ANALISIS SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT)
TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI
DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN
WILAYAH (STUDI KASUS DI DESA LUBUK
BAYAS KECAMATAN PERBAUNGAN
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI)
TESIS
Oleh
SAFARUDDIN
087003059/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE K O L AH
P A
S C
A S A R JA
ANALISIS SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT)
TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI
DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN
WILAYAH (STUDI KASUS DI DESA LUBUK
BAYAS KECAMATAN PERBAUNGAN
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SAFARUDDIN
087003059/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH (STUDI KASUS DI DESA LUBUK BAYAS KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI)
Nama Mahasiswa : SAFARUDDIN Nomor Pokok : 087003059
Program Studi : Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Pedesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(
Ketua
Prof.Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc.Ph.D)
(Kasyful Mahalli, SE, M.Si) (Dr. Drs. H.B. Tarmizi, SU
Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof.Dr.Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D
Anggota: 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si
2. Dr. Drs. H.B.Tarmizi, SU
3. Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D. Ak
4. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si
ANALISIS SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN DAMPAKNYA
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
ABSTRAK
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai, untuk menganalisis dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap
pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai, dan untuk
mengidentifikasikan faktor- faktor penghambat dan pendorong dalam melaksanakan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Kabupaten Serdang Bedagai.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis uji beda rata-rata (t-test) dan analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dengan menyebarkan kuesioner kepada 140 orang responden dan wawancara langsung dengan petani serta data sekunder dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Pertanian dan Peternakan, dan BP4K Kabupaten Serdang Bedagai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani dan berdampak positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal ini dapat dilihat dari adanya perbedaan produksi padi tetapi tidak berbeda nyata, adanya penghematan biaya produksi (efisiensi), penyerapan tenaga kerja dan usahatani berkelanjutan (ramah lingkungan).
Implikasi dari penelitian ini adalah masyarakat petani perlu menerapkan usahatani dengan pola SIPT dan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai agar dapat mengembangkan pola SIPT ini di Kabupaten Serdang Bedagai menuju pertanian organik guna mewujudkan pembangunan pertanin berkelanjutan.
THE ANALYSIS OF RICE LIVESTOCK INTEGRATION SYSTEMS (SIPT) TO IMPROVEMENT OF FARMER INCOM AND IMPACT ON REGIONAL
DEVELOPMENT IN SERDANG BEDAGAI
ABSTRACT
The main purpose of this study is to analyze the influence of Rice Livestock Integration Systems (SIPT) on farmers income at Serdang Bedagai, to analyze the impact of Rice Livestock Integration Systems (SIPT) on the development on the implementing the System of Rice Livestock Integration (SIPT) at Serdang Bedagai.
The research method used the analysis of different test average (t-test) and descriptive analysis. Used the primary data by distributing questionnaires to 140 respondents and direct interviews with farmers a swell as secondary data from BPS Bedagai Serdang, Department of Agriculture and Livestock, and BP4K Serdang Bedagai.
The result showed that the Rice Livestock Integration Systems (SIPT) effect to increasing the farmers’ income and the positively impact on regional development in Serdang Bedagai. It can be seen from the not significantly differences of rice production, the production cost savings (efficiency), employment and farming sustainable (environmentally).
The implication of this study is the farmers need to apply the SIPT and the Serdang Bedagai Government order to develop the SIPT in Serdang Bedagai towards the organic farming to realize sustainable agriculture development.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Segala Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan HidayahNya sehingga penyusunan tesis yang berjudul
“Analisis Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) Terhadap Peningkatan Pendapatan
Petani dan Dampaknya terhadap Pengembangan Wilayah (studi kasus di Desa Lubuk
Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai)” dapat Penulis
selesaikan.
Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan Penulis
sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Megister Sains pada Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan ini, Penulis menghadapi berbagai kesulitan, namun berkat
bantuan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing dan masukan dari Dosen
Pembanding akhirnya Tesis ini dapat diselesaikan. Keberhasilan penyusun tesis ini
juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung, Untuk itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
setulus hati khususnya kepada yang saya hormati :
1. Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D sebagai Ketua Komisi
Pembimbing.
2. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si dan Dr. Drs. H.B.Tarmizi, SU sebagai Anggota
Komisi Pembimbing.
3. Ibu Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D. Ak, Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si dan
Bapak Ir. Supriadi, M.S selaku Dosen Pembanding.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE, selaku Ketua Program Studi
6. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dan teman-teman Jurusan PWD USU.
7. Bapak Ir. H. T. Erry Nuradi, M.Si (Bupati Serdang Bedagai), Bapak Ir. H.
Soekirman (Wakil Bupati Serdang Bedagai), Bapak Drs. H. Haris Fadillah, M.Si
(Sekda Kab. Serdang Bedagai), yang telah memberikan kesempatan dan
dorongan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan.
8. Rekan-rekan di Bappeda dan Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan
Pangan Kabupaten Serdang Bedagai.
9. Saudara M. Arsyad (PPL Lubuk Bayas) dan Kelompok Tani yang ada di Desa
Lubuk Bayas sebagai Responden.
10. Istri tercinta Ir. Leli IA dan putra putriku Huzaifa Syadli, SE Annisa Syadli dan
Ade Ulfah Syadli yang telah banyak memberikan motivasi dan semangat kepada
penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala
bantuannya.
Akhirnya dengan berserah diri kepada Allah SWT, Tesis ini dipersembahkan
bagi semua pihak yang membacanya dengan harapan dapat memberi koreksi
konstruktif apabila terdapat kesalahan.
Medan, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Safaruddin, dilahirkan di Desa Air Joman, Kecamatan Air Joman. Kabupaten
Asahan pada tanggal 20 Juni 1959, merupakan anak ke 4 dari 7 bersaudara dari
pasangan Ayahanda H. Ibrahim Nasution (Alm) dan Ibunda Hj. Halimah Pane
(Almh).
Pendidikan formal ditempuh Penulis pada pendidikan Dasar di SD Negeri No
12 Kisaran (Kab. Asahan) dan selesai pada tahun 1971, setelah itu melanjutkan ke
Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMP Negeri No 1 Kisaran dan selesai pada
tahun 1974, dan melajutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMA
Negeri No 1 Kisaran dan selesai pada tahun 1977, kemudian melanjutkan pendidikan
pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada tahun 1978 dan selesai pada
tahun 1983. Pada tahun 2009, Penulis melanjutkan Pendidikan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan Program Studi Perencanaan
Pembangunan Wilayah Perdesaan (PWD).
Pada tahun 1985 diterima sebagai CPNS pada Dinas Pertanian Provinsi
Sumatera Utara, dan tahun 2000 bertugas ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Deli Serdang, kemudian pada tahun 2004 bertugas ke
DAFTAR ISI
2.1. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak ... 7
2.2. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture) ... 14
2.3. Pertanian Berkelanjutan Sebagai Konsep Ekonomi dan Pembangunan Pedesaan ... 19
2.4. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ... 24
2.5. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah ... ... 27
2.6. Penelitian Sebelumnya ... . 29
2.7. Kerangka Berpikir ... 32
2.8. Hipotesis ... 33
BAB III METODE PENELITIAN ... 34
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 34
3.3. Populasi dan Sampel ... 34
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 36
3.5. Model Analisis Data ... 36
3.6. Definisi Variabel Penelitian ... 38
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 40
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 40
4.2. Karakteristik Responden ... 46
4.3. Deskripsi Sistem Integrasi Padi – Ternak ... 48
4.4. Penggunaan Faktor Produksi ... 49
4.5. Produksi dan Pendapatan ... 52
4.6. Pembahasan ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
5.1. Kesimpulan ... 73
5.2. Saran ... 74
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Jumlah Petani Padi Sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan
Perbaungan ... 35
4.1. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai ... 41
4.2. Luas Wilayah Kecamatan Perbaungan Berdasarkan Desa ... 42
4.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 43
4.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Sumber Mata Pencaharian ... 44
4.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 46
4.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 46
4.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani ... 47
4.8. Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Sawah ... 47
4.9. Persentase Responden Berdasarkan Penggunaan Faktor-faktor Produksi Tanaman Padi Sawah ... 50
4.10. Rata-rata Biaya Faktor Produksi per Tahun (Rp) ... 52
4.11. Rata-rata Produksi dan Pendapatan Responden ... 52
4.12. Rata-rata Pendapatan Responden dari Penjualan Sapi ... 54
4.13. Uji Beda Pendapatan Petani ... 54
4.14. Uji Beda Biaya Pupuk Petani ... 55
4.15. Uji Beda Produksi Padi Sawah ... 58
4.17. Faktor Pendorong Petani Melakukan SIPT ... 60
4.18. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan SIPT ... 63
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Hubungan antara Pengembangan Wilayah, SDA, SDM dan
Teknologi ... 28
2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 33
4.1. Proses Pembuatan Pupuk Organik Kotoran Sapi ... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner ... 80
2. Data Responden Petani SIPT ... 87
3. Data Responden Petani Non SIPT ... 95
ANALISIS SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN DAMPAKNYA
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
ABSTRAK
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai, untuk menganalisis dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap
pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai, dan untuk
mengidentifikasikan faktor- faktor penghambat dan pendorong dalam melaksanakan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Kabupaten Serdang Bedagai.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis uji beda rata-rata (t-test) dan analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dengan menyebarkan kuesioner kepada 140 orang responden dan wawancara langsung dengan petani serta data sekunder dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Pertanian dan Peternakan, dan BP4K Kabupaten Serdang Bedagai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani dan berdampak positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal ini dapat dilihat dari adanya perbedaan produksi padi tetapi tidak berbeda nyata, adanya penghematan biaya produksi (efisiensi), penyerapan tenaga kerja dan usahatani berkelanjutan (ramah lingkungan).
Implikasi dari penelitian ini adalah masyarakat petani perlu menerapkan usahatani dengan pola SIPT dan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai agar dapat mengembangkan pola SIPT ini di Kabupaten Serdang Bedagai menuju pertanian organik guna mewujudkan pembangunan pertanin berkelanjutan.
THE ANALYSIS OF RICE LIVESTOCK INTEGRATION SYSTEMS (SIPT) TO IMPROVEMENT OF FARMER INCOM AND IMPACT ON REGIONAL
DEVELOPMENT IN SERDANG BEDAGAI
ABSTRACT
The main purpose of this study is to analyze the influence of Rice Livestock Integration Systems (SIPT) on farmers income at Serdang Bedagai, to analyze the impact of Rice Livestock Integration Systems (SIPT) on the development on the implementing the System of Rice Livestock Integration (SIPT) at Serdang Bedagai.
The research method used the analysis of different test average (t-test) and descriptive analysis. Used the primary data by distributing questionnaires to 140 respondents and direct interviews with farmers a swell as secondary data from BPS Bedagai Serdang, Department of Agriculture and Livestock, and BP4K Serdang Bedagai.
The result showed that the Rice Livestock Integration Systems (SIPT) effect to increasing the farmers’ income and the positively impact on regional development in Serdang Bedagai. It can be seen from the not significantly differences of rice production, the production cost savings (efficiency), employment and farming sustainable (environmentally).
The implication of this study is the farmers need to apply the SIPT and the Serdang Bedagai Government order to develop the SIPT in Serdang Bedagai towards the organic farming to realize sustainable agriculture development.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting
dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan
PDB, perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, penciptaan
kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian
mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar melalui peningkatan
input-output-outcome antar industri, konsumsi dan investasi. Hal ini terjadi secara nasional
maupun regional karena keunggulan komparatif sebagian besar wilayah Indonesia
adalah di sektor pertanian (Departemen Pertanian, 2005). Menurut BPS PDRB
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 Atas Dasar Harga Berlaku mencapai Rp. 8,4
Triliyun, di mana konstribusi terbesar adalah dari sektor pertanian yaitu ± 41%.
Dalam operasionalnya pelaksanaan pembangunan pertanian di tingkat petani
umumnya masih bersifat parsial (per subsektor), sehingga petani sebagai pelaku
usaha tani dikelompokkan menjadi petani tanaman pangan, hortikultura, ikan, ternak,
dan perkebunan. Hal tersebut membawa dampak negatif terutama bagi para petani
yang hanya memiliki atau menggarap lahan usaha sempit (0,1 – 0,5 Ha) karena tidak
dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya secara optimal. Lahan sawah masih
dipandang sebagai media untuk memproduksi bahan pangan berupa padi dan palawija
dimanfaatkan untuk usaha tani tunggal (single community approach) juga dapat
dimanfaatkan untuk usaha tani terpadu (integrated communities farming system
approach) (Sugandi, 2002).
Dengan skala kepemilikan lahan yang sempit dan terbatas tersebut, usaha tani
semakin diintensifkan yang memerlukan lebih banyak supply unsur hara dan
perlindungan tanaman. Pengusahaan lahan yang intensif dengan menggunakan input
luar berupa kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan
pemanfaatan bahan bakar, tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping
membutuhkan biaya usaha tani yang tinggi juga merupakan penyebab utama
terjadinya kerusakan lingkungan dan menyebabkan penurunan pendapatan petani
(Salikin, 2003). Menurut Jumin, (2002), kenyataan menunjukkan bahwa penggunaan
pupuk nitrogen misalnya, di Indonesia selama tahun 1970-1980 terjadi peningkatan 3
kali lipat, penggunaan pestisida 6 kali lipat. Namun sayangnya produktivitas yang
diperoleh hanyalah 1,5 kali lipat.
Pengusahaan pertanian yang intensif secara monokultur yang menerapkan
teknologi high-input pada areal yang lebih subur, telah mengakibatkan lahan marjinal
semakin luas (Reijntjes, 1999). Sejak akhir tahun delapan puluhan mulai tampak
tanda-tanda kelelahan pada tanah dan penurunan produktivitas pada hampir semua
jenis tanaman yang diusahakan. Hasil tanaman tidak menunjukkan kecendrungan
meningkat walaupun telah digunakan varietas unggul yang memerlukan pemeliharaan
dan pengelolaan hara secara intensif melalui bermacam-macam paket teknologi
Menurut Naipospos (2004), sistem pertanian yang konvensional saat ini
dilakukan secara tidak bijaksana. Sehingga menimbulkan permasalahan baru yang
akhirnya menggagalkan kestabilan produksi. Karena sistem pertanian yang tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan ekologi merupakan bagian dari upaya
perusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem konvensional cenderung
mengarah pada penanaman tanaman yang sama (monokultur) yang mengharuskan
pemakaian pupuk kimia (anorganik) dan pestisida secara besar-besaran sehingga
menimbulkan kerusakan ekosistem dan pengolahan tanah secara intensif
menyebabkan degradasi tanah secara luas dan juga mengakibatkan polusi air
permukaan maupun air bawah tanah. Melihat kenyataan tersebut, perlu adanya upaya
terobosan untuk mendorong perbaikan lingkungan hidup, dengan mengubah sistem
pertanian konvensional menjadi sistem pertanian yang ramah lingkungan.
Pertanian Ramah Lingkungan dapat dikembangkan melalui sistem integrasi
tanaman dan ternak (crop livestock system), karena 2/3 (dua pertiga) dari penduduk
miskin di negara-negara berkembang memelihara ternak dan hampir 60% diantaranya
bergantung pada sistem tanaman-ternak. Usaha tani (tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan) selalu dibarengi oleh usaha ternak artinya peternakan dilakukan sebagai
usaha sampingan dengan tujuan sebagai tabungan petani, tenaga kerja (ternak besar),
penyediaan pupuk kandang dan sebagainya. Keterkaitan dan keterpaduan usaha tani
tersebut sejak dahulu berlangsung di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, tetapi
panjang dengan pemeliharaan intensif akan meningkatkan pertambahan berat badan
atau menghasilkan anak.
Kegiatan peternakan setiap hari menghasilkan kotoran yang merupakan
substrat utama pembuatan kompos/bokashi sebagai pupuk organik. Sementara dari
kegiatan pertanian tanaman pangan dan hortikultura akan memberikan pula sisa-sisa
produksi yang dapat digunakan kembali sebagai pakan ternak, disamping adanya
hijauan makanan ternak yang ditanam. Dengan demikian kebutuhan makanan ternak
dapat terpenuhi sehingga pertumbuhan berat badan rata-rata ternak dapat terus
meningkat. Hal ini menunjukkan siklus atau rangkaian kegiatan ini memberikan nilai
efisiensi yang tinggi di mana tidak adanya limbah dari kegiatan produksi yang
terbuang.
Sebagai daerah agraris, Kabupaten Serdang Bedagai mempunyai luas lahan
sawah lebih kurang 41.000 hektar dan merupakan salah satu daerah penghasil atau
lumbung beras di Sumatera Utara dengan surplus beras rata-rata pertahun 125.000
sampai 130.000 ton. Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani
dalam rangka meningkatkan swasembada beras dan penyediaan protein hewani di
Kabupaten Serdang Bedagai, secara berkelanjutan dengan tidak merusak lingkungan
maka Sistem Integrasi Padi dan Ternak dapat menjadi salah satu pilihan sistem
pembangunan pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai. Hal inilah yang mendasari
peneliti untuk mengadakan studi analisis Sistem Integrasi Padi Ternak dalam rangka
meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan permasalahan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Apakah Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan
petani di Kabupaten Serdang Bedagai?
2. Bagaimana dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap
pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai?
3. Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendorong dalam
melaksanakan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Kabupaten Serdang
Bedagai?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap
pendapatan petani di Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Untuk menganalisis dampak Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) terhadap
pengembangan wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Untuk mengidentifikasikan faktor-faktor penghambat dan pendorong dalam
melaksanakan Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) di Kabupaten Serdang
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian adalah:
1. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi petani dalam melaksanakan
usaha tani yang berkelanjutan dengan Sistem Integrasi Padi Ternak guna
meningkatkan pendapatannya.
2. Sebagai bahan informasi bagi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam
penyusunan strategi pembangunan pertanian dengan pengembangan Sistem
Integrasi Padi Ternak (SIPT).
3. Sebagai bahan referensi dalam ilmu pengetahuan tentang Sistem Integrasi Padi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak
Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan
pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola
ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian,
sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah
peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian digunakan untuk pakan
ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil
usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah.
Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan
saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi
dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.
Menurut Saputra, (2000) sebagai contoh sederhana pertanian terpadu adalah
apabila dalam suatu kawasan ditanam jagung, maka ketika jagung tersebut panen,
hasil sisa tanaman merupakan limbah yang harus dibuang oleh petani. Tidak
demikian halnya apabila di kawasaan tersebut tersedia ternak ruminansia, limbah
tersebut akan menjadi makanan bagi hewan ruminansia tersebut. Hubungan timbal
balik akan terjadi ketika ternak mengeluarkan kotoran yang digunakan untuk pupuk
Konsep Sistem Pertanian terpadu adalah konsep pertanian yang dapat
dikembangkan untuk lahan pertanian terbatas maupun lahan luas. Pada lahan terbatas
atau lahan sempit yang dimiliki oleh petani umumnya konsep ini menjadi sangat tepat
dikembangkan dengan pola intensifikasi lahan. Lahan sempit akan memberikan
produksi maksimal tanpa ada limbah yang terbuang percuma. Sedangkan untuk lahan
lebih luas konsep ini akan menjadi suatu solusi mengembangkan pertanian agribisnis
yang lebih menguntungkan. Melaiui sistem yang terintegrasi ini akan bermanfaat
untuk efisiensi penggunaan lahan, optimalisasi produksi, pemanfaatan limbah, subsidi
silang untuk antisipasi fluktuasi harga pasar dan kesinambungan produksi (PT.RAPP
dan Universitas Lancang Kuning, 2001).
Reijntjes (1999) mengatakan, hewan atau ternak bisa beragam fungsi dalam
sistem usaha tani lahan sempit, hewan memberikan berbagai produk, seperti daging,
susu, telur, wol, dan kulit. Selain itu, hewan juga memiliki fungsi sosiokultural,
misalnya sebagai mas kawin, untuk pesta upacara dan sebagai hadiah atau pinjaman
yang memperkuat ikatan sosial. Dalam kondisi input luar rendah, integrasi ternak ke
dalam sistem pertanian penting, khususnya untuk :
1. Meningkatkan jaminan subsistens dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk
menghasilkan pangan bagi keluarga petani
2. Memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk
kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan
Konsep pertanian terpadu ini perlu digalakkan, mengingat sistem ini
disamping menunjang pola pertanian organik yang ramah lingkungan, juga mampu
meningkatkan usaha peternakan. Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas
yang penting yang harus terus ditingkatkan, sehingga di harapkan mampu mencapai
kecukupan daging nasional. Oleh karena itu upaya ini dapat digalakan pada tingkat
petani baik dalam rangka penggemukan ataupun dalam perbanyakan populasi, serta
produksi susu. Dengan meningkatnya populasi ternak sapi akan mampu menjamin
ketersediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Sehingga program pertanian organik
dapat terlaksana dengan baik, kesuburan tanah dapat terjaga, dan pertanian bisa
berkelanjutan. Beragamnya pemeliharaan ternak memperluas strategi penurunan
risiko budidaya tanaman ganda hingga akan meningkatkan stabilitas ekonomi sistem
usaha tani.
Sistem produksi ternak herbivora yang dikombinasikan dengan lahan-lahan
pertanian dapat disesuaikan dengan keadaan tanaman pangan. Ternak tidak
berkompetisi pada lahan yang sama. Tanaman pangan dengan komponen utama dan
ternak menjadi komponen kedua. Ternak dapat digembalakan dipinggir atau pada
lahan yang belum ditanami dan pada lahan setelah pemanenan hasil sehingga ternak
dapat memanfaatkan limbah tanaman pangan, gulma, rumput, semak dan hijauan
pakan yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Sebaliknya ternak dapat
mengembalikan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah melalui urin dan
Tuntutan sistem usaha tani terpadu menjadi rasional seiring dengan tuntutan
efisiensi dan efektifitas penggunaan lahan, tenaga kerja, modal, faktor produksi lain
yang amat terbatas. Sejalan dengan amanat Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh Presiden tanggal 11 Juni 2005, bangsa ini
perlu membangun ketahanan pangan yang mantap. Merespon sasaran dalam RPPK
tersebut, Departemen Pertanian dalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan
2005-2010 telah membuat arah kebijakan dan program pembangunan pertanian.
Salah satu dari program tersebut adalah program Sistem Integrasi Padi Ternak
(SIPT) lazimnya disebut juga dengan istilah Crop Livestock System (CLS). Tujuan
program SIPT ini adalah pengembangan penggemukan ternak sapi potong berbasis
tanaman pangan. Program ini pada intinya mengupayakan peningkatan produksi
daging ternak sapi potong dan sekaligus upaya peningkatan produksi pangan melalui
kegiatan pemeliharaan sapi pada areal lahan tanaman pangan beririgasi. Dasar
pertimbangan dari program ini adalah kegiatan produksi pertanian tanaman pangan
dan ternak dengan prinsip zero waste. Keterpaduan padi ternak ini diharapkan dapat
menghemat penggunaan pakan ternak, pupuk dan lahan, serta biaya semurah mungkin
sehingga produksi ternak dan padi yang dihasilkan lebih meningkatkan pendapatan
petani.
Program SIPT merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan produksi
padi, daging, susu, dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Haryanto, 2002).
Badan Litbang Pertanian telah meneliti dan mengkaji SIPT dengan pendekatan zero
pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak dan kotoran ternak sapi untuk diproses
menjadi pupuk organik. Artinya memperbaiki unsur hara yang dibutuhkan tanaman
sehingga tidak ada limbah yang terbuang (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002).
Ada tiga komponen teknologi utama dalam SIPT yaitu: (a) teknologi budidaya
ternak, (b) teknologi budidaya padi, dan (c) teknologi pengolahan jerami dan kompos
(Haryanto, et.al, 2002). Sedangkan tujuan pokok dari sistem SIPT adalah bagaimana
petani mengoptimalkan usahanya untuk menghasilkan kompos yang mampu
meningkatkan efisiensi usaha taninya. Agar ketiga komponen tersebut dapat
diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan Sistem Integrasi Padi-Ternak,
dilakukan dengan pendekatan kelembagaan.
Pendekatan kelembagaan dalam pemgembangan SIPT adalah kerjasama
kelompok peternak di mana kepemilikan lahan sawah dan ternak secara individu tetap
ada, seperti pengumpulan jerami, pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil.
Ringkasnya tujuan dari SIPT ini adalah untuk menghasilkan kompos yang mampu
meningkatkan efisiensi usaha tani. Dalam sistem kegiatan ini petani yang ingin
memproduksi kompos mendapat kredit dalam jumlah yang memadai dengan proses yang
mudah dalam waktu relatif singkat. Sedangkan yang dihasilkan seperti pedet atau sapi
bakalan adalah bonus yang dapat diperoleh setiap tahunnya. Strategi pengembangan pola
semacam ini seperti pola kandang kelompok telah dikembangkan di DI Yogyakarta, Jawa
Tengah dan NTB. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah upaya meningkatkan
keterampilan sumberdaya manusia, agar mereka mampu menangani usahanya secara
Ciri utama integrasi tanaman ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan
yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkan kotoran
ternak sebagai pupuk organik untuk tamanannya, kemudian memanfaatkan limbah
pertanian sebagai pakan ternak (Ismail dan Djajanegara, 2004). Pada model integrasi
tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan
memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah
kacang-kacangan, dan limbah pertanian lainnya. Terutama pada musim kering, limbah ini bisa
menyediakan pakan berkisar 33,3% dari total rumput yang diberikan (Kariyasa, 2003).
Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatkan
ketahanan pakan khususnya pada musim kering juga mampu menghemat tenaga kerja
dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk
meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak.
Pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk organik disamping mampu menghemat
penggunaan pupuk anorganik, juga sekaligus mampu memperbaiki struktur dan
ketersediaan unsur hara tanah. Dampak ini terlihat dengan meningkatnya produktivitas
lahan. Hasil kajian Adnyana, et.al (2003) menunjukkan bahwa model CLS yang
dikembangkan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi penggunaan
pupuk anorganik 25-33% dan meningkatkan produktivitas padi 20-29%. Hasil temuan
serupa oleh Bulu, et.al (2004) di Provinsi NTB bahwa model CLS yang diterapkan petani
mampu meningkatkan pendapatan sekitar 8,4%. Hasil temuan tersebut diperkuat oleh
model CLS yang diterapkan petani di Bali, terbukti juga mampu menghemat pengeluaran
(Sudaratmaja, et.al, 2004). Demikian juga hasil kajian Suwono, et.al (2004) di Provinsi
Jawa Timur menunjukkan bahwa semua petani mengatakan penggunaan pupuk organik
mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik, walaupun pada prakteknya petani
tidak mengurangi penggunaan pupuk anorganik secara signifikan.
Konsep integrasi ternak dalam usaha tani tanaman, baik itu tanaman
perkebunan, pangan, atau hortikultura adalah menempatkan dan mengusahakan
sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktifitas dan produktifitas tanaman. Bahkan
keberadaan ternak ini harus dapat meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus
dengan produksi ternaknya. Pengelolaan ternak dalam hal ini dilaksanakan oleh
keluarga petani yang dalam waktu bersamaan melaksanakan produksi tanaman. Oleh
karena itu, pasokan untuk menunjang pengelolaan ternak sebagian besar diharapkan
dapat diperoleh dari sisa hasil pertanian tanaman, meskipun sebagian kecil pasokan
harus diperoleh dari luar. Sebagai konsekwensinya adalah keluarga petani tanaman
yang akan mengusaha tanikan integrasi ternak dalam tanamannya, harus menguasai
teknik pemeliharaan dan pemanfaatan ternak secara baik, disamping pengetahuan
praktek usaha tani tanamannya, terutama pengetahuan dalam mengintegrasikan
berbagai manfaat ternak pada tanaman dan sebaliknya (Direktorat Budidaya Ternak
Ruminansia, 2010).
Sejalan dengan konsep terebut, program integrasi ternak dalam usaha tani
tanaman ini diharapkan dapat:
a) Meningkatkan produktifitas usaha tani tanaman perkebunan, tanaman pangan
b) Meningkatkan pemanfaatan sisa hasil pertanian tanaman perkebunan, tanaman
pangan atau hortikultura untuk pakan ternak.
c) Meningkatkan pemanfaatan tenaga ternak dan pupuk kandang dalam usaha tani
tanaman.
d) Mengembalikan kesuburan tanah melalui pemanfaatan pupuk kandang.
e) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan praktis keluarga petani dalam
pengelolaan secara optimum ternak yang diintegrasikan dalam usaha tani
tanaman.
f) Meningkatkan pendapatan keluarga petani pelaksana program integrasi ternak
dalam usaha tani tanaman.
2.2. Sistem Pertanian Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture)
Pengaruh jangka panjang dari perkembangan dunia pertanian dan industri
dalam sistem petanian modern, ternyata menghasilkan dampak negatif yang besar
terhadap ekosistim alam. Pencemaran oleh bahan-bahan kimia beracun akibat
tingginya intensitas pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida telah lama diketahui.
Demikian pula dengan ketahanan (resistensi) hama yang semakin meningkat
terhadap pestisida akibat penyemprotan yang semakin tinggi serta pencemaran air
tanah maupun sungai oleh senyawa nitrat akibat peggunaan pupuk yang berlebihan.
Pertanian moderen juga telah mengurangi keragaman spesies tanaman secara drastis
akibat penerapan sistem monokultur secara besar-besaran. Ekosistem alam yang
sangat sederhana akibat berkurangnya spesies tanaman tersebut. Hal ini
bertentangan dengan konsep pertanian berkelanjutan, yang selain memperhatikan
pemenuhan kebutuhan manusia yang selalu meningkat dan berubah, sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber
daya alam.
Sistem pertanian semakin tergantung pada input-input luar sebagai berikut:
kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan pemanfaatan bahan
bakar minyak dan juga irigasi. Konsumsi terhadap sumber-sumber yang tidak dapat
diperbaharui, seperti minyak bumi dan fosfat sudah dalam tingkat yang
membahayakan. Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian,
maka teknologi baru untuk pengembangan varietas baru, seperti jagung, padi, gandum
serta tanaman komersial lainnya juga nampak semakin menantang. Namun demikian,
pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang, bisa menimbulkan
dampak besar, bukan hanya terhadap ekologi dan lingkungan, tetapi bahkan terhadap
situasi ekonomi, sosial dan politik diantaranya dengan adanya ketergantungan pada
impor peralatan, benih serta input lainnya. Akibat selanjutnya adalah menyebabkan
ketidakmerataan antar daerah dan perorangan yang telah memperburuk situasi
sebagian besar petani lahan sempit yang tergilas oleh revolusi hijau (Reijntjes,
Haverkort, dan Bayer, 1999).
Pembangunan sektor pertanian tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara
lama, harus diubah sejalan dengan makin besarnya tantangan dan perubahan
lingkungan eksternal, antara lain globalisasi teknologi dan informasi, liberalisasi
perdagangan, dan transformasi budaya antarbangsa sudah tidak terhindarkan.
Demikian juga perubahan lingkungan internal, yaitu demokratisasi, desentralisasi,
otonomi daerah, dan gejala disintegrasi (Salikin, 2003). Pembangunan pertanian harus
berarti pembaharuan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi
kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung
di pedesaan.
Krisnamurthi (2006) mengatakan bahwa pertanian abad ke 21 bagi
negara--negara yang sedang berkembang harus mampu menciptakan sistem pertanian yang
memiliki produktivitas tinggi tetapi dengan low cost input. Pembangunan pertanian
sebagai bagian integral dari pembangunan wilayah akan meningkat investasi dibidang
usaha pertanian yang serasi dengan keadaan sosial ekonomi daerah, kesesuaian lahan
dan potensi pasar. Untuk Indonesia dan negara berkembang lainnya dua tujuan harus
tetap sejalan dan seimbang yaitu peningkatan produktivitas dan produksi di satu pihak
dan pencapaian keberlanjutan sistem produksi, peningkatan kesejahteraan petani dan
pelestarian lingkungan di lain pihak yang memerlukan langkah terobosan di bidang
penelitian. Tantangannya adalah menemukan kombinasi tanaman, hewan dan input
yang mengarah pada produktivitas yang tinggi, keamanan produksi serta konservasi
sumber daya yang relatif sesuai dengan keterbatasan lahan, tenaga kerja dan modal
(Tiharso, 1992).
Dalam pengembangan metode penentuan model sistem usaha tani padi–ternak
peningkatan dan penyebaran informasi inovasi teknologi. Menurut Pranadji (2000),
bahwa sebagian besar usaha tani apapun lemah dalam modal dan penguasaan
teknologi, terlihat salah satu sumber ketidak efisienan sistem usaha tani
tanaman-ternak petani saat ini adalah kelembagaan usaha tani yang relatif lemah. Di bidang
peternakan penyebaran informasi teknologi dari berbagai sumber sangat kurang,
sehingga pengetahuan petani mengenai manajemen pemeliharaan ternak sapi relatif
rendah (Zaenuri, et.al, 2003).
Penerapan sistem pertanian berkelanjutan dapat digunakan sebagai momentum
untuk mendorong berkembangnya ekonomi rakyat. Pada dasarnya para petani sangat
siap menerima sistem pertanian berkelanjutan karena input yang digunakan telah
tersedia di lingkungan alam sekitarnya. Bahkan sebelum mengenal intensifikasi
pertanian dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, para petani telah
menerapkan sistem pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, misalnya dengan
menggunakan pupuk kandang. Dengan pengetahuan tradisional yang dimiliki, para
petani perlu diberdayakan sehingga memiliki pengetahuan yang meningkat tentang
pertanian berkelanjutan, serta memahami peluang dan tuntutan pasar yang
menghendaki produk berkualitas dan ramah lingkungan. Dengan demikian para
petani dapat menghasilkan produk pertanian bernilai ekonomis tinggi sekaligus dapat
menjaga kelestarian fungsi lingkungan (Jauhari, 2002).
Menurut Reijntjes (1999) pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)
adalah pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan
melestarikan sumber daya alam. Selanjutnya dikatakannya, tujuan rumah tangga
petani dalam mengelola usaha tani adalah; produktivitas, keamanan, kesinambungan
dan identitas. Hal yang sama di katakan oleh Conway (1987) dalam Salikin (2003),
perlu penataan kembali berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda yang berwawasan
ekosistem walaupun wawasan agro-ekosistem merupakan pengelolaan yang kompleks
dan rumit akan tetapi ciri-ciri spesifik terpenting menyangkut empat pokok. Empat
sifat pokok tersebut adalah kemerataan (eguitability), keberlanjutan (sustainability),
kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity).
Secara sederhana, kemerataan merupakan penilaian tentang sejauhmana hasil
suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantara masyarakat. Keberlanjutan
dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan
produktivitasnya, walaupun mendapat gangguan. Kestabilan merupakan ukuran
tentang sejauhmana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan
oleh fluktuasi faktor lingkungan. Produktivitas adalah ukuran sumberdaya terhadap
hasil fisik ekonominya.
Salikin (2003) mengatakan sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan
dengan menggunakan empat macam model sistem, yaitu sistem pertanian organik,
sistem pertanian terpadu, sistem pertanian masukan luar rendah, dan sistem
pengendalian hama terpadu sedangkan beberapa alternatif yang dapat dikemukakan
dalam usaha mewujudkan pertanian berkelanjutan melalui pertanian secara terpadu
adalah dengan cara: sistem tanam ganda, komplementari hewan ternak dan tumbuhan,
peningkatan sumberdaya genetik dan pengelolaan hama terpadu yang sedang
gencar-gencarnya dicanangkan oleh Departeman Pertanian adalah pola usaha tani terpadu
dalam bentuk berbagai program seperti Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT),
Agropolitan atau berbagai sistem keterpaduan dengan sub sektor lain. Pelaksanaan
program ini merupakan upaya terobosan yang dikembangkan untuk mengatasi
kendala kecendrungan menurunnya tingkat produktivitas beberapa produk pertanian
antara lain pada sub sektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura sebagai akibat
dari degradasi lahan pertanian dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh
pemakaian pupuk bahan kimia yang berlebihan. Departemen Pertanian mencoba
memformulasikan dengan memberi paket bantuan ternak kepada kelompok petani
dengan harapan agar petani disamping memperoleh kotoran untuk pupuk tanaman
juga para petani memperoleh keuntungan dari hasil penambahan berat badan ternak
sapi yang dipeliharanya sehingga diharapkan para petani tersebut mendapat
penambahan pendapatan (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2003).
Dalam rangka memasuki revolusi hijau kedua kita belajar dari kenyataan
bahwa tehnologi maju dan mahal akan memproduksi barang yang mahal pula
termasuk makanan. Untuk mengatasi kondisi demikian, maka sangat dibutuhkan
adanya suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan yang mampu
memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara optimal bagi tujuan
pembangunan pertanian berkelanjutan. Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai
dengan mengkombinasikan spesies tanaman dan hewan yang memiliki sifat saling
hanya kestabilan yang dapat diperbaiki, namun juga produktivitas sistem pertanian
dengan input yang lebih rendah (Tiharso, 1992).
2.3. Pertanian Berkelanjutan sebagai Konsep Ekonomi dan Pembangunan Pedesaan
Istilah pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para
ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan
lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk
Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (UN World on Environment and
Development, WCED), di mana dalam laporan tersebut didefinisikan istilah
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Adapun defenisi
pembangunan berkelanjutan tersebut adalah: pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk
dapat memenuhi kebutuhannya (Conrad, 1999). Pembangunan berkelanjutan yang
mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun
(development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi
ekonomi serta kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang
kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu
masyarakat (society), di mana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin
dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut tersebut dapat
mencakup: kenaikan pendapatan perkapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan,
pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata dan
umum di mana karakter vektor pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan
waktu (Pearce, 1992 dalam Reijntjes, 1999).
Ekonomi seringkali didefinisikan sebagai ilmu pengalokasian sumberdaya di
antara pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan ekonomis dari alokasi sumberdaya
(alam) adalah efisiensi, yaitu mendapatkan hasil yang tertinggi dari pemanfaatan dan
ekstraksi sumberdaya tersebut. Sumberdaya diasumsikan tidak terbatas kerena
kemajuan tehnologi dan preferensi individual dipandang sebagai "given" dan
merupakan faktor dominan. Dengan demikian, dalam kerangka ekonomi,
pembangunan berkelanjutan merupakan suatu kerangka yang statis dan mengacu pada
kosep keseimbangan (steady state) sebagai perangkat optimasi (Daly, 1991).
Seringkali efisiensi ekonomi dan sustainability dianggap memiliki objek yang
sama, yaitu menyinambungkan pembangunan dengan memastikan bahwa generasi
yang akan datang memiliki kesempatan ekonomi yang sama. Sehingga efisiensi
(intertemporal) merupakan isu utama pembangunan berkelanjutan. Meskipun suatu
pembangunan dapat bersifat efisien secara ekonomi dan berkelanjutan pada saat yang
sama, efisiensi tidak menjamin sustainability. Dalam ukuran ekonomi, pembangunan
berkelanjutan memenuhi pada kriteria efisiensi ekonomi dan sustainablility (Prihatin,
2001).
Sistem pertanian berkelanjutan berkaitan erat dengan pembangunan pedesaan
(sustainable agriculture and rural development) karena selama aktivitas produksi dan
konsumsi pertanian terbesar berada di daerah pedesaan. Sebagai negara agraris, dapat
yang tersebar di pelosok-pelosok pedesaan. Oleh karena itu, segala program
pembangunan di pedesaan seharusnya tidak terlepas dari upaya-upaya mewujudkan
sistem pertanian yang berkelanjutan yang mampu memenuhi kebutuhan bahan pangan
dan menyediakan mata pencaharian bagi masyarakat untuk meraih taraf sosial
ekonomi yang lebih baik (Salikin, 2003).
Menurut Pretty (1994) dalam Salikin (2003), pertanian berkelanjutan dan
pembangunan pedesaan (PBPP), yakni sebagai suatu interaksi usaha tani spesifik
dengan orientasi pendekatan sistem yang melibatkan interkasi aspek ekologi, sosial
dan lingkungan di daerah pedesaan. Program PBPP bermuara pada upaya
menegakkan eksistensi dan memenuhi harkat manusia yang bermanfaat bagi sesama
maupun bagi diri sendiri.
Secara konsepsional, pendekatan kebijakan pembangunan berkelanjutan dapat
dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: aspek sosial, ekonomi dan lingkungan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Munangshe dan Cruz (1995) dalam Salikin (2003).
pendekatan ekonomi berkelanjutan berbasis pada konsep maksimalisasi aliran
pendapatan antar generasi, dengan cara merawat dan menjaga cadangan sumberdaya
alam atau modal yang mampu menghasilkan suatu keuntungan. Upaya optimalisasi
dan efisiensi penggunaan sumber daya yang langka menjadi keharusan dalam
menghadapi berbagai isu ketidakpastian, bencana alam dan sebagainya. Konsep sosial
berkelanjutan berorentasi pada manusia dan hubungan pelestarian stabilitas sosial dan
sistem budaya, termasuk upaya mereduksi berbagai konflik sosial yang merusak.
keadilan, pelestarian keanekaragaman budaya dan kekayaan budaya lintas wilayah,
serta pemanfaatan praktek-praktek pengetahuan lokal yang berorentasi jangka
panjang dan berkelanjutan. Tinjauan aspek lingkungan berkelanjutan terfokus pada
upaya menjaga stabilitas sistem biologis dan lingkungan fisik, dengan bagian utama
menjaga kelangsungan hidup masing-masing subsistem menuju stabilitas yang
dinamis dan menyeluruh pada ekosistem.
Selanjutnya menurut Salikin (2003) ketiga aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan tersebut memiliki peranan dan perhatian yang sama pentingnya. Aspek
ekonomi dan sosial memiliki keterkaitan sehingga pertumbuhan ekonomi dapat
didistribusikan secara merata pada semua lapisan sosial, sehingga tidak ada lagi
kesenjangan sosial ekonomi antargenerasi, intergenerasi atau antarlapisan strata
sosial. Keterkaitan aspek ekonomi dan lingkungan dimaksudkan agar aktivitas
ekonomi baik produksi, distribusi dan konsumsi tidak membawa dampak ekternalitas
negatif pada lingkungan dan sedapat mungkin menginternalisasi aspek lingkungan ke
dalam tindakan dan keputusan ekonomi. Akhirnya, keterkaitan sosial dan lingkungan
bertujuan memperbaiki kualitas hidup antar generasi secara merata dan partisipasi
masyarakat menyeluruh pada lingkungan sosial masing-masing.
Herdaker (1997) dalam Salikin (2003) mengatakan, adapun tujuan kebijakan
pembangunan berkelanjutan dan pembangunan pedesaan bermuara pada empat
sasaran, yaitu pertumbuhan (growth), pemerataan (eguity), efisiensi (efficiency) dan
berkelanjutan (sustainability). Pertumbuhan produksi pertanian sangat penting untuk
penduduk atau perubahan pendapatan serta kelangsungan mata pencaharian para
petani di pedesaan. Pertumbuhan produksi tanaman, ternak dan ikan paling tidak
harus dapat mengimbangi laju pertumbuhan jumlah penduduk. Pemerataan sangat
diperlukan agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Efisiensi bertujuan untuk menghemat
sumber daya dan berlaku adil untuk kepentingan bersama. Berkelanjutan bertujuan
agar ketahanan pangan bersifat dinamis, pemanfaatan sumber daya dilakukan secara
bertanggung jawab, manajemen lingkungan yang baik, serta sistem produksi responsif
terhadap kejutan dan tantangan. Masing-masing tujuan tersebut saling bergantung,
tidak berdiri sendiri-sendiri. Pertumbuhan yang tinggi harus disertai dengan
pemerataan, efisiensi pemanfaatan sumber daya secara ketat, serta proses
berkelanjutan yang mapan.
2.4. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2011) wilayah
dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di
mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia
dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit
geografis tertentu.
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah
ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region);
(2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau
programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam
Tarigan, 2010) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan
region/wilayah menjadi : 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan
dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik
yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi,
sosial dan politik. 2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan
koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian
dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan
terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional
saling berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan
koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis
yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu,
yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian
(tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk
tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan
terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan;
(3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Sedangkan konsep
wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat
tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang
sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan
untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah
bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut
Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan
pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan
keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial
ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah
mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan
kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja,
pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need
approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang
berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa
memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri
(Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan
memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan
Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar
dalam pengembangan wilayah adalah:
1. Sebagai growth center
Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus
diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat
ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar
daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari
daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat
bagi perencanaan pengembangan kawasan.
Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan
diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam,
sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme
di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).
Dalam penelitian ini, yang menjadi indikator pengembangan wilayah
dihubungkan dengan pembangunan pertanian adalah pertumbuhan produksi padi
sawah untuk mendukung ketahanan pangan, rasio daya serap tenaga kerja pada
pertanian SIPT.
2.5. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Menuru M.T. Zen dalam Alkadri, dkk (2001), pada dasarnya pembangunan
atau pengembangan dalam arti development, bukanlah suatu kondisi atau keadaan
yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya. Sebaliknya, pengembangan itu
adalah kemampuan yang oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang
mereka miliki guna meningkatkan kualitas hidupnya dan kualitas hidup orang lain.
Pengembangan wilayah sebenarnya berbicara tentang memberdayakan masyarakat
terutama dalam memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan setempat dengan
instrument yang dimiliki atau dikuasai yaitu teknologi.
Dengan demikian pengembangan wilayah menurut M.T. Zen adalah upaya
untuk mengawinkan secara harmonis sumber daya alam, manusia dan teknologi,
dengan memperhitungkan daya tamping lingkungan itu sendiri (Gambar 2.1).
Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat, yaitu memberdayakan suatu
yang terdapat di sekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan
dengan kebutuhan dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Lingkungan Lingkungan
Hidup Hidup
Gambar 2.1. Hubungan antara Pengembangan Wilayah, SDA, SDM dan Teknologi
Dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga komponen yang perlu
diperhatikan, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi atau sering
disebut dengan tiga pilar pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah merupakan
interaksi antara tiga pilar pengembangan wilayah.
Salah satu pilar yang cukup penting adalah sumberdaya manusia, karena
dengan kemampuan yang cukup, akan mampu menggerakkan seluruh sumberdaya Teknologi
Sumberdaya Alam
Pengembangan Wilayah
Lingkungan Hidup Sumberdaya
wilayah yang ada. Di samping itu, sumber daya manusia memegang peran sentral
dalam proses pembangunan. Pertama sebagai objek pembangunan, di mana sumber
daya manusia merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, sebagai
subjek pembangunan, di mana sumberdaya manusia berperan sebagai pelaku
pembangunan. Dengan demikian pembangunan suatu wilayah sesungguhnya adalah
pembangunan manusia (human development) yaitu pembangunan yang berorientasi
kepada manusia (people center development), di mana manusia dipandang sebagai
sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan (Nachrowi dan Suhandojo dalam
Alkadri, dkk, 2001).
2.6. Penelitian Sebelumnya
Kariyasa (2005) melakukan penelitian: Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan
Petani, di tiga Provinsi (Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usaha tani padi yang dikelola tanpa dipadukan dengan
ternak sapi mampu berproduksi sekitar 4,4-5,7 ton/ha, sedangkan usaha tani padi
yang pengelolaannya dipadukan dengan ternak sapi potong mampu berproduksi
antara 4,7-6,2 ton/ha. Artinya usaha tani padi yang pengelolaannya dipadukan dengan
ternak atau menggunakan pupuk kandang mampu berproduksi sekitar 6,9-8,8% lebih
tinggi dibandingkan usaha tani pada yang dikelola secara parsial tanpa menggunakan
pupuk kandang. Dari segi biaya, usaha tani yang dikelola secara terpadu dengan
ternak sapi hanya membutuhkan biaya pupuk sekitar Rp. 500 ribu – Rp. 600 ribu/ha,
ribu – Rp. 733 ribu/ha. Dengan kata lain penggunaan pupuk kandang pada usaha tani
yang dikelola secara terpadu mampu menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar
18,14 – 19,48% atau sekitar 8,8% terhadap total biaya. Usaha ternak yang dikelola
secara terpadu dengan usaha tani padi yaitu dengan memanfaatkan jeraminya sebagai
pakan hanya membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp. 410 ribu – Rp. 889 ribu
per ekor, sedangkan usaha ternak sapi yang dikelola secara parsial (tidak
menggunakan jerami) membutuhkan biaya tenaga kerja berkisar Rp. 735 ribu – Rp.
1.377 ribu per ekor. Dengan kata lain usaha ternak yang memanfaatkan limbah
pertanian mampu menbghemat biaya tenaga kerja berkisar 35,44 – 44,22%, atau
berkisar 5,26 – 6,38% terhadap total biaya usaha ternak.
Bangun (2005) melakukan penelitian dengan judul: Analisis Sistem Pertanian
Terpadu Tanaman dan Ternak Sebagai Model Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten
Karo (Studi Kasus di Kecamatan Simpang Empat). Hasil analisis menunjukkan
bahwa variabel-variabel yang memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani
adalah luas lahan, pupuk kandang, pupuk anorganik, pestisida, ternak serta tenaga
kerja. Pendapatan petani yang paling tinggi adalah pertanian terpadu jeruk dengan
sapi potong dan diikuti pertanian terpadu kentang dengan sapi potong, sedangkan
pendapatan paling rendah adalah pertanian terpadu jagung dengan sapi potong. Secara
keseluruh petani yang melaksanakan pertanian terpadu tanaman dan ternak
menyatakan sistem pertanian terpadu tanaman dan ternak memenuhi indikator
produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan ekuibilitas sebagai model pertanian
berkelanjutan, dengan tingkat hubungan yang berbeda untuk setiap jenis komoditi
Kapa (2006) melakukan penelitian dengan judul: Produktivitas Usaha tani
Dalam Sistem Pertanian Terpadu: Studi Kasus di Kecamatan Amarasi Kabupaten
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas
usaha tani baik padi, jagung, palawija dan ternak masih berada dibawah potensi
produksi. Persoalan pokok yang dihadapi saat ini rendahnya produtivitas tanaman dan
ternak di daerah Amarasi yang disebabkan oleh adanya beberapa kendala baik itu
teknis, biologi, manajemen maupun sosial ekonomi. Namun demikian ada potensi
yang dapat dikembang untuk meningkatkan produktivitas usaha tani di Amarasi. Oleh
karena itu perlu dipikirkan beberapa hal, yaitu di bidang tanaman pangan adalah
adanya peningkatan hasil usaha tani melalui penyediaan benih yang berproduksi
tinggi, umur pendek, tahan kekeringan dan hama/penyakit. Di bidang peternakan
perhatian diarahkan pada kerjasama dalam pengkajian feeding strategy untuk
mengatasi masalah kekurangan pakan pada musim kemarau, pendirian breeding stock
untuk ternak sapi dalam rangka perbaikan mutu genetik sapi bali termasuk di
dalamnya penggunaan indigenous genetic stocks serta aspek kesehatan ternak.
2.7. Kerangka Berpikir
Dalam rangka meningkatkan percepatan pembangunan pertanian yang
berkelanjutan dengan memanfaatkan latar belakang tradisi dan pengalaman usaha tani
di pedesaan, maka diperlukan suatu sistem pertanian yang mengkolaborasikan usaha
secara terpadu tanaman dan ternak. Integrasi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal
pengembangan Sistem Integrasi Padi Ternak di Kabupaten Serdang Bedagai.
Pendapatan petani sangat dipengaruhi oleh luas lahan, produksi dan biaya
produksi, di samping itu juga dipengaruhi oleh karakteristik petani, pengetahuan dan
skill sebagai petani. Keseimbangan program inilah yang akan menghasilkan
produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan, sehingga akan meningkatkan produksi
pertanian yang terjaga secara efektif dan efisien dalam membangun perekonomian di
pedesaan. Hubungan ini diperlihatkan dalam skema pada Gambar 1.
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian Pola Usaha Tani
Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) Faktor Pendorong
dan Penghambat
Pembangunan Berkelanjutan
Pendapatan Petani
Pembangunan Ekonomi Lokal
2.8. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berpengaruh terhadap pendapatan petani.
2. Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) berdampak terhadap pengembangan wilayah
di Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Terdapat faktor penghambat dan pendorong dalam melaksanakan Sistem
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai. Desa Lubuk Bayas merupakan salah satu desa di
Kecamatan Perbaungan yang melakukan pola usaha tani dengan Sistem Integrasi Padi
Ternak, yaitu ternak sapi potong. Secara keseluruhan di Desa Lubuk Bayas terdapat 6
(enam) kelompok tani, di mana ada dua kelompok tani yang telah melakukan pola
usaha tani dengan Sistem Integrasi Padi dan Ternak (SIPT).
3.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan yang dikumpulkan melalui
pengamatan, kuesioner serta wawancara dengan petani. Sedangkan data sekunder
adalah data yang diperoleh dari instansi terkait, yaitu: Dinas Pertanian Kabupaten
Serdang Bedagai, Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Serdang Bedagai, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan
penelitian.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di Desa Lubuk Bayas
menerapkan SIPT adalah sebanyak 70 petani pada dua kelompok tani, selebihnya
sebanyak 622 petani belum melakukan SIPT. Dalam penelitian ini sampel
dikelompokkan menjadi dua, yaitu petani SIPT dan petani non SIPT. Metode
penentuan sampel yang digunakan adalah proporsional random sampling.
Jumlah sampel penelitian ditetapkan mengikuti pendapat Roscoe (Sugiyono,
2006) yang mengatakan: pertama, ukuran sampel yang layak digunakan dalam
penelitian sosial adalah antara 30 sampai 500 sampel. Kedua, bila sampel dibagi
dalam kategori, maka jumlah anggota sampel tiap kategori minimal 30. Berdasarkan
pendapat tersebut di atas, peneliti menetapkan sampel penelitian sebanyak 140 petani,
yang terdiri dari 70 petani pelaksana SIPT dan 70 petani non SIPT.
Persebaran sampel berdasarkan kelompok tani di Desa Lubuk Bayas adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.1. Jumlah Petani Padi Sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan
No. Kelompok Tani
Petani (Orang) Sampel (Orang)