• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture) Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture)

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture) Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture)

Pengaruh jangka panjang dari perkembangan dunia pertanian dan industri dalam sistem petanian modern, ternyata menghasilkan dampak negatif yang besar terhadap ekosistim alam. Pencemaran oleh bahan-bahan kimia beracun akibat tingginya intensitas pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida telah lama diketahui. Demikian pula dengan ketahanan (resistensi) hama yang semakin meningkat terhadap pestisida akibat penyemprotan yang semakin tinggi serta pencemaran air tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat akibat peggunaan pupuk yang berlebihan. Pertanian moderen juga telah mengurangi keragaman spesies tanaman secara drastis akibat penerapan sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam yang semula tersusun sangat kompleks, berubah menjadi ekosistem yang susunannya

sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut. Hal ini bertentangan dengan konsep pertanian berkelanjutan, yang selain memperhatikan pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.

Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut: kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian, maka teknologi baru untuk pengembangan varietas baru, seperti jagung, padi, gandum serta tanaman komersial lainnya juga nampak semakin menantang. Namun demikian, pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang, bisa menimbulkan dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan, tetapi bahkan terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada impor peralatan, benih serta input lainnya. Akibat selanjutnya adalah menyebabkan ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah memperburuk situasi sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau (Reijntjes, Haverkort, dan Bayer, 1999).

Pembangunan sektor pertanian tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara lama, harus diubah sejalan dengan makin besarnya tantangan dan perubahan lingkungan strategis, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Perubahan

lingkungan eksternal, antara lain globalisasi teknologi dan informasi, liberalisasi perdagangan, dan transformasi budaya antarbangsa sudah tidak terhindarkan. Demikian juga perubahan lingkungan internal, yaitu demokratisasi, desentralisasi, otonomi daerah, dan gejala disintegrasi (Salikin, 2003). Pembangunan pertanian harus berarti pembaharuan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di pedesaan.

Krisnamurthi (2006) mengatakan bahwa pertanian abad ke 21 bagi negara--negara yang sedang berkembang harus mampu menciptakan sistem pertanian yang memiliki produktivitas tinggi tetapi dengan low cost input. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah akan meningkat investasi dibidang usaha pertanian yang serasi dengan keadaan sosial ekonomi daerah, kesesuaian lahan dan potensi pasar. Untuk Indonesia dan negara berkembang lainnya dua tujuan harus tetap sejalan dan seimbang yaitu peningkatan produktivitas dan produksi di satu pihak dan pencapaian keberlanjutan sistem produksi, peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan di lain pihak yang memerlukan langkah terobosan di bidang penelitian. Tantangannya adalah menemukan kombinasi tanaman, hewan dan input yang mengarah pada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi sumber daya yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal (Tiharso, 1992).

Dalam pengembangan metode penentuan model sistem usaha tani padi–ternak (SIPT), perlu memperhatikan kemampuan sumberdaya lokal yang didukung oleh

peningkatan dan penyebaran informasi inovasi teknologi. Menurut Pranadji (2000), bahwa sebagian besar usaha tani apapun lemah dalam modal dan penguasaan teknologi, terlihat salah satu sumber ketidak efisienan sistem usaha tani tanaman-ternak petani saat ini adalah kelembagaan usaha tani yang relatif lemah. Di bidang peternakan penyebaran informasi teknologi dari berbagai sumber sangat kurang, sehingga pengetahuan petani mengenai manajemen pemeliharaan ternak sapi relatif rendah (Zaenuri, et.al, 2003).

Penerapan sistem pertanian berkelanjutan dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong berkembangnya ekonomi rakyat. Pada dasarnya para petani sangat siap menerima sistem pertanian berkelanjutan karena input yang digunakan telah tersedia di lingkungan alam sekitarnya. Bahkan sebelum mengenal intensifikasi pertanian dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, para petani telah menerapkan sistem pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, misalnya dengan menggunakan pupuk kandang. Dengan pengetahuan tradisional yang dimiliki, para petani perlu diberdayakan sehingga memiliki pengetahuan yang meningkat tentang pertanian berkelanjutan, serta memahami peluang dan tuntutan pasar yang menghendaki produk berkualitas dan ramah lingkungan. Dengan demikian para petani dapat menghasilkan produk pertanian bernilai ekonomis tinggi sekaligus dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan (Jauhari, 2002).

Menurut Reijntjes (1999) pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan

melestarikan sumber daya alam. Selanjutnya dikatakannya, tujuan rumah tangga petani dalam mengelola usaha tani adalah; produktivitas, keamanan, kesinambungan dan identitas. Hal yang sama di katakan oleh Conway (1987) dalam Salikin (2003), perlu penataan kembali berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda yang berwawasan ekosistem walaupun wawasan agro-ekosistem merupakan pengelolaan yang kompleks dan rumit akan tetapi ciri-ciri spesifik terpenting menyangkut empat pokok. Empat sifat pokok tersebut adalah kemerataan (eguitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity).

Secara sederhana, kemerataan merupakan penilaian tentang sejauhmana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakat. Keberlanjutan dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun mendapat gangguan. Kestabilan merupakan ukuran tentang sejauhmana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Produktivitas adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik ekonominya.

Salikin (2003) mengatakan sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan empat macam model sistem, yaitu sistem pertanian organik, sistem pertanian terpadu, sistem pertanian masukan luar rendah, dan sistem pengendalian hama terpadu sedangkan beberapa alternatif yang dapat dikemukakan dalam usaha mewujudkan pertanian berkelanjutan melalui pertanian secara terpadu adalah dengan cara: sistem tanam ganda, komplementari hewan ternak dan tumbuhan, usaha terpadu peternakan dan perkebunan, agroforestry, pemeliharaan dan

peningkatan sumberdaya genetik dan pengelolaan hama terpadu yang sedang gencar-gencarnya dicanangkan oleh Departeman Pertanian adalah pola usaha tani terpadu dalam bentuk berbagai program seperti Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT), Agropolitan atau berbagai sistem keterpaduan dengan sub sektor lain. Pelaksanaan program ini merupakan upaya terobosan yang dikembangkan untuk mengatasi kendala kecendrungan menurunnya tingkat produktivitas beberapa produk pertanian antara lain pada sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura sebagai akibat dari degradasi lahan pertanian dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pemakaian pupuk bahan kimia yang berlebihan. Departemen Pertanian mencoba memformulasikan dengan memberi paket bantuan ternak kepada kelompok petani dengan harapan agar petani disamping memperoleh kotoran untuk pupuk tanaman juga para petani memperoleh keuntungan dari hasil penambahan berat badan ternak sapi yang dipeliharanya sehingga diharapkan para petani tersebut mendapat penambahan pendapatan (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2003).

Dalam rangka memasuki revolusi hijau kedua kita belajar dari kenyataan bahwa tehnologi maju dan mahal akan memproduksi barang yang mahal pula termasuk makanan. Untuk mengatasi kondisi demikian, maka sangat dibutuhkan adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan. Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling nelengkapi dan berhubungan dalam interaksi sinergetik dan positif, maka bukan

hanya kestabilan yang dapat diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian dengan input yang lebih rendah (Tiharso, 1992).

2.3. Pertanian Berkelanjutan sebagai Konsep Ekonomi dan Pembangunan