• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSIAPAN: FAKTOR AKADEMIK

Dalam dokumen Tesis Dan Disertasi (Halaman 45-95)

Pendahuluan

Bab Dua telah membahas beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum memulai proyek penelitian atau penulisan tesis dan disertasi yang berkaitan dengan masalah pribadi atau masalah non-akademik.

Bab ini akan membahas beberapa faktor yang sebaiknya dilakukan sebelum mulai menulis tesis dan disertasi, tetapi berkaitan langsung dengan masalah akademik, mulai dari proses memilih topik, memilih pembimbing, merencanakan jadual yang realistis, memahami metode penelitian, memahami gaya tulisan akademik, menganalisis tesis atau disertasi yang sudah jadi dan menyiasati kata writing up dalam proses penelitian. Kata atau istilah writing up seyogianya disiasati dengan cermat, mengingat konsep atau istilah ini oleh beberapa penulis mengenai penulisan tesis dan disertasi dianggap menyesatkan mahasiswa (lihat Kamler & Thomson, 2006; Paltridge & Stairfield, 2007).

Penjelasan dari masing-masing kegiatan atau proses yang sebaiknya terjadi sebelum mulai menulis tesis atau disertasi akan dipaparkan di bawah ini.

Memilih topik

Memilih topik merupakan salah satu tahap yang sangat menentukan dalam perjalanan penyelesaian studi (Brause, 2000; Swetnam, 2000; Thomas, 2000; Thomas & Brubaker, 2000;

disebutkan di sini). Sebelum mulai menulis tesis atau disertasi, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang ingin kita teliti dan yang ingin kita pelajari (Brause, 2000:37). Banyak orang meyakini bahwa penelitian atau riset adalah mengonfirmasi atau membuktikan asumsi. Namun demikian, keyakinan ini, menurut Brause, kurang tepat. Brause mengatakan:

... research is a process of searching repeatedly, re-searching for new insights and more comprehensive, cohesive, elegant theory. There are probably few, if any “truths” – immutable, never changing facts. Each research project intends to advance our knowledge, getting closer to “truth” ( 2000:37).

Jadi, meneliti adalah proses mencari atau menemukan teori atau pandangan baru yang dilakukan secara berulang. Setiap penelitian ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan peneliti tentang topik yang ditelitinya untuk mendekati “kebenaran”.

Proses memilih topik seperti meruncingkan pensil, mulai dari yang besar ruang lingkupnya, sampai menjadi kecil. Seorang pembicara dalam sebuah acara profesional development di Melbourne, bulan Agustus 2007, yang bernama Clare Acevedo, mengatakan bahwa sering terjadi ketika memulai meneliti atau mencari ide untuk tesis apalagi disertasi, mahasiswa sangat ambisius dan seperti ingin mengubah dunia melalui tesis atau disertasi yang ditulisnya. Tetapi, menurut Clare, kemudian mahasiswa sadar bahwa dia hanya bisa mengkaji setengah bagian dari dunia, kemudian seperempat, sepersepuluh bagian, dan akhirnya sampailah pada hanya salah satu contoh dari apa yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh beberapa penulis mengenai peneliti awal yang umumnya ambisius dalam menentukan topik, dan di sinilah perlunya pembimbing yang bisa mengarahkan topik serta cakupan penelitiannya (Paltridge & Stairfield, 2007). Pembimbing,

tesis yang berusaha untuk “mencari sebanyak mungkin tentang topik yang semakin sempit” (Wellington, 2005) atau “narrow and deep” (Stevens & Asmar, 1999, dikutip oleh Paltridge & Stairfield, 2007:58). Stevens dan Asmar (1999) mengatakan:

...often new researchers start off with a project that is overly large and ambitious. … Wiser heads know that a good thesis project is „narrow and deep‟. … even the simplest idea can mushrooms into an uncontrollably large project (dikutip dalam Paltridge dan Stairfield, 2007: 58).

Jadi, sebelum menentukan topik, kata kunci yang sebaiknya diingat oleh mahasiswa adalah manageability (Lawton, 1997:8). Sebelum menentukan topik, mahasiswa juga sebaiknya melalui proses pemilihan topik dengan pengerucutan berdasarkan partisipan, atau berdasarkan cakupan penelitian (Swetnam, 2000). Contoh pengerucutan topik seperti yang diberikan oleh Swetnam (2000) dapat dilihat di bawah ini.

Kajian bidang studi secara umum: Sosiologi Minat khusus: Kelompok lanjut usia

Lebih spesifik: Pusat pengasuhan kelompok lanjut usia Khususnya: Di kawasan rumah penduduk

Persisnya: Di rumah yang dikontrol oleh pengawas

Judul Draft: ”Pengelolaan pengasuhan kelompok lanjut usia di rumah yang dikontrol oleh pengawas”

Kalau tentang pengajaran bahasa Inggris, mungkin pengerucutan bisa dilakukan dengan cara begini:

Kajian umum: the teaching of English (Pengajaran Bahasa Inggris)

Minat khusus:EFL learners (pembelajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing) Lebih spesifik: Young learners (pembelajar usia dini)

Khususnya: in Bandung (di Bandung)

Persisnya: in one international private school in Bandung (di salah satu sekolah swasta internasional)

Judul: “Teaching English to young learners: A case study in one international private school in Bandung.” (Pengajaran bahasa Inggris kepada pembelajar usia dini di sebuah sekolah swasta internasional di Bandung)

Kajian bidang umum: The teaching of English Minat khusus: writing

Lebih spesifik:Argumentative writing Khususnya: Exposition

Kalau partisipannya seperti dijelaskan di atas, maka judulnya bisa seperti ini: “Teaching writing expository genre: a case study in one international prvate school in Bandung.

Berkenaan dengan kapan harus mulai memikirkan topik penelitian untuk tesis atau disertasi, mengingat program pascasarjana di Indonesia pada umumnya mewajibkan mahasiswa untuk mengambil beberapa matakuliah sebelum mereka menulis tesis atau disertasi, maka saran dari salah seorang penulis mengenai penulisan tesis dan disertasi, Rita.S. Brause (2000, lihat juga Rudestam & Newton, 1992 untuk saran yang hampir sama) tentang pemilihan topik sangat relevan. Saran itu di antaranya adalah sebagai berikut:

Pencarian atau pemikiran topik sebaiknya dimulai sejak mata kuliah pertama yang diambil dan dari tugas-tugas yang dibuat untuk mata kuliah tersebut (Brause, 2000). Brause juga menggambarkan seorang mahasiswa yang menyesal bahwa dia tidak melihat-lihat tesis atau disertasi sejak mulai kuliah di program pascasarjana dan tidak menjadikan tugas yang dibuat dalam matakuliah sebagai dasar dari pemilihan topik penelitian. Brause mengutip kata-kata mahasiswa itu sebagai berikut:

I wish I looked for a dissertation (thesis) topic from the moment I started the program and used the course assignments as an opportunity to explore topics that might have led me towards a dissertation topic ( 2000:30).

Mencari topik yang kita suka dan tertarik untuk menelitinya, yang bisa membuat kita bisa bekerja bertahun-tahun berkaitan dengan topik itu (Rudestam & Newton, 1992). Memilih

dikatakan Rudestam dan Newton (1992:10), biasanya menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dari waktu yang diperkirakan.

Memilih topik yang akan memberikan signifikansi kepada kita setelah kita menyelesaikan program magister atau doktor (Brause, 2000:30; Rudestam & Newton, 1992:11).

Selain dari memilih topik dengan kriteria yang hampir sama dengan di atas, Rudestam dan Newton (1992:10) memberikan saran lain, di antaranya adalah bahwa mahasiswa sebaiknya menghindari topik yang terlalu ambisius dan menantang. Rudestam dan Newton menyarankan:

Grandiose dissertations have a way of never being completed and even the best dissertations end up being compromises among your own ambition, the wishes of your committee and practical circumstances. … you need to temper your enthusiasm and pragmatism (Rudestam & Newton, 1992:10).

Dengan mengutip apa yang dikatakan oleh salah seorang mahasiswanya, Rudestam dan Newton menambahkan bahwa ada dua jenis tesis atau disertasi: “Disertasi yang bagus, dan disertasi yang selesai” (1992:10). Jadi, seperti yang disarankan oleh Lawton (1997), pertanyaan yang sebaiknya pertama kali dilontarkan tentang topik penelitian adalah “Is it a feasible topic” (1997:9).

Sejalan dengan saran-saran di atas, Thomas dan Brubaker (2000:59-61, lihat juga Rudestam & Newton, 1992; Swetnam, 2000:17) menyebutkan sembilan kriteria untuk menentukan apakah topik yang dipilih itu baik atau tidak. Kriteria itu akan dipaparkan di bawah ini.

1. Persetujuan pembimbing

Topik yang baik adalah topik yang disetujui oleh penguji proposal penelitian atau calon pembimbing. Menurut Rudestam dan Newton (1992) kalau proposal penelitian tidak disetujui oleh salah seorang calon pembimbing, maka mahasiswa sebaiknya mengganti topik

penelitiannya atau mengganti pilihan pembimbing, dan mencari pembimbing lain yang menyetujui topik penelitiannya.

2. Apakah penelitian yang diajukan betul-betul merupakan penelitian atau bukan

Mahasiswa, menurut Rudestam dan Newton (1992) sering mengatakan tujuan penelitiannya dengan cara yang menunjukkan bahwa dia tidak berusaha untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan yang siginifikan. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan sebagai berikut:

My puspose is to prove that…”, (Tujuan saya adalah untuk membuktikan bahwa …);

“I will demonstrate that…” (saya akan memperlihatkan bahwa …);

“This study will make it clear that …” (penelitian ini akan membuat jelas bahwa ...).

Dengan demikian, tambah Rudestam dan Newton (1992) kalau mahasiswa sudah tahu kesimpulan yang akan dicapai di akhir penelitian, maka proposal itu bukan untuk penelitian tetapi untuk propaganda atau “salesmanship” (Rudestam & Newton, 1992:59).

3. Signifikansi hasil penelitian

Penelitian yang dilakukan harus merepresentasikan kompleksitas dan tingkat keahlian yang diharapkan oleh mahasiswa lulusan pascasarjana. Dalam hal ini, Glatthorn dan Joyner (2005) menegaskan bahwa dalam memilih topik mahasiswa harus mempertimbangkan signifikansi profesional yang mencakup: signifikansi profesional, minat profesional yang berkelanjutan, minat pribadi, pengembangan karir, pengetahuan, dan keterampilan. Selain itu, mahasiswa juga harus memperhatikan signifikansi terhadap perkembangan teori dan praktek berkaitan dengan bidang ilmu yang dikaji.

Dalam hal fisibilitas metodologi, peneliti sebaiknya bertanya apakah masalah yang diajukan bisa diteliti dengan metode penelitian yang diketahui atau yang ada dalam pikiran peneliti.

5. Hambatan waktu

Peneliti sebaiknya bertanya apakah proyek penelitian bisa dilakukan dalam waktu yang tersedia.

6. Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan

Menulis tesis atau disertasi, menurut Thomas dan Brubaker (2000) merupakan pengalaman belajar yang sangat berharga, dan keterampilan yang diperlukan untuk menulis tesis atau disertasi bisa diperoleh sejalan dengan berlangsungnya proses penulisan tesis atau disertasi itu.

7. Peralatan dan Persediaan

Fasilitas apa yang diperlukan untuk menulis tesis atau disertasi yang tersedia, sehingga pelaksanaan penelitian bisa berjalan dengan lancar.

8. Personil

Siapa yang akan melakukan setiap pekerjaan yang ada dalam proyek penelitian, karena penelitian yang dilakukan mungkin memerlukan bantuan orang lain.

9. Dana

Pengeluaran apa yang akan diperlukan, berapa banyak.

Dalam hal fisibilitas, Swetnam (2000:17), Glatthorn dan Joyner (2005) menyarankan bahwa mahasiswa sebaiknya menanyakan beberapa hal selain dari yang disebut di atas, berkenaan dengan kepraktisan topik penelitian yang telah dipilih. Beberapa pertanyaan itu di antaranya adalah:

2. Apakah kita bisa mendapatkan pustaka yang diperlukan? Mengamati ketersediaan buku atau referensi mengenai topik yang dipilih merupakan salah satu cara yang efektif untuk memulai meneliti (Baker & Huling, 1995:3; Krathwall & Smith, 2005).

3. Apakah ada masalah yang berkaitan dengan etika atau moral?

4. Apakah topik yang akan diteliti akan tetap mutakhir selama penelitian berjalan? (Hal ini penting, terutama bagi mahasiswa yang mengambil program doktor yang pelaksanaan penelitiannya memerlukan waktu yang lama).

5. Apakah kita akan mendapat dukungan dari universitas atau dari atasan? (Swetnam, 2000:17; lihat juga Glatthorn & Joyner, 2005).

Berkenaan dengan pemilihan topik yang berkaitan dengan masalah pribadi penulis, sintesis teori penulisan tesis dan disertasi menunjukkan bahwa ada dua pendapat yang berbeda. Sebagian penulis, seperti Rudestam dan Newton (1992) menyarankan bahwa mahasiswa sebaiknya menghindari pemilihan topik yang mempunyai hubungan atau keterkaitan yang terlalu erat dengan masalah pribadi. Namun, penulis lain, seperti Lester dan Lester (2005) mengatakan bahwa topik yang diteliti bisa dihubungkan dengan masalah pribadi dan masalah pribadi bisa menjadi sumber topik penelitian. Lester dan Lester mencontohkan sebagai berikut:

Latar belakang: Masalah sosial yang mempengaruhi keluarga. Kepentingan pribadi: Pendidikan anak saya.

Isu sosial: Perilaku anak saya di sekolah yang hiperaktif.

Topik yang mungkin: Anak-anak yang hiperaktif: Haruskan mereka meminum obat penenang untuk menenangkan kehiperaktifan mereka?

Selain itu, Lester dan Lester juga menyarankan pemilihan topik yang berdasarkan pada latar belakang budaya penulis, seperti latar belakang suku atau etnik. Mereka mencontohkan seperti ini:

Latar belakang etnik: Penduduk asli Amerika Kepentingan pribadi: Sejarah dari suku Apache.

Topik yang mungkin: Perang Indian dilihat dari perspektif penduduk Amerika.

Selain melalui cara-cara seperti di atas, sumber masalah penelitian bisa juga didapat melalui cara seperti yang akan dijelaskan di bawah ini. Cara itu adalah bahwa ketika mengkritisi referensi atau teori yang kita baca, kita perlu memikirkan apakah kita merasa puas dengan apa yang dijelaskan oleh peneliti sebelumnya dalam mendiagnosis atau meneliti masalah yang menjadi minat kita dalam penelitian yang akan kita lakukan (Thomas & Brubaker, 2000:54). Dengan demikian, kita bisa berpikir tentang cara yang lebih baik untuk melakukan penelitian tentang topik yang sudah mereka teliti atau menciptakan cara alternatif untuk membahas apa yang terjadi. Dengan kata lain, dalam mengkaji pustaka kita juga bisa memperlihatkan bahwa kita menciptakan teori kita sendiri, atau mungkin variasi dari model orang lain, sehingga tesis atau disertasi kita mungkin mengambil bentuk eksplikasi atau aplikasi dari teori kita. Thomas dan Brubaker mengilustrasikan cara menemukan topik penelitian dengan cara ini sebagai berikut:

Ini merupakan kasus mahasiswa doktor yang tertarik dengan reformasi pendidikan. Setelah dia membaca banyak bahan yang berkaitan dengan usaha reformasi pendidikan, dia menyadari bahwa inovasi pendidikan sering menjadi terhalang dan sebagian dari inovasi itu malah mati dan yang lain jatuh setelah berhasil karena didukung oleh pendukungnya. Mahasiswa itu tertarik untuk mengetahui bagaimana analis membahas kegagalan reformasi. Dengan kata lain, dia tertarik dengan teori tentang keberhasilan atau kegagalan inovasi pendidikan. Dalam mengkaji pustaka yang ada, dia menemukan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap usaha perubahan pendidikan, seperti a) sumber dana, b) cara memaparkan proposal reformasi, c) kualitas atau kapabilitas orang yang terlibat dalam mengimplementasikan reformasi, d) berapa orang yang akan terpengaruh dengan inovasi dan yang lain lagi. Tetapi mahasiswa ini melihat satu faktor yang diabaikan, yakni risiko yang dihadapi oleh orang ketika mereka diharapkan untuk berpartisipasi dalam perubahan pendidikan. Dengan demikian, sebagai masalah disertasinya, dia mengambil tantangan

merumuskan risk theory untuk menerangkan, paling tidak sebagian, mengapa inovasi pendidikan berhasil lebih baik dari yang lain (Thomas & Brubaker, 2000:54).

Setelah memikirkan topik, maka langkah selanjutnya adalah memikirkan dan memilih pembimbing yang akan bisa mengarahkan dan membantu kita melalui perjalanan pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis atau disertasi dengan lancar, sehingga kita bisa menyelesaikan studi kita tepat waktu. Hal ini akan dibahas di bawah ini.

Memilih pembimbing

Pembimbing merupakan figur yang sangat penting dalam penyelesaian tesis atau disertasi (Parker & Davis, 1997:113; Thomas & Brubaker, 2000; Mauch & Park, 2003) dan oleh karena itu, “memilih pembimbing merupakan tahap yang paling penting yang harus dilalui oleh penulis tesis atau disertasi” (Phillips & Pugh, 1994: 8). Pembimbing atau tim pembimbing, menurut Parker dan Davis (lihat juga Roberts, 2004:48), bertanggung jawab untuk membantu mahasiswa menulis tesis atau disertasinya, terutama dalam memberikan kontribusi, saran dan gagasan dalam setiap bab yang ada dalam tesis atau disertasi. Berkaitan dengan peran pembimbing, Ogden (1993:17) menggambarkan penulisan tesis dan disertasi sebagai permainan dalam ga me board dengan pembimbing dan anggota pembimbing lain merupakan “the most important pieces” atau bagian yang paling penting dalam “dissertation game board”. Pembimbing merupakan bagian yang paling menentukan apakah kita akan berhasil atau gagal. Ogden menambahkan:

With the RIGHT adviser, you advance steadily around the board to collect your degree on schedule, proud of your work you have produced. With the WRONG adviser, you will take very wrong route around the board, hit every dead end, advance one step only, to fall back two steps, and continually run the risk of falling off the board completely. Researching your adviser or committee therefore is the MOST important research you will do concerning your dissertation (1993:17).

menunjukkan bahwa peran pembimbing sangat menentukan keberhasilan mahasiswanya dalam menyelesaikan tesis atau disertasi.

Peran pembimbing, seperti dikatakan oleh Thomas dan Brubaker (2000) serta Paltridge dan Stairfield (2007), diperlukan sejak pemilihan topik dan penulisan proposal. Dengan demikian, pemilihan pembimbing menjadi sangat penting dalam membantu penyelesaian tesis atau disertasi yang ditulis, seperti yang dikatakan oleh Brause (2000:31) bahwa pemilihan proyek penelitian dan pembimbing membuat perbedaan antara “finishing” dan “not finishing”.

Berikut adalah beberapa saran yang dikemukakan oleh Parker dan Davis (1997); Bolker (1998); Brause (2000:30-31); Thomas dan Brubaker (2000), Roberts (2004) dalam memilih pembimbing. Saran itu adalah bahwa kita sebaiknya memilih pembimbing dengan beberapa kriteria sebagai berikut.

Dirasakan enak untuk diajak berkomunikasi, apakah cara kerja pembimbing cocok dengan keinginan kita (Roberts, 2004). Apakah kita suka dengan pembimbing yang direktif (Roberts, 2004:48) dan sangat terstruktur (memonitor pekerjaan kita dengan seksama, mengikuti batas waktu yang ditentukan, mengadakan pertemuan yang teratur), atau apakah kita lebih menyukai pembimbing yang lebih aissez-faire” (Roberts, 2004:49) (menunggu dikontak oleh kita, mengikuti kemana arah kita, dan mengharapkan pemikiran independen) (lihat juga Thomas & Brubaker, 2000:10).

Mempunyai keahlian yang relevan dengan topik penelitian (Bolker, 1998; Thomas & Brubaker, 2000; Roberts, 2004). Dalam hal ini, Thomas dan Brubaker (2000:10) mengatakan bahwa semakin dekat keahlian pembimbing dengan topik penelitian yang

dilakukan oleh mahasiswanya, akan semakin baik pula pembimbing itu mengidentifikasi kesulitan yang mungkin dihadapi oleh mahasiswanya dalam penelitian, dan dalam merekomendasikan sumber informasi yang diperlukan, serta membimbing pemilihan metode pengambilan serta interpretasi data.

Sensitif terhadap kebutuhan kita tetapi menuntut perkerjaan yang berkualitas (Roberts; 2004).

Dikenal meluluskan banyak mahasiswa (Bolker, 1998; Brause, 2000; Thomas & Brubaker, 2000).

Tertarik untuk membantu kita berhasil (Brause, 2000; Thomas & Brubaker, 2000).

Banyak terlibat dalam penelitian, sehingga kita pun bisa memperoleh pengetahuan praktis dan keterampilan dalam penulisan tesis atau disertasi sekarang dan juga keterampilan penelitian yang diperlukan di masa yang akan datang (Brause, 2000:30).

Mempunyai kecenderungan untuk menggunakan metode penelitian yang kita gunakan. Misalnya, kalau metode penelitiannya kuantitatif, sebaiknya mencari pembimbing yang lebih cenderung suka ke metode penelitian ini. Hal ini penting, seperti dikatakan oleh Thomas dan Brubaker (2000:12) mengingat pembimbing yang lebih condong ke metodologi penelitian kualitatif akan cenderung menyukai penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Yang menjadi pertanyaan, seperti akan dibahas dalam pembahasan memahami metode penelitian adalah bukan metode penelitian mana yang lebih baik, tetapi metode penelitian apa yang paling cocok dengan penelitian kita.

“mixed blessing” (1998:21). Manfaatnya, tambah Bolker, sudah pasti banyak, tetapi, pembimbing yang terkenal biasanya sibuk, jarang ada di kampus, dan tidak mempunyai waktu yang banyak untuk membimbing ketika kita memerlukan bantuannya (1998:21). Bolker kemudian menggambarkan pengalamannya dibimbing oleh pembimbing yang cukup terkenal seperti ini:

My first dissertation advisor was quite famous, but I quickly discovered that her students often had a hard time graduating, and that she appeared to compete with them and put obstacles in their paths. I remember the moment at which I realised that if I remained her advisee, I‟d never finish. If choosing a politically advantageous, famous advisor makes it unlikely that you‟ll complete your degree, it‟s clearly not worth it (1998:21).

Untuk bisa bekerja dengan baik dan mendapatkan masukan atau feedback yang diperlukan, tentu harus ada interaksi yang baik antara kita, sebagai mahasiswa dan pembimbing. Mahasiswa, menurut Parker dan Davis (1997:113) sebaiknya memahami bahwa pembimbing mempunyai tugas yang banyak selain dari membimbing mereka sehingga akan banyak gangguan yang mungkin membuat pembimbing kurang bisa memperhatikan mahasiswa bimbingannya. Untuk mengatasi hal ini, Parker dan Davis menyarankan bahwa kita sebagai mahasiswa sebaiknya memberikan catatan tertulis mengenai pertemuan yang ingin dilakukan, menjadual pertemuan, memberikan outline tentang beberapa isu atau masalah yang perlu dibahas.

Berkaitan dengan pembimbing, menurut Parker dan Davis (1997:120-121), ada beberapa kemungkinan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa. Di antaranya adalah:

Pembimbing cuti, pindah ke universitas lain, tidak mengajar lagi, atau meninggal. Biasanya universitas akan mengatur masalah ini. Kalau mahasiswa sudah merencanakan tesis atau disertasinya dengan baik, perubahan pembimbing tidak akan terlalu berdampak pada kelancaran penulisan tesis atau disertasi. Hanya saja, mahasiswa harus segera mengetahui

gaya pembimbingan yang dilakukan oleh pembimbing yang baru. Hal ini pun dialami oleh penulis ketika menulis disertasi dalam program S3 di Australia. Pembimbing pindah ke negara bagian lain sehingga tidak bisa lagi membimbing dengan efektif. Tetapi hal yang menguntungkan penulis waktu itu adalah bahwa pembimbing terdahulu mendiskusikan terlebih dahulu dengan pembimbing pengganti dan dengan penulis mengenai penelitian yang dilakukan penulis sehingga ketika pergantian pembimbing terjadi, pembimbing pengganti tidak bertanya lagi dari awal.

Pembimbing tidak membaca draft tesis. Hal ini juga merupakan masalah yang sering dihadapi oleh mahasiswa dalam penyelesaian tesisnya. Keengganan pembimbing membaca tesis mahasiswa bisa membuat mahasiswa tidak mendapatkan masukan yang memadai, khususnya dalam hal kontinuitas serta koherensi gagasan yang ditulis dalam tesis. Dalam penelitian yang telah dilakukan penulis mengenai kesulitan mahasiswa dalam menulis tesis, studi kasus di program studi pendidikan bahasa Inggris SPs UPI, ditemukan bahwa pada level “discourse semantic” (Martin & Rose, 2003, 2007; Acevedo & Rose, 2007) mahasiswa pada umumnya sudah tahu apa yang harus ditulisnya dalam tesis, tetapi dalam hal bagaimana menuliskannya supaya gagasan atau argumennya bisa dengan mudah diterima oleh pembaca merupakan masalah yang masih memerlukan perhatian besar dari pembimbing. Di sinilah perlunya pembimbing membaca secara teliti apa yang ditulis oleh mahasiswanya.

Keengganan pembimbing membaca draft mungkin juga berkaitan dengan asumsi

Dalam dokumen Tesis Dan Disertasi (Halaman 45-95)

Dokumen terkait