• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN LITERATUR DAN PERUMUSAN HIPOTESIS …

A. Landasan Teori

4. Persepsi Harga

Harga merupakan salah satu atribut yang paling penting untuk dievaluasi oleh konsumen, dan peran manajer harus benar-benar menyadari peran dari pembentukan sikap konsumen terhadap harga (Sangadji dan Sopiah, 2013 : 206). Sangadji dan Sopiah (2013:206) mengatakan bahwa harga dapat digunakan sebagai indikator pengganti kualitas produk, di mana dengan hasil produk yang berharga tinggi maka dapat dipandang positif oleh segmen pasar.

Schiffman and Kanuk (2004 : 186) menjelaskan pula bagaimana konsumen dapat mempersepsikan harga – tinggi, rendah, adil – memiliki pengaruh yang kuat pada niat beli dan kepuasan pembelian. Persepsi konsumen tentang ketidakadilan harga dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap suatu nilai produk dan juga kesediaan konsumen untuk melindungi toko ataupun layanan. Dalam hal ini, Nagle dan Hogan (2006) dalam (Resti dan Soesanto, 2016 : 3) mengatakan bahwa kesesuaian persepsi harga bersifat subyektif, dimana konsumen melihat wajar atau tidak wajarnya harga yang diperoleh dari orang lain atas suatu produk, atau membandingkan persepsi harga yang diperoleh orang lain atas suatu produk.

Harga yang ditentukan hanya berdasarkan pada biaya atau pertimbangan kompetitif kemungkinan tidak mencerminkan nilai pelanggan, yaitu persepsi pelanggan tentang kebenaran nilai dari produk

atau layanan yang akan didapatkan. Ada kemungkinan harga lebh tinggi daripada kesediaan biaya yang dikeluarkan konsumen, tetapi justru akan mengakibatkan hilangnya potensi penjualan dan pangsa pasar (Mullins and Walker, 2010 : 282). Maka dari itu, biasanya perusahaan akan mengembangkan struktur harga dengan menetapkan pedoman untuk mengadaptasi harga dengan variasi biaya dan permintaan di berbagai pasar, guna untuk menentukan tingkat harga yang tepat untuk suatu produk atau layanan jasa, di mana sebagian perusahaan tidak membebankan harga daftar yang sama untuk setiap pelanggan (Mullins and Walker, 2010 : 282).

Menurut Assael (1992 : 647), persepsi harga yang dimiliki oleh konsumen memiliki ekspektasi tersendiri yang disebut sebagai referensi harga, dimana harga yang diperkirakan oleh konsumen untuk membayar item tertentu. Referensi harga ini menyediakan standar atau kerangka referensi yang digabungkan oleh konsumen terkait harga-harga yang ditawarkan oleh merek alternatif tertentu. Assael (1992 : 651) juga mengemukakan bahwa harga cenderung menjadi pengganti kualitas dalam beberapa kasus, yaitu (a) Ketika konsumen percaya terdapat perbedaan kualitas antar produk alternative, (b) ketika konsumen melihat kisaran harga dalam kategori produk, (c) ketika konsumen memiliki pengalaman kecil atau memiliki konsentrasi terhadap produk, dan (d) ketika produk jarang dibeli oleh konsumen.

Nagle and Holden (2002 : 84) mengemukakan bahwa pada umumnya konsumen sering terombang-ambing dalam lautan informasi, sehingga dengan kenyataan seperti itu akan menjadi implikasi yang baik untuk segmentasi pelanggan ataupun untuk mempengaruhi sensitifitas harga konsumen. Dalam hal ini, efek referensi harga dapat menyatakan bahwa konsumen menjadi lebih sensitive terhadap harga yang dirasakan oleh konsumen. Persepsi substitusi menjadi sangat berbeda di antara pelanggan dan situasi pembelian secara menyeluruh, di mana konsumen yang baru saja mengenal suatu pasar akan kurang kesadarannya terhadap diskon daripada konsumen yang memiliki banyak pengalaman. Akibatnya, konsumen yang baru relatif membayar harga lebih tinggi dan juga membeli dari pemasok yang paling terlihat.

Dalam hal ini, persepsi konsumen terhadap substitusi harga tidak selalu didasari oleh kesadaran merek dan harga yang tepat. Kebanyakan konsumen hanya mempertahankan ekspektasi pada umumnya terkait tingkat harga yang masuk akal untuk beberapa kategori produk. Menjadi tidak masuk akan bagi konsumen untuk mengingat jumlah kategori produk dan merek melalui pembelian dengan mempertahankan kesadaran akan informasi tentang harga. Psikolog menyebut ekspektasi tentang persepsi konsumen sebagai referensi ekspektasi harga konsumen (Nagle and Holden, 2002 : 87).

Peter and Olson (2014 : 240) mengidentifikasi empat tipe dasar biaya konsumen yaitu uang, waktu, aktivitas kognitif dan upaya perilaku. Ketika keempat tipe tersebut dipasangkan dengan nilai atau utilitas apa pun yang ditawarkan produk, biaya-biaya tersebut merupakan cara yang nyaman untuk mempertimbangkan arti harga pada konsumen.

a. Uang

Menurut Peter and Olson (2014 : 241), sebenarnya pembelian melalui kartu kredit yang akan didanai 16% sangat berbeda dengan harga jika dibayarkan secara tunai. Bagi konsumen yang terbiasa memiliki saldo kartu kredit yang besar, adanya selisih tersebut mungkin tidak relevan, namun bagi konsumen lainnya, selisih tersebut bisa menghambat atau membuat mereka membatalakan untuk melakukan pembelian. Selain itu juga, jenis kerja konsumen juga akan mempengaruhi nilai sejumlah uang bagi mereka, dan akan mempengaruhi mereka untuk membelanjakan uang tersebut pada suatu produk atau jasa.

b. Waktu

Waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu produk atau jasa dan melakukan proses untuk membelinya, serta waktu yang digunakan untuk berbelanja di toko merupakan biaya yang penting bagi konsumen (Peter and Olson, 2014 : 242). Pada umumnya, konsumen memiliki kesadaran bahwa toko kelontong biasanya akan

menetapkan harga yang lebih tinggi daripada toko serba ada. Berbelanja di toko kelontong bisa menghemat waktu karena hanya memerlukan waktu yang singkat karena biasanya berada di dekat rumah, sehingga mengurangi waktu perjalanan untuk mencapai toko. c. Kegiatan Kognitif

Salah satu biaya yang sering diabaikan oleh konsumen dalam pembelian adalah kegiatan kognitif, dimana berpikir dan memutuskan apa yang akan dibeli akan menjadi pekerjaan yang berat. Menurut Peter and Olson (2014 : 243), sebagian konsumen akan menjadikan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan ketika konsumen harus mencari tempat parkir, belanja di mal dan toko yang penuh manusia, berdiri di antrean panjang dan melihat iklan-iklan yang meresahkan. Peter and Olson (2014 : 244) menduga meskipun konsumen menikmati masa di mana mereka tidak cukup tertantang untuk menggunakan energy atau kemampuan kognitif, konsumen justru berusaha untuk memecahkan masalah pembelian untuk hiburan mereka sendiri.

d. Upaya Perilaku

Konsumen yang menghabiskan beberapa jam untuk berjalan-jalan di mal dapat membuktikan bahwa pembelian melibatkan upaya perilaku (Peter and Olson, 2014 : 244). Upaya perilaku juga dapat menjadi manfaat daripada biaya. Yang menjadi aspek menarik adalah

kesediaan konsumen untuk mengambil biaya pemasaran untuk mengurangi jumlah dolar yang mereka keluarkan dan untuk membuat pertukaran antar berbagai jenis biaya. Peter and Olson (2014 : 244) menjabarkan empat pilihan dalam membeli oleh konsumen, yaitu (a) konsumen bisa membeli produk dan menikmati manfaat serta mengeluarkan biaya lainnya, (b) konsumen dapat menyewa barang dan menikmati manfaatnya tetapi tidak bisa memiliki dan seringkali mengurangi sejumlah biaya, (c) konsumen dapat menyewa orang lain untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan menggunakan produk tersebut dan tidak perlu memiliki produk dan juga mengeluarkan biaya purnajual, dan (d) konsumen dapat membeli produk dan menyewa orang untuk memakai dan merawat produk untuk kepentingan mereka. 5. Niat Beli Ulang

Menurut Hawkins and Mothersbaugh (2010 : 641), pembelian ulang dari merek yang sama belum tentu memiliki ikatan emosional dengan merek tersebut. Konsumen biasanya membeli merek tertentu karena kebiasaan atau karena sudah tersedia di mana mereka berbelanja atau karena memiliki harga terendah. Kesetiaan pada merek atau disebut loyalitas merek didefinisikan sebagai respon perilaku yang bias (non-random, yaitu pembelian / rekomendasi) yang diungkapkan dari waktu ke waktu oleh unit pengambilan keputusan yang berkenan dengan satu atau lebih alternatif dari satu set merek yang memilki fungsi proses psikologis.

Menurut Peyrot and Van Doren (1994) dalam Ibzan (2016 : 97), pembelian kembali didefinisikan sebagai perilaku aktual dari konsumen yang mengakibatkan pembelian produk ataupun layanan jasa yang sama lebih dari satu kali. Mayoritas pembelian konsumen tersebut adalah pembelian berulang yang potensial.

Konsumen yang merasa puas terhadap suatu produk / jasa yang dibeli dan digunakan, akan menggunakan kembali produk / jasa yang ditawarkan. Menurut Zeithaml dan Bitner (2005) dalam Sangadji dan Sopiah (2013:180), kepuasan konsumen merupakan evaluasi konsumen terhadap suatu produk.jasa dalam hal yang terkait apakah produk.jasa tersebut telah memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Sedangkan menurut Kivets dan Simonson (2002) dalam Sangadji dan Sopiah (2013 : 182), kepuasan konsumen dapat menjalin hubungan yang harmonis antara produsen dan konsumen, dimana menciptakan dasar yang baik bagi pembelian ulang serta munculnya loyalitas konsumen, membentukn rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang dapat menguntungkan perusahaan produk / jasa.

Menurut Ibzan, Balarabe dan Jakada (2016) dalam Nguyen dan Trang (2018 : 81), pembelian kembali digambarkan sebagai tindakan nyata dari seorang konsumen dalam membeli atau menggunakan produk kembali. Ketika konsumen kembali membeli barang tertentu, maka berpotensi untuk mengulangi pembelian, artinya bahwa konsumen

berulang kali mengkonsumsi layanan atau produk serupa dari produsen yang sama. Tindakan niat beli ulang menunjukkan keputusan konsumen untuk terlibat dalam kegiatan di masa depan dengan pengecer ataupun pemasok (Mort Hume, dan Winzar, 2007).

Menurut Ferdinand (2002) dalam Hadani (2008 : 132) minat beli ulang dapat diidentifikasikan melalui indikator-indikator sebagai berikut : a. Minat transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk membeli

ulang produk yang telah dikonsumsinya.

b. Minat referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk mereferensikan produk yang sudah dibelinya, agar juga dibeli orang lain dengan referensi pengalaman konsumsinya.

c. Minat prefensial, yaitu minat yang menggambarkan perilaku sesorang yang selalu memiliki preferensi utama pada produk yang telah dikonsumsinya, preferensi ini hanyadapat diganti bila terjadi sesuatu dengan produk referensinya.

d. Minat eksploratif, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang selalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk yang ditanganinya.

Phau dan Teah (2009) dalam Kadi (2016 : 212) mengatakan bahwa niat beli ulang merupakan penentu perilaku pembelian konsumen, dimana minat pembelian ditentukan oleh sikap konsumen itu sendiri. Sedangkan

Ghosh (1990) juga mengatakan bahwa niat beli ulang merupakan alat yang cukup efektif untuk memprediksi proses pembelian konsumen. Niat pembelian konsumen ini biasanya muncul karena pengaruh persepsi harga, persepsi kualitas dan persepsi nilai, menurut Zeithaml (1988) dalam Kadi (2016 : 213).

B. Hipotesis

Dari penjelasan teori diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sikap terhadap K-Pop pada niat beli ulang produk perawatan kulit yang dimediasi oleh persepsi harga

Menurut Hawkins and Mothersbaugh (2014 : 384) sikap konsumen merupakan cara seseorang berpikir, merasakan dan bertindak terhadap aspek-aspek lingkungan, seperti toko ritel, produk dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Lamber (1964) dalam Henderson (1966 : 138), sikap mempengaruhi penilaian dan persepsi konsumen, efisiensi dalam belajar, reaksi konsumen terhadap orang lain dan filosofi dasar hidup konsumen. Niat beli ulang didefinisikan sebagai perilaku aktual dari konsumen yang mengakibatkan pembelian produk atau layanan jasa yang sama lebih dari satu kali, menurut Peyrot and Van Doren (1994) dalam Ibzan (2016 : 97), dan menurut Ibzan, Balarabe dan Jakada (2016) dalam Nguyen dan Trang (2018) pembelian kembali digambarkan sebagai tindakan nyata dari

seorang konsumen dalam membeli atau menggunakan produk yang sama kembali.

James and Christodoulidou (2011) mengatakan bahwa sikap berpengaruh secara signifikan terhadap niat beli ulang konsumen dalam penelitiannya tentang konsumsi wine di Southern California. Kazemi (2013) juga mengatakan bahwa sikap berpengaruh positif terhadap niat beli ulang dalam penelitiannya tentang pengaruh ekuitas pelanggan terhadap niat beli ulang. Dewi dan Ardani (2016 : 673) mengatakan bahwa sikap berpengaruh positif signifikan terhadap niat beli ulang produk fashion di kota Denpasar. Penelitian yang dilakukan oleh Rilantiana dan Wardhana menunjukkan bahwa sikap atas iklan mempunyai pengaruh terhadap niat beli ulang produk rokok pada pelajar di Gresik, hanya saja pengaruhnya relatif kecil. Menurut Wijaya (2014) dalam melakukan penelitian menemukan bahwa sikap konsumen terhadap suatu merek dapat meningkatkan niat beli ulang konsumen pada produk tersebut. Hasil penelitian yang diteliti oleh Ain dan Ratnasari (2015 : 565) menunjukkan bahwa sikap berpengaruh secara signifikan terhadap niat beli ulang, dimana sikap konsumen timbul sebagai respon dari konsumen pada produk busana yang diteliti.

Penelitian yang dilakukan oleh Fraj dan Martinez (2006) mengatakan bahwa meskipun orang memiliki pengetahuan yang cukup dan sangat menaruh perhatian terhadap masalah lingkungan, harga dan

kualitas masih yang paling penting menjadi pertimbangan konsumen saat membuat keputusan. Sedangkan hasil yang ditemukan oleh Indrawati dan Suparna (2015 : 1828) adalah persepsi harga berperan memoderasi pengaruh pengetahuan tentang produk terhadap niat beli produk ramah lingkungan. Persepsi harga memperlemah pengetahuan tentang produk terhadap niat beli produk ramah lingkungan. Hal ini diperkirakan yang membuat persepsi harga justru memperlemah pengetahuan tentang produk terhadap niat beli produk ramah lingkungan adalah karena terjadi karakteristik yang unik dimana konsumen menyukai harga yang relatif murah namun mempertanyakan kualitas dari produk tersebut. Persepsi harga dapat memediasi sikap terhadap K-Pop pada niat beli ulang produk perawatan kulit, dimana konsumen akan memperhatikan persepi harga sebelum melakukan pembelian ulang. Maka, hipotesis penelitian ini adalah

H1 (a - d) : Sikap terhadap K-Pop berpengaruh pada niat beli ulang produk perawatan kulit yang dimediasi oleh persepsi harga

2. Citra toko pada niat beli ulang produk perawatan kulit yang dimediasi oleh persepsi harga

Peter and Olson (1014 : 265) mengatakan bahwa citra toko biasanya dinilai dengan menanyakan pada konsumen, sebagus dan sepenting apa berbagai aspek pada operasi toko tersebut. Sedangkan

menurut Berman dan Evans (1995) dalam Herdioko dan Widya (2019 : 53), citra toko merupakan gabungan dari aspek fungsional dan emosional konsumen, yaitu pengalaman terdahulu konsumen dengan toko yang secara langsung berpengaruh terhadap kepuasan konsumen. Niat beli ulang didefinisikan sebagai perilaku aktual dari konsumen yang mengakibatkan pembelian produk atau layanan jasa yang sama lebih dari satu kali, menurut Peyrot and Van Doren (1994) dalam Ibzan (2016 : 97).

Hasil penelitian oleh Koo (2003) mengatakan bahwa secara keseluruhan, citra toko memiliki pengaruh terjadap loyalitas, dimana niat beli ulang merupakan salah satu indikator loyalitas yang paling dipengaruhi. Penelitian Nurlistiyo menemukan bahwa citra toko berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli ulang pada Mirota Batik Yogyakarta, dijelaskan bahwa pelanggan mendapatkan persepsi yang positif akan suatu ritel melalui citra tokonya, maka pelanggan tidak akan ragu untuk berkunjung kembali dan berniat untuk melakukan pembelian secara berulang. Hasil penelitian Yulianti (2014) mengatakan bahwa citra toko berpengaruh positif bagi niat beli ulang pada Circle K di Kota Denpasar. Penelitian yang ditemukan oleh crre (sr) juga menunjukkan bahwa citra toko secara signifikan berpengaruh positif terhadap niat beli ulang. Santikayasa dan Santika (2019 : 8130) juga menemukan bahwa citra toko berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli ulang Carrefour.

Menurut penelitian Yungki (2010) dalam (Putu dan Ida, 2019), dikatakan bahwa persepsi harga mampu memediasi pengaruh citra toko terhadap niat beli konsumen. Ria dan Gatot (2014) dalam (Putu dan Ida, 2019) juga membuktikan terdapat peran mediasi persepsi harga dalam menciptakan pengaruh citra toko terhadap niat beli konsumen. Hasil yang ditemukan oleh Putu dan Ida (2019, 1688) yaitu bahwa persepsi harga dapat memediasi pengaruh citra toko terhadap niat beli konsumen. Parisa (2014) menyatakan dalam hasil penelitiannya, bahwa persepsi harga mampu memediasi pengaruh positif citra merek terhadap niat beli konsumen. Persepsi harga sebagai variabel mediasi dapat memperlemah atau memperkuat pandangan konsumen terhadap citra toko produk perawatan kulit. Maka hipotesis penelitian ini adalah

H2 (b - d) : Citra toko berpengaruh pada niat beli ulang produk perawatan kulit yang dimediasi oleh persepsi harga

3. Perilaku mencari vanitas pada niat beli ulang produk perawatan kulit yang dimediasi oleh persepsi harga

Netemeyer dalam Huang (2013: 7) mengatakan bahwa kesombongan fisik atau vanitas didefinisikan sebagai perhatian berlebih untuk dan/atau pandangan positif terhadap penampilan fisik seseorang. Sedangkan menurut Tim Flynn, perilaku mencari vanitas dijelaskan sebagai konsumen yang menggunakan penampilan untuk mendapatkan

apa yang mereka inginkan, mementingkan diri sendiri dan percaya bahwa mereka dapat memperoleh apa saja yang mereka inginkan karena penampilan mereka. LeBel juga menjelaskan terkait perilaku mencari kesombongan, yaitu persepsi positif konsumen yang terlalu ditekan dan persepsi negatif konsumen yang kurang ditekan. Niat beli ulang didefinisikan sebagai perilaku aktual dari konsumen yang mengakibatkan pembelian produk atau layanan jasa yang sama lebih dari satu kali, menurut Peyrot and Van Doren (1994) dalam Ibzan (2016 : 97). Niat beli ulang merupakan tindakan pasca pembelian yang disebabkan oleh adanya kepuasan yang dirasakan oleh konsumen atas produk atau jasa yang dibeli atau dikonsumsi. Schifman dan Kanuk (2004 : 73) dalam Ain dan Ratnasari (2015 : 558) menjelaskan bahwa niat beli ulang merupakan rencana konsumen yang mendorong kesediaan pribadi untuk melakukan pembelian ulang atas produk yang sudah pernah dibeli.

Konsumen akan memberikan penilaian objektif terhadap persepsi harga, untuk menciptakan merek yang positif, dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap intensitas pembelian konsumen pie susu di Kota Denpasar (Arini dan Sudiksa, 2019 : 1690). Perilaku mencari vanitas dapat menimbulkan efek perilaku untuk memunculkan niat beli ulang produk kecantikan kulit, dimana konsumen juga harus memperhatikan persepsi harga yang sudah disesuaikan dengan tingkat vanitas yang dimiliki oleh konsumen. Maka hipotesis penelitian ini adalah

H3 (c - d) : Perilaku mencari vanitas berpengaruh pada niat beli ulang produk perawatan kulit yang dimediasi oleh persepsi harga

C. Kerangka Penelitian Gambar II.2 Kerangka Penelitian Sikap Terhadap K-Pop Citra Toko Perilaku Mencari Vanitas

48

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif deskriptif yaitu penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan data yang menggambarkan karakteristik orang, peristiwa atau situasi (Sekaran and Bougie, 2013 : 97). Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian survey deskriptif yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang suatu kelompok subjek dengan mengajukan pertanyaan menggunakan kuesioner dan menabulasikan jawaban mereka (Leedy and Ormrod, 2005). Cresswell (2009) menjabarkan terkait jenis survey cross-sectional yang bertujuan untuk mengukur kelompok responden dengan satu atau lebih karakteristik yang berbeda.

B. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek penelitian ini adalah konsumen yang sudah pernah menggunakan dan membeli produk perawatan kulit dari Nature Republic dan Innisfree. 2. Unit analisis penelitian ini adalah sikap terhadap K-Pop, citra toko, perilaku

mencari kesombongan, persepsi harga dan niat beli ulang. C. Jenis Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data primer. Menurut Sekaran and Bougie (2014 : 113), data primer diperoleh dari informasi tangan pertama

peneliti untuk penelitian yang spesifik. Data primer menyediakan informasi yang didapatkan dari interview, mengelola kuesioner dan observasi.

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi menurut Sekaran and Bougie (2014 : 240), populasi mengacu kepada seluruh kelompok orang, peristiwa, atau hal-hal menarik yang ingin peneliti selidiki. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh konsumen yang sudah pernah menggunakan dan membeli produk perawatan kulit Nature Republic atau Innisfree.

2. Sampel

Sampel menurut Sekaran and Bougie (2014 : 231), sample merupakan bagian dari populasi, terdiri dari beberapa anggota yang dipilih. Dengan kata lain, beberapa tetapi tidak semua elemen populasi dari sampel. Metode penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode nonprobability sampling, dengan teknik purposive sampling.

Purposive sampling menurut Sekaran and Bougie (2013 : 252) merupakan pengambilan sampel yang terbatas pada tipe narasumber tertentu yang dapat memberikan informasi yang diinginkan oleh peneliti, baik karena mereka satu-satunya yang memilikinya, atau mereka sesuai dengan beberapa kriteria yang ditetapkan oleh peneliti. Kriteria yang ditentukan oleh peneliti :

a. Sudah menggunakan produk skincare Nature Republic atau Innisfree minimal 3 bulan terakhir.

b. Terakhir membeli produk skincare Nature Republic atau Innisfree minimal 3 bulan terakhir.

E. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai sarana dalam pengumpulan data yang akan diisi oleh narasumber yang bersangkutan dengan penelitian ini. Kuesioner akan diberikan kepada konsumen, dengan 5 pilihan jawaban menggunakan Skala Likert. Menurut Cooper and Schindler (2006 : 40) skala Likert merupakan skala rating akhir yang terdiri dari pernyataan konsumen yang menjabarkan sikap menyenangkan ataupun sikap tidak menyenangkan terhadap obyek yang sedang diamati. Skala Likert yang digunakan dalam kuesioner yaitu

1 = STS (Sangat Tidak Setuju) 2 = TS (Tidak Setuju) 3 = N (Netral) 4 = S (Setuju) 5 = SS (Sangat Setuju) F. Variabel Penelitian 1. Variabel Independen (X)

Variabel independent menurut Sekaran dan Bougie (2013 : 70) adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen secara positif atau

negatif. Setiap peningkatan atau penurunan dalam variabel independen, maka akan terjadi peningkatan atau penurunan dalam variabel dependen pula.Variabel independen dalam penelitian ini adalah sikap konsumen , citra toko , dan perilaku mencari vanitas.

2. Variabel Dependen (Y)

Variabel dependen menurut Sekaran dan Bougie (2013 : 89) adalah minat utama yang ingin diteliti oleh peneliti. Tujuan peneliti adalah untuk memahami dan menggambarkan tentang variabel dependen, atau untuk menjelaskan variabilitasnya, atau untuk memprediksi kebenaran dari variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah “niat beli ulang (Y)”.

3. Variabel Mediasi (M)

Variabel mediasi menurut Sekaran dan Bougie (2013 : 75) adalah variabel yang muncul di antara kurun waktu dari variabel independen, kemudian mulai beroperasi untuk mempengaruhi variabel dependen. Variabel mediasi dapat membantu peneliti untuk membuat konsep dan menjelaskan pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen. Variabel mediasi dalam penelitian ini adalah “persepsi harga (M)”.

G. Definisi Operasional

1. Sikap Konsumen terhadap K-Pop

Secara konseptual, sikap konsumen menurut Assael (1992) adalah kecenderungan yang dipelajari oleh konsumen untuk mengevaluasi merek dengan cara yang konsisten menguntungkan atau tidak menguntungkan, yaitu konsumen mengevaluasi merek tertentu secara keseluruhan dari yang sangat buruk sampai yang sangat baik. Indikator dari sikap konsumen adalah sebagai berikut :

a. Produk kesenian Korea berkualitas

b. Saya tahu bahwa Korea menerbitkan idol yang berkualitas c. Saya mengikuti perkembangan idol Korea

d. Korea memiliki artis yang berkualitas e. Saya tertarik dengan kesenian Pop Korea

Dokumen terkait