• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Indonesia untuk Tidak Melakukan Retaliasi dar

Dalam dokumen Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Huku (1) (Halaman 154-157)

BAB IV ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN INDONESIA TERHADAP

B. Pertimbangan Indonesia untuk Tidak Melakukan Retaliasi dar

Aspek Kekuatan Perdagangan

Dari diagram yang menunjukan kegiatan ekspor-impor antara Indonesia dan Korea Selatan di atas, dapat dilihat bahwa hubungan ekspor- impor antara Indonesia dan Korea Selatan adalah hubungan yang positif bagi Indonesia karena jumlah ekspor Indonesia ke Korea Selatan lebih besar daripada jumlah impor Indonesia dari Korea Selatan. Namun kondisi seperti ini harus disikapi dengan lebih hati-hati agar retaliasi tidak merugikan bagi Indonesia sendiri selaku Retaliating Country, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap komoditi lain, mengingat sifat retaliasi yang diskriminatif dan menimbulkan dampak injury bagi Non Compliance Country. Misalnya, Indonesia melakukan retaliasi dengan menarik semua produk kertas yang dijual ke pasar Korea Selatan. Terhadap tindakan ini, Korea Selatan justru membalas tindakan Indonesia dengan memberikan hambatan non tarif dengan membatasi kuota produk karet yang diekspor Indonesia ke Korea Selatan. Mengingat produk karet merupakan salah satu komoditi yang paling banyak diekspor ke Korea Selatan, maka pembatasan kuota tersebut akan merugikan Indonesia.

Selain pertimbangan terhadap kerugian bagi komoditi ekspor-impor antara Indonesia dan Korea Selatan selain kertas, pelaksanaan retaliasi juga harus mempertimbangkan efektivitas dari pelaksanaan retaliasi itu sendiri yang dapat dilihat baik dari sudut pandang Indonesia dan dari sudut pandang Korea Selatan.

Dari sudut pandang Korea Selatan, dalam tabel 4.1 mengenai data komoditi ekspor Indonesia ke Korea Selatan, dapat dilihat bahwa kertas bukan merupakan komoditi ekspor utama Indonesia ke Korea Selatan. Selain itu, berdasarkan data pasar ekspor produk kertas Indonesia ke seluruh dunia, Korea Selatan juga bukan merupakan pasar utama dari ekspor produk kertas Indonesia. Jika dikaitkan dengan tujuan retaliasi untuk memberikan keseimbangan ekonomi dengan pemberian ganti rugi, maka retaliasi diberlakukan terhadap produk kertas, maka tidak tertutup kemungkinan

Universitas Indonesia

pemenuhan ganti rugi akibat dikenakannya BMAD terhadap produk kertas Indonesia akan membutuhkan waktu yang lama atau bahkan sama sekali tidak akan menutup kerugian yang dialami Indonesia. Contohnya, ketika Indonesia menarik produk kertas dari Korea Selatan, maka konsumsi Korea Selatan terhadap produk kertas Indonesia akan berkurang. Terhadap kondisi ini, tidak tertutup kemungkinan Korea Selatan akan mensubstitusi konsumsi produk kertas dengan cara mengimpor produk kertas dari negara lain, mengingat Indonesia sendiri bukanlah negara utama penghasil kertas di dunia.

Sedangkan dari sudut pandang Indonesia, dalam Pasal 22 ayat (3) huruf d (ii) DSU mensyaratkan bahwa:

in applying the above principles ... the broader economic elements related to the nullification or impairment ...”

Rumusan pasal tersebut mensyaratkan adanya pertimbangan terhadap dampak kerugian ekonomi secara luas akibat tindakan dari non compliance country. Apabila dikaitkan dengan kasus ini, maka unsur ‘broader economic elements related to the nullification’ tidak terpenuhi karena BMAD yag diberlakukan oleh KTC Korea Selatan hanya berlaku untuk 4 (empat) eksportir produk kertas Indonesia. Hal ini berarti bahwa eksportir produk kertas Indonesia selain 4 (empat) eksportir tersebut masih dapat mengekspor produk kertasnya tanpa dikenakan BMAD. Pengenaan BMAD memang memberikan kerugian bagi Indonesia, hanya saja kerugiannya tidak bersifat meluas sehingga tidak mempengaruhi ekspor kertas secara khusus maupun perdagangan dan perekonomian nasional secara umum.

4.2.4.Aspek Politik

A. Gambaran Hubungan Politik antara Indonesia dan Korea Selatan

Sistem penyelesaian sengketa perdagangan internasional, khususnya retaliasi, sangat dipengaruhi oleh aspek politik terhadap penentuan efektif atau tidaknya pelaksanaan retaliasi. Dalam kasus ini, faktor hubungan

Universitas Indonesia

diplomatik mempengaruhi Indonesia dalam pengambilan keputusan pelaksanaan retaliasi terhadap Korea Selatan.

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Selatan telah dimulai sejak tahun 1973 sementara hubungan konsuler telah dibuka sejak tahun 1966. Kedua negara tersebut berupaya meningkatkan hubungan dan kerja sama, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Hubungan dan kerja sama bilateral diarahkan kepada kerja sama strategis. Hal ini dibuktikan pada tahun 2006, Indonesia dan Korea Selatan menandatangani Joint Declaration on Strategic Partnership to Promote Friendship and Cooperation between Republic of Indonesia and the Republic of Korea (Joint Declaration). Di samping Joint Declaration, kedua negara tersebut. Di samping Joint Declaration, Kedua negara juga memiliki sejumlah forum dan atau modalitas dalam rangka kerja sama bilateral seperti:

 Pertemuan Working Level Task Force (WLTF);

 Joint Task Force on Economic Cooperation pada tahun 2007;

 Working Level Task Force Meeting (WLTFM ) pada tahun 2008;

 Joint Economic Committee (WLTFM) Tingkat Menteri Ekonomi.

Hubungan dan kerja sama politik yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi melalui investasi antara Indonesia dan Korea Selatan berjalan sangat baik dan dapat dikatakan hampir tidak ada permasalahan yang cukup serius. Peningkatan hubungan dan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan didukung antara lain oleh sifat komplementaritas sumber daya dan keunggulan yang dimiliki masing-masing serta proses kemajuan ekonomi dan politik kedua negara yang sangat baik yang membuka peluang kerja sama di berbagai sektor semakin terbuka lebar. Bagi Indonesia, Korea Selatan menawarkan peluang yang baik sebagai sumber modal/ investasi, teknologi dan produk-produk teknologi. Korea Selatan menjadi alternatif sumber teknologi khususnya di bidang heavy industry, IT dan telekomunikasi. Di lain pihak, Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi

Universitas Indonesia

yang cukup sehat dalam dekade terakhir menawarkan peluang pasar yang sangat besar, sumber alam/ mineral, dan tenaga kerja.

Data menunjukkan bahwa nilai realisasi investasi Korea Selatan di Indonesia terus meningkat sejak tahun 2008 hingga tahun 2013 dan di akhir tahun 2013, nilai investasi dari Korea Selatan telah meningkat hingga mencapai US$ 2,2 miliar277. Nilai tersebut telah menempatkan Korea Selatan sebagai investor terbesar ke-4 setelah Jepang, Singapura dan Amerika Serikat.

Investasi Korsea Selatan di Indonesia terutama pada sektor industri elektronik, telekomunikasi, konstruksi, otomotif, pertambangan, migas, air bersih, perbankan dan perhotelan. Beberapa investor besar dari Korea Selatan seperti POSCO, Hankook Tire, Lotte Group dan Cheil Jedang Group telah berinvestasi di Indonesia278. Hal tersebut membuktikan adanya kepercayaan yang tinggi dari para investor Korea Selatan kepada Indonesia. Investasi oleh perusahaan besar tersebut telah membawa perusahaan- perusahaan Korea Selatan lainnya untuk ikut berinvestasi di Indonesia.

Dalam dokumen Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Huku (1) (Halaman 154-157)

Dokumen terkait