• Tidak ada hasil yang ditemukan

TPA/TPST

2) Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005

2.3. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat

Konsep “persepsi” pada dasarnya merupakan konsep dan kajian Psikologi. Persepsi merupakan pandangan individu terhadap suatu obyek. Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut (Sarwono, 1995). Merton (1982) menyatakan bahwa individu tidak hanya merespon situasi obyektif, tetapi juga memberi makna situasi tersebut menurut kepentingannya (Sztompka, 2004). Dalam konteks persepsi terhadap pengelolaan sampah permukiman misalnya, respon tersebut dapat digunakan sebagai indikator bagaimana individu menilai suatu program pengelolaan sampah, sehingga dapat diidentifikasi kendala yang mungkin muncul dari persepsi tersebut dalam implementasi pengelolaan sampah tersebut.

Definisi lain dari persepsi adalah proses kognitif yang dapat terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan maupun penciuman. Persepsi merupakan penafsiran unik terhadap suatu situasi, bukan

merupakan suatu pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut. Thoha (1988) secara implisit menyebutkan bahwa informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu persepsi, walau informasi tentang lingkungan juga dapat berupa suatu situasi tertentu, tidak harus berupa rangkaian kalimat, atau isyarat lain (Harihanto, 2001).

Krech dan Crutchfield (1977) menyatakan bahwa persepsi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional, atau sering disebut sebagai faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang biasa disebut sebagai faktor personal, seperti suasana emosional, latar belakang budaya dan kesiapan mental. Selain itu, kerangka rujukan (frame of reference) dapat mempengaruhi persepsi melalui cara memberikan interpretasi perseptual terhadap suatu obyek. Faktor struktural berkaitan dengan sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem individu. Individu mengorganisasikan stimulus sesuai dengan konteksnya, sehingga walaupun stimulus yang diterima tidak lengkap, individu akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimulus yang dipersepsi (Rakhmat, 2000a). Meskipun demikian, kemampuan individu relatif terbatas dalam menyerap stimulus, karena adanya filter perseptual, yaitu keterbatasan fisiologis yang terbentuk dalam diri manusia, atau dengan kata lain, keterbatasan kemampuan mempersepsi seperti tingkat kecermatan penginderaan yang tidak sama pada setiap orang. Filter lainnya adalah filter psikologis yaitu harapan atau kecenderungan dalam memberi respon, yang berpengaruh terhadap cara seseorang mempersepsi suatu obyek, misalnya seorang yang defensif akan cenderung mengartikan suatu obyek secara negatif (Tubbs dan Moss, 2001).

Penelitian mengenai persepsi terhadap lingkungan diperlukan untuk mengoptimalkan kualitas lingkungan sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakannya. Persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi, ataupun keinginan terhadap suatu kualitas lingkungan tertentu sebaiknya dipahami secara subyektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosiokultural masyarakat. Dengan demikian, kualitas lingkungan harus didefinisikan secara umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Pandangan tersebut menyempurnakan pandangan sebelumnya yang mengartikan kualitas lingkungan hanya dari aspek fisik, biologi dan kimia saja (Sarwono, 1995).

Proses terbentuknya persepsi menurut pendekatan fungsionalis diilustrasikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Modifikasi dari Asngari (1984) pada Proses Terbentuknya Persepsi Model Literrer (Harihanto, 2001)

Seperti halnya konsep persepsi, telah banyak definisi mengenai “sikap”. Umumnya definisi-definisi tersebut menggambarkan sikap sebagai kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu obyek. Mc.Guire (1969) mendefinisikan sikap sebagai respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan (Sarwono, 1995). Obyek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang dan lain-lain) yang bisa dinilai oleh manusia. Dimensi pertimbangan sikap adalah semua skala positif-negatif, yaitu dari baik ke buruk, dari haram ke halal, dari sah ke tidak sah, dari setuju ke tidak setuju dan semacamnya. Dengan demikian, sikap adalah menempatkan suatu obyek ke dalam salah satu skala tersebut. Berbeda dengan definisi-definisi lain yang umumnya menganggap sikap sebagai potensi atau calon tingkah laku, definisi tersebut menganggap sikap sudah sebagai respon, sehingga sikap adalah juga perilaku. Sebagai dimensi pertimbangannya adalah skala positif-negatif, mulai dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju terhadap sejumlah pernyataan verbal mengenai kualitas lingkungan. Apabila sikap akan dimasukkan sebagai perilaku, maka lebih merujuk kepada perilaku yang tidak kasat indera atau covert behavior (Sarwono, 1995). Dari berbagai definisi dapat disimpulkan beberapa hal mengenai sikap (Rakhmat, 2000a) sebagai berikut, Pengalaman Informasi sampai kepada individu Persepsi Perilaku Penafsiran Seleksi Pengorganisasian

1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap berupa benda, orang, gagasan, tempat, situasi atau kelompok.

2. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apa yang diinginkan, dihindari, dikesampingkan, dan lain-lain.

3. Sikap relatif lebih menetap.

4. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai suka atau tidak suka, menyenangkan atau tidak menyenangkan.

5. Sikap timbul dari pengalaman dan merupakan hasil belajar, sehingga dapat diperteguh atau diubah.

Perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor-faktor personal dan faktor-faktor situasional dalam kerangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu (Lionberger dan Gwin, 1982). Dengan kata lain, menurut pendekatan interaksionis, perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam (inside factor) dan faktor luar (outside factor). Faktor dalam yang bersifat fisik terutama adalah otak, hormon, sistem syaraf dan gen, sedangkan yang bersifat psikis adalah persepsi, kepribadian, mental, intelektual, ego, moral, keyakinan dan motivasi. Faktor luar yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor sosial budaya, sosial ekonomi, dan lingkungan fisik seperti pendidikan, pengetahuan, penghargaan sosial, hukuman, kebudayaan, norma sosial, tekanan lingkungan (kemiskinan, diskriminasi, dan sebagainya), model

(panutan), input informasi, kohesi kelompok, dukungan sosial (social

reinforcement), agama, ekonomi, politik, pola perilaku kelompok (patterns of behavior) serta status dan peranan individu dalam masyarakat. Di samping itu, sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia dan sikap

sangat menentukan perilaku (behavior) seseorang. Sikap juga sangat

mempengaruhi tanggapan seseorang terhadap masalah kemasyarakatan, termasuk masalah lingkungan (Harihanto, 2001). Secara umum, Proteus (1977) menyebutkan bahwa perilaku atau tindakan seseorang juga dapat dimotivasi oleh faktor fungsional, struktural dan eksistensial (Fithri, 1995).

Dalam menilai penyebab atau atribusi perilaku individu, perlu diperhatikan tiga hal, yaitu konsensus, konsistensi dan keberbedaan

(distinctiveness). Dalam prinsip konsensus, penilaian perilaku didasarkan pada kesesuaiannya dengan konsensus umum, dan apabila perilakunya tidak sesuai dengan konsensus umum, maka cenderung dikatakan bahwa perilaku tersebut disebabkan oleh faktor internal tertentu. Dalam prinsip konsistensi yang diperhatikan adalah pengulangan perilaku individu pada situasi yang serupa, sedangkan dalam prinsip keberbedaan, yang diperhatikan adalah perilaku individu yang sama pada situasi yang berbeda. Dari ketiga hal tersebut dapat dinilai faktor mana yang lebih mempengaruhi perilaku seseorang, apakah faktor internal atau faktor eksternal (DeVito, 1997).

Model hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku dikemukakan oleh Ajzen (2007) seperti terlihat pada Gambar 4. Menurut model tersebut, keyakinan terhadap akibat perilaku tertentu merupakan komponen yang berisi aspek pengetahuan tentang perilaku tersebut. Seseorang yang menentang praktik-praktik pencemaran lingkungan, akan mengambil tindakan yang searah dengan sikapnya tersebut, misalnya membeli produk yang ramah lingkungan dan kemasannya dapat didaur ulang, dan lain-lain. Meskipun demikian, faktor eksternal dapat berpengaruh terhadap perilaku yang muncul karena tidak ada dukungan yang memadai dalam pelaksanaannya, seperti fasilitas pendukung yang tersedia dan penegakan hukum.

Gambar 4. Model Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, Niat dan Perilaku (Ajzen, 2007) Keyakinan terhadap akibat dari perilaku tertentu Keyakinan normatif terhadap akibat dari perilaku tertentu Sikap terhadap perilaku tertentu P E R I L A K U Niat untuk melakukan perilaku tertentu Norma Subyektif tentang Perilaku tertentu