• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERIKSAAN PRAPERADILAN MENGENAI SAH TIDAKNYA PENAHANAN YANG DILAKUKAN PENYIDIK DALAM TINDAK

7. Pertimbangan Hakim

Setelah membaca permohonan dari Pemohon, maka inilah yang menjadi dasar pertimbangan hukum oleh hakim, yaitu:

- Bahwa maksud dan tujuan permohonan Praperadilan yang diajukan

Pemohon adalah mempermasalahkan keabsahan penahanan yang dilakukan oleh Termohon, Kejaksan Negeri Stabat melalui Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor PRINT-03/N.2.25/Fd.1/03/2011, sehingga Pemohon menuntut agar penahanan tersebut dinyatakan tidak sah disertai tuntutan ganti rugi dengan alasan bahwa penahanan tersebut tidak disertai penangkapan, tidak berdasarkan bukti yang cukup, didasarkan pada hukum yang keliru dan tidak memenuhi syarat formil;

- Bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah

membantahya dengan menyatakan bahwa tidak ada satu pun ketentuan yang menyatakan bahwa untuk melakukan penahanan terhadap tersangka harus dilakukan penangkapan terlebih dahulu, dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon telah memiliki bukti yang cukup di mana Termohon telah terlebih dahulu menerima laporan terjadinya tindak pidana

korupsi ditambah dengan alat-alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti petunjuk sebagaimana akan dilampirkan dalam pembuktian, selain itu penilaian mengenai keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa Pemohon akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana merupakan penilaian subyektif Termohon sehingga penahanan yang dilakukan tidak didasarkan pada hukum keliru, dan Surat Perintah Penahanan terhadap Pemohon juga telah memenuhi syarat formil termasuk memuat alasan dan uraian singkat kejahatan yang disangkakan, sehingga menurut Termohon penahanan Pemohon telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

- Bahwa atas dua versi dan visi hukum antara Pemohon dan Termohon di

atas, maka Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut :

- bahwa pada hakekatya tindakan penahanan merupakan upaya paksa yang

mengekang kebebasan serta membatasi hak asasi manusia, maka instrumen hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional Pasal 9 ayat (1) dan (2) Perjanjian (Kovenan) Internasional tentang Hak-hak Sipil dan

Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 16 Desember 1966 yang telah diratifikasi oleh Indonesia menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat ditahan secara sewenang-wenang, ketentuan mana kemudian telah diadopsi dan diberlakukan dalam hukum nasional Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dan lebih lanjut berdasarkan Pasal yang sama dari Kovenan Internasional tersebut serta mengacu pada instrumen hukum nasional sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 20 KUHAP sampai dengan Pasal 24 KUHAP telah mengatur secara limitative syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya penahanan, yaitu :

- Syarat administratif formal/procedural (vide Pasal 21 ayat 2 dan 3

KUHAP);

- Syarat Yuridis (obyektif) yaitu adanya dasar menurut hukum (vide Pasal

21 ayat (4) KUHAP, Pasal 24 s/d Pasal 29 KUHAP);

- Syarat Kepentingan (subyektif yang harus diobyektifkan, vide Pasal 21

ayat (1) KUHAP), yang meliputi :

- Tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup dan

- Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangkaa atau

terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana;

- Bahwa selanjutnya Hakim akan mempertimbangkan terpenuhi tidaknya

syarat-syarat penahanan terhadap Pemohon yang dilakukan oleh Termohon sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di atas;

- Bahwa mengenai syarat formal administrative/procedural, Hakim

mempertimbangkan bahwa berdasarkan bukti P-1 yang sama dengan Bukti TPP-10 berupa Surat Perintah Penahanan terhadap Pemohon oleh

Termohon tertanggal 2 Maret 2011, maka Hakim menarik kesimpulan bahwa pihak yang melakukan penahanan terhadap Pemohon adalah Termohon, Kepala Kejaksaan Negeri Stabat, di mana menurut ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Pasal 30 huruf d Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa di bidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di antaranya untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang dan menurut ketentuan Pasal 44 ayat (4) Undang-undag No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyidik kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, dan sebagai penyidik, lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP dan Pasal 23 KUHAP, Termohon mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan, sehingga penahanan terhadap Pemohon dilakukan oleh Termohon sebagai pihak yang berwenang untuk itu, selanjutnya berdasarkan bukti P-1 yang sama dengan bukti TPP-10 tersebut berupa Surat Perintah Penahanan terhadap Termohon, ternyata surat perintah penahanan yang mendasari penahanan terhadap Termohon telah mencantumkan pula tembusan surat tersebut kepada keluarga Pemohon dan Penasehat Hukum Pemohon, dan di dalam surat permohonan praperadilan maupun jawab para pihak sehingga kesimpulan yang diajukan Pemohon, Pemohon tidak pernah mempermasalahkan diterima atau tidaknya tembusan surat perintah penahanan tersebut, sehingga menurut Hakim, keluarga Pemohon dan/atau penasehat hukumnya telah menerima

tembusan surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh Termohon tersebut;

- Bahwa lebih lanjut Hakim juga mempertimbangkan bahwa setelah

mempelajari dengan seksama surat perintah penahanan tersebut dengan didukung pula oleh pendapat ahli yang diajukan oleh Pemohon yaitu ahli Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum. yang menyatakan bahwa surat perintah penahanan terhadap Pemohon pada bagian pertimbangan telah memuat uraian dan alasan penahanan, maka Hakim berpendapat bahwa surat perintah penahanan tersebut telah dicantumkan identitas Pemohon selaku tersangka serta tempat ia ditahan yaitu di Rumah Tahanan Negara Tanjung Pura dan telah menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan yaitu Pemohon disangka melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan jasa konsultan pajak dalam rangka perhitungan kelebihan pembayaran pajak penghasilan PNS tahun 2001 dan 2002 pada Sekretariat Pemerintah Kabupaten Langkat Tahun Anggaran 2003, sehingga berdasarkan pertimbangan di atas, maka Hakim tidak sependapat dengan dalil Penasihat Hukum Pemohon yang menyatakan bahwa surat perintah penahanan tidak memenuhi syarat formil, oleh karena menurut Hakim Surat perintah penahanan tersebut telah memenuhi syarat formil dari segi pihak yang berwenang melakukan penahanan, tata cara penyampaian surat penahanan dan materi muatan (hal-hal yang harus termuat) dalam surat perintah penahanan;

- Bahwa lebih lanjut perihal apakah terhadap tindakan penahanan harus didahului dengan tindakan penangkapan, maka dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 19 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali apabila ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah, maka Hakim berpendapat bahwa meskipun di dalam Pasal tersebut mengatur tentang pelanggaran, tetapi dalam prakteknya oleh penyidik terhadap tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan pun dilakukan hal yang sama, yaitu apabila tersangka kejahatan telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut dan tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah, maka dilakukan penangkapan, dan dalam hal ini, oleh karena menurut Termohon, Pemohon senantiasa memenuhi panggilan yang sah dan apabila tidak dapat memenuhi panggilan selalu memberikan pemberitahuan dengan alasan yang sah maka terhadap Pemohon tidak pernah dilakukan penangkapan oleh Termohon, karena memang tidak ada alasan untuk melakukan penangkapan karena Pemohon selalu memenuhi panggilan Termohon, tetapi dalam hal ini Termohon langsung melakukan penahanan terhadap Pemohon, dan berkaitan dengan hal tersebut, maka Hakim sependapat dengan Jawaban Termohon maupun keterangan ahli DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun ketentuan yang mempersyaratkan bahwa untuk melakukan penahanan harus dilakukan penangkapan terlebih dahulu, sehingga tindakan

Termohon yang melakukan penahanan terhadap Pemohon tanpa melakukan penangkapan sebelumnya, secara formil tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, apalagi syarat untuk melakukan penangkapan sebagaimana ketentuan Pasal 19 ayat (2) KUHAP di atas memang tidak terpenuhi pada diri Pemohon;

- Bahwa selanjutnya Hakim akan mempertimbangkan syarat Yuridis

(obyektif) atau adanya dasar menurut hukum, di mana berdasarkan bukti TPP-10 berupa Surat Perintah Penahanan terhadap Pemohon, pada bagian pertimbangan dinyatakan bahwa Pemohon disangka melakukan tindak pidana korupsi dalam Pengadaan Jasa Konsultan Pajak dalam rangka penghitungan kelebihan Pembayaran Kabupaten Langkat Tahun Anggaran 2003. Tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon diancam dengan pidana lebih dari lima tahun oleh karena itu terhadap Pemohon dapat dilakukan penahanan, dan lebih lanjut di dalam amar/diktum Surat Perintah Penahanan pada tahap penyidikan tersebut dinyatakan bahwa penahanan terhadap Pemohon dilakukan selama 20 (dua puluh) hari terhitung mulai tanggal 02 Maret 2011 sampai dengan 21 Maret 2011, kemudian berdasarkan bukti surat TPP-13 berupa Surat Perpanjangan Penahanan dari Kepala Kejaksaan Negeri Stabat selaku penuntut umum terhadap Pemohon tertanggal 09 Maret 2011, penahanan terhadap Pemohon telah diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari terhitung sejak tanggal 22 Maret 2011 sampai dengan 30 April 2011, sehingga menurut Hakim penahanan yang dilakukan oleh Termohon terhadap

Pemohon pada tahap penyidikan ini telah memenuhi syarat yuridis yang bersifat obyektif;

- Bahwa berkaitan dengan syarat kepentingan ini, menurut keterangan ahli

di persidangan DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum. dinyatakan bahwa kedua syarat kepentingan tersebut yaitu tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran harus terpenuhi;

- Bahwa dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa penahanan

terhadap diri Pemohon tidak didasarkan pada alat bukti yang cukup, sebaliknya Termohon dalam Jawabannya menyatakan bahwa penahanan telah didasarkan pada alat bukti yang cukup;

- Bahwa berkaitan dengan frase “bukti yang cukup” ini, menurut keterangan

ahli, DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum harus merujuk pada ketentuan Pasal 183 ayat KUHAP, sehingga menurut ahli yang dimaksud dengan alat bukti yang cukup sekurang-kurangnya harus memenuhi dua alat bukti yang sah, pendapat mana bersesuaian dengan pendapat atau dalil Termohon di dalam Jawabannya yang selain merujuk pada ketentuan Pasal 44 (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mendasarkan pada hasil kesepakatan antara Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Kapolri (MAHKEJAPOL) I tahun 1984 yang merumuskan pengertian bukti yang cukup ialah Laporan polisi ditambah 2 (dua) alat bukti lainnya, sehingga atas pendapat ahli DR. Mahmud Mulyadi, SH,

M.Hum yang dihubungkan dengan jawaban Termohon serta berpedoman pada ketentuan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggariskan bahwa “bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik” dan mengacu pula pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang jenis-jenis alat bukti yang sah, maka Hakim dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “bukti yang cukup” sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk dapat melakukan penahanan dalam tindak pidana korupsi adalah:

- Adanya laporan terjadinya tindak pidana korupsi ditambah

- Sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan

disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan termasuk dan tidak terbatas pada informsi atau data yang diucapkan, dikirim, diterim, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik;

- Bahwa Termohon mendalilkan bahwa dalam melakukan penahanan

terhadap Pemohon telah memiliki bukti yang cukup di mana termohon telah terlebih dahulu menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi ditambah dengan keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP

mengenai alat bukti laporan Terjadinya Tindak Pidana, dan untuk memenuhi syarat sebagai bukti yang cukup harus didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah lainnya, Namun Termohon telah mengajukan surat-surat yang semuanya hanya merupakan bukti surat menyurat yang bersifat administratif yang dikeluarkan oleh Termohon yang tidak berkaitan dengan pembuktian atau tidak digunakan sebagai alat bukti dalam tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon;

- Bahwa selain itu, Termohon juga tidak pernah menghadirkan surat-surat

maupun informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optic sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penahanan terhadap Pemohon, sehingga dalil Termohon di dalam jawabannya yang menyatakan bahwa dalam melakukan penahanan terhadap Pemohon telah memiliki bukti yang cukup yaitu laporan tentang telah terjadinya tindak pidna korupsi ditambah dengan keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah ternyata tidak didukung oleh alat bukti yang ada di persidangan, sebagaimana keterangan ahli DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum yang menyatakan bahwa berkaitan dengan ada tidaknya 2 (dua) alat bukti yang telah dimiliki oleh penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan, maka dalam suatu sidang praperadilan yang mempermasalahkan penahanan yang

dilakukan oleh penegak hukum, maka penegak hukum yang melakukan penahanan harus menghadirkan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk melakukan penahanan agar dapat diketahui oleh Hakim Praperadilan bahwa penegak hukum tersebut memang telah mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang cukup, tetapi hakim sekedar melihat alat-alat bukti yang bersangkutan tetapi tidak menilai atau menguji alat bukti tersebut, dan dalam persidangan ini ternyata Termohon tidak pernah mengajukan Berita Acara Pemeriksaan saksi, ahli, tersangka maupun surat-surat lain yang dijadikan bukti dalam tindak pidana yang disangkakan kepada Pemohon dan yang mendasari penahanan Pemohon, sehingga menurut Hakim, Termohon tidak dapat menunjukkan adanya sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, oleh karenanya dalam perkara ini dengan tidak adanya alat-alat bukti yang sah yang mencakup keterangan saksi, keteragan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa dan termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik mengakibatkan Hakim tidak dapat memberikan penilaian hukum apakah Termohon memang telah mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah atau tidak;

- Bahwa hakim juga akan mempertimbangkan syarat kepentingan kedua,

yaitu adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana;

- Bahwa berkaitan dengan keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka menurut keterangan ahli DR. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. yang menyatakan bahwa walaupun dalam beberapa literatur hukum, syarat-syarat tersebut dinyatakan sebagai syarat yang bersifat subyektif tetapi dalam banyak literatur hukum lainnya dan yang menjadi pendapat dari ahli adalah bahwa syarat tersebut harus diobyektifkan dengan parameter norma kepatuhan yang hidup dalam masyarakat dalam arti apabila pihak tersangka telah melakukan upaya-upaya yang maksimal secara wajar untuk memberi keyakinan kepada penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan bahwa ia tidak akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka seharusnya penegak hukum tidak melakukan penahanan terhadap tersangka walaupun tindak pidana yang disangkakan memenuhi cukup bukti dan secara yuridis dapat ditahan, yang apabila penegak hukum tetap melakukan penahanan maka harus dengan alasan yang sangat kuat;

- Bahwa dalam pertimbangannya Termohon telah menyatakan alasan

penahanan berhubung keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana di mana atas hal ini Pemohon telah mendalilkan bahwa alasan tersebut tidak sesuai dengan fakta oleh karena setiap ada panggilan yang diperlukan pihak Termohon

untuk melakukan pemeriksaan, Pemohon selalu kooperatif untuk hadir dan tidak pernah menghambat proses penyidikan dan apabila tidak hadir selalu memberikan pemberitahuan atas ketidakhadiran tersebut, sedangkan perihal Pemohon dikhawatirkan merusak dan atau menghilangkan barang bukti menurut Pemohon tidak benar karena tidak ada satupun barang bukti yang berada di tangan Pemohon, dan terhadap alasan bahwa Pemohon dikhawatirkan mengulangi tindak pidana adalah keliru karena Pemohon tidak lagi melakukan pekerjaan untuk mengelola keuangan negara dan profesi Pemohon yang mengharuskan kepercayaan masyarakat kepada Pemohon, sementara di sisi lain, dalam Jawabannya, Termohon menyatakan bahwa perihal syarat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tidak akan dijawabnya karena berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, S.H., keadaan mengkhawatirkan di sini adalah keadaan yang meliputi subjektivitas tersangka atau terdakwa dan pejabat yang menilai kekhawatiran itu pun bertitik tolak dari penilaian subyektif;

- Bahwa hakim berpendapat bahwa perihal keadaan yang menimbulkan

kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, maka Hakim mempertimbangkan bahwa berdasarkan bukti bertanda TPP-5 sampai dengan TPP-9 berupa surat panggilan kepada Pemohon sebagai tersangka yang dihubungkan dengan bukti bertanda P-3 dan P-4 berupa Surat penundaan, maka Hakim berpendapat bahwa pada dasarnya setiap panggilan Termohon kepada Pemohon untuk melakukan pemeriksaan, Pemohon senantiasa hadir dan apabila tidak hadir Pemohon

memberitahukan surat keterangan dokter sebagaimana bukti P-3 maupun menghadiri acara keluarga seperti wisuda anak Pemohon dengan melampirkan fotocopi surat undangan wisuda sebagaimana bukti P-4, dan menurut Hakim alasan ketidakhadiran tersebut dari sisi kemanusiaan merupakan alasan yang sah, sehingga kehadiran Pemohon dalam setiap panggilan untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan alasan yang sah apabila tidak dapat hadir memenuhi panggilan menunjukkan iktikad baik dan sikap kooperatif Pemohon yang mempermudah jalannya pemeriksaan, hal mana tidak pernah disangkal oleh Termohon dalam Jawabannya dan ketaatan Pemohon dalam menghadiri setiap panggilan dengan pemberitahuan secara sah apabila tidak dapat menghadiri panggilan tersebut menjadi dasar pula bagi Termohon sehingga dalam penyidikan ini Termohon tidak pernah melakukan penangkapan terhadap Pemohon, oleh karena menjadi kebiasaan dalam proses panggilan tersangka selama ini bahwa apabila tersangka dua kali dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang sah, penegak hukum akan melakukan penangkapan terhadap tersangka tersebut, sehingga sikap kooperatif dari Pemohon yang secara maksimal menurut kewajaran berusaha memenuhi setiap panggilan Termohon tersebut dalam konteks norma kepatuhan menurut Hakim seharusnya telah dapat memberikan keyakinan kepada Termohon bahwa pemohon tidak akan melarikan diri, sehingga apabila termohon tetap melakukan penahanan terhadap diri Pemohon, sebagaimana pendapat ahli DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, maka Termohon harus memberikan

alasan yang kuat, dan dalam perkara ini, baik di dalam Bukti TPP-10 berupa Surat Perintah Penyidikan maupun di dalam Jawabannya Termohon tidak memberikan alasan yang kuat mengapa tetap melakukan penahanan terhadap Pemohon;

- Bahwa alasan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau

menghilangkan barang bukti yang dibantah oleh Termohon bahwa Pemohon tidak mungkin dapat merusak atau menghilangkan barang bukti karena barang bukti tidak satu pun berada di tangan Pemohon dan telah berada di tangan Termohon, di mana atas dalil Pemohon tersebut, Termohon kembali mengatakan tidak akan menjawabnya dengan hanya menyatakan bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, S.H., keadaan yang mengkhawatirkan di sini adalah keadaan yang meliputi subjektif tersangka atau terdakwa dan pejabat yang menilai kekhawatiran itu pun bertitik tolak dari penilaian subyektif, tanpa memberikan alasan parameter subyektif apa yang digunakan Termohon, maka dengan tidak adanya bantahan/sangkalan dari Termohon, Hakim berpendapat bahwa Termohon mengakui dalil Pemohon, karena itu tindakan Termohon melakukan penahanan terhadap Pemohon tidak terdapat alasan kekhawatiran bahwa Pemohon akan merusak atau menghilangkan barang bukti;

- Bahwa berkaitan dengan alasan penahanan bahwa dikhawatirkan Pemohon

akan mengulangi tindak pidana, maka Hakim mempertimbangkan bahwa berdasarkan keterangan ahli DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum yang

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mengulangi tindak pidana dalam perkara ini maksudnya bahwa tindak pidana yang dikhawatirkan terulang tersebut haruslah berkorelasi dengan tindak pidana yang disangkakan, dan dalam perkara ini Pemohon disangka melakukan tindak pidana korupsi dalam Pengadaan Jasa Konsultan Pajak dalam rangka penghitungan kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan PNS tahun 2001 dan 2002 pada Sekretariat Pemerintah Kabupaten Langkat Tahun Anggaran 2003, dan dalam permohonannya Pemohon menyatakan bahwa Pemohon tidak mungkin mengulangi tindak pidana karena Pemohon tidak lagi melakukan pekerjaan untuk mengelola keuangan negara dan profesi Pemohon yang mengharuskan kepercayaan masyarakat kepada Pemohon, di mana atas dalil Pemohon ini, Termohon tidak membantahnya maupun tidak memberikan dalil dan bukti (permulaan) adanya indikasi-indikasi/dugaan yang dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa Pemohon akan mengulangi tindak pidana, sehingga Hakim berpendapat bahwa dalam hal ini sepatutnya tidak terdapat kekhawatiran pada Termohon bahwa Pemohon akan mengulangi tindak pidana, karena itu alasan kekhawatiran tersebut tidak dapat menjadi alasan penahanan terhadap diri Pemohon;

- Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka jawaban Termohon

menyatakan tidak akan menjawab perihal syarat kepentingan adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran dalam melakukan penahanan Pemohon dengan hanya menyatakan bahwa berdasarkan pendapat M.

Yahya Harahap bahwa hal tersebut berkaitan dengan subyektivitas tanpa menyebut parameter atau kriteria subyektivitas dimaksud, sementara di sisi lain Pemohon dengan didukung oleh keterangan ahli di persidangan yaitu ahli DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum telah mengemukakan