWO.

This research aimed at identifying teacher’s perception of the environment, teacher’s perception of Environmental Education (EE) implementation, and the influencing factors. Data were collected through structured questionnaire, guided interview, field observation, as well as archives and secondary documents. Factor analysis, Spearman correlation, Kruskal-Wallis test, and Mann-Whitney test were used to analyse the data. The results showed that, first, according to the result of the Draw-An-Environment-Test (DAET), teachers from forest margin area have limited environmental perception due to lack of capacity in expressing their thoughts in drawings and writings. However, since writing and drawing are not yet internalized as an important behavior in education, the DAET instrument should be critically improved or revised to make it fits for developing countries such as Indonesia. Second, according to the result of Factor Analysis, the perception of teachers toward EE is constructed from three major factors, i.e. the EE teaching effectiveness, its benefits, and outcome expectancy. The first factor – the EE teaching effectiveness – is formed by four variables i.e. perceived competence, self-efficacy, pressure/tension and perceived choice. Further analysis shows that the teacher often views him or herself as having low competence and self-efficacy due to the EE course experience and his/her educational level. The second factor resulted from Factor Analysis – the EE benefits – is formed by three variables, i.e. interest/enjoyment, efforts, and usefulness of the EE course. The EE benefits itself, according to Kruskal-Wallis test, are determine by EE training course received, level of grade taught and the nature-based organizational experienced by the teachers. Third, in order to reach effective EE teaching, the capacity, motivation, perceived competence and self-efficacy of the teachers should be strengthen. This includes but not limited to the mastery of environment-related subjects particularly forest conservation topics, strengthen skills for outdoor teaching and increased compassion on the environmental issues and/or forest related problems.

Keywords: teacher, perception, environmental education implementation, elementary school, forest margin area, Gunung Salak Endah

(5)

RINGKASAN

RESTI MEILANI. Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SOERYO ADIWIBOWO.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan, termasuk permasalahan hutan, dengan mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan untuk mengelola dengan baik. PLH dapat diterapkan melalui jalur pendidikan non formal di luar sekolah maupun jalur pendidikan formal di sekolah. Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Letak yang berdekatan dengan kawasan hutan memungkinkan guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan hutan, memuaskan rasa ingin tahu siswa sekaligus memupuk motivasi belajar siswa tentang hutan dan permasalahannya. Interaksi langsung dengan hutan akan meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan dan meningkatkan motivasinya untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.

Anak usia sekolah dasar (SD) umumnya memiliki inisiatif, imajinasi, rasa ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak produktif dan ketidakmampuan. Tahap perkembangan anak usia SD menjadikan masa SD sebagai masa yang ideal dan penting untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam mengembangkan potensi positif anak dan menjaga agar anak tidak berkembang ke arah negatif.

Penerapan PLH di sekolah masih belum optimal, baik dari sisi ranah pendidikan maupun praktek pengajaran yang digunakan oleh guru. Umumnya guru merasa bahwa hambatan dalam melaksanakan PLH adalah keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa persepsi guru tentang lingkungan/hutan dan PLH mempengaruhi cara/praktek pengajaran dan peran serta guru dalam program-program PLH, namun penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan PLH khususnya di sekolah sekitar hutan di Indonesia masih sangat terbatas. Persepsi guru SD di sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH perlu diketahui untuk dapat menentukan upaya pengembangan profesionalitas yang dibutuhkan guru agar dapat menerapkan PLH secara optimal. PLH yang optimal akan dapat menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.

Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah sekitar hutan, yang meliputi persepsi tentang lingkungan, persepsi tentang penyelenggaraan PLH, dan faktor yang mempengaruhi persepsi. Penelitian dilakukan pada 4 SD contoh di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. SD dipilih dengan metode purposive sampling berdasarkan kriteria utama jarak

(6)

sekolah yang dekat dengan hutan (≤2 km). Responden guru berjumlah total 31 orang berasal dari SD contoh. Persepsi guru tentang lingkungan diukur menggunakan Draw-An-Environment Test (DAET) dan dianalisis menggunakan DAET Rubric (DAET-R) yang dikembangkan oleh Moseley dan Desjean-Perrotta (2010). Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi dan sikap guru terhadap PLH, menggunakan modifikasi skala Intrinsic Motivation Inventory (IMI, dikembangkan oleh Ryan 1982) dan adaptasi Environmental Education Efficacy Belief Instrument (EEEBI, dikembangkan oleh Sia 1992). Data juga dikumpulkan melalui wawancara terpandu, wawancara tidak terstruktur, pengamatan lapang, pengumpulan arsip dan dokumen, serta studi pustaka. Analisis dilakukan menggunakan statistik deskriptif, analisis faktor untuk merangkum kedelapan peubah motivasi dan sikap menjadi beberapa faktor/variate baru, serta korelasi Spearman, uji Mann-Whitney, dan Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi persepsi guru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, berdasarkan hasil

Draw-An-Environment-Test (DAET), guru dari sekolah dasar sekitar hutan memiliki

persepsi lingkungan terbatas yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru untuk mengekspresikan/mengungkapkan pemikiran atau gagasan yang dimilikinya dalam bentuk gambar dan tulisan. Hal ini dapat terjadi karena instrumen DAET yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya lebih terbiasa mengungkapkan pemikiran melalui gambar dan tulisan, sedangkan penggunaan gambar dan tulisan untuk mengungkapkan pemikiran masih belum membudaya sebagai perilaku yang penting dalam pendidikan di Indonesia. Instrumen DAET perlu diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut agar penggunaannya dapat sesuai dengan Negara berkembang seperti Indonesia.

Kedua, hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa persepsi guru tentang

penyelenggaraan PLH dibangun dari tiga faktor utama, yaitu efektivitas pengajaran PLH, manfaat PLH dan luaran pengajaran PLH yang diharapkan. Faktor pertama – efektivitas pengajaran PLH – dibentuk dari empat peubah, yaitu kompetensi, efektivitas-diri, beban/tekanan, dan pilihan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa guru seringkali memandang dirinya memiliki kompetensi dan efektivitas diri yang rendah dalam mengajar PLH yang dipengaruhi oleh PLH formal dan tingkat pendidikan yang dimiliki guru. Faktor kedua yang dihasilkan dari Analisis Faktor – manfaat PLH – dibentuk oleh tiga peubah, yaitu minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat PLH. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa faktor manfaat PLH ditentukan oleh PLH non formal yang diterima oleh guru, tingkat kelas yang diajar, dan pengalaman yang dimiliki oleh guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Faktor ketiga – luaran pengajaran PLH– terbentuk dari satu peubah, yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan oleh guru. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Analisis statistik lebih lanjut tidak menunjukkan ada nilai yang berbeda nyata, sehingga faktor yang mempengaruhi persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH tidak dapat ditentukan.

Ketiga, guru membutuhkan peningkatan/penguatan kapasitas, motivasi,

kompetensi dan efektivitas diri melalui berbagai kegiatan PLH agar dapat melakukan pengajaran PLH yang efektif. Kegiatan PLH bagi guru sebaiknya

(7)

tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan guru akan materi yang berkaitan dengan lingkungan, khususnya hutan dan konservasinya, tetapi juga sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan konservasi hutan, meningkatkan penguasaan guru akan metode pengajaran di luar kelas, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap lingkungan/hutan dan permasalahannya.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)

PERSEPSI GURU

DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN

KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR

RESTI MEILANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(10)
(11)

Judul Tesis : Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor

Nama : Resti Meilani NRP : E051050131

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini adalah persepsi, dengan judul Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS dan Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Nurwanto, MM selaku penguji luar komisi, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MSi selaku pimpinan sidang pada ujian tesis yang telah banyak memberi saran. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Kepala UPTK Dinas Pendidikan Kecamatan Pamijahan serta Para Kepala Sekolah dan Guru dari SDN Gunung Bunder 04, SDN Gunung Bunder 03, SDN Gunung Sari 01, dan SDN Gunung Picung 06 yang telah meluangkan waktu untuk menerima penulis dalam melaksanakan penelitian, Eva dan Tri yang telah memberikan semangat, dorongan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, serta adik-adik alumni dan mahasiswa (Muthe, Arman, Wani, Panda, Jadda, Abay dan Robinson) yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami (Ismail) dan anak-anak (Sanabel dan Yadzka) tercinta, serta seluruh keluarga, atas segala pengertian, do’a, kasih sayang dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 14 Mei 1977 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Syaeful Bathir dan Ika Kartika (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dan mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis telah mengabdi sebagai asisten pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) Fakultas Kehutanan IPB sejak tahun 2000. Penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap di DKSHE Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2005 dan sejak saat itu menjadi staf pengajar dari Bagian Rekreasi Alam dan Ekowisata.

(15)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) 2.1.1 Definisi, tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH ... 7

2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH ... 9

2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH 2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi ... 10

2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya ... 11

2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya ... 13

3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran ... 23

3.2 Hipotesis ... 24

4 BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu ... 25

4.2 Bahan dan Alat ... 25

4.3 Definisi Operasional ... 25

4.4 Metode Penelitian ... 26

4.4.1 Pemilihan Sekolah Contoh ... 26

4.4.2 Pemilihan Responden Guru ... 27

4.4.3 Pengumpulan Data ... 27

4.4.4 Pengolahan Data ... 30

4.4.5 Analisis Data ... 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru ... 35

5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi Persepsi ... 35

5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi Guru tentang PLH ... 43

(16)

5.1.3 Faktor Situasi ... 46

5.2 Persepsi Guru mengenai Lingkungan... 49

5.3 Persepsi Guru mengenai Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) ... 54

5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH ... 54

5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH ... 65

5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor yang Mempengaruhinya ... 73

5.4 Upaya untuk Peningkatan Persepsi Guru tentang PLH ... 77

6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 85

6.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis data dan metode pengumpulan data ... 27

2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan ... 36

3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh ... 37

4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru ... 40

5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam 40 6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam ... 41

7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana, dan pelaksanaan PLH di sekolah ... 42

8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru ... 45

9 Kondisi umum sekolah contoh ... 47

10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru ... 50

11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru ... 51

12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala interest/enjoyment ... 54

13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived competence ... 56

14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala effort/importance ... 58

15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala pressure/tension... 59

16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived choice ... 60

17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala value/usefulness ... 62

18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala self-efficacy belief/ personal EE teaching efficacy (PETE) ... 67

19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala outcome expectancy/ EE teaching outcome expectancy (ETOE) ... 71

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003) ... 10 2 Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001) ... 15 3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam

Triandis 1971) ... 18 4 Skema kerangka penelitian persepsi guru dalam penerapan

pendidikan lingkungan hidup di sekolah ... 24 5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis Faktor ... 97

2 Analisis Nonparametrik (Nonparametric Correlations) ... 101

3 Uji Kruskal-Wallis ... 102

(20)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemerosotan kondisi lingkungan telah menjadi sorotan dunia internasional selama beberapa dekade terakhir. Isu-isu lingkungan seperti kepunahan berbagai jenis keanekaragaman hayati, deforestasi, pencemaran lingkungan, penipisan ozon dan perubahan iklim global, telah mendorong berbagai pihak untuk melakukan upaya-upaya perbaikan. Pendidikan merupakan sarana untuk mempersiapkan sumberdaya manusia berkualitas yang akan mengelola lingkungannya. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menguraikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak manusia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan dengan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk mengelola lingkungan dengan baik. Perkembangan PLH mulai didorong sejak diselenggarakannya konferensi PBB mengenai lingkungan manusia di Stockholm, Swedia yang merekomendasikan dibangunnya suatu program PLH internasional (Brauss dan Wood 1994). Lokakarya internasional diadakan pada tahun 1975di Belgrade, Yugoslavia untuk merumuskan definisi dan tujuan PLH yang dituangkan dalam Belgrade Charter (Brauss dan Wood 1994; Kementerian Lingkungan Hidup 2004).

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya ditujukan untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat menjadi perilaku yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat meminimalkan dampak kegiatan manusia yang merugikan lingkungan (McKeown dan Hopkins 2005 diacu dalam Darner 2009). Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH 2004) dalam kebijakannya mendefinisikan PLH sebagai upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk

(21)

meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

KLH (2004) juga menyebutkan bahwa PLH dapat disampaikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal di luar sekolah, serta jalur pendidikan formal di sekolah. Zelezny (1999) diacu dalam Darner (2009) menyatakan bahwa PLH melalui jalur pendidikan formal di sekolah secara umum lebih efektif dibandingkan PLH melalui jalur pendidikan informal. Sekolah memiliki potensi yang besar untuk dapat membentuk SDM yang berkualitas dalam melakukan pengelolaan lingkungan.

Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Letak sekolah yang berdekatan dengan kawasan hutan memungkinkan guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan hutan. Interaksi langsung dengan hutan akan memuaskan rasa ingin tahu siswa tentang hutan, meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan, sekaligus memupuk motivasi belajar siswa tentang hutan dan permasalahannya dan meningkatkan motivasinya untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.

Peran strategis sekolah dalam membentuk SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk melakukan upaya konservasi dapat dipenuhi dengan pengembangan PLH yang lebih ditekankan pada program Pendidikan Konservasi. Program Pendidikan Konservasi yang dikembangkan sebaiknya memuat berbagai materi berkaitan dengan konservasi hutan dalam ketiga ranah pendidikan, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) maupun psikomotorik (keterampilan).

Teori perkembangan rentang hidup yang dikembangkan oleh Erikson menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar (SD) memiliki inisiatif, imajinasi, rasa ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak produktif dan ketidakmampuan (Santrock 2008). Potensi yang dimiliki anak usia SD menyebabkan masa SD merupakan masa yang ideal dan penting untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam

(22)

3

mengembangkan potensi positif anak/siswa dan menjaga agar anak/siswa tidak berkembang ke arah negatif.

Muntasib et al. (2009) menguraikan bahwa ada lima faktor kunci dalam model pendidikan hutan dan lingkungan (PHL) di sekolah (pendidikan hutan dan lingkungan merupakan bagian dari PLH yang dikembangkan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan materi pembelajaran yang lebih difokuskan pada hutan), yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua dan sarana pendidikan. Meskipun paradigma pendidikan telah mengalami pergeseran dari pendidikan yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, namun tidak dapat dipungkiri bahwa guru masih memegang peranan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Guru merupakan pribadi yang menjadi model dan teladan bagi para siswanya. Siagian (2004) menyatakan bahwa peran guru terhadap sikap seorang anak merupakan pengaruh yang paling kuat, karena masa sekolah merupakan masa peletakan dasar bagi pengembangan kepribadian, nilai, dan sikap seseorang yang akan dianut sepanjang hidupnya. Guru sebagai motivator, inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk PLH, sehingga wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian (Muntasib 2002).

KLH (2004) mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan PLH di Indonesia terkait dengan pelaku pendidikan (guru), antara lain kurangnya pemahaman para pelaku pendidikan mengenai PLH, kurangnya komitmen pelaku pendidikan dalam memberikan PLH, penggunaan materi dan metode yang kurang memadai, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai yang menjadi faktor penghambat motivasi dalam pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup. Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan memang dirasakan oleh guru sebagai masalah yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan PLH di sekolah. Namun penelitian Muntasib et al. (2009) menunjukkan bahwa faktor sarana dan prasarana tampaknya tidak menjadi penghambat bagi guru di SDN Gunung Bunder 04 dengan kondisi fisik dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang minim dibandingkan sekolah

(23)

contoh lainnya, yang ditunjukkan oleh metode pengajaran yang digunakan guru dan respon siswa yang lebih baik. Lebih lanjut Muntasib et al. (2009) menyatakan bahwa guru dengan persepsi dan motivasi yang baik terhadap pendidikan hutan dan lingkungan (sebagai bagian dari PLH yang dikembangkan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor), serta memiliki penguasaan terhadap materi dan keterampilan mengajar yang memadai, akan dapat menyampaikan materi dengan baik kepada siswa.

Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan semestinya tidak menjadi penghambat bagi guru dalam melaksanakan PLH di sekolah. Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH yang lebih berperan dalam mempengaruhi praktek pengajaran PLH oleh guru kepada siswa dan pada akhirnya mempengaruhi respon siswa. Guru juga meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah, sehingga persepsi/pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang penting untuk diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Persepsi guru tentang lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi praktek pengajaran PLH oleh guru kepada siswa, sehingga akan diteliti mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.

1.2 Perumusan Masalah

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya bertujuan untuk merubah perilaku individu menjadi perilaku yang positif terhadap lingkungan (perilaku ramah lingkungan). Kenyataannya upaya pelaksanaan PLH di sekolah-sekolah secara umum baru sampai pada tahap peningkatan pengetahuan, belum mampu mendorong terjadinya perubahan perilaku siswa menjadi lebih ramah lingkungan.

Para guru umumnya merasa bahwa keterbatasan sarana dan prasarana, seperti fasilitas pendidikan dan buku sumber/ajar mengenai PLH, menjadi faktor yang menghambat pelaksanaan PLH di sekolah, sehingga pelaksanaan PLH di sekolah menjadi terbatas pada materi yang ada pada mata ajaran inti. Metode yang digunakan oleh guru juga masih terbatas pada metode ceramah dan diskusi. Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh Muntasib et al. (2009) menunjukkan bahwa pada sekolah-sekolah, ada guru yang dapat melaksanakan

(24)

5

PLH dengan baik dalam kondisi sekolah yang serba terbatas, yang telah menggunakan berbagai metode dan media untuk mengajarkan PLH kepada siswanya, melalui kegiatan observasi lapang dengan interaksi yang intensif dengan alam sekitar, serta menuangkannya dalam nyanyian tentang alam tersebut. Perbedaan praktek pengajaran guru tersebut menunjukkan adanya pengaruh suatu faktor dalam diri guru.

Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya pengaruh persepsi guru tentang praktek pengajaran dan peran serta guru dalam kegiatan pengajaran. Smith-Sebasto (2007) menunjukkan bahwa peran serta guru dalam program PLH residensial, yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada peserta untuk berinteraksi dengan alam, dipengaruhi oleh persepsi guru bahwa program PLH residensial tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya. Hardre dan Sullivan (2008) telah merangkum dari berbagai penelitian bahwa perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar dan memotivasi siswa sehingga mempengaruhi respon siswa. Desjean-Perrotta et

al. (2008) menyatakan bahwa konsepsi yang dimiliki oleh calon guru mengenai

lingkungan akan mempengaruhi pengajarannya mengenai lingkungan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa praktek dan peran serta guru dalam pengajaran PLH di sekolah dipengaruhi oleh persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH.

Kondisi tersebut menimbulkan pemikiran bahwa pelaksanaan/penerapan PLH di sekolah saat ini masih belum dapat mendorong timbulnya perilaku ramah lingkungan pada siswa karena sebetulnya guru belum memiliki persepsi yang baik/tinggi tentang lingkungan maupun penyelenggaraan PLH, bukan semata-mata karena keterbatasan sarana prasarana seperti yang selama ini banyak dijadikan alasan. Penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH masih sangat terbatas, terutama pada sekolah-sekolah dasar yang terletak di sekitar hutan. Pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya

persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH masih belum

terjawab, sedangkan upaya penerapan PLH di sekolah tentunya perlu dioptimalkan agar dapat membentuk generasi penerus berkualitas, yang memiliki kesadaran, pengetahuan, sikap dan keterampilan memadai untuk mengelola

(25)

lingkungan dan melakukan upaya konservasi hutan, serta memiliki motivasi dan peran serta dalam pengelolaan lingkungan dan konservasi hutan.

Persepsi guru SD di sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH perlu diketahui untuk dapat menentukan upaya pengembangan profesionalitas yang dibutuhkan guru agar dapat menerapkan PLH secara optimal, sehingga dapat menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah dasar sekitar hutan sebagai salah satu upaya awal untuk mengoptimalkan penyelenggaraan PLH di Indonesia dan mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi guru sekolah dasar di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor dalam penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup. Secara rinci penelitian ini dilakukan untuk: 1. Mengidentifikasi faktor obyek/sasaran, situasi dan individu yang

mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH, 2. Mengidentifikasi persepsi guru tentang lingkungan,

3. Mengidentifikasi persepsi guru tentang penerapan/penyelenggaraan PLH.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan dapat memberikan masukan dalam membangun persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH untuk penyempurnaan penerapan/penyelenggaraan PLH di sekolah, sehingga dapat membentuk SDM yang tidak hanya memiliki kemampuan, namun juga motivasi untuk ikut serta dalam penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan, khususnya upaya konservasi hutan.

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)

2.1.1 Definisi, Tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) berawal dari dua program pendidikan yang lebih banyak dilakukan di alam dengan tujuan untuk latihan, pengamatan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan kesenangan (Ford 1981). PLH didefinisikan sebagai suatu proses untuk membangun/mengembangkan populasi dunia yang sadar dan memiliki keprihatinan akan lingkungan secara keseluruhan beserta permasalahan terkait, dan yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan bersama dalam memecahkan permasalahan yang ada dan mencegah timbulnya permasalahan baru (UNESCO 1978 diacu dalam Monroe, Day dan Grieser 2000; Braus dan Wood 1994).

Rekomendasi No. 1 dari Konferensi Antar-Pemerintah mengenai PLH yang diadakan di Tbilisi, USSR, pada Oktober 1977 (UNESCO 1980 diacu dalam Biswas dan Biswas 1982) menyatakan bahwa tujuan dasar PLH adalah keberhasilan dalam membuat individu dan masyarakat memahami sifat alamiah lingkungan alam dan buatan yang kompleks yang dihasilkan dari interaksi aspek-aspek biologis, fisik, sosial, ekonomi dan budaya, dan agar individu dan masyarakat tersebut mendapatkan pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan praktis untuk berperan serta secara bertanggungjawab dan efektif dalam mengantisipasi dan memecahkan masalah-masalah sosial dan mengelola kualitas lingkungan. PLH pada dasarnya ditujukan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan yang dibutuhkan agar masyarakat dapat mengelola lingkungan hidupnya secara berkelanjutan.

Ada lima sasaran PLH yang diidentifikasi dalam Konferensi Antar-pemerintah Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai PLH (Unesco 1978 diacu dalam Monroe, Day, dan Grieser 2000 dan Brauss dan Wood 1994), yaitu:

1. Kesadaran – membantu peserta didik untuk mendapatkan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan dan permasalahan terkait.

(27)

2. Pengetahuan – untuk mendapatkan beragam pengalaman dan pemahaman mendasar mengenai lingkungan dan permasalahan terkait.

3. Sikap – untuk mendapatkan serangkaian nilai dan rasa keprihatinan akan lingkungan dan motivasi untuk berperan secara aktif dalam pengembangan dan perlindungan lingkungan.

4. Keterampilan – untuk mendapatkan keterampilan dalam mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan lingkungan.

5. Partisipasi – untuk mendorong warga masyarakat agar terlibat aktif pada semua level dalam mencari resolusi permasalahan lingkungan.

Perkembangan PLH di Indonesia tidak terlepas dari Konferensi PBB tentang lingkungan hidup sedunia yang dikenal dengan Konferensi Stockholm, Juni 1972 (Pokja PKSDHL 1998). Pokja PKSDHL (1998) menguraikan bahwa berbagai usaha telah dilakukan sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap deklarasi Stockholm, antara lain pengembangan Lembaga Ekologi oleh Universitas Padjajaran Bandung, berbagai kebijakan pemerintah, penyusunan Garis-garis Besar Program Pengajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Dalam perkembangannya PLH terwujud dalam berbagai bentuk, seperti Pendidikan Hutan dan Lingkungan (PHL), Pendidikan Konservasi (PK), Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH), serta Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (PuPB).

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2004 menerbitkan Kebijakan PLH yang menguraikan bahwa PLH dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, non-formal maupun informal. Zelezny (1999) diacu dalam Darner (2009) menyatakan bahwa umumnya PLH formal lebih efektif daripada PLH informal. PLH formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup yang diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang dengan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi maupun kurikulum yang monolitik/tersendiri (KLH 2004). Pada tahun 2007 Gubernur Jawa Barat telah menerbitkan kebijakan yang mendorong pelaksanaan PLH formal di sekolah secara lebih intensif, sehingga semakin meningkatkan peran guru dalam penerapan PLH di sekolah.

(28)

9

2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH

UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menempatkan guru sebagai pendidik, yaitu tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut menguraikan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,

menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, (b) mempunyai komitmen

secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (c) memberi

teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan

kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Guru adalah orang yang menterjemahkan filosofi dan tujuan pendidikan menjadi pengetahuan dan keterampilan dan mentransfernya kepada siswa (Ofoegbu 2004). Muntasib (2002) menyebutkan bahwa guru sebagai motivator, inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk PLH, sehingga wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian.

Guru memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk sikap anak (sebagai siswanya), karena masa sekolah merupakan masa peletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pengembangan kepribadian, nilai dan sikap seseorang (Siagian 2004). Muntasib et al. (2009) menyatakan bahwa guru merupakan salah satu faktor kunci dalam penerapan PLH melalui jalur formal di sekolah (Muntasib et

al. 2009). Kurangnya tenaga guru yang terlatih merupakan salah satu hal yang

menghambat pelaksanaan PLH di sekolah pada Negara-negara Asia Pasifik (Nirarita 2003), sedangkan pelaksanaan PLH di sekolah sangat dipengaruhi oleh keterampilan dan komitmen guru serta dukungan yang didapat guru dari kepala sekolah dan sesama rekan guru. Sedemikian besar peran guru dalam penerapan PLH di sekolah sehingga guru perlu mendapatkan perhatian besar, terutama dalam hal peningkatan kemampuan guru untuk menerapkan PLH.

(29)

2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH 2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi

Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus, baik berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi tertentu, yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan individu terhadap stimulus tersebut (Langevelt 1966 diacu dalam Harihanto 2001). Persepsi dapat dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses aktif yang dilakukan seseorang untuk memberikan makna tertentu kepada lingkungannya (manusia, obyek, peristiwa, situasi dan fenomena-fenomena lainnya) dengan memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan lingkungan tersebut (Robbins 2003; Siagian 2004; Robbins 2005; Wood 2007). Proses aktif tersebut terdiri dari tiga proses yang kontinyu dan saling berpadu, yaitu seleksi/pemilihan, pengorganisasian, dan interpretasi stimulasi terhadap sensori/indera sehingga menjadi suatu gambaran dunia yang bermakna dan koheren (Berelson dan Steiner 1964 diacu dalam Severin dan Tankard 1979; Wood 2007).

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003). Faktor Situasi:  Waktu  Suasana/Kondisi kerja  Kondisi Sosial Faktor Individu:  Sikap  Motif  Minat/keinginan  Pengalaman  Harapan Persepsi Faktor Obyek/Sasaran:  Kebaharuan/Novelty  Pergerakan  Suara  Ukuran  Latarbelakang  Kedekatan  Kemiripan

(30)

11

Persepsi (kognisi/pandangan) terbentuk saat seseorang melihat obyek yang terorganisasi dan mengenalinya sebagai obyek yang bermakna, memilih obyek, dan memilih karakteristik obyek yang sesuai dengan konsepsinya mengenai dunia (Krech et al. 1965). Severin dan Tankard (1979) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi sejumlah faktor psikologis yang meliputi asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman masa lalu (yang seringkali bekerja pada suatu tingkatan yang hampir tidak disadari), harapan-harapan budaya, motivasi (kebutuhan), mood/suasana hati, dan sikap. Robbins (2003, 2005) dan Siagian (2004) menguraikan bahwa persepsi dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait dengan karakteristik individu, obyek atau sasaran, dan situasi (Gambar 1). Wood (2007) menjelaskan bahwa individu-individu berbeda dalam menangkap suatu situasi dan orang, dan perbedaan tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor fisiologis (kemampuan alat indera dan kondisi fisiologis), umur (dan pengalaman), budaya, peran dalam masyarakat (pengaruh sosial), kemampuan kognitif, dan kepribadian individu. Dengan demikian, semua persepsi selalu parsial dan subyektif; parsial karena individu tidak mampu menangkap semua hal, dan subyektif karena persepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut.

Guru membawa dua persepsi dalam dirinya di dalam penerapan PLH di sekolah, yaitu persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran. Persepsi guru tentang lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran akan mempengaruhi guru dalam memilih metode dan media untuk menyampaikan materi kepada siswa, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil belajar siswa.

2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya

Ilmu lingkungan mengenal konsep “persepsi mengenai lingkungan (environmental perception)”, yang didefinisikan sebagai cerminan penglihatan, kekaguman, kepuasan, serta harapan individu terhadap lingkungan (Edmund dan Letey 1973 diacu dalam Harihanto 2001). Haryadi dan Setiawan (1995) diacu dalam Harihanto (2001) menguraikan persepsi tentang lingkungan adalah interpretasi tentang suatu seting (lingkungan) oleh individu, yang didasarkan pada latar belakang budaya, nalar dan pengalaman, sehingga setiap individu dapat

(31)

memiliki persepsi lingkungan yang berbeda meskipun dimungkinkan beberapa kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip. Persepsi tentang lingkungan juga diuraikan sebagai model mental atau gambaran yang dimiliki oleh seseorang mengenai lingkungan yang digunakannya untuk memberikan makna bagi peristiwa yang terjadi di sekitarnya (Moseley dan Desjean-Perrotta 2010).

Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar tentang lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan (Surata 1993 diacu dalam Muntasib 2002). Hal tersebut dapat dijelaskan dengan pernyataan Heathcote (1980) bahwa persepsi tentang lingkungan tidak hanya mencerminkan skala peristiwa dan hubungan individu dengan peristiwa tersebut, namun juga mencerminkan beragam motif yang tersirat dalam sikap individu terhadap lingkungan. Siagian (2004) juga menyatakan bahwa persepsi seseorang mengenai lingkungan akan sangat berpengaruh pada perilakunya dan akan menentukan faktor-faktor apa yang dipandang sebagai faktor motivasional yang kuat. Edmund & Letey (1973) diacu dalam Muntasib (2002) menyampaikan bahwa salah satu sebab timbulnya masalah lingkungan adalah kegagalan untuk memiliki persepsi-persepsi yang benar tentang lingkungan sebagai suatu keseluruhan dan untuk memahami serta menerima ketergantungan dasar dalam sistem ekologi termasuk manusia. Asngari (1984) diacu dalam Harihanto (2001) mengatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor penting, karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut.

Guru meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah, sehingga pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang penting untuk diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Potensi terjadinya kesalahpahaman dan pembentukan konsepsi yang salah mengenai lingkungan pada siswa akan dapat diidentifikasi dengan memahami persepsi guru tentang lingkungan. Guru yang memiliki persepsi yang benar/positif mengenai lingkungan kemungkinan besar akan berperilaku positif terhadap lingkungan, yaitu perilaku yang ramah lingkungan. Perilaku yang positif/ramah lingkungan ini akan dapat menjadi teladan/contoh yang baik dan tepat bagi siswa. Keteladanan dari guru merupakan

(32)

13

salah satu cara yang baik dalam mengajarkan PLH kepada siswa, karena belajar PLH juga belajar melalui keteladanan.

Penelitian ini menggali persepsi guru tentang lingkungan yang dibatasi pada gambaran mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan. Persepsi guru tentang lingkungan tersebut digali dengan menggunakan metode survey

Draw-An-Environment Test (DAET) yang terdiri dari dua bagian, yaitu (1) guru diminta

untuk membuat gambar lingkungan, dan (2) guru diminta menuliskan definisi mereka mengenai lingkungan dengan melengkapi sebuah kalimat terbuka (Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Tulisan merupakan refleksi/cerminan dari persepsi dan pengetahuan guru mengenai lingkungan (Desjean-Perrotta et al. 2008) sedangkan gambar merupakan representasi atau gambaran model mental atau citra seseorang sebagai salah satu cara untuk menganalisa kepercayaan pribadi (Thomas, Pederson dan Finson 2001 diacu dalam Moseley dan Desjean-Perrotta 2010) guru terhadap lingkungan. Penilaian DAET didasarkan pada konsep mengenai lingkungan dalam NAAEE Guidelines, yaitu interdependensi, pendekatan sistem dan interaksi empat faktor pembentuk lingkungan, yaitu: manusia, organisme hidup/biotik lainnya, lingkungan fisik/abiotik dan lingkungan buatan (Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010).

2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya

Perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar dan memotivasi siswa (Brophy dan Good 1974; Skinner dan Belmont 1993; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Motivasi yang terbentuk pada siswa selanjutnya akan mempengaruhi luaran-luaran penting terkait sekolah, seperti misalnya perhatian, upaya, tujuan, kualitas kerja, perilaku, kesejahteraan, skor ujian, peringkat, dan penyelesaian sekolah (Hidi dan Harackiewicz 2000; Linnenbrink dan Pintrich 2002a; Pintrich 2003; Reeve 1996; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008).

Perbedaan individu guru (seperti umur, gender, pengalaman mengajar) dan perbedaan kontekstual guru (seperti mata ajaran dan tingkat kelas yang diajar) dapat mempengaruhi praktek pengajaran guru (Hardre dan Sullivan 2008). Umur dan gender telah terbukti relevan terhadap seberapa dekat guru mendukung dan

(33)

menjalin hubungan interpersonal dengan siswanya (Jacobs et al. 1998 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Pengalaman mengajar terkait dengan fleksibilitas dan kepercayaan diri guru, yang mempengaruhi praktek kelas (Bransford, Brown, dan Cocking 1999 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Mata ajaran dan tingkat kelas yang diajarkan dapat mempengaruhi upaya dan investasi guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan kisaran yang sempit ataupun lebar (Lemke 1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008).

Penelitian mengenai persepsi guru tentang program PLH residensial (yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk berinteraksi dengan alam) di New Jersey School of Conservation mengungkapkan bahwa para guru merasa bahwa pendidikan lingkungan seharusnya dimasukkan dalam persiapan akademik para siswanya karena memiliki pengaruh positif, dan para guru yang terlibat langsung memandang program PLH residensial tersebut sebagai suatu tuntutan pekerjaan (Smith-Sebasto 2007). Simmons (1988) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) menyatakan bahwa para guru ikut serta dalam program PLH residensial karena memiliki persepsi bahwa program tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya; karena percaya bahwa program tersebut memberikan siswa kesempatan pertumbuhan personal dan sosial serta memberi kesempatan untuk lebih mempelajari lingkungan dan diri mereka sendiri; para siswa menikmati keberadaan mereka di alam dan menikmati pengalaman itu sendiri. Schartner (2000) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) mengungkapkan bahwa para guru mengikuti program PLH residensial karena merasa bahwa mereka diharapkan untuk mengikuti program tersebut jika mengajar pada tingkat kelas tertentu, yang berdasarkan keputusan administratif atau lingkup sekolah, sesuai untuk mendapatkan pengalaman di alam.

Penelitian Muntasib et.al. (2009) yang dilaksanakan di 2 Sekolah Dasar (SD) contoh (SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Picung 05) dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMPN I Pamijahan) di Kabupaten Bogor, serta 2 SD (SDN Lembur Sawah 03 dan SDN Bojongwaru) di Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa persepsi guru dari SDN Gunung Bunder Kabupaten Bogor yang memandang PLH/PHL bukan hanya sebagai beban tugas namun juga sebagai sesuatu hal yang penting dan bernilai positif bagi siswanya serta motivasi yang baik dari guru di

(34)

15

SDN tersebut untuk menerapkan PLH/PHL di sekolahnya telah memberikan hasil pengetahuan dan pemahaman siswa yang relatif lebih luas dibandingkan empat sekolah contoh lainnya. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi peran serta guru dalam kegiatan PLH dan cara guru mengajarkan PLH kepada siswanya, dan pada akhirnya mempengaruhi respon siswa. Artinya bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH merupakan hal yang penting untuk diidentifikasi sebagai langkah awal untuk mencapai efektivitas pengajaran PLH.

Robbins (2003) menguraikan bahwa motif/motivasi dan sikap merupakan bagian dari faktor individu yang mempengaruhi terbentuknya persepsi. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH dapat diidentifikasi berdasarkan motivasi guru dalam mengajar PLH dan sikap guru terhadap PLH.

Motivasi guru dalam mengajar PLH

Motivasi guru secara alamiah berkaitan dengan sikap guru terhadap pekerjaannya, yaitu hasrat/keinginan untuk berperan serta dalam proses-proses pedagogis (pembelajaran) di dalam lingkungan sekolah, minat/perhatian guru terhadap disiplin siswa dan kendali di dalam kelas, sehingga menjadi dasar keterlibatan guru dalam kegiatan-kegiatan akademik dan non-akademik di sekolah (Ofoegbu 2004). Ryan dan Deci (2000) dalam Teori Determinasi-Diri

(Self-Determination Theory - SDT) membedakan berbagai tipe motivasi berdasarkan

alasan atau tujuan yang menyebabkan dilakukannya suatu tindakan, yaitu amotivasi, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik yang berada pada suatu kontinum determinasi-diri yang semakin tinggi (Gambar 2).

Perilaku Non determinasi diri Determinasi-diri

Tipe

Motivasi Amotivasi Motivasi Ekstrinsik

Motivasi Intrinsik Tipe Pengaturan/ Regulasi Non-regulasi Regulasi Eksternal Regulasi ter-introjeksi Regulasi ter-identifikasi Regulasi ter-integrasi Regulasi intrinsik Lokus

Kausalitas Impersonal Eksternal

Agak eksternal

Agak

internal internal internal

(35)

Amotivasi adalah suatu kondisi saat seseorang kurang memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dan kurang memiliki motivasi, yaitu saat mereka tidak mampu untuk mengatur diri sendiri dalam suatu perilaku tertentu (Pelletier et al. 1999 diacu dalam Deci dan Ryan 2001). Motivasi intrinsik mengacu pada perilaku yang dilakukan karena secara melekat perilaku tersebut bersifat menarik

dan menyenangkan (Ryan dan Deci 2000). Perilaku tersebut memiliki internal perceived locus of causality/lokus kausalitas yang dirasa berasal dari dalam

(deCharms 1968 diacu dalam Niemic dan Ryan 2009). Motivasi ekstrinsik merupakan suatu konstruk yang terjadi saat suatu aktivitas dilakukan untuk memperoleh suatu luaran tertentu yang terpisah dari aktivitas itu sendiri (Ryan dan Deci 2000), yang dikelompokkan menjadi empat tipe motivasi berdasarkan derajat otonomi yang dialami individu, yaitu regulasi eksternal, regulasi terintrojeksi, regulasi teridentifikasi dan regulasi terintegrasi (Niemic dan Ryan 2009), yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

1) Regulasi eksternal. Perilaku dilakukan untuk mendapatkan penghargaan (reward) atau menghindari hukuman (punishment).

2) Regulasi terintrojeksi. Perilaku dilakukan untuk memuaskan kontingensi internal, seperti peningkatan-diri atau menghindari penghinaan-diri. Salah satu tipe regulasi terintrojeksi adalah keterlibatan ego yang mengacu pada harga diri (self-esteem) seseorang sebagai bagian dari performanya. Ego memberikan tekanan internal untuk menghindari rasa malu atau untuk merasa diri berguna.

3) Regulasi teridentifikasi. Perilaku dilakukan karena dianggap bernilai atau penting bagi individu tersebut.

4) Regulasi terintegrasi merupakan tipe motivasi ekstrinsik yang paling bersifat otonomi. Regulasi yang teridentifikasi telah bersintesis dengan aspek lainnya dalam pribadi seseorang, sehingga dorongan yang timbul dirasakan berasal dari diri seseorang.

Brookhart dan Freeman (1992) diacu dalam Watt dan Richardson (2008) menyebutkan bahwa motivasi intrinsik, ekstrinsik dan altruistik telah disoroti sebagai kelompok alasan yang paling penting bagi seseorang dalam memutuskan untuk mengajar. Vallerand, et al. (2008) menyatakan bahwa motivasi intrinsik

(36)

17

akan memberikan luaran yang paling positif. Motivasi intrinsik dapat diukur dengan dua cara, yaitu dengan ukuran keperilakuan dari motivasi intrinsik yang disebut “free choice” atau kebebasan memilih (Deci 1971 diacu dalam Ryan dan Deci 2000), dan penggunaan self-report atau laporan-pribadi mengenai

daya-tarik dan kesenangan dari suatu aktivitas itu sendiri (Ryan 1982; Harackiewicz

1979 diacu dalam Ryan dan Deci, 2000). Robbins (2003) menguraikan mengenai model motivasi intrinsik Ken Thomas yang berpendapat bahwa motivasi intrinsik akan dicapai jika orang mengalami perasaan choice (memilih), competence (kompeten), meaningfulness (berarti), dan progress (kemajuan), yang diuraikan sebagai berikut:

1. Choice adalah kesempatan untuk dapat memilih aktivitas tugas yang masuk akal bagi seseorang dan melakukannya dengan cara yang dirasa sesuai.

2. Competence adalah pencapaian yang dirasakan saat dengan terampil melakukan aktivitas tugas yang dipilih.

3. Meaningfulness adalah kesempatan untuk mengejar tujuan tugas yang berharga, tujuan yang berarti di dalam skema hal-hal yang lebih besar.

4. Progress adalah perasaan bahwa seseorang membuat kemajuan yang nyata dalam mencapai tujuan tugas.

Motivasi guru untuk mengajar PLH dapat diukur berdasarkan daya tarik dari kegiatan mengajar PLH dan kesenangan/kenikmatan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH, rasa memiliki kompetensi/kemampuan untuk mengajar PLH, upaya yang dicurahkan dalam pengajaran PLH, nilai/manfaat pengajaran PLH bagi guru, tekanan dan beban yang dirasakan guru dalam mengajarkan PLH, serta rasa adanya kebebasan memilih dalam mengajar PLH. Ryan (1982) telah mengembangkan skala untuk mengukur motivasi intrinsik yang disebut sebagai

Intrinsic Motivation Inventory (IMI scale) yang terdiri dari subskala interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, value/usefulness, pressure/tension, dan perceived choice.

Sikap guru terhadap PLH

Sikap merupakan suatu pernyataan evaluatif seseorang terhadap obyek, orang atau peristiwa tertentu, yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu (Siagian 2004; Robbins 2003, 2005). Hollander (1981) menyatakan ada

(37)

dua hal mendasar mengenai sikap, yaitu bahwa (1) sikap memberikan dasar

untuk menginterpretasikan dunia dan memproses informasi baru, dan (2)

sikap merupakan suatu cara untuk memperoleh dan mempertahankan identifikasi sosial.

Triandis (1971) menguraikan bahwa sikap adalah suatu gagasan yang didorong oleh emosi yang mempengaruhi kecenderungan sekelompok tindakan terhadap suatu kelompok situasi sosial tertentu. Definisi tersebut menggambarkan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif/perilaku (Triandis 1971; Shavitt dan Brock 1994; Azwar 1995; Robbins 2003, 2005).

Gambar 3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam Triandis 1971)

Hollander (1981) menguraikan bahwa komponen kognitif kepercayaan-ketidakpercayaan adalah hal-hal yang telah dipelajari oleh seorang individu mengenai sesuatu hal yang membentuk kepercayaan-ketidakpercayaan terhadap hal tersebut; komponen afektif suka-tidak suka mengacu pada emosi seorang

STIMULI (individu, situasi, isu-isu sosial, kelompok-kelompok

sosial, dan “obyek-obyek sikap” lainnya)

SIKAP Respon sistem syaraf simpatetik Pernyataan verbal afeksi AFEKSI Respon perseptual Pernyataan verbal tentang kepercayaan KOGNISI Tindakan nyata Pernyataan verbal terkait perilaku PERILAKU Variabel bebas terukur

Variabel antara Variabel terikat/tak bebas terukur

(38)

19

individu, sedangkan komponen aksi adalah kesiapan untuk berperilaku sejalan dengan sikap yang dimiliki seorang individu. Mann (1969) diacu dalam Azwar (1995) menjelaskan bahwa: 1) komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; 2) komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah emosi, dan aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang; 3) komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

Sikap seseorang terbentuk karena pengaruh orang lain, yaitu orang tua, guru dan rekan-rekannya, dan dapat berubah dipengaruhi situasi dan pengalaman seseorang (Siagian 2004). Hollander (1981) menyatakan bahwa sikap dan nilai memiliki persistensi, namun juga dinamis dalam arti keduanya dapat berubah, meskipun umumnya sikap lebih mudah berubah.

Shavitt dan Brock (1994) menyatakan bahwa sikap tidak dapat diamati secara langsung, namun harus disimpulkan berdasarkan respon-respon teramati (dan terukur) dari tiga komponen sikap. Azwar (1995) mengungkapkan bahwa pengukuran sikap sebagai salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain observasi perilaku, penanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap dan pengukuran terselubung. Skala sikap Likert merupakan teknik pengukuran sikap yang paling banyak digunakan karena mudah disusun dan dapat digunakan, sehingga skala ini secara rutin menunjukkan korelasi tinggi dengan skala sikap lainnya (Shavitt dan Brock 1994).

Sikap guru terhadap PLH dapat diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu

self-efficacy dan outcome expectancy (Sia 1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan

Utley 2008). Bandura (1977) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan bahwa self-efficacy (efektivitas diri) adalah persepsi atau kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu, sedangkan outcome expectancy (luaran yang diharapkan) adalah kepercayaan atau harapan seseorang untuk mendapatkan suatu luaran tertentu dari perilaku yang

(39)

ditunjukkannya. Efektivitas diri yang diyakini oleh seseorang berkaitan dengan tingkat motivasi dan capaian kinerja individu tersebut (Bandura 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Enoch dan Riggs (1990) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan efektivitas diri guru sebagai kemampuan guru untuk mengajar secara efektif. Efektivitas guru juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja siswa (Berman dan McLauglin 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008).

Kepercayaan guru memiliki dampak yang sangat besar terhadap perilakunya di kelas (Pajares 1992 dan Richardson 1996 diacu dalam Moseley dan Utley 2008), karena kepercayaan memainkan bagian penting dalam pengorganisasian pengetahuan dan informasi oleh guru dan penting dalam membantu guru beradaptasi, memahami dan memaknai diri dan dunianya (Schommer 1990, Taylor 2003, Taylor dan Caldarelli 2004 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Guru yang memiliki kepercayaan diri dalam kemampuannya mengajar

(self-efficacy beliefs) akan bertahan lebih lama, memberikan fokus akademik yang

lebih besar di kelas, dan menunjukkan tipe umpan balik berbeda dibandingkan guru yang memiliki harapan yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuannya untuk mempengaruhi pembelajaran siswa (Gibson dan Dembo 1984 diacu dalam Moseley et al. 2002). Czerniak (1990) diacu dalam Moseley et al. (2002) menemukan bahwa guru dengan self-efficacy/efektivitas diri yang tinggi lebih cenderung menggunakan strategi pengajaran inkuiri dan berpusat pada siswa, sedangkan guru dengan efektivitas diri yang rendah lebih cenderung menggunakan strategi yang terarah pada guru seperti ceramah dan membaca teks.

Efektivitas diri guru dalam kaitannya dengan PLH dapat diuraikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya mengajarkan PLH secara efektif, sedangkan outcome expectancy guru terhadap PLH diuraikan sebagai perkiraan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa dalam pembelajaran PLH (Moseley et al. 2002). Sikap guru yang positif terhadap PLH, dalam hal ini memiliki efektivitas diri dan outcome expectancy yang tinggi, akan dapat memberi arah yang positif terhadap perilaku guru dalam mengajarkan PLH kepada siswa melalui penyajian berbagai materi dengan menggunakan metode-metode pengajaran aktif yang lebih berpusat pada siswa, sehingga diharapkan

(40)

21

efektivitas pembelajaran PLH dapat tercapai dengan terbentuknya sikap positif dan terwujudnya perilaku ramah lingkungan pada siswa. Sia (1992) telah mengembangkan skala untuk mengukur sikap guru terhadap PLH berdasarkan

self-efficacy dan outcome expectancy, yang disebut Environmental Education

Efficacy Beliefs Instrument (EEEBI). Skala EEEBI yang telah diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi sikap guru terhadap PLH dalam upaya mengetahui persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.

(41)
(42)

3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Pemikiran

Guru membawa dua persepsi dalam penerapan PLH di sekolah, yaitu persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH. Persepsi guru tentang lingkungan dipandang sebagai representasi penguasaan guru akan materi-materi lingkungan hidup, yang akan mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH, terutama dalam kaitannya dengan kompetensi dan efektivitas diri (self-efficacy) yang dirasakan oleh guru dalam mengajar PLH kepada siswanya. Persepsi guru tentang lingkungan diukur berdasarkan gambaran mental yang dimiliki guru mengenai lingkungan melalui gambar dan definisi lingkungan yang dibuat oleh guru, sedangkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur melalui motivasi dan sikap guru terhadap PLH berdasarkan pernyataan Robbins (2005) bahwa sikap dan motivasi individu terhadap suatu obyek/sasaran tertentu merupakan faktor individu yang mempengaruhi persepsi.

Robbins (2005) juga menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor individu, situasi dan obyek/sasaran, dengan demikian persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH juga dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Data yang akan dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah informasi pribadi guru seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan pengalaman guru serta harapan guru berkaitan dengan PLH.

Faktor situasi menurut Robbins (2003) meliputi waktu, suasana/kondisi kerja dan kondisi sosial. Faktor situasi dalam kaitannya dengan penelitian ini dibatasi pada kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik dibatasi pada ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar, dan alat bantu/media pengajaran. Lingkungan biologis dibatasi pada sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya yang dapat digunakan sebagai sumber dan media pembelajaran bagi siswa, terutama letak sekolah dengan kawasan hutan di dekat sekolah.

(43)

Lingkungan sosial dibatasi pada dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru dalam penerapan PLH.

Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah PLH sebagai sebuah program pengajaran, dengan berbagai faktor terkait seperti kebijakan dan keberadaan kurikulum PLH yang diuraikan dalam mata ajaran, tingkat kelas, materi, metode dan media yang digunakan di sekolah. Alur pikir penelitian ini digambarkan dalam skema kerangka pemikiran (Gambar 4).

Gambar 4 Skema kerangka pemikiran penelitian persepsi guru dalam penerapan pendidikan lingkungan hidup di sekolah.

3.2 Hipotesis

Guru yang memahami kondisi lingkungan hidup di sekitarnya (memiliki persepsi lingkungan yang utuh), memiliki atribut individu positif, dan mengajar pada sekolah yang: berada di sekitar hutan, memiliki kurikulum PLH, serta kondisi lingkungan dan sosial sekolah yang menunjang, akan membuahkan guru dengan persepsi PLH yang tinggi.

PENERAPAN PLH DI SEKOLAH GURU Faktor Individu: Umur Jenis Kelamin Pengalaman (mengajar, organisasi alam)

Pendidikan (formal, non formal) Harapan Persepsi tentang Penyelenggaraan PLH: Motivasi, Sikap Persepsi tentang Lingkungan Faktor Situasi Penerapan PLH di sekolah Faktor Obyek: PLH sebagai Program Pengajaran

(44)

4 BAHAN DAN METODE

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada 4 (empat) sekolah dasar (SD) yang terletak di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE), Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama 3 bulan, mulai Februari – April 2010.

4.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan panduan wawancara, sedangkan alat yang digunakan adalah alat bantu berupa perekam suara, kamera, dan komputer.

4.3 Definisi Operasional

1. Persepsi guru tentang lingkungan diukur berdasarkan gambaran mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.

2. Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah dan sikap guru terhadap PLH.

3. Motivasi guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah diukur berdasarkan minat/kesenangan (interest/enjoyment) guru terhadap PLH, kompetensi yang dirasakan (perceived competence) dalam mengajar PLH, upaya/arti penting (effort/importance) PLH, beban/tekanan (pressure/tension) yang dirasakan dalam mengajar PLH, pilihan (perceived choice) yang dirasa dalam mengajar PLH, serta nilai/kegunaan (value/usefulness) PLH yang dirasakan guru.

4. Sikap guru terhadap PLH diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu self-efficacy (efektivitas diri) dan outcome expectancy (luaran yang diharapkan).

5. Self-efficacy (efektivitas diri) guru dalam PLH adalah persepsi atau kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH secara efektif.

Gambar

Gambar 1  Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003).
Gambar 3  Konsepsi  skematis  sikap  (Rosenberg  dan  Hovland  1960  diacu  dalam  Triandis 1971)
Gambar 4  Skema kerangka pemikiran penelitian persepsi guru dalam penerapan  pendidikan lingkungan hidup di sekolah
Tabel 2  Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berikut hal- hal yang dilakukan peneliti dalam tahap perencanaan adalah (a) menentukan jadwal penelitian, (b) menganalisis kurikulum untuk mengetahui kompetensi

Pandangan sikap tidak ikut campur dalam urusan politik untuk mendukung kehidupan demokratis yang sehat sebanyak 92% prajurit atau 92 responden dari keseluruhan

Penerapan pendekatan matematika realistik (RME) untuk meningkatkan pemahaman matematis pada materi pokok perbandingan dan skala.. Universitas Pendidikan Indonesia |

informasi file, tombol exit untuk keluar form, text key untuk input kunci enkripsi dan dekripsi, jumlah karakter yang akan dienkripsi dan yang telah terdekripsi serta waktu

Pada Gambar 3.1 dijelaskan bahwa pada aplikasi ini terdapat satu aktor dan satu pengguna yang memiliki tujuh kasus penggunaan, yaitu mengubah posisi wayang, memutar

Perbedaan dengan penilitian yang akan dilakukan adalah tujuan penelitian ini untuk mengetahui Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien

: Unit ini berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan oleh karyawan usaha wisata budaya pariwisata dan perjalanan yang berhubungan dengan pengunjung

Hasil penelitian menunjukkan rerata volume saliva sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol meningkat dengan sangat signifikan dari 0,26 mL menjadi 13,37mL