• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban North Atlantic Treaty Organization (NATO) terhadap Pelanggaran Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 dalam

RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB NO. 1973

E. Pertanggungjawaban North Atlantic Treaty Organization (NATO) terhadap Pelanggaran Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 dalam

konflik di Negara Libya.

Pada dasarnya tuntutan pertanggungjawaban juga perlu ditujukan kepada pemimpin Libya yakni Moammar Qadhafi. Pemerintahan Moammar Qadhafi terhadap negaranya dinilai sangat kejam dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi hak asasi manusia. Mahkamah Pidana Internasional telah melayangkan surat perintah penangkapan terhadap Qadhafi atas kejahatan kemanusian yang dilakukannya.119

Namun dalam praktreknya resolusi yang pada awalnya bertujuan melindungi rakyat sipil atau mendukung kelompok pemberontak dalam melawan rezim Qadhafi kemudian dipertanyakan. Meski secara resmi memang disebutkan untuk melindungi rakyat sipil, namun tidak dapat dipungkiri secara terbuka menunjukkan preferensi untuk mendukung pemberontak dan tergulingnya Gaddafi.

Tindakan represif yang dilakukan pemerintahan Qadhafi memaksa Dewan Keamanan untuk mengeluarkan resolusinya guna melindungi penduduk sipil Libya.

Jika Resolusi Dewan Keamanan No. 1973 betul-betul sebatas melindungi rakyat sipil maka negara NATO yang melaksanakan resolusi tersebut kiranya harus benar-benar berupaya melaksanakan implementasi resolusi sesuai dengan mandat dan membatasi diri agar tidak terlalu terlibat terlalu dalam dari konflik yang terjadi. Dengan sendirinya para pimpinan negara anggota juga harus menahan diri untuk tidak jelas-jelas menunjukkan dukungannya kepada kelompok manapun. Sebagai akibatnya sudah mulai mendengar berbagai teori konspirasi yang mencoba menjelaskan motivasi dikeluarkan Resolusi Dewan Keamanan No.1973 adalah konspirasi untuk menguasai sumber minyak bumi di Libya.120

Dalam melakukan intervensi terhadap negara Libya, hanya delapan negara NATO (Inggris, Perancis, Italia, Amerika, Kanada, Denmark, Norwegia dan Belgia ) yang secara langsung dan aktif melakukan intervensi. Dimana pada dasarnya seluruh pelanggaran serta dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap Resolusi Dewan Keamanan No. 1973 hanya dilakukan oleh delapan negara-negara NATO tersebut.sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya pelanggaran resolusi Dewan Keamanan memiliki sanksi yang tegas, yakni penangguhan hak-hak istimewa, pengusiran dari keanggotaan, sanksi embargo ekonomi, sanksi militer, dan pembentukan perdailan kejahatan internasional ad

hoc. Pada kasus ini pelanggaran yang dilakukan oleh negara-negara NATO

120

Perancis mengirim senjata kepada para pasukan pemberontak. Rusia mengecam keras Prancis karena mengirimkan bantuan senjata untuk pemberontak Libya. Bahkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menegaskan, tindakan Prancis itu merupakan pelanggaran terang-teranganterhadapresolusiDewanKeamananPBB

tergolong kedalam kejahatan kemanusiaan dan perang, dimana pasukan NATO menembaki ratusan penduduk sipil, menghancurkan pemukiman penduduk sipil dan menjadikannya sasaran tembak, menyebabkan luka dan penderitaan yang lebih dengan menggunakan senjata berbahaya dan beracun. Pada prinsip hukum humaniter internasional dikenal adanya prinsip pembedaan dimana penduduk sipil dilarang dijadikan sasaran tembak. Terhadap hal tersebut Dewan Keamanan dapat membentuk suatu pengadilan kejahatan internasional ad hoc guna mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan. Dalam hal ini Dewan Keamanan bertindak membentuk suatu pengadilan internasional ad hoc sesuai dengan pasal 29 Piagam PBB yang menyebutkan bahwa Dewan Keamanan dapat membentuk suatu organ-organ subsider apabila dipandang perlu demi pelaksanaan tugas-tuganya. Namun subjek hukum yang dapat berpekara dalam peradilan ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB tersebut hanyalah individu dan bukan negara.

Tuntutan terhadap pertanggungjawaban suatu organisasi internasional hanya dapat dilakukan bagi organisasi-organisasi internasional yang memiliki personalitas hukum dimana mereka mempunyai kemampuan untuk menuntut maupun dituntut di muka pengadilan internasional. Sebagaimana telah diuraikan diatas personalitas hukum tidak hanya memberikan kekebalan diplomatik bagi organisasi internasional yang menyebabkan mereka titular dari hukum, sehingga mereka juga harus menghormati hukum internasional.121

121 Boer Mauna, Op. Cit.,hal.437-440.

disertai dengan adanya alternative (prosedur) pemulihan internal yang cukup dapat disamakan dengan suatu pengingkaran atas keadilan (a denial of justice).

Organisasi internasional sering dipandang bukan sebagai subjek pada hukum domestik negara, dan biasanya suatu organisasi internasional melepaskan yurisdiksi pengadilan nasional. Pengadilan nasional juga kemungkinan tidak memberikan jalan maupun menghindari keputusan yang sangat radikal dengan memperlakukan organisasi internasional sebagai a legal or judicial nonentity sehingga organisasi internasional tidak dapat menuntut dan dituntut.122

Advisory opinion yang diberikan oleh Mahkamah Internasional pada kasus Reparation for Injuries suffered in Service of the United Nation Case 1949 dapat

menjadi landasan hukum agar organisasi internasional dapat melakukan suatu penuntutan dihadapan Pengadilan Internasional. Dalam kasus tersebut Hakim-Hakim Mahkamah Internasional melalui advisory opinion-nya menyatakan bahwa suatu organisasi internasional memiliki personalitas yuridik sehingga memiliki kapasitas untuk mempertahankan haknya mengajukan tuntutann di hadapan pengadilan internasional.123

Sebagai konsekuensi logis dari pengakuan organisasi internasional sebagai salah satu subjek hukum internasional seharusnya memungkinkan masyarakat internasional untuk melakukan tuntutan terhadapnya.124

122

Jelly Leviza, Tanggung Jawab Bank Dunia dan IMF Sebagai Subjek Hukum

Internasional : Studi tentang Dampak Negatif Kondisonalitas Pinjaman Bank Dunia dan IMF di Indonesia, P.T. Sofmedia, Jakarta, 2009. hal 198.

Namun

the United Nation Case/1837.pdf.

dalam prakteknya, penuntutan terhadap pertanggung jawaban suatu organisasi internasional atau organ-organ didalamnya sangat sulit dilakukan dikarenakan karena belum adanya metode tinjauan hukum (judicial review) yang tepat untuk dapat diberlakukan baginya.125

Terobosan hukum yang dilakukan ICJ dengan mengeluarkan advisory

opinion pada kasus tersebut memberikan sumbangsih yang besar dalam hukum

kebiasaan internasional. Namun saja hal tersebut belum cukup untuk dijadikan sebagai landasan hukum agar suatu organisasi dituntut dihadapan pengadilan internasional. Pengadilan internasional tidak memiliki kewenangan untuk menimbang dan memutus perkara atas organisasi internasional. Hal ini berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam pasal pasal 34 ayat (1) yang menyatakan Mahkamah Internasional telah membatasi bahwa hanya negara saja yang boleh menjadi pihak yang berperkara di hadapan Mahkamah Internasional. Ini artinya didalam struktur hukum internasional tengah terjadi kekosongan hukum internasional dimanan suatu organisasi internasional tidak mungkin dapat dituntut.

Hal inilah yang menjadi kesulitan utama dalam meminta pertanggungjawaban suatu organisasi internasional.

126

Berdasarkan uraian diatas, secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa NATO secara yuridis normatif, di bawah hukum internasional, harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkanya terhadap pelanggaran Resolusi Dewan

125

Jan Klabbers, An Introduction to International Institutional Law, (Cambridge: Cambridge University Press,2000).

Keamanan PBB No.1973. Namun secara praktis, NATO tidak dapat dituntut dihadapan forum peradilan internasional apalagi dalam forum peradilan nasional.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Keputusan Dewan Keamanan benar-benar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan bahkan dapat bertentangan dengan prinsip hukum internasional, yang mana kekuatan mengikat resolusi Dewan Keamanan tidak hanya mengikat bagi negara yang merupakan anggota PBB melainkan juga mengikat bagi negara-negara yang bukan anggota PBB jika keputusan tersebut berkaitan dengan masalah keamanan dan perdamaian internasional. Hal ini dinyatakan tegas dalam Pasal 25 dan Pasal 2 ayat (6) Piagam PBB.

2. NATO dalam menjalankan mandat yang diberikan PBB kepadanya tidak mengindahkan metode dan alat perang (methods and means of warfare) yang diatur dalam konvensi Jenewa dan konvensi Den Haag. Selain itu serangan-serangan yang dilakukan jet tempur NATO tidak menghormati Prinsip Pembedaan (distinction) sesuai dengan hukum humaniter internasional. Akibatnya, dampak dari serangan pasukan NATO tersebut justru tidak melindungi warga sipil sebagaimana yang dimandatkan PBB kepada NATO. Human Rirgt Watch mendokumentasikan lima serangan udara di mana total 72 warga sipil tewas, 20 diantaranya wanita serta 24 anak-anak, dan 55 mengalami luka serius. Komisi juga memeriksa dua serangan udara NATO yang merusak infrastruktur sipil dimana ditempat

tersebut tak ditemukan sasaran militer." NATO telah menembakkan rudal-rudal anti tank disekitar ibukota Libya, Tripoli. Ribuan kilo depleted

uranium (DU) digunakan pesawat-pesawat tempur NATO untuk

menhancurkan kendaraan-kendaraan berat pasukan pro-Qadhafi. Efek samping dari amunisi DU menghasilkan asap yang bersifat radioaktif dan beracun yang dapat menyebabkan kanker.hal ini terang saja bertentangan dengan tujuan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1973 untuk melindungi warga sipil di Libya.

3. Belum adanya metode tinjauan hukum (judicial review) yang tepat untuk dapat menuntut suatu organisasi internasional. Advisory opinion yang diberikan oleh Mahkamah Internasional pada kasus Reparation for

Injuries suffered in Service of the United Nation Case 1949 belum cukup

untuk dijadikan landasan hukum guna menuntut pentanggungjawaban NATO. Berdasarkan uraian diatas, secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa NATO secara yuridis normatif, di bawah hukum internasional, harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkanya terhadap pelanggaran Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973. Namun secara praktis, NATO tidak dapat dituntut dihadapan forum peradilan internasional apalagi dalam forum peradilan nasional.

B. Saran.

1. Dewan Keamanan PBB seharusnya lebih mengawasi praktik penggunaan resolusi yang dikeluarkannya, dalam hal ini Reselusi Dewan Keamanan PBB No.1973. Sehingga negara-negara ataupun negara yag tergabung

dalam suatu organisasi regional yang melaksanakan mandat PBB tersebut untutk mengintervensi suatu negara tidak keluar dari tatanan hukum yang telah ditetapkan dalam resolusi tersebut terlebih tidak menyalahi ketentuan-ketentuan dalam Piagam PBB maupun hukum internasional lainnya.

2. Sebagaimana tugas yang diamanatkan kepada Dewan Keaman, maka Dewan Kemanan PBB sebagai salah satu badan utama yang memiliki kekuasaan dan wewenang yang besar seharusnya dengan tegas dan berani menjatuhkan sanksi bagi negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap resolusi yang dikeluarkannya. Kenyataan dalam praktik, PBB hanya berani menjatuhi sanksi bagi negara-negara kecil, sementara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Prancis serta negara-negara Sekutu NATO seakan-akan kebal terhadap hukum.

3. Diharapkan Mahkamah Internasional agar melakukan amandemen

terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sehingga suatu organisasi internasional secara hukum dapat menjadi pihak penggugat maupun tergugat. Hal ini guna memberi kepastian hukum bagi semua subjek hukum internasional agar dapat mengajukan gugatan terhadap organisasi internasional.