PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK TERSANGKA TERHADAP SAH ATAU TIDAKNYA PENAHANAN YANG DILAKUKAN
PENYIDIK KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor.01/Pid/Pra.Per/2011/PN. STB.)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
DIAN NOVITA SARI 080200019
Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGAJUAN PRAPERADILAN OLEH PIHAK TERSANGKA TERHADAP SAH ATAU TIDAKNYA PENAHANAN YANG DILAKUKAN
PENYIDIK KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor.01/Pid/Pra.Per/2011/PN. STB.)
S K R I P S I
Ditijukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Melengkapi Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
DIAN NOVITA SARI 080200019
Departemen Hukum Pidana
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
(DR. M.Hamdan, SH., MH.) NIP: 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Abul Khair, S.H., M.Hum) (Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum.)
NIP.196107021989031001 NIP.197407252002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DAFTAR ISI
Abstraksi ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 8
D. Keaslian Penulisan... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ... 10
1. Pengertian, Tujuan dan Wewenang Praperadilan ... 10
1.1.Pengertian Praperadilan... 10
1.2.Tujuan Praperadilan... 11
1.3.Wewenang Praperadilan... 16
2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi ... 28
3. Perbedaan Penahanan pada Masa HIR dengan... 28
4. KUHAP... 31
F. Metode Penelitian... 34
G. Sistematika Penulisan... 37
A. Penyidikan dan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi..38
1. Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi ...38
2. Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi ...45
B. Upaya Paksa yang dapat Dilakukan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi ... 55
1. Penangkapan ... 56
1.1.Pengertian Penangkapan ... 56
1.2.Alasan Penangkapan ... 57
1.3.Cara Penangkapan ... 57
2. Penahanan ... 58
2.1. Pengertian Penahanan ... 58
2.2. Wewenang Dan Jangka Waktu Penahanan... 59
2.3. Alasan penahanan ... 62
2.4. Tata cara penahanan ... 68
2.5. Jenis penahanan ... 69
3. Penggeledahan ... 73
3.1.Pengertian Penggeledahan ... 73
3.2.Tata cara penggeledahan ... 74
4. Penyitaan ... 76
4.1.Pengertian Penyitaan ... 76
4.2.Tata Cara Penyitaan ... 77
4.3.Penyimpanan Benda Sitaan ... 78
C.Upaya Praperadilan sebagai Sarana Kontrol dan Melindungi Hak Tersangka dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi... 83
BAB III PEMERIKSAAN PRAPERADILAN MENGENAI SAH TIDAKNYA PENAHANAN YANG DILAKUKAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No.01/ Pid/ Pra.Per/ 2011/ PN.STB)... 92
A.KASUS ... 92
1. Kasus Posisi ... 92
2. Dasar Mengajukan Praperadilan ... 95
3. Pertimbangan Hakim ... 107
4. Putusan ... 127
B. ANALISIS KASUS... 128
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 131
A.Kesimpulan ... 131
B.Saran ... 132
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan
berkat dan rahmat-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan
untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah
sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “ Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 830/
Pid. B/2010/ PN. Mdn. terhadap Perkara Kasus Pencurian dengan Pemberatan
Pasal 363 KUHP “. Pada penyajiannya, penulis menyadari terdapat berbagai
kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan ilmiah
yang dimiliki oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun untuk kesempurnaan dari karya ilmiah ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf-stafnya.
2. Bapak Dr. M. Hamdan SH. M. H. selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
dan Ibu Liza Erwina SH. M. Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk membuat
3. Bapak M. Nuh SH. M. Hum selaku Pembimbing ke I, yang telah
menyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala
bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Dr. Marlina SH. M. Hum selaku Pembimbing ke II, yang telah
meyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala bimbingan
dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Syaiful Azam SH. M. Hum. selaku Dosen Wali penulis, terima kasih
atas saran dan petunjuknya kepada penulis selama penulis selama penulis
menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis
selama penulis menyelesaikan studinya.
7. Kepada Bapak Subiharta SH. MH. selaku Hakim Ketua Majelis Pengadilan
Negeri Medan pada putusan yang di analisis Penulis ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas waktu yang telah diberikan kepada Penulis
sehingga dapat melakukan wawancara terkait dengan penulisan skripsi ini.
8. Kepada Bang Wahyu Probo SH. MH. terimakasih yang sebesar-besarnya
karena telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
9. Khusus kepada kedua orang tua ku tercinta, Ayah dan Ibu, Johan Syahputra
dan Risnawati, terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah bersusah
sehingga penulis dapat tumbuh sampai saat ini dan menyelesaikan pendidikan
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Kepada adikku tersayang Agus Dermawan, semoga sukses selalu.
11. Kepada keluarga besar ku, terima kasih atas semangat yang telah kalian
berikan kepada penulis.
12. Kepada teman-teman satu stambuk ’08 serta Abang dan Kakak Senior Penulis
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas pertemanan
yang telah kita lalui bersama serta bantuan yang telah kalian berikan.
13. Kepada teman-teman organisasi BTM Aladdinsyah, SH., terima kasih penulis
hanturkan atas pengalaman organisasi yang telah penulis alami mulai dari
penulis masuk kuliah sampai sekarang.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang tidak
dapat diucapkan satu per satu. Semoga kiranya kebaikan semua dapat menjadi
amal jariyah dan memperoleh balasan dari Allah SWT.
Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi setiap pihak yang membacanya. Amin.
Medan, Januari
2012
Penulis,
ABSTRAKSI Dian Novita Sari * Abul Khair, SH., M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum***
Skripsi ini berbicara tentang bagaimana lembaga praperadilan mewujudkan perlindungan hak-hak tersangka dan harkat martabat, apabila tersangka mendapat perlakuan yang tidak sah atau tindakan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Dalam rangka menegakkan keadilan, kepastian hukum serta perlindungan hak-hak tersangka maka pembuat undang-undang membentuk suatu lembaga baru yang sebelumnya belum ada diatur oleh HIR. lembaga tersebut adalah lembaga praperadilan. Prapradilan ini merupakan suatu lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan maupun tindakan lain yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.
Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang :
- Bagaimanakah peranan Lembaga Praperadilan dalam melindungi hak
terangka
- Bagaimanakah implementasi pemeriksaan praperadilan mengenai sah
tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan no.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB)?
Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan praperadian khususnya menyangkut sah tidaknya penahanan yang dilakukan oleh penyidik dalam tindak pidana korupsi yang diperolehya dari pengadilan negeri Stabat.
Bahwa keberadaan lembaga praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka atau terdakwa yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horisontal. Yang dimaksud dengan pengawasan secara horisontal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan terhadap lembaga penyidik dan penuntut umum yang sifatnya sejajar dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Keterangan :
∗ Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
ABSTRAKSI Dian Novita Sari * Abul Khair, SH., M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum***
Skripsi ini berbicara tentang bagaimana lembaga praperadilan mewujudkan perlindungan hak-hak tersangka dan harkat martabat, apabila tersangka mendapat perlakuan yang tidak sah atau tindakan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Dalam rangka menegakkan keadilan, kepastian hukum serta perlindungan hak-hak tersangka maka pembuat undang-undang membentuk suatu lembaga baru yang sebelumnya belum ada diatur oleh HIR. lembaga tersebut adalah lembaga praperadilan. Prapradilan ini merupakan suatu lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan maupun tindakan lain yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.
Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang :
- Bagaimanakah peranan Lembaga Praperadilan dalam melindungi hak
terangka
- Bagaimanakah implementasi pemeriksaan praperadilan mengenai sah
tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan no.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB)?
Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan praperadian khususnya menyangkut sah tidaknya penahanan yang dilakukan oleh penyidik dalam tindak pidana korupsi yang diperolehya dari pengadilan negeri Stabat.
Bahwa keberadaan lembaga praperadilan berkaitan langsung dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi tersangka atau terdakwa yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horisontal. Yang dimaksud dengan pengawasan secara horisontal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan terhadap lembaga penyidik dan penuntut umum yang sifatnya sejajar dalam pelaksanaan penegakan hukum.
Keterangan :
∗ Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
BAB I PENDAHULUAN
H.Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
yang menjamin hak warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Suatu Negara hukum menurut Sri Soemantri, harus memenuhi
beberapa unsur, yaitu:
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar
atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara)
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, khusus mengenai butir 2, adanya
jaminan terhadap hak asasi manusia (HAM), dapat diartikan bahwa dalam setiap
konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga
negara) karena itu merupakan salah satu unsur dari negara hukum. Hal ini juga
terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945, melalui beberapa pasal, yang pasalnya
mengatur tentang HAM. Pada Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan : “ Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan,perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Sesuai dengan isi dari pasal
Setiap orang pastilah berpotensi untuk melakukan tindakan melanggar
hukum baik sengaja maupun tidak sengaja1
Negara memberikan kewenangan kepada para penegak hukum untuk
melakukan tindakan-tindakan upaya paksa terhadap seseorang yang melanggar
ketentuan yang telah diatur oleh undang-undang. Upaya paksa ini merupakan
pengurangan-pengurangan hak asasi dari seorang yang telah melakukan
pelanggaran tadi. Kewenangan-kewenangan tersebut juga memiliki
batasan-batasan tertentu yang telah diatur didalam undang-undang.
. Maka dari itu harus ada kepastian
hukum mana tidak boleh dilakukan oleh setiap orang, agar tujuan dari hukum
yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat tercapai.
Para aparat penegak hukum juga tidak terlepas dari kemungkinan
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewenangannya yang telah diatur
undang-undang yang berlaku. Para penegak hukum sering juga melakukan
kesalahan dan juga pelanggaran terhadap hak-hak asasi dari pelaku tindak pidana
dalam melakukan upaya paksa. Maka dari itu KUHAP menjamin terlindunginya
hak-hak pelaku tindak pidana baik sebelum maupun sesudah putusan hakim. Jika
pelanggaran tersebut terjadi sebelum putusan pengadilan, maka
tersangka/terdakwa dapat mengajukan praperadilan, 2
1
Sengaja ini dapat diartikan kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatab yang dilarang atau diperintahkan oeh undang-undang. Sedangkan tidak sengaja bisa dikategorikan dalam culpa (kelalaian).
sedangkan jika pelanggaran
hak terjadi setelah putusan pengadilan yang telah inkracht maka terpidana dapat
2
mengajukan peninjauan kembali (PK).3
“Mengingat demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatu dalam undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka/terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan Praperadilan.
Latar belakang terbentuknya kedua
lembaga ini adalah sama. Latar belakang praperadilan menurut pedoman
pelaksanaan KUHAP disebutkan :
4
Namun apabila hak pelaku tindak pidana (terpidana) dilanggar setelah
adanya putusan pengadilan yang sudah inkracht, maka terpidana tetap dapat diberi
kesempatan untuk memperjuangkan keadilan bagi dirinya dengan cara melakukan
PK, karena PK disediakan semata-mata untuk memulihkan keadilan dan hak-hak
terpidana yang telah dirampas Negara secara tidak sah.5
Pengajuan praperadilan dalam praktik banyak diajukan oleh
tersangka/terdakwa guna melindungi haknya dari kesewenangan penegak hukum.
Praperadilan ini juga memiliki kepastian hukum yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian
kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.6
Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan :
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan Hukkum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat, Sinar Graha, Jakarta, 2010, hlm.6.
4
Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek untuk Praktisi, Dosen, dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm16.
5
Adami Chazawi, Loc. Cit.
6
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak dilanjutkan ke pengadilan.”
Jadi, praperadilan ini lebih memiliki kepastian hukum dalam melindungi
hak-hak tersangka/terdakwa dalam upaya paksa, seperti yang dinyatakan dalam
pasal 77 KUHAP bahwa:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk meeriksa dan memutus, sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidanya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh R. Soeparmono dalam bukunya
Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam
KUHAP, tujuan diadakannya lembaga praperadilan adalah demi tegaknya hukum,
kepastian hukum dan perlindungan hak asasi tersangka7 dan M. Yahya Harahap
dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali
menambahkan bahwa tujuan praperadilan ini adalah untuk melakukan
pengawasan horizantal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap
tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar
benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan
undang-undang.8
7
Ibid.
8
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Selain itu, pemberantasan korupsi di Negara kita dewasa ini semakin
gencar dilakukan9, semakin banyak kasus-kasus korupsi yang terungkap10. Untuk
mempermudah dalam proses pemeriksaan kasus korupsi, maka jika diperlukan
aparat penegak hukum melakukan upaya paksa. Namun upaya paksa yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum ini juga harus sesuai dengan prosedur yang
diatur di dalam undang-undang. Jika dikaitkan dengan lembaga praperadilan,
apabila upaya paksa tersebut ini dilakukan tidak sesuai dengan undang-undang,
maka orang tersebut dapat mempertanyakan kepada hakim mengenai sah tidaknya
upaya paksa yang dilakukan terhadapnya melalui praperadilan seperti yang
terjadi pada pengajuan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Bupati
Sragen, Untung Wiyono, terhadap sah tidaknya penahanan yang dilakukan
penyidik KejaksaanTinggi Jateng. Untung Wiyono disangka melakukan tindak
pidana korupsi APBD Sragen senilai 11,2 Miliar. Namun pada saat pemeriksaan
pertama yang masih menyangkut tentang identitas dirinya, dirinya langsung
ditahan oleh penyidik11, Gayus Tambunan yang mengajukan gugatan praperadilan
atas penahanan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan. Penahanan itu terkait
dengan kasus mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan12
9
Keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan PemberantasanTindak PidanaKorupsi.
, Romli
10
Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengungkapkan jumlah perkara kasus korupsi yang ditangani oleh Kepolisian pada tahun 2011 ini meningkat drastis. Pada 2010 lalu, polisi hanya menangani 585 perkara. Angka tersebut melonjak mencapai 1.323 perkara pada tahun ini. Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/30/lx0qxx-jumlah-kasus-korupsi-meningkat.
Tidak Sah”, diakses tanggal 6 Januari 2012.
12
Atmasasmita, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkum dan
HAM yang mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan
terkait penahanan dirinya oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Penahanan itu
berkaitan dengan kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum
(Sisminbakum) di Ditjen AHU, Depkum dan HAM, yang merugikan negara
sekitar Rp 400 miliar13, pengajuan praperadilan oleh Eko Endang Koswara,
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten melalui pengacaranya, Gusti Hendra
mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang
atas penahannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga
Teknlogi Informasi (TI) Rp 5,3 miliar14
Dari beberapa contoh kasus diatas, dapat dilihat bahwa praperadilan
adalah lembaga yang ampuh untuk menegakkan hak-hak seseorang yang masuh
disangka melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya
praperadilan berfungsi untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan
hak-hak asasi tersangka/terdakwa. .
15
Lebih lanjut dikatakan oleh M. Yahya
Harahap, memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang
dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu
benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan
praperadilankan Jaksa Agung,diakses tanggal 6 Januari 2012.
Praperadilan Kejari Serang, diakses tanggal 6 Januari 2012.
15
benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang
bertentangan dengan ketentuan hukum.16
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi
tentang praperadilan yang diajukan oleh seorang yang disangka melakukan tindak
pidana korupsi terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik, khususnya upaya
paksa penahanan.
Sebagai bahan penelitiannya, penulis mengambil salah satu putusan
pengadilan negeri stabat No. 01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB tentang praperadilan
yang diajukan oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap penahanan yang
dilakukan penyidik kejaksaan untuk dijadikan bahan kajian dalam penelitian ini.
Pada putusan tersebut yaitu permohonan praperadilan dimohonkan oleh
Drs. Hasnil, AK., MM yang ditahan oleh termohon, Jaksa Agung Republik
Indonesia di Jakarta cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan cq.
Kepala Kejaksaan Negeri Stabat di Stabat.
Disini, pemohon yang merupakan tersangka kasus korupsi ditahan oleh
pihak kejaksaan, dan atas penahanan tersebut, tersangka Drs. Hasnil, AK., MM
menilai bahwa penahanan atas dirinya tersebut adalah tidak sah. Atas penahanan
yang dianggapnya tidak sah tersebut, maka tersangka Drs. Hasnil, AK., MM telah
mengajukan permohonan pra peradilan kepada Pengadilan Negeri Stabat.
Sebaliknya, pihak kejaksaan Negeri Stabat menyatakan bahwa penahanan
terhadap diri Drs. Hasnil, AK., MM adalah telah memenuhi syarat dan ketentuan
yang berlaku dan menurut pihaknya penahanan tersebut adalah sah. Bahwa setelah
16
adanya proses jawab menjawab antara pemohon dan termohon, kemudian hakim
memutuskan bahwa penahanan atas diri pemohon Drs. Hasnil, AK., MM adalah
tidak sah, maka dari itu harus di bebaskan dari Rumah Tahanan.
I. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang
diangkat adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya praperadilan memberikan perlindungan terhadap
tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana pemeriksaan praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan
yang dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan
No.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB)?
J. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui upaya praperadilan dalam memberikan perlindungan
terhadap tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi
b. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan praperadilan mengenai sah
korupsi dengan melakukan pengkajian normatif terhadap putusan No.
01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB.
2. Manfaat penulisan
Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang telah
dikemukakan, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat baik secara teoritis dan
praktis, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Untuk memperkaya ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi
perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi
pemikiran tentang pelaksanaan praperadilan dalam hal sah tidaknya
penahanan yang dilakukan penyidik kejaksaan pada tindak pidana korupsi.
b. Manfaat Praktis
i. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
kepada praktisi mengenai sah tidaknya penahanan pada tindak
pidana korupsi.
ii. Bagi mahasiswa hukum dan pihak pemerintah Indonesia dalam
rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, serta
perkembangan hukum pidana dan acara pidana khususnya.
iii.Bagi penyidik yang memiliki wewenang melakukan upaya paksa,
agar lebih memperhatikan hak tersangka jangan sampai salah
bertindak yang kemudian akan mengakibatkan kesewenangan.
Penulis dalam melakukan penulisan skripsi ini dengan menggunakan data
sekunder yang diperoleh dari berbagai literature dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Sebelum
menulis skripsi yang berjudul “pengajuan praperadilan oleh pihak korban
terhadap syah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan
dalam tindak pidana korupsi” , penulis telah melakukan pemeriksaan terlebih
dahulu bahwa belum pernah ada judul yang sama dengan skripsi ini. Hal ini
terbukti telah disetujuinya (ACC) judul skripsi ini oleh sekeretaris Departemen
Hukum Pidana dan perpustakaan hukum Universitas Sumatera Utara pada tanggal
13 Oktoer 2011. Bila ternyata suatu saat nanti ada judul yang sama dengan judul
skripsi saya ini, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkannya.
L.Tinjauan Kepustakaan
5. Pengertian, Tujuan dan Wewenang Praperadilan 5.1.Pengertian Praperadilan
Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di
tengah-tengah kehidupan penegak hukum. 17
Praperadilan tidak ada diatur didalam ketentuan HIR18
17
Harahap, M. Yahya, op.cit ,hlm. 1.
. Hal ini dapat
dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi oleh karena HIR diciptakan
dalam suasana zaman kolonial Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta
perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa sehingga
18
menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini pihak penjajah.19 Karena
didalam HIR tidak diatur ketentuan perihal praperadilan, dalam perkembangan
selanjutnya didalam KUHAP telah diatur tentang ketentuan-ketentuan
praperadilan seperti tercantum dalam Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian kesatu
dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.20
Menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP meyatakan :
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak dilanjutkan ke pengadilan.”
Selain itu, lembaga praperadilan ini lahir dari inspirasi yang bersumber
dari adanya Habeas Corpus21 dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang
memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan.
Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui surat
perintah pengadilan menuntut (menentang) pejabat yang melakukan penahanan
atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan
kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan HAM.22
19ibid
, hlm. 8.
20Ibid.
21
Bunyi surat perintah Harbeas Corpus ini adalah “Si tahanan berada dalam tahanan saudara. Saudara wajib membawa orang itu kedepan pengadilan serta wajib menunjukkan alasan yang menyebabkan penahanannya” lihat buku Looeby loqman, Praperadilan di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta:1984.hlm. 54.
22
5.2.Tujuan Praperadilan
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa praperadilan merupakan
lembaga baru dalam kancah penegakkan hukum di Indonesia.
Setiap hal yang baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau
motivasi tertentu. Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu
yang diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula halnya
dengan pelembagaan Praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang hendak
ditegakkan dan dilindungi.23
Tujuan diadakannya praperadilan adalah secara umum sesuai dengan
maksud dan tujuan dibentuknya KUHAP kerena dipandang bahwa HIR sudah
ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman dan perkembangan
masyarakat semakin maju dan modern. Serta bertujuan demi tegaknya hukum,
kepastian hukum dan perlindungan hak asasi tersangka, sebab menurut sistem
KUHAP setiap tindakan upaya paksa haruslah diturut sesuai dengan
ketentuan-ketentuan KUHAP. Setiap tindakan upaya paksa seperti penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, penahanan, penuntutan dan sebagainya yang dilakukan
bertentangan dengan hukum dan perundanng-undangan adalah suatu tindakan
perkosaan atau perampasan hak asasi manusia24
Dalam KUHAP sendiri dapat diketahui tujuan dari praperadilan melalui
penjelasan pasal 80 KUHAP, yang memuat : .
“Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran
melalui sarana pengawasan horizontal”.25
23
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm.3
24
R.Soeparmono, Op.cit. hlm.15-16.
25
Untuk mengawasi dan menguji tindakan upaya paksa tersebut perlu
adanya lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya
upaya paksa tersebut, mengawasi dan menguji upaya paksa yang dilakukan oleh
penyidik dan penuntut umum tersebut dilimpahkan kewenangannya kepada
Praperadilan.
Jadi, lembaga Praperadilan merupakan alat uji apakah seseorang itu telah
melalui proses awal penangkapan dan penahanan oleh aparatur penyidik secara
sah menurut Undang-undang atau satu penahanan dan atau penangkapan tersebut
mengandung cacat hukum. Selain dari itu, Praperadilan juga dapat memeriksa dan
memutuskan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik atau sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
penuntut umum.26
Dengan adanya praperadilan ini, maka apabila seseorang dikenakan
penangkapan, penahanan, dan atau tindakan-tindakan lain yang dilakukan secara
tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang,
maka tersangka/terdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan
misalnya penasehat hukumnya, dapat meminta pemeriksaan dan putusan oleh
hakim tidak sahnya penangkapan/penahanan serta tindakan-tindakan lain atas
dirinya tersebut.
Kehadiran lembaga praperadilan memberi peringatan : 27
26
Pasal 1 butir 10 KUHAP
27
1. Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan
hukumnya setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan
hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta
menjauhkan diri dari tindakan kesewenang-wenangan.
2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi
waranya yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung
dengan bukti-buktu yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan
perlakuan penegak hukum yang tdak mengindahkan prinsip hak-hak asasi
manusia.
3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus mempehatikan dan
mempertimbangkan orang yang dirugikan, maupun dari sudut kemampuan
finansiil pemerintah dalam memenihi dan melaksanakan keputusan hakim
itu.
4. Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai
dengan keadaan semula diduga telah melakukan kejahatan.
5. Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan
dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan
itu semuanya akan sia-sia belaka.
Oleh karena itu, prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud dan
tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan
hukum upaya paksa yang berlawanan dengan undang-undang.28
28
Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga Praperadilan ini adalah
merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) sehingga tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa
telah melalui proses awal yang wajar dan mendapat perlidungan harkat dan
martabat manusianya dan merupakan suatu lembaga yang melakukan pengawasan
horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama
ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum Undang-undang.
KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 disadari pasti
mempunyai kelemahan, kekurangan dan mungkin kesalahan, betapapun kecilnya.
Kendatipun demikian, KUHAP sudah menunjukkan adanya kemajuan apalagi bila
dibandingkan dengan HIR yang sudah berumur lebih dari satu abad itu. Dalam
masa peralihan ini, masih perlu dibenahi sarana yang menunjang pelaksanaan,
disatu pihak mengenai kesadaran hukum masyarakat mengenai hak dan kewajiban
menurut KUHAP, dilain pihak mengenai keadaan aparat penyidik dan penuntut
umum yang menyangkut kemampuan teknis dan materiil.29
Semangat kemanusiaan para pelaksananya sungguh sangat menentukan
bagi keberhasilan KUHAP dalam mencapai tujuannya. Nilai-nilai kemanusiaan
yang dikristalisir dalam rangkaian pasal-pasal KUHAP itu tidak akan banyak
artinya dalam praktek penegakan hukum di negara kita, bilamana para
pelaksananya idak mempunyai semangat kemanusiaan. Akan tetapi kalau para
pelaksananya mempunyai semangat kemanusiaan, maka segala kekurangan dan
29
ketidaksempurnaan yang terkandung dalam KUHAP tidak menjadi penghalang
untuk menegakkan hukum keadilan dan kebenaran dibumi persada indonesia
tercinta ini.30
Maka sebenarnya keberhasilan KUHAP sangat tergantung kepada para
pelaksanan penegak hukum terutama yang berkecimpung langsung dalam proses
perkara pidana, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan advokat/pengacara. Dan tentunya
dengan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam menerima berlakunya
KUHAP ini.31
5.3.Wewenang Praperadilan
Telah dijelaskan diatas, bahwa lembaga praperadilan memiliki fungsi
sebagai pengawasan horizontal yang pengawasan tersebut semata-mata diberikan
kepada pengadilan negeri sebagai badan peradilan tingkat pertama guna kontrol,
menilai, menguji, mempertimbangkan secara yuridis, apakah dalam tindakan
upaya paksa terhadap tersangka oleh penyelidik/penyidik atau penuntutan
benar-benar telah sesuai dengan aturan dan ketentuan KUHAP atau aturan
perundang-undangan ataukah tidak.32 Disamping itu wewenang praperadilan juga meliputi
pemeriksaan terhadap ganti rugi dan rehabilitasi.33
Hal-hal atau peristiwa semacam itulah yang menjadi wewenang dari
lembaga praperadilan menurut KUHAP.
Selain itu wewenang tersebut juga dalam rangka wujud realisasi dari Pasal
7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
30Ibid.
31
S. Tanusubroto, op.cit. hlm. 3.
32
R. Suparmono, op.cit. hlm. 11.
33
menyebutkan bahwa tiada seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang
sah dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang.
Untuk lebih jelasnya disini akan dijelaskan mengenai wewenang
praperadilan yang diberikan undang-undang secara lebih rinci, yaitu:
1. Memeriksa dan memutus sah tidaknya upaya paksa.
Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada
praperadilan memeriksan dan memutus sah atau tidaknya: .34
a. Penangkapan
b. Penahanan
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau tedakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 35
Pada Pasal 16 s.d Pasal 19 KUHAP jo. Pasal 1 butir 20 KUHAP.
Penangkapan dapat dilkukan oleh penyelidik atas perintah penyidik, penyelidik
dan penyidik pembantu. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tidak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup
(Pasal 17 KUHAP).
Menurut Pasal 1 butir 14 menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak
dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang
34
M. Yahya Harahap (buku I), op.cit, hlm. 5.
35
betul-betul melakukan tindak pidana yang dengan berdasarkan bukti permulaan .36
Penangkapan ini juga dilakukan dalam jangka waktu paling lama satu hari37,
kecuali undang-undang mengatur lain.38
Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan dan
penahanan dapat meminta kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau
tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat
mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang
dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 21 KUHAP. Atau
penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas yang ditentukan Pasal 24
KUHAP.
Namun bukan hanya tersangka/terdakwa yang dapat mengajukan
permohonan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan tersebut. Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, yang berhak
mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, bukan hanya tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau
penasehat hukumnya.
36
Penjelasan Pasal 17 KUHAP.
37
Pasal 19 ayat (1) KUHAP.
38
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Kasus lain yang termasuk kedalam ruang lingkup kewenangan
praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian
penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya
penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.39
Penghentian penyidikan diatur di dalam Pasal 109 ayat (1) dan (2)
KUHAP. Alasan-alasan penghentian penyidikan tersebut antara lain adalah: .40
1. Tidak terdapat cukup bukti;
2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
3. Penyidikan dihentikan demi hukum.
Barang kali rasio atau alasan pemberian wewenang penghentian ini antara
lain:
a. Untuk menegakan prinsip peradilan cepat tepat dan berbiaya ringan
serta sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dan ehidupan
masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil
penyidikan dan penyelidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk
menuntut tersangka dimuka pengadilan, untk apa berlarut-larut
menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secra resmi
menyatakan penghentian penyidikan agar segera tecipta kepastia hukum
baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat.
39
M. Yahya Harahap (buku I), loc.cit.
40
b. Supaya penyidik terhidar dari tuntut ganti kerugian, sebab kalau
perkaranya diteruskan tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk
menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada
tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal
95 KUHAP.41
Penghentian penuntutan oleh penuntut umum didasarkan pada bunyi Pasal
140 ayat (2) KUHAP, yaitu: 42
a. Karena tidak cukup bukti;
b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
c. Perkara ditutup demi hukum.
Penuntutan terjadi jika suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan
negeri yang berwenang, sehingga batasan telah terjadi penuntutan atau belum
adalah adanya pelimpahan suatu perkara ke pengadian negeri.43
Secara harfiah arti kata penghentian penuntutan adalah suatu perkara telah
dilimpahkan ke pengadilan negeri, kemudian perkara tersebut dihentikan
prosesnya dan kemudian dicabut dengan alasan yang telah ditentukan oleh
undang-undang.44
Akan tetapi, mungkin saja alasan penghentian ditafsirkan secara tidak tepat
ataupun penghentian sama sekali tidak beralasan, atau penghentian itu dilakukan
untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh karena itu,
bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah
41
M. Yahya Harahap (buku I), op.cit. hlm. 147.
42
Hari Sasangka, op.cit. hlm. 174.
43
ibid. hlm. 108
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, supaya tindakan itu tidak
bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun pengawasan tidakan
penyalahgunaan wewenang (abuse of authority). Untuk itu terhadap penghentian
penyidikan, undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemerikaan kepada praperadilan
tentang sah atau tidaknya penghentian tersebut. Demikian pula sebaliknya,
penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan
sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Preperadilan.45
Pada tindak pidana khusus, khususnya korupsi, diketahui bahwa penyidik
dan penuntut umum berada dibawah satu atap yaitu Jaksa.46
Untuk mendapatkan solusi masalah ini menurut M. Yahya Harahap adalah
undang-undang harus dapat memperluas arti dari pihak ketiga yang
berkepentingan tersebut, tidak terbatas hanya saksi korban atau pelapor tetapi
meliputi masyarakat, misalnya dalam kasus korupsi yang menjadi pihak ketiga
yang berkepentingan (yang mempunyai hak untuk keberatan atas penghentian Apabila tindak pidana
korupsi terjadi penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak beralasan
maka siapa yang menajukan keberatan atas penghentian penyidikan atau
penuntutan tersebut. Dalam hal ini penuntut umum sebagai penyidik tidak
mungkin mengajukan keberatan, sedangkan pihak ketiga yang berkepentingan
(saksi/pelapor) tidak ingin terlibat dengan alasan takut, sebab yang dilaporkan
adalah seorang pejabat negara yang mempunyai kekuasaan.
45
M. Yahya Harahap, (buku I). op.cit. hlm. 5-6.
46
penyidikan dan penuntutan) adalah masyarakat yang dapat diwakili oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).47
Sebagai contoh, pada kasus penghentian penuntutan (SKP2) yang
dikeluarkan jaksa untuk menghentikan perkara kasus Sistem Administrasi Badan
Hukum (Sisminbakum) dengan tersangka Yusril Ihza Mahendra. Pada kasus ini,
permohonan praperadilan dilakukan oleh LSM Masyarakat Anti Korupsi
Indonesia (MAKI) dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat
diterima. Alasannya dikarenakan permohonan MAKI terlampau prematur.
Prematur disini maksudnya bahwa sebenarnya Jaksa Agung selaku termohon
belum menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), meskipun
berkas sudah dinyatakan lengkap. Namun MAKI masih bisa tersenyum walaupun
permohonan praperadilannya tidak dapat diterima oleh Hakim tunggal Ari
Jiwantara. Dalam pertimbangan putusannya, hakim tunggal kasus praperadilan
ini, menilai MAKI memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam
kapasitas sebagai pihak ketiga berkepantingan. Lebih lanjut dalam pertimbangan
putusannya, hakim menyatakan MAKI sebagai LSM berkomitmen terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor).48
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana angka 11 menyatakan “Dalam hal
penyidik menghentikan penyidikannya dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) dan
47
M. Yahya Harahap (buku I), op.cit. hlm. 11
48
penuntut umum menghentikan penuntutannya sebagaimana simaksud dalam Pasal
140 ayat (2), selain harus memberitahukannya kepada tersangka atau keluarga
atau penasehat hukumnya, juga kepada saksi pelapor atau korban, agar mereka
mengetahui sehingga menghindari kemungkinan diajukannya ke praperadilan”.
Menurut Hari Sasangka, ketentuan tersebut diatas adalah sangat janggal.
Karena saksi pelapor atau korban tetap mempunyai hak untuk mengajukan
masalah penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ke pengadilan
untuk diperiksa dalam sidang praperadilan. Jadi pengajuan masalah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam sidang praperadilan tidak bisa dicegah dengan
prosedur administratif seperti tersebut diatas. Selama saksi pelapor atau korban
menganggap penghentian oleh penyidik merugikan pihaknya maka kemunginan
untuk mengajukan masalah tersebut ke sidang praperadilan tetap ada.49
3. Berwenang memeriksan tuntutan ganti rugi.
Kesalahan pada semua tingkat pemeriksaan dalam suatu sistem peradilan
pidana bagaimanapun juga dapat terjadi dan korban kesalahan tersebut haruslah
mendapat ganti kerugian.
Setiap ketidakadilan, apalagi yang menyangkut kehilangan kemerdekaan
seseorang haruslah dikembalikan kepada suatu keadaan yang adil dengan
memberikan sejumlah ganti kerugian. Hal ini haruslah dilakukan demi hukum,
bukanlah hanya sekedar sabagai suatu basa-basi kesopanan belaka.
49
Pasal 95 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan
tersangka , keluarganya atau penasehat hukumnya kepada praperadilan. Tuntutan
ganti kerugian ini diajukan tersangka berdasarkan alasan:
1. Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
2. Karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang,
3. Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,
ditahan atau diperiksa.50
Berdasarkan Pasal 95 KUHAP tesebut pula maka ganti kerugian dapat
digolongkan dalam dua macam, yaitu:
1. Ganti kerugian atas penangkapan, penahanan serta tindakan lain yang
tidak sah dan untuk ditunjukkan oenyelesaiannya pada pemeriksaan
serta acara pada praperadilan (Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5)).
2. Ganti kerugian atas seorang yang diadili tanpa sah seperti yang
tercantum dalam Pasal 95 ayat (1).
Menurut penjelasan Pasal 95 ayat (1) dikatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan kerugian kerena dikenakan tindakan lain ialah
kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan
yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan yang lebih lama dari pada
pidana yang dijatuhkan”.
50
Maka ternyata ganti kerugian yang dimaksud adalah ganti kerugian
terhadap tindakan-tindakan pada fase pemeriksaan pendahuluan51, yakni
tindakan-tindakan yang berhubungan dengan upaya paksa.52
Disini dibedakan antara tuntutan ganti kerugian yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan dan tuntutan ganti kerugian yang perkaranya diajukan ke
pengadilan ( Pasal 77 dan 95 ayat (2) KUHAP). Apabila perkara tidak diajukan ke
pengadilan, baik karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut tidak merupakan
tindak pidana, sedangkan terhadap tersangka telah dilakukan penangkapan,
penahanan, dan tindak lain secara melawan hukum, maka tuntutan tersebut
diperiksa dan diputus oleh praperadilan. Sedang tuntutan ganti rugi yang
perkaranya telah diajukan ke pengadilan, maka permintaan ganti kerugian yang
demikian itu diperiksa dan diputus oleh hakim yang telah mengadili perkara
tersebut.53
Hakim praperadilan hanya dapat menetapkan suatu ganti kerugian atas
suatu penangkapan, penahanan serta penuntutan yang di anggap tidak sah, dan
dapat di perluas dengan penetapan ganti kerugian terhadap adanya tindakan lain
dimana dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) di tafsirkan sebagai suatu kerugian
yang di timbulkan oleh upaya paksa lainnya, seperti penggeledahan, penyitaan
barang serta pembukaan surta-surat, hal ini dapat dimengerti, karena praperadilan
51
Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila ada persangkaan tentang adanya tindak pidana, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan sebelum pemeriksaan persidangan penagdilan. Lihat buku Looeby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1984, hlm. 18.
52
Looeby Loqman, Praperadilan di Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta,1984, hlm.74.
53
wewenangnya adalah pada tindakan pada fase pemeriksaan pendahuluan, dan
batasnya adalah sampai perkara tersebut diajukan ke depan sidang pengadilan.54
4. Memeriksa permintaan rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan
haknya, dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap,
ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 95 ayat (3) KUHAP) 55
Selain itu mengacu pada Pasal 1 butir 23 KUHAP, rehabilitasi adalah: .
Hak seorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan: 56
a. Atas hak kemampuan, dan
b. Atas hak kedudukan dan harkat martabatnya,
c. Serta hak pemulihan tersebut dapat diberikan dalam semua tingkat
pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, atau
pengadilan.
Praperadilan berwenang memeriksa dan memutuskan permintaan
rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau kuasa hukumnya atas
penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang telah ditentukan oleh
undang-undang, atau rehabilitasi atau kekeliruan mengenai orang atau hukum
yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan kesidang pengadilan.57
54
Loebby Loqman, op.cit. hlm. 75.
55
Hari Sasangka Op.cit. h. 230.
56
M. Yahya Harahap (buku I), op.cit. hlm. 69.
57
Rehabilitasi dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan di
dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Sedangkan dalam putusan Praperadilan rehabilitasi tersebut tidak dapat
dicantumkan seperti pada putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan.
Alasannya adalah bahwa putusan Praperadilan hanya memeriksa tentang sah atau
tidaknya upaya paksa oleh pejabat penegak hukum, bisa saja terjadi bahwa
Pemohon Praperadilan yang mendapat putusan bahwa penangkapannya tidak sah
adalah memang pelaku tindak pidana.58
Oleh karena itu, rehabilitasi dapat diberikan apabila perkara orang tersebut
telah mendapat putusan hakim yang berkekuatan tetap untuk menghindari adanya
pemberian rehabilitasi terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindakan
kejahatan (tindak pidana).
59
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 pasal 14, amar
penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut:
“Memulihkan hak pomohon dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat
serta martabatnya. “60
5. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan
Ada kemungkinan didalam melakukan penyitaan, terdapat suatu
kekeliruan. Apabila suatu penyidikan terhadap diri tersangka telah digunakan
upaya paksa penyitaan, dan ternyata yang disita tidak termasuk alat bukti maka
hal tersebut dapat dimohonkan praperadilan (Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP).61
58
Hari Sasangka, op.cit. hlm. 229-230.
59ibid
.
60
ibid. hlm. 231.
61
Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, tersangka, keluarga atau penasehat
hukumnya dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan. Cuma apa yang diatur dalam Pasal 79, hanya
meliputi pengajuan pemeriksaan tentang sah tidakna penangkapan atau
penahanan. kedalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah atau
tidaknya penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah. Namun mengenai sah
atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan termasuk juga dalam kandungan Pasal
79 dihubungkan dengan Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP, sehingga mengenai
sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan dapat diajukan oleh tersangka,
keluarganya atau penasehat hukumnya atau orang terhadap siapa dilakukan
penggedahan atau penyitaan.62
Tindakan menyangkut penyitaan bisa dimohonkan praperadilan dengan
alasan :63
a. Bila menimbulkan kerugian, diajukan permohonan praperadilan dengan
alasan ganti kerugian;
b. Bila ada barang yang tidak termasuk alat pembuktian dilakukan
penyitaan, diajukan permohonan praperadilan dengan alasan ada benda
disita yang tidak termasuk alat pembukian.
6. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial,
budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis
62
Harahap, M. Yahya (buku I), op.cit. hlm. 9.
63
oleh banyak ilmuan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh
Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutkan sebagai
korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk
konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa tidak lagi dipimpin oleh
hukum tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.64
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti kerusakan atau
kebobrokan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah “korupsi” yang
berasal dari kata corrupteia yang dalam bahasa Latin berarti bribery atau
seduction maka yang diartikan dengan corrupto dalam bahasa Latin ialah
corrupter atau seducer. Bribery dapat diartikan sebagai memberikan kepada
seseorang agar seseorang terssebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara
seduction berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.65
Hafidhuddin juga mencoba memberikan gambaran korupsi dalam
perspektif agama islam, ia mengatakan, bahwa dalam islam korupsi termasuk
perrbuatan fasad66
64
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 32.
. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kobro (dosa
besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan
kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri
dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam korteks ajaran Islam yang lebih luas,
korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan
(al-65
Yudi Kristiana, Indenpendensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 9.
66
‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala
dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi67 terhadap kehidupan
negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan
dimuka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.68
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana
korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal pasal Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, antara lain :
1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau
Suatu Korporasi (Pasal 2)
2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan,
Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3)
3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu
(Pasal 5)
4. Tindak Pidana Suap pada Hakim dan Advocat (Pasal 6)
5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan
Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI dan NKRI (Pasal 7)
6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8)
7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan
Daftar-Daftar (Pasal 9)
8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusak Barang, Akta, Surat, atau
Daftar (Pasal 10)
67
Distorsi adalah penyimpangan, pemutar balikan suatu fakta. (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia)
68
9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan
dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)
10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negar atau Hakim dan Advocat
Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar,
Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan Tanah Negara,
dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12)
11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi (Pasal
12B)
12. Korupsi Suap Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan (Pasal
13)
13. Tindak Pidana Pelanggaran Terhadap Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430
KUHP (Pasal 23)
7. Perbedaan Penahanan pada Masa HIR dengan KUHAP
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu
oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.69
Penahanan sebenarnya telah diatur dalam Het Herziene Inlandsch
Reglement (HIR). Akan tetapi setelah berlaku KUHAP, mengenai penahanan ini
diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 KUHAP, dimana untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan masing-masing penegak
hukum berwenang melakukan penahanan.70
69
Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
70
Terdapat perbedaan-perbedaan pengaturan penahanan di dalam HIR dan
juga KUHAP. Perbedaan tersebut antara lain adalah :
1. HIR tidak mengenal berbagai jenis penahanan, yang ada hanya
penahanan rumah tahanan kepolisian, atau penyebutan jenis tahanan
berdasar instansi yang melakukan sehingga klasifikasi yang signifikan
pada waktu itu, tahanan polisi, tahanan jaksa, atau tahanan hakim. Lain
halnya dalam KUHAP, telah memperkenalkan dengan resmi macam
jenis penahanan.71
2. Jenis-jenis penahanan yang telah diperkenalkan oleh KUHAP ini diatur
dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP jenis-jenis penahanan dapat dibedakan
dalam penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, dan
Penahanan kota
72
yang masing masing penahanan tersebut
mendapatkan pengurangan masa penahanan pada penjatuhan pidana.
Jadi, karena HIR tidak mengenal jenis penahanan, maka di dalam HIR
juga tidak mewajibkan pengurangan masa penahanan pada penjatuhan
pidana.73
3. Kewenangan melakukan penahanan di dalam HIR hanya jaksa dan
pembantu jaksa dan hakim hanya memperpanjang masa penahanan
yang dilakukan oleh jaksa. Sedangkan dalam KUHAP menentukan
bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang
71
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sianar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 165. (selanjutnya disebut buku II)
72
Hari Sasangka, op.cit, hlm. 117.
73
melakukan penahanan yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut
umum, dan hakim.74
4. Lamanya penahanan setelah suatu perkara dilimpahkan ke Pengadilan
di dalam HIR sama sekali tidak dibatasi. Artinya selama itu ada di
tangan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan
tidak dikeluarkan suatu ketetapan untuk mengeluarkan terdakwa dari
tahanan, terdakwa masih berstatus tahanan dan sah. Di dalam KUHAP
hal demikian tidak mungkin terjadi lagi, pembatasan-pembatasan
wewenang sangat diperketat, terutama dalam hal jangka waktu dan
pejabat yang berwenang untuk melakukan penahanan. Disamping itu,
terdapat pula suatu penahanan yang tidak sah. karena kalau jangka
waktu yang ditentukan telah lewat, terdakwa harus dikeluarkan demi
hukum.75
5. Penuntut umum tidak dapat memperpanjang penahanan yang dilakukan
oleh pembantu jaksa jika dilihat dari ketentuan yang diatur oleh HIR.
Penuntut umum hanya dapat melakukan penahanan sendiri yang paling
lama 30 hari. Sedangkan dalam KUHAP, penuntut umum dapat
melakukan perpanjangan penahanan yang telah dilakukan oleh penyidik
paling lama empat puluh hari.76
Penahanan dalam HIR jika dibandingkan dengan ketentuan dalam
KUHAP, maka KUHAP jauh lebih menjamin hak-hak asasi tersangka.77
74ibid
, hlm 135.
Terlebih
75
Mien Rukmini, op.cit. hlm. 127.
76
Andi hamzah, op.cit, hlm. 136
77
lagi dengan hadirnya lembaga praperadilan. Penahanan yang dikenakan kepada
seseorang kemudian ia berpendapat bahwa penahanan dilakukan secara tidak sah
atau tidak sesuai dalam KUHAP maka tersangka/terdakwa atau keluarganya atau
pihak lain yang dikuasakan misalnya penasehat hukumnya, dapat meminta
pemeriksaan dan putusan hakim tentang sahnya penahanan atas dirinya tersebut.
Pemeriksaan tersebut menurut KUHAP dilakukan oleh pengadilan, dikenal
sebagai Lembaga Praperadilan.78
Kewenangan penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa
khususnya penahanan ini merupakan tindakan pengurangan dan pembatasan
kemerdekaan dari hak asasi tersangka, oleh karenanya upaya paksa yang
merupakan wewenang penyidik dan penuntut umum harus dapat dipertanggung
jawabkan menurut hukum. Untuk mengawasi dan menilai apakah upaya paksa
tadi tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang maka lahirlah lembaga
praperadilan (penjelasan Pasal 80 KUHAP).
79
Selain itu tujuan diadakannya
lembaga praperadilan adalah demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan
perlindungan hak asasi tersangka.80
M. Metode Penelitian
Adapun Metode penelitian yang dipergunakan di dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
78
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01.PW.07.03.TH.1982 tentang pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
79
M. Yahya Harahap (buku II),op.cit, hlm. 74.
80
Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yakni
penelitian yang memperlajari berbagai norma-norma hukum. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan
yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Selain itu skripsi ini juga
menganalisis putusan praperadilan yang menyangkut masalah syah atau tidaknya
penahanan yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Stabat.
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan data, maka data sekunder diperoleh melalui Studi
Kepustakaan (Library Research) untuk memperoleh berbagai literatur dan
peraturan perundang-undangan.
3. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif
yaitu apa yang diperoleh dari penelitian yang kemudian dipelajari secara utuh dan
menyeluruh (komprehensif) untuk mendapatkan jawaban permasalahan dalam
skripsi.
N.Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam empat bab, masing-masing bab
terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.
Selanjutnya sistematikanya adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan Latar belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan. Selanjutnya adalah Tinjauan
praperadilan, ruang lingkup tindak pidana korupsi, serta penahanan
dalam proses pemeriksaan perkara korupsi. Pada bagian akhir dari bab
ini berisikan tentang : Metode Penelitian dan Sistematikan Penulisan.
Bab II : Menguraikan tentang upaya praperadilan memberikan perlindungan
terhadap tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi
yang didalam sub babnya diuraikan juga tentang penyidikan
penyidikan dan penyidik dalam tindak pidana korupsi, upaya paksa
yang dapat dilakukan penyidik dalam tindak pidana korupsi, serta
upaya praperadilan sebagai sarana kontrol dan melindungi hak
tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi.
Bab III : Kasus Posisi dan Analisis Kasus
Dibahas mengenai pemeriksaan praperadilan di Pengadilan Stabat
mengenai sah tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik kejaksaan
dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan cara menganalisis
putusan no.01/Pid/Pra.Per/2011/PN.STB, dipaparkan kasus posisi,
dasar pemohonan mengajukan praperadilan, pertimbangan hakim, dan
putusan serta mengkaji putusan tersebut.
Bab IV : Merupakan bab paling akhir yang menguraikan tentang : Kesimpulan
dan saran. Pada bagian kesimpulan akan tercantum
kesimpulan-kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab
sebelumnya, yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang
diajukan pada penulisan ini. Pada bagian saran, diuraikan saran dari
BAB II
UPAYA PRAPERADILAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
D.Penyidikan dan Penyidik dalam Tindak Pidana Korupsi 3. Penyidikan dalam Tindak Pidana Korupsi
Istilah penyidikan merupakan padanan kata dari bahasa Belanda , dari
bahasa inggris “investigation” atau dari bahasa Latin “investigatio”.81 Pada
ketentuan pasal 1 angka 2 KUHAP, dapat disebutkan bahwa: 82
“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan
acara pidana adalah : .83
a. Ketentuan-ketentuan tentang data-data penyidikan
b. Ketentuan-ketentuan tentang diketahuinya terjadi delik
c. Pemeriksaan di tempat kejadian
d. Pemanggilan terangka atau terdakwa
e. Penahanan sementara
f. Penggeledahan
g. Pemeriksaan atau investigasi
h. Berita acara (penggeledahan, introgasi, dan pemeriksaan di tempat)
i. Penyitaan
j. Penyampingan terdakwa
k. Pelimpahan perkara kepada perkara kepada penuntut umum dan
pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan
81
Yudi Kristiana, op.cit. .hlm78.
82
Lenden Marpaung,op.cit, hlm11
83
Hukum memang tidak