• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Analisis Kinerja Industri Elektronika di Indonesia

5.3.2 Pertumbuhan Industri Elektronika di Indonesia

Pertumbuhan nilai tambah dan output industri elektronika di Indonesia dapat dilihat pada lampiran tabel 3. Pertumbuhan output dan nilai tambah industri elektronika pada saat sebelum krisis ekonomi yaitu tahun 1996 bernilai 185.80 persen dan 200.17 persen. Tetapi pada tahun 1997 pertumbuhan output dan nilai tambah turun sebesar 130.05 persen dan 138.94 persen. Secara keseluruhan pertumbuhan output dan nilai tambah pada saat krisis ekonomi tidak sampai bertumbuh negatif. Hanya saja penurunannya sangat drastis sekali. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan biaya produksi yang sangat besar akibat krisis ekonomi yang pada saat itu tidak hanya dialami oleh Indonesia tetapi juga dialami oleh sebagian besar negara-negara di Asia. Besarnya kandungan impor dalam bahan baku industri elektronika ini menjadi penyebab utama menurunnya produksi industri ini karena pada saat krisis mata uang Rupiah mengalami keterpurukan yang menyebabkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk bahan baku.

Meningkatnya biaya produksi dalam industri ini menyebabkan banyak perusahaan dengan skala usaha kecil keluar dari industri ini. Perusahaan besar yang tetap bertahan dalam industri ini juga mengurangi output produksinya. Pengurangan output produksi ini juga yang mengakibatkan turunnya nilai tambah yang dihasilkan

oleh industri ini. Karena selain pengurangan output, kenaikan biaya input juga menjadi penyebab turunnya nilai tambah yang dihasilkan oleh industri ini.

Pada lampiran tabel 3, pertumbuhan tenaga kerja dan jumlah perusahaan juga mengalami penurunan pada tahun 1997, dan tahun 1998 pertumbuhan tenaga kerja hanya sebesar 1.334 persen dan pertumbuhan tenaga kerja bertumbuh negatif menjadi 2.58 persen. Karena adanya krisis ekonomi ini menyebabkan perusahaan yang tidak mampu lagi melanjutkan skala produksinya keluar dari industri ini. Pengurangan jumlah perusahaan akan secara langsung menyebabkan banyaknya tenaga kerja yang terkena PHK, sehingga terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja pada masa itu.

Industri elektronika di Indonesia belum mampu menguasai teknologi sehingga hanya mampu memproduksi secara masal desain teknologi dari negara lain atau menggunakan lisensi dari perusahaan negara lain dengan mesin dan bahan baku impor. Kondisi ini menyebabkan pada saat terjadi krisis ekonomi industri ini langsung mengalami goncangan. Hal ini dikarenakan industri manufaktur elektronika di Indonesia sebagian besar adalah industri perakitan yang perusahaannya berupa perusahaan penanaman modal asing (PMA) dari produk-produk bermerk global. Bisa dikatakan bahwa hanya bagian produksinya saja yang ada di Indonesia, sedangkan proses desain dan penelitian dasarnya masih berada di negara asalnya.

Jika dilihat dari lampiran gambar 1, tahun 1997 sampai tahun 1998 pertumbuhan industri ini masih menunjukkan angka yang positif. Tetapi pertumbuhannya masih dibawah angka pertumbuhan sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1996. Tahun 1999, pertumbuhan industri ini kembali mengalami penurunan, yaitu penurunan pertumbuhan nilai tambah dan output. Sementara itu, pertumbuhan

tenaga kerja dan jumlah perusahaan justru sebaliknya. Tahun 1999, pertumbuhan tenaga kerja dan jumlah perusahaan mengalami pertumbuhan positif.

ou tp u t e m p a t p e ru sa h a a n te rb e sa r 0 5 000000000 1 0000000000 1 5 000000000 2 0000000000 2 5 000000000 3 0000000000 3 5 000000000 4 0000000000 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 000 2 001 2 002 2 003 2 004 2 005 tahun n ila i o u tp u t ou tp u t e m p a t p e ru sa h a a n te rb e sa r

Gambar 5.7 Tren Perkembangan Output Empat Perusahaan Terbesar dalam Industri Elektronika tahun 1995-2005

Sumber: Diolah dari data BPS, tahun 1995-2005.

Pertumbuhan tenaga kerja dan jumlah perusahaan menjadi 26.091 persen dan 3.08 persen. Jika dilihat dari lampiran gambar 1, pertumbuhan tenaga kerja dan jumlah perusahaan yang tidak diikuti dengan pertumbuhan output dan nilai tambah, mengindikasikan bahwa perusahaan yang masuk dalam industri merupakan perusahaan dengan skala usaha kecil sehingga tidak memberikan kontribusi output dalam industri. Tahun 2000, terjadi keadaan yang merupakan kebalikan dari keadaan tahun sebelumnya. Tahun ini output dan nilai tambah yang bertumbuh positif dan sebaliknya pertumbuhan tenaga kerja dan jumlah perusahaan mengalami penurunan. Tetapi pertumbuhan output dan nilai tambah ini belum mampu melebihi bahkan menyamai pertumbuhan industri sebelum krisis ekonomi. Ini disebabkan karena

perusahaan besar tidak dapat menaikkan skala produksinya melebihi bahkan menyamai tahun sebelumnya. Penurunan pertumbuhan tenaga kerja dan jumlah perusahaan ini dapat disebabkan karena naiknya rasio konsentrasi pasar, yang berarti bahwa bertambahnya hambatan untuk masuk kedalam industri ini. Sementara itu pertumbuhan output tahun 2000 mengalami peningkatan disebabkan karena empat perusahaan terbesar mampu meningkatkan outputnya dari tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari gambar 5.7 yang menunjukkan bahwa pada tahun 2000 telah terjadi peningkatan output dari perusahaan terbesar dalam industri ini.

Tahun 2001 kembali industri ini mengalami pertumbuhan yang negatif. Dari lampiran gambar 1 terlihat bahwa pertumbuhan nilai tambah, output, tenaga kerja dan jumlah perusahaan mengalami pertumbuhan yang negatif. Penurunan output empat perusahaan terbesar justru mengakibatkan naiknya rasio konsentrasi. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah perusahaan yang masuk dalam industri ini. Pertumbuhan output dan yang negatif pada tahun ini, disebabkan karena adanya penurunan output dari empat perusahaan terbesar sebesar 21.5 persen dari tahun sebelumnya. Banyaknya perusahaan yang keluar dari industri ini secara langsung akan mengurangi jumlah tenaga kerja dalam industri ini.

Setelah tahun 2001, pertumbuhan industri elektronika secara keseluruhan tidak begitu tinggi. Hal ini selain karena tingginya kandungan impor dalam bahan baku, juga disebabkan banyaknya produk dumping dan produk ilegal yang masuk melalui black market. Harga dari produk elektronika lokal tidak mampu bersaing dengan produk ilegal maupun produk dari negara dengan politik dumping.

Berkembangnya perekonomian China mengakibatkan besarnya ekspor produk industri China, termasuk produk industri elektronika. Salah satu negara yang menjadi tujuan ekspor dari China adalah Indonesia. Khusus untuk produk elektronika, volume produk yang masuk ke Indonesia mulai mengkhawatirkan industri elektronika lokal. Hal ini dikarenakan harga dari produk elektronika China ini lebih rendah dari harga produk elektronika lokal. Tren produk China ini menyebabkan berkurangnya pangsa pasar dari perusahaan elektronika lokal.

Kenaikan harga bahan bakar minyak, gas dan energi karena pencabutan subsidi oleh pemerintah juga menyebabkan tingginya biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan. Hal ini secara langsung akan mengurangi nilai tambah yang akan diperoleh oleh perusahaan. Selain itu, tingginya Pajak Pertambahan nilai Barang Mewah (PPnBM) terhadap produk elektronika mengakibatkan harga dari produk elektronika Indonesia kurang mampu bersaing dengan harga produk China yang masuk ke Indonesia.

Sementara itu pada tahun 2005 terjadi penurunan kinerja industri elektronika secara drastis diakibatkan karena raksasa elektronika Jepang Sony Corp. memutuskan untuk menutup pabrik audionya di Indonesia, PT Sony Electronics Indonesia (PT SEI). Dampaknya, selain adanya penurunan output juga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap lebih kurang 1.100 pekerja.

5.3.4 Hubungan Struktur Pasar dengan Kinerja Industri Elektronika di