• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi tentang Kontribusi Perusahaan terhadap Nelayan

Impact Assessment

5.1.2. Persepsi terhadap Kegiatan Migas di Laut

5.1.2.4. Persepsi tentang Kontribusi Perusahaan terhadap Nelayan

Persepsi nelayan tentang kontribusi perusahaan terhadap kehidupan sosial

ekonomi nelayan ditunjukkan oleh Gambar 38. Secara umum, nelayan belum

merasakan adanya konstribusi sosial-ekonomi yang diberikan oleh perusahaan migas yang beroperasi di wilayah mereka. Informasi serupa diperoleh pula dari pihak pengurus KUD dan TPI. Namun, dari hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat kerjasama berupa bantuan infrastruktur antara perusahaan migas dengan pihak dinas pendidikan di beberapa sekolah yang difungsikan oleh masyarakat. Kontribusi tersebut baru dirasakan oleh sebagian kecil masyarakat. Persentase persepsi tentang kontribusi sosial dan ekonomi yang diberikan oleh pihak perusahaan terhadap nelayan disampaikan pada Gambar 38.

74 26 100 0 100 0 90 10 100 0 0 20 40 60 80 100 120 Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Kontrib us i P en didika n Kontribu si K es ehatan K ontribusi Ekonomi Kon tr ibusi Infras truktur Kontrib us i La pang an Kerj a Persentase Persepsi (%) P a ra m e te r P e rs ep s i

Gambar 38. Persepsi tentang kontribusi sosial ekonomi perusahaan migas terhadap masyarakat nelayan di sekitarnya.

Dari hasil yang diperoleh pada kajian persepsi maka dapat dikatakan bahwa kondisi umum perkembangan penangkapan ikan di area migas dan area non migas adalah relatif sama. Hal ini disebabkan oleh kondisi dan karakteristik lingkungan (biofiskim dan sosial ekonomi) pesisir yang berada dalam satu garis pantai dengan jenis alat tangkap dan kebiasaan trip yang relatif sama. Rangkuman persepsi tersebut disampaikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil penelitian untuk parameter persepsi nelayan No. Parameter Persepsi Hasil Penelitian 1. Kondisi umum kegiatan penangkapan ikan.

Kondisi perikanan tangkap dianggap telah mengalami penurunan produktivitas, baik dari segi efisiensi waktu dan biaya, maupun hasil tangkapan per trip. Faktor cuaca dianggap sebagai faktor kendala utama.

2. Kondisi konflik dan potensi konflik nelayan.

Konflik yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh persoalan terkait dengan persaingan daerah penangkapan ikan (DPI), dan persaingan alat tangkap. Konflik ini umumnya terkait dengan penggunaan alat tangkap yang dianggap tidak ramah lingkungan dan dapat menguras sumber daya ikan yang dinilai dapat mempengaruhi produktivitas alat lain.

Konflik lainnya yang terjadi di Karawang adalah konflik terkait dengan keberadaan zona larangan di sekitar anjungan produksi migas di laut.

3. Keberadaan anjungan produksi migas di laut.

Terdapat tanggapan positif tentang pengaruh anjungan produksi migas di laut terhadap ikan, yaitu sebagai habitat ikan. Nelayan meyakini bahwa di area anjungan terdapat banyak ikan dengan ukuran dan nilai ekonomi yang mahal. Namun terdapat keresahan nelayan terkait dengan bahaya kegiatan dan keberadaan api flare di anjungan produksi tersebut. 4. Pemberlakuan zona larangan radius 500 meter di sekitar anjungan migas di laut.

Terdapat persepsi negatif nelayan payang dan pancing terkait dengan pemberlakuan zona larangan radius 500 m. Persepsi negatif tersebut disebabkan oleh tingginya intensitas nelayan terhadap area perairan, dimana lokasi anjungan dianggap sebagai area penangkapan ikan terbaik (fishing ground utama).

Adanya pemberlakuan zona larangan radius 500 m dinilai berpengaruh pada pengurangan DPI yang mengakibatkan tingginya persaingan antar nelayan sehingga berdampak pada penurunan pendapatan per trip. Kondisi ini sangat meresahkan nelayan payang, mengingat jumlah anjungan dengan ketentuan operasional yang sama di pesisir Karawang sudah relatif banyak.

5. Kecelakaan yang pernah terjadi terkait dengan anjungan migas di laut.

Diperoleh informasi tentang 2 kasus kecelakaan yang pernah terjadi di sekitar anjungan, yaitu kecelakaan perahu payang dan kecelakaan nelayan pancing. Kedua kecelakaan terjadi dengan modus kebakaran perahu dan menyebabkan beberapa diantaranya meninggal dunia.

6. Kontribusi sosial dan ekonomi perusahaan terhadap nelayan

Diperoleh informasi bahwa tidak dirasakannya kontribusi yang diberikan oleh perusahaan terhadap kehidupan sosial-ekonomi nelayan lokal. Manfaat kontribusi yang telah diberikan belum dirasakan secara langsung oleh nelayan.

Hasil analisis persepsi terkait dengan konflik, menunjukkan bahwa keberadaan kegiatan migas di laut telah dirasakan membatasi keleluasaan kegiatan penangkapan ikan kelompok nelayan alat tangkap payang lampu dan pancing. Kondisi ini dapat menjadi pemicu konflik dalam tingkat eskalasi yang lebih tinggi ketika nelayan dihadapkan pada kondisi kelangkaan hasil tangkapan. Kelangkaan hasil tangkapan secara langsung akan berdampak pada peningkatan sensitivitas nelayan. Potensi konflik akan semakin rentan ketika nelayan tidak memiliki alternatif mata pencaharian selain menangkap ikan. Pada kondisi yang terakumulasi, yang dipicu dengan kondisi hasil tangkapan pada saat musim paceklik, maka keberadaan kegiatan migas di laut akan sangat mudah untuk menerima respon negatif nelayan yang berdampak pada inefisiensi kegiatan. Inefisiensi ini akan terjadi pada kedua belah pihak kegiatan, baik kegiatan migas itu sendiri maupun kegiatan penangkapan ikan yang diusahakan oleh nelayan lokal. Pada kasus yang diangkat dalam penelitian ini, keberadaan anjungan produksi migas di laut menimbulkan persepsi negatif terhadap produktivitas nelayan payang lampu dan pancing. Jika ditinjau dari jumlah persentase, maka persentase persepsi negatif tersebut relatif kecil, namun dengan intensitas yang cukup tinggi. Intensitas tinggi disebabkan oleh lokasi anjungan produksi migas yang berada di area penangkapan utama alat payang lampu, serta melibatkan jumlah ABK yang cukup banyak (rata-rata 12-14 orang per unit armada). Dengan kata lain, tingkat ketergantungan nelayan terhadap area ini cukup tinggi.

Beberapa asumsi yang dikemuukakan oleh nelayan terkait dengan pengaruh anjungan produksi migas di laut terhadap sumber daya ikan, yaitu:

ƒ Bentuk dan design anjungan yang menyerupai FAD (Fish Agregating

Device) dengan kondisi durasi waktu yang sudah cukup lama diduga dapat menjadi habitat yang baik bagi ikan target nelayan

ƒ Adanya buangan limbah organik berupa limbah dapur dan akomodasi tenaga

kerja diduga menjadi faktor pendukung yang dapat menarik ikan untuk berkumpul di anjungan.

ƒ Adanya rangkaian kabel dengan perbedaan suhu di air, menciptakan habitat

ƒ Adanya efek pencahayaan dari anjungan yang berasal dari cahaya lampu dan

flarestack diduga menjadi pemicu daya tarik ikan pada malam hari. Asumsi ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Laevastu dan Hayes (1991) yang menyatakan bahwa cahaya dengan segala aspek yang dikandung dapat mempengaruhi tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis pada kekuatan cahaya 0,01-0,001 lux sekalipun. Gunarso, 1985 menemukan bahwa warna cahaya yang baik digunakan untuk menarik dan mengumpulkan ikan adalah warna cahaya biru, kuning dan merah. Jika dianalogikan maka hasil penelitian tersebut dapat memberi gambaran bagaimana pencahayaan di anjungan produksi migas di laut dapat menjadi daya tarik bagi ikan untuk berkumpul di sekitar anjungan.

Asumsi-asumsi tersebut cenderung positif terhadap kondisi ikan, namun dengan adanya pemberlakuan zona aman kegiatan pada radius 500 m di sekitar anjungan, maka menyebabkan terbatasnya ruang gerak nelayan untuk mengakses ikan yang diyakini sudah berkumpul di sekitar anjungan. Kondisi ini dianggap semakin mempersulit peluang tertangkapnya ikan oleh nelayan di luar area larangan. Kekhawatiran dengan intensitas tinggi dialami oleh nelayan payang lampu yang cenderung melakukan penangkapan ikan pada malam hari dan pada saat gelap bulan. Adanya pencahayaan dari anjungan, dirasakan akan semakin mempersulit upaya nelayan dalam menangkap ikan. Secara tidak langsung, nelayan dipaksa untuk mampu mengerahkan upaya yang lebih tinggi untuk mengimbangi cahaya lampu dari anjungan. Dengan demikian diperkirakan ikan akan dapat keluar dari anjungan menuju cahaya lampu payang yang digunakan oleh nelayan. Teknik ini membutuhkan tambahan biaya operasional yang cukup tinggi, sehingga bagi nelayan dengan modal terbatas produktivitas akan menjadi rendah. Pada kondisi terpaksa, nelayan kerap memberanikan diri mendekati anjungan dengan harapan memperoleh jumlah tangkapan yang lebih banyak dengan modal yang terbatas, namun dengan resiko ancaman keselamatan dan nyawa.

Persepsi negatif yang muncul sangat dipengaruhi oleh intensitas kegiatan penangkapan ikan di lokasi keberadaan anjungan produksi migas di laut. Semakin tinggi intensitas kebutuhan nelayan terhadap area perairan yang dijadikan lokasi kegiatan migas, maka semakin tinggi peluang munculnya persepsi negatif nelayan terhadap keberadaan anjungan produksi migas di laut. Pada kondisi yang terakumulasi, perubahan persepsi ini berpotensi menjadi sumber konflik yang dapat mempengaruhi efisiensi kegiatan migas dan kegiatan penangkapan ikan.

5.2. Bentuk Eskternalitas Keberadaan Anjungan Produksi Migas di Laut