• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H14104016

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam ilmu ekonomi pembangunan, industrialisasi merupakan salah satu strategi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena produk-produk industri memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk di sektor yang lain. Untuk itulah pembangunan industri dapat dijadikan sebagai alat penggerak perekonomian, karena diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah ekonomi yang mendasar. Penyerapan tenaga kerja, pemerataan pendapatan dan khususnya pengentasan kemiskinan. Hal inilah yang menyebabkan negara-negara berkembang seperti Indonesia melakukan strategi industrialisasi sebagai alat untuk pembangunan ekonomi.

Untuk kondisi Indonesia saat ini, perbaikan ekonomi merupakan salah satu hal yang sangat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pertumbuhan di sektor makro dan mikro diharapkan dapat membawa pengaruh yang positif dalam perbaikan ekonomi. Pada beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor makro ekonomi menunjukkan peningkatan yang positif. Meningkatnya kinerja ekonomi makro yang ditandai dengan inflasi rendah, stabilitas nilai tukar, dan melejitnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 52 persen pada 2006.

(3)

Tetapi hal ini tidak diikuti oleh sektor mikro ekonomi, dimana pertumbuhan sektor riil mengalami kemunduran yaitu terlihat dari penurunan kinerja investasi pada tahun 2006. Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan realisasi penanaman modal asing (PMA) pada tahun 2006 turun 49.74 persen dibanding 2005 menjadi US$ 4.48 miliar, sementara PMDN turun 55.8 persen menjadi Rp 13.5 triliun. Kondisi ini mencerminkan kelesuan investasi dan dunia usaha yang semakin jauh dari upaya mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Untuk menciptakan lapangan kerja, sektor riil perlu digerakkan dan investasi perlu ditingkatkan. Jumlah pengangguran diprediksi meningkat 1 sampai 1.5 juta orang, dengan asumsi angkatan kerja baru bertambah 2 sampai 2.5 juta sedangkan yang terserap sekitar satu juta sehingga masih tersisa antara 1 sampai 1.5 juta orang.Dapat dikatakan secara riil pertumbuhan ekonomi belum terasa. Padahal sektor riil dapat dijadikan sebagai andalan untuk menghasilkan devisa, mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, mengurangi ketidakmeratan pendapatan, dan mencegah kerawanan sosial.

Kurang adanya perbaikan kondisi perekonomian di sektor mikro, salah satunya dapat disebabkan oleh kebijakan di sektor industri yang dinilai tidak fokus dan tidak mempunyai tahapan yang jelas sehingga sektor industri bergerak di bawah performa. Indonesia yang dikenal sebagai pemasok gas dunia, justru industri dalam negerinya kolaps karena tidak mendapatkan pasokan bahan bakar gas.

Di bidang investasi, Indonesia dihadapkan pada persaingan yang sangat ketat. Berbagai negara di Asia, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura berlomba memperbaiki iklim investasi, sementara di Indonesia masih menghadapi

(4)

masalah yang sama yaitu, lambannya birokrasi dan ketidakpastian hukum. Ada tiga faktor yang berpotensi menjadi motor penggerak bangkitnya sektor riil pada 2007, yaitu investasi pemerintah berupa pembangunan infrastruktur, investasi dunia usaha, dan investasi asing.

Perekonomian Indonesia tidak akan dapat bergerak kearah pertumbuhan yang tinggi jika tidak diikuti dengan perubahan formasi industri di Indonesia. Pendekatan yang harus dilakukan terkait dengan perubahan formasi industri adalah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekspor baik secara langsung maupun tidak langsung.

Salah satu bidang industri yang saat ini dapat diandalkan adalah industri elektronika. Industri elektronika Indonesia merupakan industri yang strategis untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk berkembang di masa yang akan datang. Menurut Thoha (1996), ada tiga alasan yang mendasari potensi tersebut, yaitu: merupakan sarana bagi terlaksananya pembangunan secara umum, teknologi elektronika sangat vital dan strategis bagi kelangsungan hidup bangsa di masa depan, dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, Indonesia dapat memanfaatkan pasar di kawasan ini. ASEAN yang merupakan satu kesatuan pasar, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di dunia dan penduduk sekitar 500 juta orang, diperkirakan sangat ekonomis untuk mengembangkan jenis industri dengan teknologi canggih tertentu. Jenis industri yang didorong perkembangannya, antara lain industri telekomunikasi, industri elektronika yang menunjang informasi dan elektronika, konsumen dan profesional, termasuk semi konduktor.

(5)

Selain hal diatas, industri elektronika memiliki potensi nilai ekspor yang cukup besar. Sejak tahun 1996, beberapa negara di Asia telah memfokuskan pengembangan industri elektronika pada sektor yang pertumbuhannya tinggi. Untuk perkembangan ekspornya sendiri, industri elektronika, telematika dan mesin listrik menyumbangkan ekpor senilai US$ 10738.0 juta pada tahun 2004 dan US$ 12211.3 juta pada tahun 2005. Sementara untuk periode Januari sampai Oktober tahun 2006 senilai US$ 9887.9 juta.

Tabel 1.1 Perkembangan Ekspor Komoditi Utama Non-migas Indonesia periode 2004-2007 (US$ Juta) Jan-Okt Jan-Juni No Uraian 2004 2005 2005 2006 % 2006 2007 % 1 Elektronika, Telematika dan Mesin Listrik 10738 12211.3 10125.0 9887.9 -2.34 5615.36 5950.67 5.97 2 Tekstil dan Produk Tekstil 7647.4 8604.1 7297.7 7822.2 7.19 4554.98 4826.78 5.97 3 Kayu dan Barang Dari Kayu 3271.1 3111.3 2648.1 2704.9 2.15 1508.40 1619.08 7.34 4 Besi Baja dan Otomotif 2064.3 2607.3 2169.7 3031.6 39.72 1707.64 2159.29 26.45 Sumber: Depperin (2008).

Industri elektronika Indonesia sangat bertumpu pada industri elektronika konsumsi rumah tangga yang nilai pasar ekspornya kecil serta pertumbuhannya rendah. Pangsa terbesar dari ekspor elektronika Indonesia adalah produk sound

system, TV, recorder, kipas angin, seterika, pompa air serta radio, dimana semuanya

adalah elektronika rumah tangga yang pada umumnya dikonsumsi oleh sebanyak 33 juta keluarga dari masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara untuk rumah tangga

(6)

berpenghasilan menengah keatas, yaitu sebanyak 23 juta keluarga mengkonsumsi lemari es, mesin cuci, AC, LCD TV, kamera digital dan komputer.

Tingginya kandungan impor dalam bahan baku produk elektronika Indonesia, yaitu sekitar 80-90 persen merupakan salah satu permasalahan yang belum dapat diatasi sampai saat ini. Hal ini menunjukkan lemahnya keterkaitan industri ini dengan industri pendukung lainnya. Selain itu permasalahan struktural lainnya adalah, kualitas sumber daya manusia yang rendah dan juga rendahnya penguasaan teknologi yang menyebabkan industri elektronika Indonesia hanya bersifat sebagai perakit saja. Selain permasalahan struktural di atas, saat ini industri elektronika Indonesia menghadapi beberapa permasalahan yang memungkinkan untuk menjadi penghalang dalam pertumbuhan industri ini. Permasalahannya antara lain adalah: tren produk China yang menunjukkan laju pertumbuhan yang terus meningkat. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena produk elektronika China ini akan menjadi pemain yang dominan dalam industri elektronika. Jika hal ini terus dibiarkan, maka industri elektronika Indonesia akan semakin mengalami penurunan. Menurut Rahmat Gobel, produk elektronika China yang masuk ke Indonesia bukan dari industri yang berteknologi tinggi melainkan industri sederhana yang dapat dibuat oleh setingkat Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia. Hal ini akan mengurangi kesempatan industri sederhana untuk berkembang. Di pasaran juga ditemukan sekitar 40 persen produk elektronika yang beredar adalah produk ilegal yang berasal dari black market. Maraknya produk ilegal ini bisa jadi disebabkan karena tingginya PPnBM (Pajak Pertambahan nilai atas Barang Mewah). Ekonomi biaya tinggi, pungutan di pelabuhan, masalah distribusi dan sistem perpajakan. Tingginya tarif terminal

(7)

handling charge dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) per dokumen sangat

dikeluhkan para pelaku bisnis elektronika. Infrastrutur yang kurang memadai juga turut menghambat pertumbuhan dari industri ini. Jalan tol dan jalan raya menuju dan ke kawasan industri selalu macet. Hal ini mendorong para pelaku bisnis di kawasan Jabotabek mengusulkan agar dibangun jalur khusus bagi kontainer agar arus masuk dan distribusi barang semakin cepat ke pelabuhan. Masalah terkosentrasinya industri di pulau Jawa sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang belum dapat dipecahkan dengan baik.

Hambatan tidak hanya datang dari dalam negeri. Ekspor produk China yang sangat kompetitif semakin menguasai pasaran dunia. Begitu juga dengan semakin berjayanya negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, Thailand membuat posisi daya saing Indonesia semakin terpuruk. Ekspor negara-negara itu semakin gencar ke Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa.

Melihat banyaknya tantangan yang dihadapi, para pelaku industri elektronika ini harus meningkatkan daya saing dan kinerja yang lebih baik agar mampu menghadapi ketatnya kompetisi dari perkembangan industri elektronika dunia. Sehingga produk elektronika Indonesia dapat menjadi tuan rumah di pasar domestik dan mampu bersaing di pasaran dunia.

1.2 Perumusan Masalah

Industri elektronika Indonesia merupakan industri yang strategis untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk berkembang di masa yang akan datang. Sebagai salah satu industri yang diunggulkan, industri elektronika dapat

(8)

memanfaatkan pasar domestik yang cukup besar dan industri ini dapat menjadi tuan rumah di Indonesia.

Ada tiga jenis industri elektronika yang akan kembangkan di dalam negeri untuk menjadi industri elektronika unggulan Indonesia di masa depan. Industri yang dimaksud, pertama industri elektronika komponen, kedua industri berbasis pendingin, seperti lemari es dan pendingin ruangan (AC) dan pabrik televisi, ketiga peralatan telekomunikasi berbasis radio seperti telepon wireless dan handphone. Karena industri ini potensi pasarnya cukup besar di dalam negeri. Kulkas dan AC misalnya potensi pasarnya cukup besar mengingat Indonesia merupakan negera tropis dan industri pendukungnya juga sudah ada. Sama halnya dengan televisi, pasarnya bisa mencapai 2.5 juta unit per tahun dan industri pendukung seperti tabung gambar sudah ada di dalam negeri. Sedangkan industri peralatan telekomunikasi juga pasarnya cukup menjanjikan, mengingat Indonesia negara kepulauan yang luas dan membutuhkan peralatan telekomunikasi banyak. Pasar handphone di Indonesia setidaknya sudah mencapai 200 ribu unit per bulan. Padahal produsen handphone internasional biasanya sudah mau berinvestasi bila produksi dan penjualannya mencapai 10 ribu unit per bulan. Potensi yang besar ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong produsen handphone dunia membuat pabriknya di Indonesia, sehingga bisa menyerap tenaga kerja baru.

Industri elektronika yang akan dibahas dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga subsektor berdasarkan International Standard Industrial Classification (ISIC) 5 dijid, yaitu: ISIC 32100 (subsektor industri komponen), ISIC 32200 (subsektor industri alat komunikasi), ISIC 32300 (subsektor industri televisi dan

(9)

radio). Masing-masing sub sektor industri elektronika ini memiliki pasarnya masing-masing, dimana setiap pasar memiliki ciri khas dan kinerjanya masing-masing untuk setiap subsektor industri. Adanya perbedaan pangsa pasar berpengaruh terhadap struktur pasar. Struktur pasar yang berbeda ini akan memperlihatkan adanya perbedaan perilaku setiap perusahaan dalam mencapai tujuan. Perbedaan perilaku ini juga akan mempengaruhi kinerja dari masing-masing pasar.

Dengan melihat banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh industri elektronika di Indonesia, perlu diciptakan perubahan mekanisme pasar. Dimana struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dan akan mempengaruhi kinerja dari industri itu sendiri. Peningkatan daya saing produk juga dapat meningkatkan kinerja pasar menjadi lebih baik sehingga akan meningkatkan nilai tambah industri.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu: bagaimana hubungan struktur industri elektronika akan berimplikasi terhadap perilaku perusahaan dan kinerja industri elektronika.

1.3 Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis struktur pasar dari industri elektronika di Indonesia sebelum

masa krisis ekonomi dengan sesudah masa krisis ekonomi.

2. Menganalisis perilaku perusahaan dari industri elektronika di Indonesia. 3. Menganalisis kinerja dari industri elektronika di Indonesia sebelum masa

(10)

4. Menganalisis hubungan antara struktur pasar industri elektronika dan kinerja industri elektronika di Indonesia.

5. Mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan faktor penentu daya saing industri elektronika di Indonesia.

1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah industri elektronika Indonesia berdasarkan kode ISIC 5 dijid yang berkaitan dengan kondisi dasar dari industri, struktur, perilaku dan kinerja industri elektronika di Indonesia. Populasi data yang digunakan adalah data yang berasal dari Biro Pusat Statistik (BPS), dan instansi terkait lainnya pada periode tahun 1995-2005. Keterbatasan dari penelitian ini adalah data yang tersedia di Biro Pusat Statistik (BPS) hanya sampai pada tahun 2005, dimana analisis perilaku dan daya saing industri elektronika menggunakan data yang bersifat kualitatif. Selain itu penelitian ini hanya terbatas pada produksi domestik dan tidak menganalisis kinerja dan daya saing industri elektronika di pasar internasional.

1.5 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat mampu memberikan gambaran yang lebih baik mengenai struktur, perilaku, kinerja serta daya saing dari industri elektronika di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah maupun lembaga atau instansi terkait dalam usaha untuk mengembangkan industri elektronika Indonesia. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian berikutnya. Sementara

(11)

untuk peneliti sendiri, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana dalam mengembangkan intelektualitas.

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Pengertian Industri

Industri diartikan sebagai sekumpulan perusahaan yang serupa atau sekelompok dengan produk yang berkaitan erat (Lipsey, et al., 1996). Sementara itu menurut Dumairy (1996), industri mempunyai dua pengertian. Pertama, industri merupakan himpunan dari beberapa perusahaan sejenis. Menurut pengertian diatas, industri elektronika adalah sekelompok perusahaan yang menghasilkan produk elektronika. Kedua, industri dapat diartikan sebagai sebuah sektor ekonomi dengan kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Dengan pengolahan yang bersifat masinal, elektrikal, atau bahkan manual. Sedangkan pengertian dari perusahaan atau usaha industri menurut BPS (2005) adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut.

Dalam teori ekonomi mikro, industri merupakan kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen atau barang-barang yang mempunyai sifat saling menggantikan yang sangat erat. Tetapi secara ekonomi

(13)

makro, industri diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan nilai tambah.

Menurut penggolongannya, industri elektronika termasuk dalam jenis industri pengolahan. Dimana menurut BPS (2002), industri pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakaian akhir. Perusahaan industri pengolahan dibagi dalam empat golongan sebagaimana dijelaskan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pengolongan industri pengolahan berdasarkan jumlah tenaga kerja Golongan Industri Banyaknya Tenaga Kerja

Besar Sedang Kecil Rumah Tangga ≥ 100 orang 20-99 orang 5-19 orang 1-4 orang Sumber: BPS (2002).

2.1.2 Kondisi Dasar Industri

Kondisi dasar dari sistem mekanisme pasar terbagi dua, yaitu, pihak pertama kondisi yang ditentukan oleh sisi penawaran, sedangkan dipihak lain melalui sisi permintaan. Pada sisi permintaan, faktor-faktor yang berpengaruh adalah: elastisitas, tingkat pertumbuhan, substitusi, tipe pemasaran, cara pembelian, sifat-sifat siklis dan musiman. Sedangkan pada sisi penawaran, bahan baku, teknologi ketahanan produk,

(14)

nilai atau berat, sikap bisnis dan organisasi buruh mempengaruhi kondisi dasar dari sebuah sistem mekanisme pasar.

Dalam bukunya, Hasibuan (1991), menjelaskan bahwa dalam kondisi dasar regulasi pemerintah dapat dimasukkan, yang dalam hal ini memiliki dua pengaruh. Pertama, regulasi merupakan pengaturan, sehingga terjadi konsentrasi yang semakin tinggi, seperti izin monopoli untuk suatu barang dalam pasar dalam negeri. Kedua, kalau terjadi deregulasi terhadap mekanisme pasar yang semakin bersaing, maka struktur pasar tidak terkonsentrasi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, peranan pemerintah semakin jelas pengaruhnya terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri.

Menurut Jaya (1993), ekonomi industri merupakan ilmu yang menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisirannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja pasar. Struktur pasar menunjukkan atribut pasar yang mempengaruhi sifat proses persaingan. Unsur-unsur struktur pasar meliputi: konsentrasi, diferensiasi produk, hambatan masuk ke dalam pasar, struktur biaya, dan tingkat pengaturan pemerintah.

Banyak pandangan yang muncul berkaitan dengan pendekatan Struktur Perilaku dan Kinerja ini. Diantaranya:

1. Pandangan Klasik

Menurut pandangan klasik, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku pasar yang kemudian akan berpengaruh terhadap kinerja pasar. Semakin tinggi konsentrasi

(15)

suatu pasar akan membuat pasar mengarah kepada struktur monopoli. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk menggunakan kekuasaan pasarnya dalam menghasilkan keuntungan yang tinggi, sehingga konsumen harus membayar harga yang tinggi. Persaingan yang kompetitif merupakan struktur pasar yang menguntungkan bagi konsumen.

2. Pandangan Chicago-UCLA School

Menurut pandangan Chicago-UCLA School, pangsa pasar yang tinggi menunjukan kepuasan konsumen, bukan bentuk dari kinerja yang buruk. Sementara keberhasilan perusahaan diukur dengan keuntungan. Tingkat efisiensi suatu perusahaan merupakan faktor yang menentukan posisi perusahaan di dalam pasar. Tingkat efisiensi ini diakibatkan oleh penerapan teknologi dan tidak adanya hambatan masuk pasar. Menurut pandangan ini, sebuah perusahaan yang efisien dan inovatif dapat menarik konsumen dengan memberikan harga yang lebih rendah atau barang yang lebih berkualitas sehingga akan meningkatkan keuntungan perusahaan.

3. Pandangan Behaviourist

Pandangan ini menyatakan bahwa perilaku suatu perusahaan merupakan penyebab yang lebih kuat dibandingkan dengan struktur pasar. Keuntungan monopoli akan terjadi apabila dua perusahaan bekerja sama, dan jika dua perusahaan berkompetisi maka sulit untuk memperoleh keuntungan.

4. Pandangan Potential Competition (Contestable Market)

Pandangan ini menjelaskan mengenai model pasar yang diperebutkan (Contestable market). Perusahaan tidak menemui hambatan dalam keluar masuk pasar. Yang berarti bahwa pasar dapat diperebutkan secara sempurna, jika ada

(16)

perusahaan yang masuk kedalam pasar untuk mencari keuntungan tidak mengalami kerugian jika perusahaan tersebut gagal. Modal yang besar merupakan syarat utama agar perusahaan dapat menjadi bagian dari pasar yang diperebutkan secara sempurna.

5. Pandangan New Industrial Organization

Pandangan ini memberi perhatian lebih pada peran perilaku, dimana perusahaan tidak hanya bereaksi dan beradaptasi terhadap kondisi eksternal. Menjaga lingkungan ekonomi tempat perusahaan berada juga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Dalam melakukan analisis Ekonomi Industri, ada empat cara untuk mengamati kaitan antara struktur, perilaku dan kinerja. Pertama, hanya memperhatikan secara mendalam dua aspek, yakni kaitan antara struktur dan kinerja industri, sedangkan aspek perilaku kurang ditekankan. Kedua, pengamatan kinerja dan perilaku yang kemudian dikaitkan dengan struktur. Ketiga, menelaah kaitan struktur terhadap perilaku dan kemudian baru diamati kinerjanya. Keempat, kinerja tidak perlu diamati lagi karena telah dijawab oleh hubungan struktur dan perilakunya. Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis yang pertama dimana hanya melihat kaitan antara struktur dan kinerja industri sedangkan aspek perilaku kurang ditekankan.

2.1.3 Struktur Pasar

Secara sederhana pasar adalah pertemuan antara penjual dan pembeli. Jika pengertian ini dikaitkan dengan industri, penjual dapat diartikan sebagai individu

(17)

perusahaan yang ada dalam industri. Sementara pembeli adalah sejumlah individu yang tergabung sebagai pembeli.

Menurut Jaya (1993), struktur pasar menunjukkan atribut pasar yang mempengaruhi sifat proses persaingan. Unsur-unsur struktur pasar meliputi: konsentrasi, diferensiasi produk, hambatan masuk ke dalam pasar, struktur biaya, dan tingkat pengaturan pemerintah. Struktur pasar juga menggambarkan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan. Dan untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan menghadapi sejumlah rintangan. Setiap struktur pasar berada di antara monopoli (pangsa pasar dan hambatan untuk masuk yang tinggi) dan persaingan murni. Struktur biasanya mempengaruhi perilaku dari perusahaan.

Struktur industri juga berhubungan dengan karakteristik dan pentingnya pasar tertentu (individual) di dalam ekonomi. Dalam hal ini struktur menggambarkan lingkungan dimana suatu pasar beroperasi. Kondisi demikian dapat diidentifikasikan dengan melihat dari sisi penawaran produk, seperti sifat dari perusahaan yang memproduksi, karakteristik atau jenis biaya produksi dan kemungkinan masuk pasar (entry), ukuran relatif dan urutan kekuatan pasar para produsen, jenis barang dari industri dan pendistribusiannya.

Perusahaan dengan tipe monopoli murni seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN) biasanya hanya ada satu perusahaan dimana permintaannya bersifat sangat inelastis. Sementara perusahaan dominan menguasai sebagian pasar dan tidak ada pesaing yang kuat.

(18)

Tabel 2.2 Karakteristik Pasar No Struktur Pasar Kondisi Utama Indeks HH (Hirscman-Herfindhal) Hambatan Masuk Efisiensi Jumlah Produsen 1 2 3 Monopoli Murni Perusahaan yang dominan Oligopoli ¾ Oligopoli Ketat Pangsa pasarnya 100 persen Pangsa pasarnya 50 sampai 100 persen tanpa adanya pesaing kuat Gabungan 4 perusahaan yang memiliki pangsa pasar 60-100 persen. Kesepakatan untuk menentukan harga relatif mudah HHI=1 0.25<HHI<1 0.01<HHI<0.18 Sangat tinggi Tinggi Tinggi Kurang baik Kurang Baik Kurang Baik Satu perusahaan Banyak Sedikit

(19)

4 5 ¾ Oligopoli Longgar Persaingan Monopolistik Persaingan Murni Gabungan 4 perusahaan yang memiliki pangsa pasar sekitar 40 persen. Kesepakatan dalam menentukan harga sebenarnya tidak mungkin dilakukan Banyak pesaing yang efektif, tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen Lebih dari 50 pesaing, dimana tidak 0.01<HHI<0.1 HHI<0.01 Rendah Sangat Rendah Cukup Baik Baik Banyak Banyak Sangat Banyak

(20)

satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti

Sumber : Jaya (1993) dan Hasibuan (1991).

Oligopoli ketat merupakan kondisi dimana empat perusahaan terbesar memiliki pangsa gabungan lebih dari 60 persen, dimana permintaannya adalah bersifat inelastis dan adanya kerjasama dalam penentuan harga (berkolusi). Oligopoli yang longgar merupakan kombinasi empat perusahaan yang memiliki pangsa dibawah 40 persen dan kecil kemungkinan untuk menentukan harga melalui penetapan harga. Permintaanya bersifat elastis sehingga setiap perusahaan mendorong harga turun sampai mendekati tingkat biaya. Persaingan monopolistik merupakan tingkatan monopoli yang paling rendah, dimana pada tingkatan ini terdapat banyak pesaing yang memiliki kekuatan pasar yang kecil. Sementara untuk struktur persaingan murni terdapat banyak pesaing dan tidak satu pun mempunyai pengaruh terhadap pasar keseluruhan.

a. Pangsa Pasar (market share)

Pasar secara sederhana adalah pertemuan antara penjual dan pembeli. Secara nyata, pasar adalah lokasi terjadinya transaksi jual-beli. Menurut David Hyman (1996), pasar adalah pengaturan dimana pembeli dan penjual bertemu atau berkomunikasi untuk memperdagangkan barang dan jasa. Ini merupakan cara dari para pembeli dan penjual dalam melakukan bisnis bersama-sama. Sementara pangsa pasar dalam kegiatan bisnis merupakan tujuan atau motivasi perusahaan. Pangsa

(21)

pasar yang besar biasanya mencerminkan kekuatan pasar, dan sebaliknya. Peranan pangsa, seperti halnya elemen struktur yang lain, adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Pangsa pasar mengukur rasio hasil penjualan suatu perusahaan dengan total penjualan dalam industri. Rasio ini menjelaskan posisi setiap perusahaan dalam kontribusinya terhadap output total industri.

Setiap perusahaan memiliki pangsa pasar tertentu. Pangsa pasar ini menunjukkan kekuatan pasar yang dimiliki keuntungan dari penjualan produknya. Makin tinggi kekuatan pasar maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Besarnya pangsa pasar berkisar antar 0-100 persen dari total penjualan seluruh pasar.

Suatu perusahaan dengan pangsa pasar 100 persen memiliki kekuatan monopoli. Dengan pangsa pasar yang dimilikinya perusahaan memiliki keleluasaan untuk menetukan harga produk dan keputusan tentang pemasaran barang dan jasa. Suatu perusahaan dikatakan dominan bila perusahaan tersebut menguasai 40 persen pangsa pasar. Sementara pangsa pasar terbesar lainnya kurang dari separuh perusahaan dominan, semakin dekat perusahaan itu untuk menjadi perusahaan monopoli murni. Jika pangsa pasar terbesar berkisar antara 20-50 persen, maka kekuatan pasar yang terjadi adalah oligopoli. Kesepakatan diantara perusahaan terbesar dapat terjadi sehingga dapat bertindak layaknya monopolis sejati.

Akhirnya jika pangsa pasar terbesar dibawah 20 persen dan kombinasi pemusatan empat perusahaan dibawah 40 persen menunjukkan kekuatan kekuatan pasar yang relatif kecil. Hal ini berdampak pada munculnya berbagai bentuk persaingan. Meskipun terdapat hambatan masuk, namun kondisi tersebut cenderung

(22)

membentuk pasar persaingan murni. Walaupun dalam derajat yang rendah, persaingan dapat membawa alokasi sumber daya ekonomi yang relative lebih efisien.

b. Konsentrasi

Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopoli dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kombinasi pangsa pasar membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Penerimaan rata-rata industri yang terkonsentrasi akan lebih tinggi daripada penerimaan dari jenis industri yang kurang terkonsentrasi.

Konsentrasi dapat dihitung dengan menggunakan metode Rasio Konsentrasi Empat Perusahaan Terbesar (CR4) dan Indeks Hirschman-Herfindhal (HHI). CR4 memerlukan data mengenai ukuran pasar secara keseluruhan dan ukuran perusahaan yang memimpin pasar, sedangkan HHI merupakan penjumlahan kuadrat pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri.

CR 4 dirumuskan sebagai berikut :

Nilai CR4 yang dihasilkan antar 0-1. Semakin besar nilai CR4 yang dihasilkan maka struktur pasar semakin monopoli, sebaliknya jika nilainya semakin kecil maka persaingan mendekati sempurna.

Peningkatan konsentrasi bisa disebabkan karena perluasan yang terjadi pada

establishment dan berkurangnya jumlah perusahaan. Menurut Jaya (1993), semakin

meningkatnya konsentrasi rasio tetapi jumlah perusahaan naik, berarti skala

establishment dalam perusahaan yang masuk lebih banyak berskala sedang dan kecil.

(23)

c. Hambatan untuk Masuk (Barrier to entry)

Pesaing yang potensial adalah perusahaan-perusahaan diluar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya. Hambatan untuk masuk pasar merupakan segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru. Hal ini dapat berupa hak paten, hak mineral, dan franchise.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai hambatan untuk masuk pasar, yaitu:

ƒ Hambatan-hambatan yang timbul dalam kombinasi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat yang legal ataupun dalam bentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat.

ƒ Hambatan dalam kegiatan, mulai dari tanpa hambatan sama sekali (free

entry), hambatan rendah sedang sampai tingkat tinggi dimana tidak ada lagi

jalan untuk masuk.

ƒ Hambatan merupakan sesuatu yang kompleks, yang masih diperdebatkan oleh para ahli ekonomi.

2.1.4 Perilaku Pasar

Jika pasar berstruktur persaingan sempurna maka penetapan harga akan berlangsung secara alamiah. Perilaku pasar seperti penetapan harga, strategi produksi, kolusi dan penawaran vertikal umumnya terjadi pada pasar oligopoli.

(24)

a. Penetapan Harga

Interdependensi (saling ketergantungan), antara satu pesaing dengan pesaing lain yang saling mempengaruhi satu sama lain merupakan konsep dasar dari oligopoli. Kecenderungan utama pada pasar oligopoli adalah adanya persamaan harga dan ciri-ciri produk yang sama pada semua perusahaan. Pada pasar oligopoli, perusahaan mengawasi pesaingnya. Harga yang ditetapkan harus berada jauh diatas biaya yang dikeluarkan agar dapat memperoleh keuntungan. Menurut Burgess dalam Hasibuan (1989), ada tiga kemungkinan perusahaan dalam menentukan harga, yaitu: menyepakati harga jual yang sama dengan pesaingnya, menetukan harga yang rendah agar dapat mematikan pesaingnya, kemudian memperlambat laju pemunculan produk baru jika terdapat derajat diferensiasi.

b. Strategi Produk, Promosi dan Distribusi

Menurut Jaya (1993), suatu perusahaan tidak dapat bertahan hidup tanpa menciptakan produk yang baru. Produk yang sebelumnya dihasilkan akan menjadi semakin dewasa dan pada suatu saat nanti akan mengalami penurunan sehingga layak untuk digantikan. Produk baru menuntut sebuah perkenalan yang sukses serta partisipasi aktif seluruh jajaran manajemen perusahaan agar produk baru tersebut sukses di pasar. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pasar seperti kondisi perekonomian, sosial politik dan teknologi harus selalu diperhatikan.

Dalam menyiapkan produk baru, diperlukan adanya strategi-strategi khusus. Selain itu adanya pemeriksaan khusus secara berkala terhadap produk yang diciptakan akan memberikan dimana posisi produk tersebut berada dalam siklus produk. Adapun siklus suatu produk dibagi menjadi empat, yaitu: Pertama, fase

(25)

perkenalan dimana pada fase produk masih mencari jati diri di pasar. Fase ini memerlukan riset dan pengembangan serta modifikasi produk yang disesuikan dengan pasar. Kedua, fase pertumbuhan dimana pada fase ini desain produk sudah dapat dikatakan mulai stabil dan diperlukan penentuan kapasitas produksi dimasa yang akan datang. Ketiga, fase kedewasaan. Dalam fase ini dilakukan inovasi-inovasi dalam mempertahankan pangsa pasar. Keempat, fase penurunan dimana pada fase ini para pengambil keputusan harus mengambil langkah tegas terhadap produk-produk yang telah mencapai tahap akhir dari siklus.

Tabel 2.3 Karakteristik pada Daur Hidup Suatu Produk Siklus

Kategori

Pengenalan Pertumbuhan Kedewasaan Penurunan Penjualan Rendah Naik cepat Naik perlahan Menurun

Laba Kecil Tinggi Menurun Rendah atau

nol

Arus Kas Negatif Sedang Tinggi Rendah

Pelanggan Coba-coba Masal Masal Berkurang

Pesaing Sedikit Bertumbuh Banyak Berkurang

Biaya Pemasaran

Tinggi Tinggi mulai

menurun

Merosot Rendah Harga Tinggi Rendah Paling Rendah Mulai naik Desain Produk Dasar Disempurnakan Diferensiasi Rasionalisasi

Sumber : Jaya (1993).

Sementara untuk penjualannya sendiri ada beberapa strategi yang dilakukan oleh perusahaan. Mengadakan obral secara besar-besaran di akhir tahun atau memberikan diskon. Selain itu adanya promosi berupa iklan-iklan juga dilakukan perusahaan dalam memasarkan produknya. Usahan peningkatan penjualan bersifat informasi dan persuasif. Karena bersifat informasi iklan mempunyai keuntungan sosial marginal yang sama dengan biayanya. Informasi juga mampu menambah

(26)

pengetahuan kepada konsumen terkait dengan produk apa saja yang tersedia dan kegunaanya. Sementara dalam hal distribusi, perusahaan perlu untuk membangun jaringan dengan pengecer ataupun dealer-dealer sehingga distribusi yang memadai dapat tercapai.

2.1.5 Kinerja

Kinerja secara sederhana dapat diartikan sebagai nilai yang dihasilkan dari perilaku pasar. Kinerja menggambarkan hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri. Kinerja sering dikaitkan dengan keuntungan, efisiensi, pertumbuhan, kesempatan kerja. Efisiensi menunjukkan seberapa baik perusahaan tersebut mengelola sumber daya dan memenuhi kepuasan konsumen. Efisiensi-X berarti biaya pada tingkat minimum yang memungkinkan untuk dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan dikelola dengan baik. Efisiensi alokasi menggambarkan alokasi sumberdaya ekonomi dalam berproduksi sehingga dapat menaikkan output. Sementara efisiensi dinamis disebabkan oleh adanya perubahan teknologi.

Keuntungan atau laba secara sederhana diartikan sebagai nilai penjualan dikurangi dengan nilai pengorbanan untuk membuat suatu barang. Secara akuntansi, keuntungan atau laba adalah kelebihan penghasilan dari ongkos-ongkos yang dikeluarkan perusahaan. Secara matematis dirumuskan sebagai (R-C); dimana R adalah Revenue atau penghasilan dan C adalah Cost atau komponen ongkos produksi pada satuan waktu tertentu. Secara neraca nasional, keuntungan atau laba adalah bagian nilai tambah atau pendapatan yang diciptakan oleh perusahaan.

(27)

Tingkat pertumbuhan industri tergantung pada pertumbuhan keuntungan, tingkat pertumbuhan perusahaan atau pertumbuhan tenaga kerja.

Menurut Jaya (1993), tujuan kinerja ada 4, yaitu: ¾ Efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. ¾ Kemajuan teknologi dan penggunaannya. ¾ Keseimbangan dalam distribusi.

¾ Dimensi lain berupa kebebasan individu dalam memilih, keamanan dari bahaya yang mengancam dan keanekaragaman budaya yang ada.

2.1.6 Daya Saing

Daya saing atau competitiveness secara sederhana dapat diartikan sebagai produktivitas. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995), daya saing berarti kemampuan untuk melakukan sesuatu atau melakukan tindakan dalam merebut pasar.

Keunggulan bersaing suatu perusahaan menurut Porter (1995), bergantung pada tingkat sumber daya relatif yang dimilikinya. Keunggulan bersaing yang dimaksud antara lain, tersedianya peranan sumber daya. Persaingan dalam hal ini kompetisi dapat meningkatkan level suatu produk yang berarti akan meningkatkan daya saing dari produk itu sendiri. Peningkatan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap unit yang digunakan dapat berupa peningkatan jumlah input fisik (modal dan tenaga kerja), peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi (total faktor produktivity).

Penentu daya saing nasional (Porter’s diamond) menurut Michael E. Porter ditunjukkan dalam bagan dibawah ini:

(28)

Gambar 2.1 Penentu Daya Saing Nasional (Porter’s Diamond)

Adapun komponen dari penentu daya saing nasional ini adalah sebagai berikut: 1. Kondisi faktor

Kondisi faktor merupakan faktor endomen yang dimiliki oleh suatu negara untuk mengembangkan industrinya. Kondisi faktor ini merupakan salah satu komponen daya saing yang sangat basis dan penting. Kondisi faktor dapat berupa sumber daya alam, tenaga kerja yang terampil, atau infrastruktur yang baik.

2. Kondisi permintaan

Kondisi permintaan ini biasanya mengandalkan permintaan dari dalam negeri. Jumlah penduduk yang besar di suatu negara dapat menyebabkan permintaan akan barang dalam jumlah yang besar. Tetapi selain memiliki daya beli yang tinggi, konsumen yang ada juga harus bersifat sophisticated, sehingga produk yang dihasilkan dapat menjadi lebih baik.

Strategi perusahaan, struktur dan persaingan

Kondisi faktor Kondisi permintaan

Industri terkait dan industri pendukung

Peran Kesempatan

Peran Pemerintah

(29)

3. Industri terkait dan industri pendukung

Untuk mengembangkan industri perlu dibangun keterkaitan antar industri. Baik industri pemasok ataupun industri terkait lainnya. Hal ini dapat meningkatkan nilai tambah dari industri tersebut.

4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan

Dalam hal ini pemerintah berperan dalam mengatur bagaimana perusahaan diciptakan, diatur dan dikelola, sebagaimana juga sifat dari persaingan domestik. Pemerintah juga berperan dalam membuat regulasi yang dapat menunjang pembangunan industri yang memiliki daya saing.

Selain keempat komponen penentu daya saing diatas, ada 2 faktor lain yang akan mempengaruhi interaksi antara tiap komponen, yaitu: peran kesempatan dan peran pemerintah. Peran kesempatan merupakan faktor yang berada diluar kendali perusahaan atau pemerintah. Tetapi kondisi ini dapat mempengaruhi peningkatan ataupun penurunan daya saing industri baik secara domestik maupun secara global. Salah satu diantaranya adalah faktor yang berpengaruh pada biaya produksi yang tidak berlanjut seperti perubahan harga minyak dan energi, perubahan kurs mata uang, dan lain-lain. Selain itu kondisi sosial politik dalam suatu negara juga dapat mempengaruhi daya saing industri. Peran pemerintah merupakan faktor yang dapat memepengaruhi kondisi industri yang sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah. Dalam melakukan peran ini pemerintah dapat melakukan beberapa regulasi yang diharapkan mampu untuk meningkatkan daya saing industri.

(30)

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri telah banyak dilakukan. Penelitian yang sudah pernah dilakukan antara lain:

1. Penelitian mengenai “Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Rokok Kretek di Indonesia” pada tahun 2004, yang meneliti hubungan antara struktur pasar dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa struktur pasar dari industri rokok kretek adalah oligopoli ketat. Sementara hasil analisis hubungan struktur dan kinerja, variabel bebas yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan (PCM) adalah tingkat konsentrasi (CR4), efisiensi internal (X-eff), dan skala ekonomis (MES). Variabel utilitas kapasitas produksi (CU) tidak berpengaruh terhadap PCM. Variabel yang memiliki hubungan yang positif adalah CR4 dan X-eff, sedangkan variabel MES memiliki hubungan negatif dan tingkat keuntungan. 2. Penelitian tentang struktur, perilaku dan kinerja industri elektronik pasca

deregulasi penanaman modal asing tahun 2005. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa industri elektronik pra dan pasca deregulasi penanaman modal asing cenderung memiliki struktur pasar yang bersifat oligopoli.

3. Penelitian mengenai analisis struktur , kinerja dan kluster industri elektronika Indonesia tahun 1990-1999. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, struktur pasar yang ada bersifat oligopoli. Kontribusi nilai tambah indusri elektronika terhadap total industri manufaktur selama tahun 1990-1999 hanya mengalami kenaikan sebesar 2,41 persen.

(31)

Penelitian yang saat ini akan dilakukan adalah mendukung penelitian yang sebelumnya. Dimana data terakhir yang dipakai pada penelitian terdahulu adalah tahun 2002. Sehingga penelitian ini melanjutkan penelitian yang telah ada. Selain itu penelitian ini akan membahas tentang daya saing dari industri elektronika di Indonesia yang belum disinggung dalam penelitian terdahulu.

2.3 Kerangka Pemikiran

Globalisasi ekonomi yang telah terjadi saat ini menuntut suatu negara termasuk Indonesia untuk mampu memperkuat perekonomiannya. Adanya industrialisasi di Indonesia diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor dan mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara yaitu melalui ekspor.

Salah satu sektor industri yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah industri elektronika. Industri ini memiliki potensi ekspor yang besar dan mampu menyerap tenaga kerja.

Dalam upaya peningkatan untuk meingkatkan potensi yang dimiliki, industri elektronika menghadapi beberapa permasalahan yang mendasar. Permasalahan yang dihadapi antara lain: Pertama, adanya ketergantungan bahan baku impor yang mengakibatkan tingginya biaya produksi karena adanya fluktuasi nilai tukar. Ketidakstabilan nilai tukar ini secara langsung menjadi hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk industri karena tingginya resiko yang akan dihadapi. Kedua, masuknya produk dumping dan ilegal di pasar. Hal ini secara langsung akan menurunkan pangsa pasar dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan lokal karena

(32)

harga dari produk dumping dan ilegal tersebut lebih rendah dibandingkan harga dari produk elektronika lokal.

Industri elektronika di Indonesia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah industri elektronika yang dibagi atas tiga sub sektor berdasarkan standar klasifikasi internasional (ISIC), yaitu: subsektor industri komponen, subsektor industri alat komunikasi, dan subsektor televisi dan radio. Masing-masing sub sektor industri elektronika ini memiliki pasarnya masing-masing, dimana setiap pasar memiliki ciri khas masing-masing untuk setiap sub sektor industri.

Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam diagram alir (flow

(33)

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran dari Analisis Struktur, Perilaku, Kinerja dan Daya Saing Industri Elektronika di Indonesia

Hubungan Struktur dan Kinerja industri Industrialisasi Industri elektronika ISIC 32100 ISIC 32200 ISIC 32300 Perilaku

Perusahaan Struktur Pasar Industri Kinerja

Analisis Perilaku Analisis Struktur Pasar Analisis Kinerja • Penetapan harga • Strategi produk • Strategi promosi dan distribusi CR4 • Kontribusi terhadap industri manufaktur • Pertumbuhan Daya Saing Industri Analisis Daya Saing Porter’s Diamond Keunggulan dan kelemahan faktor penentu daya saing

(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series dari tahun 1995 sampai tahun 2005. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian (Depperin), perpustakaan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan instansi-instansi terkait lainnya. Data ini menggunakan sistem penggolongan industri yang disebut dengan nama International

Standard Industrial Classification (ISIC). Data yang digunakan adalah rasio

konsentrasi, nilai output, nilai tambah, nilai input atau biaya antara dan jumlah tenaga kerja.

3.2 Metode Analisis

Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis yang bersifat deskriptif dengan menggunakan kerangka analisis Stucture,

Conduct, Performence (SCP) untuk meneliti struktur, perilaku dan kinerja industri

elektronika di Indonesia. Sedangkan daya saing akan dianalisis menggunakan analisis

Porter’s Diamond. Berdasarkan penggolongan industri dengan sistem ISIC maka

pada penelitian ini akan membagi sektor industri elektronika dalam 3 subsektor, yaitu ISIC 32100 (subsektor industri komponen), ISIC 32200 (subsektor industri alat komunikasi), ISIC 32300 (subsektor industri televisi dan radio).

(35)

3.2.1 Analisis Struktur Pasar

Struktur pasar industri elektronika dapat dilihat dengan menghitung rasio konsentrasi empat perusahaan besar (CR4). CR4 menunjukkan pangsa pasar 4 perusahaan terbesar dari suatu industri tertentu

CR4 dirumuskan sebagai berikut:

Dimana :

CR4= rasio konsentrasi 4 perusahaan terbesar Si= pangsa pasar perusahaan ke-i

dimana :

Xi = Pangsa pasar,

k = jumlah pemain dalam pasar

Xi = output atau nilai tambah dari perusahaan ke-i

Secara sederhana pangsa pasar dapat diperoleh dengan membagi jumlah output yang dihasilkan perusahaan ke-i dengan jumlah output yang dihasilkan dalam suatu industri.

Nilai CR4 menunjukkan bentuk struktur pasar industri elektronika di Indonesia. Semakin besar angka persentasenya (mendekati 100 persen) maka struktur pasarnya adalah monopoli. Jika mendekati lebih besar dari 60 persen struktur

(3.1) CR4 = 4 ∑ Si i=1 Si = Xi k ∑ Xi i=1 (3.2)

(36)

pasarnya adalah oligopoli, dan bila mendekati nol persen maka struktur pasarnya adalah pasar persaingan sempurna.

Hambatan perusahaan baru untuk masuk kedalam pasar atau industri juga dapat digunakan untuk mengukur struktur pasar. Hambatan untuk pasar dapat diproksi dari kekuatan perusahaan terbesar dalam menguasai pasar, sehingga menghalangi pesaing potensial yang mempunyai kemungkinan untuk masuk pasar dan menjadi pesaing baru.

3.2.2 Analisis Perilaku Industri

Analisis perilaku industri elektronika di Indonesia yang akan diteliti adalah strategi harga, produk, promosi dan distribusi. Untuk menganalisis perilaku industri ini tidak menggunakan data yang bersifat kuantitatif, sehingga analisis perilaku ini hanya bersifat kualitatif.

3.2.3 Analisis Kinerja Industri

Analisis kinerja industri elektronika akan mengamati kontribusi industri elektronika terhadap penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, output dan jumlah perusahaan. Keuntungan yang diperoleh, produktivitas dan efisiensi.

Nilai tambah yang digunakan adalah hasil keuntungan perusahaan setelah dikurangi dengan biaya input termasuk biaya yang dikeluarkan untuk gaji pekerja, biaya bahan bahan baku dan lain-lain. Nilai tambah dapat dirumuskan sebagai berikut:

(37)

Efisiensi menunjukkan kemampuan dari perusahaan dalam industri untuk menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Efisiensi yang dihitung dalam hal ini adalah efisiensi internal (efisiensi-X) yang menggambarkan suatu indutri dikelola dengan baik. Pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan menghitung rasio nilai tambah dengan nilai input, yang dirumuskan sebagai berikut:

3.2.4 Analisis Daya Saing Industri Elektronika di Indonesia

Dalam analisis daya saing industri ini akan dilihat bagaimana hubungan dari faktor-faktor penentu daya saing, yaitu: kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung serta strategi perusahaan, struktur dan persaingan dalam mempengaruhi industri elektronika di Indonesia. Dalam menganalisa daya saing industri ini akan menggunakan analisa secara kualitatif. Penelitian ini akan melihat bagaimana secara umum kaitan antara faktor-faktor penentu daya saing dari industri elektronika di Indonesia.

Dalam analisis ini akan dapat dilihat bagaimana keunggulan dan kelemahan dari masing-masing faktor penentu daya saing dari kerangka porter’s diamond. Keunggulan akan ditunjukkan dengan lambang (+), sementara untuk kelemahan akan ditunjukkan dengan lambang (-). Untuk keterkaitan antar faktor akan dilihat dari interaksi masing-masing faktor penentu daya saing. Keterkaitan yang saling

Efisiensi = Nilai Tambah Industri

(38)

mendukung akan ditunjukkan dengan garis merah dan keterkaitan yang tidak saling mendulung akan ditunjukkan dengan garis biru.

(39)

BAB IV

GAMBARAN UMUM INDUSTRI

4.1 Sejarah Perkembangan Industri Elektronika di Indonesia

Industri elektronika di Indonesia dimulai pada tahun 1950-an, dimana pada masa itu industri elektronika komponen skala usahanya masih berupa operasi perakitan dengan memproduksi transistor radio. Pada masa ini telah berdiri pabrik radio Philip di Bandung dan Surabaya, dimana kedua pabrik ini merupakan peninggalan dari Belanda. Kemudian pabrik radio Philip di Surabaya berubah menjadi pabrik bola lampu. Tahun 1956 didirikan PT Radio Mfg. Co yang memproduksi radio merk Tjawang. Kemudian industri ini semakin berkembang dimana pada awal tahun 1960 skala operasinya mulai pada perakitan unit-unit televisi hitam-putih (B/W) di bawah merk perusahaan lokal. Pada saat itulah mulai didirikan

service center, yang tujuannya memenuhi permintaan konsumen akan layanan pasca

pembelian. Pada tahun 1960-an, industri elektronika di Indonesia masih berskala kecil dan sedang dan belum adanya turut campur pihak asing. Industri elektronika masih bergerak di bidang reparasi dan perakitan. Hal ini yang menyebabkan pemerintah masih harus terus mengimpor produk-produk elektronika. Kondisi ini jugalah yang mendorong pemerintah membuat kebijakan substitusi impor.

Melalui kebijakan ini pemerintah mulai mendorong industri elektronika untuk mampu memproduksi kebutuhan di dalam negeri. Selama periode tahun 1970-1985, telah terjadi pertumbuhan produksi pada sektor industri, yang disebabkan oleh pertumbuhan ekenomi dan pembangunan infrastruktur. Pada tahun 1970-an mulai

(40)

tercipta kerjasama antara perusahaan Jepang dan perusahaan lokal dengan berdirinya perusahaan-perusahaan seperti National, Sanyo, dan Sharp. Sementara itu perusahaan seperti Fairchild MNC, Grundig dan Philips merupakan perusahaan asing milik Eropa. Hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi pemerintah karena mampu menghasilkan investasi asing dalam bentuk perusahaan modal asing. Perusahaan-perusahaan inilah yang pada akhirnya menjadi produsen terbesar dari produk elektronika di Indonesia. Hal ini juga diikuti dengan terbentuknya perusahaan lokal yang berskala besar yang masih terbatas pada operasi perakitan dengan desain dan komponen yang berasal dari perusahaan asing atau pemegang lisensi.

Sampai tahun 1973 telah berdiri 15 perusahaan aktif baik sebagai Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) maupun yang memproduksi dengan merek lokal. Perusahaan ATPM yang saat itu telah berdiri antara lain, seperti PT Yasonta yang merakit televisi dengan merek Sharp dari Jepang, PT Sanyo Industries Indonesia yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek Sanyo dari Jepang; PT National Gobel yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek National dari Jepang. PT Asia Electronics Corp. yang merakit radio dan televisi merek Grundig dari Jerman. Sedangkan yang memproduksi merek lokal adalah seperti PT Galindra Electric Ltd. yang juga merakit radio, televisi, tape

recorder dengan merek Galindra; PT Telesonic, dan sebagainya. Sampai tahun 1985

jumlah perusahaan elektronika bertambah menjadi sekitar 58 perusahaan dengan berbagai merek produksi. Sampai tahun 1973 produk yang dihasilkan masih terbatas pada radio, televisi, dan tape recorder. Setelah tahun 1973 jenis produk yang dihasilkan mulai merambah kepada alat-alat listrik rumah tangga.

(41)

Dengan berdirinya perusahaan-perusahaan multinasional ini telah mengurangi ketergantungan dari produk-produk elektronika impor. Untuk memperkuat posisi perusahaan-perusahaan tadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan "larangan impor". Pada awal tahun 1970-an impor televisi dan radio dalam keadaan CBU (Completely

Built Up) dilarang. Dari sisi struktur produksi, sebetulnya perusahaan-perusahaan

elektronika tadi sebagian besar melakukan perakitan dengan sebagian besar komponen diimpor dari luar negeri. Bagi perusahaan ATPM, mereka mengimpor komponennya dari pemilik merek. Produk bermerek lokalpun mendapatkan sebagian besar komponennya dari luar negeri. Dengan demikian industri elektronika kita merupakan industri perakitan yang mempunyai kapabilitas produksi dengan modifikasi sederhana. Hanya beberapa perusahaan yang memiliki kapasitas modifikasi mendasar (major change capability) dan kemampuan rekayasa atau desain. Boleh dikatakan belum ada yang dapat melakukan inovasi.

Babak baru perkembangan industri elektronika dimulai tahun 1985. Diawali dengan berbagai deregulasi yang dilancarkan pemerintah. Para investor dari Jepang, Korea dan Taiwan mulai berdatangan. Produk-produk bermerek Korea dan Taiwan seperti Samsung, Goldstar dan sebagainya mulai muncul dipasaran. Tahun 1990, pemerintah semakin memberikan perhatian terhadap sektor industri, termasuk juga kepada sektor industri elektronika. Hal ini memberikan dampak yang positif dimana telah mampu memicu pertumbuhan elektronika didalam negeri yang terlihat dari penurunan impor produk akhir sebesar 20-40 persen. Seiring dengan penurunan impor, ekspor elektronika ini pun mulai meningkat. Pesatnya perkembangan ekspor elektronika mulai terlihat tahun 1991. Saat itu, realisasi dari perusahaan-perusahaan

(42)

Jepang, terutama yang bertujuan ekspor, memang sudah mulai nampak sejak tahun 1985. Saat itu terjadi apresiasi mata uang Yen. Menurut data dari Departemen Perindustrian, pada tahun 1992 ekspor perusahaan PMA mencapai 80% dari total ekspor sektor elektronika nasional.

4.2 Potensi Industri Elektronika Didalam Negeri

Berdasarkan sejarah perkembangan industri, sektor industri elektronika dapat disebut sebagai salah satu sektor industri yang memberikan kontribusi yang positif dalam membangun perekonomian Indonesia. Peranan industri elektronika ini dapat dilihat berdasarkan pertumbuhan jumlah unit usaha baik berupa perusahaan modal asing ataupun perusahaan modal dalam negeri. Kontribusi industri ini juga tidak terlepas dari penyerapan tenaga kerja dan kenaikan ekspor yang semua ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang positif.

4.2.1 Perkembangan Ekspor

Tahun 1987, nilai ekspor hanya mencapai US$ 59 juta, sedangkan tahun 1992 melonjak menjadi US$ 865 juta dan tahun 1993 menjadi US$ 1.2 miliar. Tahun 1994, nilai ekspor industri elektronika mencapai sekitar US$ 2.2 miliar.

Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekspor elektronika menunjukkan angka yang positif dimana industri ini tumbuh sebesar 83.34% pada tahun 1994. Dengan melihat perkembangan dari industri elektronika ini pemerintah menetapkan sektor elektronika sebagai salah satu dari enam industri andalan ekspor nasional.

(43)

Tabel. 4.1 Perkembangan Ekpor Industri Elektronika

Tahun Nilai Ekspor (US$ Juta) Pertumbuhan (%)

1987 59 ─ 1992 865 1366.1 1993 1200 38.72 1994 2200 83.34 1995 2241 1.86 1996 2964 32.26

Sumber: BPS (1996) dan Depperindag (1994).

Pada tahun 1995 kenaikan nilai ekspor tidak begitu signifikan. Hal ini terlihat pada pertumbuhan ekspor tahun 1994 sampai tahun 1995 hanya 1.86 persen. Sementara nilai ekspor elektronika Januari sampai November 1996 meningkat hingga 32.26 persen, dibandingkan dengan nilai ekspor periode yang sama 1995. Dimana pada tahun 1995 nilai ekspornya hanya mencapai US$ 2.241 miliar, sedangkan tahun 1996 menjadi US$ 2.964 miliar. Kontribusi terbesar dari nilai ekspor tersebut selama tahun 1996 berasal dari pesawat pengirim atau penerima dan bagian-bagiannya yang naik 160.59 persen dari US$ 151.9 juta menjadi US$ 395.7 juta. Kemudian mesin pengolah data dari US$ 387.8 juta menjadi US$ 620.1 juta. Kemudian instrumen dan komponen dari US$ 203.2 juta menjadi US$ 266.5 juta.

4.2.2 Perkembangan Produksi

Secara nasional, perekonomian Indonesia memang membaik pada akhir tahun 1980-an. Situasi itu rupanya berdampak pada perkembangan industri elektronika. Pertumbuhan produksi elektronika pada tahun 1990 sampai tahun 1992 mencapai 65% per tahun. Tingkat pertumbuhan pada tahun 1987 sampai tahun 1989 baru mencapai 36.4%. Tetapi yang tidak berubah adalah pangsa produksi yang masih

(44)

didominasi elektronika konsumsi. Pertumbuhan tinggi yang terjadi sejak tahun 1991 juga disebabkan peningkatan permintaan pasar internasional yang dapat dilihat dari peningkatan nilai ekspor yang cukup tinggi. Jika dilihat dari segi produksi, dari tahun 1985 sampai tahun 1996 telah terjadi peningkatan produksi yang positif, dimana pada tahun 1985 produksi domestik telah mencapai US$ 416.89 juta dan pada tahun 1996 produksi domestik mencapai US$ 3546.50 juta.

Tabel 4.2 Perkembangan Produksi Domestik Industri Elektronika (US$ Juta)

Kategori 1985 1990 1992 1996

Elektronika konsumsi

Elektronika bisnis dan komunikasi Elektronika komponen 224.89 87.80 104.20 313.37 207.11 120.79 864.24 463.37 425.55 1595.00 1111.50 840.00 total 416.89 641.27 1753.16 3546.50

Sumber: Sarana Informatika Industri dalam Indonesian Electronic Industri (1996).

Sementara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri, elektronika bisnis dan komunikasi serta elektronika komponen masih harus mengimpor dari luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari tabel 4.2.2.2 , dimana nilai barang yang dikonsumsi masih lebih besar daripada yang diproduksi oleh produsen domestik. Lain halnya dengan elektronika konsumsi yang sudah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan telah ikut berkontribusi sebagai salah satu komoditi ekspor yang dapat diandalkan.

Tabel 4.3 Perkembangan Konsumsi Domestik Dari Produk Industri Elektronika (US$ Juta)

Kategori 1985 1990 1992 1996

elektronika konsumsi

elektronika bisnis dan komunikasi elektronika komponen 269.67 248.71 177.45 365.93 996.45 600.51 689.76 1336.84 1119.99 891.56 2603.37 1399.07 total 695.83 1962.89 3146.59 4894.00

(45)

4.2.3 Investasi

Perkembangan industri elektronika ini tidak lepas dari keberpihakan pemerintah pada dunia usaha. Pada tahun 1994, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994 membuka kesempatan bagi investor untuk mengembangkan investasi di dalam negeri. Dengan adanya peraturan ini telah meningkatkan investasi di sektor industri elektronika, dimana pada tahun 1994 telah terdapat investasi sebesar US$ 309.55 miliar dan pada tahun 1996 telah meningkat menjadi US$ 433.30 miliar.

Tahun 1997 saat terjadi kemerosotan ekonomi, pemerintah melakukan deregulasi di sektor elektronika salah satunya melalui Peraturan Pemerintah No.83 tahun 2001 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing. Kesempatan yang lebih luas menjadi terbuka dengan adanya deregulasi ini.

Setidaknya ada lima perusahaan besar industri elektronika pada tahun 1998 menancapkan kakinya di negeri ini, dengan total investasi US$ 1.021 juta, dan menyerap tenaga kerja 37.489 orang. Mereka adalah Sony, Sanyo, LG, Matsushita, dan Epson. Saat ini subsektor semi konduktor dirajai oleh Singapura, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Tetapi, untuk subsektor consumer electronic Indonesia unggul dibandingkan negara-negara di ASEAN bahkan di Asia, yaitu mencapai 53 persen dari seluruh produk elektronikanya, sedangkan negara Asia lainnya berkisar 4 hingga 44 persen. Pendirian perusahaan-perusahaan modal asing di Indonesia yang semakin besar menandakan adanya keberpihakan pemerintah dalam upaya untuk meningkatan peranan industri dalam membangun perekonomian Indonesia.

(46)

4.3 Peranan Industri Elektronika Dalam Perekonomian Indonesia

Industri elektronika merupakan salah satu industri yang diprioritaskan pengembangannya dan termasuk penyumbang devisa terbesar dalam bidang industri. Hal ini ditunjukan oleh tingginya nilai ekspor tahun 2005 sebesar US$ 7,65 milyar, dimana sekitar 11,5 % dari total ekspor Indonesia. Setengah dari nilai ekspor elektronika berasal dari 6 perusahaan merek global yaitu Panasonic, Sanyo, LG, Samsung, Toshiba dan Sharp. PT. LG telah mendapat Penghargaan Primaniarta dari Presiden RI atas prestasi ekspornya yang melebihi US$ 1 milyar. Setelah pemerintah melalui Departemen Perindustrian memfasilitasi perbaikan jalan yang rusak menuju pabrik. Untuk memenuhi permintaan pasar ekspor dan dalam negeri industri elektronika nasional telah mengarahkan pada produk yang berbasis digital seperti TV LCD/Plasma. Industri elektronika konsumsi berkembang cukup pesat sementara industri komponen belum berkembang sebagaimana yang diharapkan, untuk itu sedang dikaji kemampuan industri komponen lokal yang dapat memenuhi kebutuhan industri elektronika konsumsi dalam negeri. Pada saat ini komponen elektronika seperti LCD, Cell Phone, driver komputer, semi konduktor sudah diproduksi di dalam negeri khususnya di Pulau Batam.

Pada tahun 2006 nilai investasi di industri elektronika di tanah air mencapai Rp 481 miliar, naik dibandingkan dengan nilai investasi pada tahun 2005 yang mencapai Rp 359 miliar. Jumlah tenaga kerja yang terlibat di industri elektronika pada tahun 2006 mencapai 235.000 orang dan berhasil meraih devisa ekspor US$ 6,9 miliar.

(47)

Untuk tahun 2007, terdapat sekitar 235 perusahaan dengan nilai investasi sebesar US$ 481 juta, menyerap tenaga kerja sebanyak 235 ribu orang. Penyumbang terbesar dari ekspor elektronika tersebut adalah perusahaan-perusahaan multinasional dari Jepang dan Korea seperti Panasonic, Sanyo, LG, Samsung, Toshiba dan Sharp. Panasonic Manufacturing Indonesia telah dijadikan basis produksi untuk kulkas satu pintu di ASEAN sedangkan LG Indonesia telah dijadikan basis produksi untuk kulkas, khususnya untuk mengisi pasar Eropa dan Rusia dengan pangsa pasar 38 persen yang bernilai US$ 455 juta. Untuk wilayah Asia, Timur Tengah dan Afrika masing-masing memiliki peranan ekspor sekitar 36 persen yang bernilai US$ 430 juta. Panasonic Gobel Manufacturing pada tahun 2007 telah melakukan perluasan pabrik baterai Lithium dengan tambahan nilai investasi sebesar US$ 14 juta. Perusahaan ini mengekspor 45 persen kebutuhan dunia baterai Lithium. Dalam rangka mempersiapkan Indonesia menghadapi Electric and Electrical Equipment

Mutual Recognition Agreement (EEEMRA) pada awal tahun 2010, telah difasilitasi

pembentukan lab uji komponen elektronika di Batam serta telah disusun 6 SNI produk elektronika meliputi audio video, kipas angin, kulkas, TV, mesin cuci dan pompa dan pada tahun 2008 akan ditingkatkan menjadi SNI wajib.

Tahun 2007 diawali dengan perluasan pabrik baterai itu maka total nilai investasi yang telah ditanamkan PT PGBI (PT Panasonic Gobel Battery Indonesia) di industri baterai hingga saat ini telah mencapai US$ 40 juta. Hal itu menunjukkan kepercayaan pihak prinsipal dari Jepang kepada PT PGBI makin meningkat, sekaligus menunjukkan adanya peningkatan kualitas dan kuantitas baterai yang diproduksi PT PGBI.

(48)

4.4 Permasalahan Yang Dihadapi Industri Elektronika Di Indonesia

Dalam perkembangannya, industri elektronika menghadapi banyak permasalahan. Baik permasalahan internal ataupun permasalahan eksternal.

A. Permasalahan Internal

• Kandungan bahan baku impor yang tinggi. Hal ini menyebabkan industri elektronika menjadi sangat sensitif terhadap perubahan nilai tukar mata uang domestik.

• Belum mampunya industri komponen dalam memenuhi kebutuhan komponen di dalam negeri.

• Lemahnya keterkaitan industri elektronika dengan industri pendukung.

• Rendahnya penguasaan teknologiyang menyebabkan industri elektronika di Indonesia hanya bersifat sebagai perakit.

• Kualitas sumberdaya manusia yang masih relatif rendah. B. Permasalahan Eksternal

• Maraknya produk elektronika China yang beredar di pasar. Produk China yang beredar di pasar antara lain televisi, mesin cuci, kipas angin dan lain-lain memberikan diskon dan harga yang murah. Para pedagang tak segan-segan membanting harga jual. Hal ini menyebabkan komoditi sejenis di Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang lamban. Dengan kata lain produk China yang masuk ke Indonesia dapat menjadi pemain dominan untuk beberapa produk tertentu.

(49)

• Besarnya PPnBM (Pajak Pertambahan nilai atas Barang Mewah).

• Ekonomi biaya tinggi, pungutan di pelabuhan termasuk tingginya tarif

terminal handling charge, masalah distribusi dan sistem perpajakan.

• Infrastruktur yang masih kurang memadai, diantaranya jalan-jalan yang rusak dan menyebabkan kemacetan sehingga proses distribusi berjalan terhambat.

(50)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Struktur Pasar Industri Elektronika di Indonesia.

Dalam penelitian ini, penghitungan rasio konsentrasi untuk melihat struktur pasar industri elektronika dilakukan dengan menghitung Rasio Konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). Hasil penghitungan rasio konsentrasi pasar industri elektronika di Indonesia dapat dilihat pada tabel 5.1. Selama periode tahun 1995 sampai tahun 2005, rata-rata nilai CR4 dari industri elektronika adalah sebesar 65.75 persen. Dengan melihat nilai dari CR4 tersebut, industri elektronika digolongkan memiliki struktur pasar oligopoli ketat, dimana empat perusahaan terbesar menguasai lebih dari 60 persen rasio konsentrasi dari industri elektronika secara keseluruhan. Tabel 5.1 CR4 Industri Elektronika Berdasarkan Kode ISIC dan Jumlah

Perusahaan dari Tahun 1995-2005 di Indonesia

Tahun Sub Sektor Berdasarkan ISIC 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata2 32100 41.79 33.97 41.38 64.46 43.87 41.94 51.87 56.74 45.09 23.95 36.46 43.78 Jlh Perusahaan 110 123 172 131 110 131 83 106 146 158 131 32200 94.95 94.08 95.81 95.86 85.68 90.63 91.27 81.97 94.92 86.17 96.00 91.58 Jlh Perusahaan 15 16 16 20 16 15 15 15 17 15 11 32300 66.14 74.03 65.98 40.25 43.75 48.81 70.30 65.89 69.96 68.37 67.44 61.90 Jlh Perusahaan 51 56 45 76 108 81 43 46 43 46 49 Rata2 67.63 67.36 67.73 66.86 57.77 60.46 71.15 68.20 69.99 59.50 66.63 65.75 Total Jlh Perusahaan 176 195 233 227 234 227 141 167 206 219 191

Sumber : Diolah dari data BPS tahun 1995-2005.

Keterangan: ISIC 32100 = Subsektor industri komponen. ISIC 32200 = Subsektor industri alat komunikasi.

ISIC 32300 = Subsektor industri televisi, radio dan alat rekam gambar dan suara.

(51)

Pada tahun 1995 rata-rata CR4 industri elektronika secara keseluruhan ialah 67.63 persen, dan pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 1 persen menjadi 66.63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode tahun 1995 sampai 2005 terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang masuk. Pada tabel 5.1.1 dapat dilihat bahwa jumlah perusahaan pada tahun 1995 adalah sebanyak 176 unit perusahaan, sementara pada tahun 2005 naik menjadi 191 perusahaan.

Dari ketiga subsektor industri elektronika, subsektor industri komponen merupakan subsektor yang memiliki rasio konsentrasi yang paling kecil jika dibandingkan dengan subsektor industri elektronika lainnya. Rasio konsentrasi pada tahun 1995 adalah sebesar 41.79 persen dan pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi 36.46 persen. Penurunan rasio konsentrasi ini disebabkan oleh adanya kenaikan jumlah perusahaan yang masuk dalam industri sebesar 21 perusahaan. Jika dilihat dari rata-rata nilai CR4 selama periode tahun 1995 sampai tahun 2005 yaitu sebesar 43.78 persen, subsektor industri ini memiliki struktur pasar oligopoli longgar karena rata-rata nilai CR4 nya berkisar 40 persen.

Sementara itu subsektor industri alat komunikasi memiliki rasio konsentrasi yang paling besar. Dimana pada periode tahun 1995 sampai tahun 2005, rata-rata rasio konsentrasinya adalah 91.58 persen. Melihat angka rasio konsentrasi yang dimiliki oleh subsektor ini dapat disimpulkan bahwa struktur pasar dari subsektor industri alat komunikasi adalah oligopoli ketat. Pada tahun 2004, konsentrasi subsektor ini mengalami penurunan sekitar 8.75 persen dari konsentrasi rasio tahun 2003 menjadi 86.17 persen. Penurunan konsentrasi rasio ini diikuti juga dengan

(52)

penurunan jumlah perusahaan dari 17 perusahaan menjadi 15 perusahaan. Secara teori, seharusnya penurunan rasio konsentrasi disebabkan oleh adanya pesaing baru yang masuk dalam suatu pasar atau industri. Tetapi dalam hal ini penurunan konsentrasi ini diikuti juga dengan adanya penurunan jumlah perusahaan. Hal ini berarti bahwa perusahaan yang keluar adalah perusahaan dengan skala usaha kecil dimana kapasitas produksinya lebih kecil daripada perluasan output. Jadi penurunan konsentrasi ini lebih disebabkan karena adanya penurunan output oleh perusahaan besar. Sementara itu, untuk periode waktu sebelum dan sesudah krisis ekonomi yaitu tahun 1997, tidak terjadi perubahan yang signifikan pada subsektor ini. Penambahan 4 perusahaan yang masuk industri menyebabkan kenaikan konsentrasi rasio sebesar 0.05 persen. Terjadi kenaikan rasio konsentrasi karena perusahaan yang masuk ke dalam industri adalah perusahaan dengan skala usaha kecil.

Untuk industri subsektor televisi, radio, alat rekam suara dan gambar, rasio konsentrasinya rata-rata 61.90 persen. Pada tahun 1998 terjadi penurunan konsentrasi rasio sebesar 25.73 persen. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan jumlah perusahaan dari 45 perusahaan menjadi 131 perusahaan. Tetapi pada tahun 1999 terjadi kenaikan rasio konsentrasi menjadi 43.75 dengan jumlah perusahaan sebesar 108 perusahaan. Kenaikan rasio konsentrasi ini disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah perusahaan. Jika dibandingkan antara tahun 1995 dengan tahun 2005, tidak terjadi perubahan yang signifikan baik pada rasio konsentrasi maupun pada jumlah perusahaan. Rasio konsentrasi tahun 1995 adalah sebesar 66.14 persen dengan 51 perusahaan. Sementara pada tahun 2005 rasio konsentrasi naik menjadi 67.44 dengan 49 perusahaan. Kenaikan rasio konsentrasi ini disebabkan karena berkurangnya

(53)

jumlah perusahaan dalam industri. Menurut tipenya, struktur pasar industri subsektor televisi, radio, alat rekam suara dan merupakan pasar oligopoli dengan rata-rata konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar sebesar 61.90 persen.

Gambar 5.1 Grafik Rasio Konsentrasi Industri Elektronika Di Indonesia Dari Tahun 1995-2005

Sumber: Diolah dari data BPS, tahun 1995-2005.

Jika dilihat dari gambar 5.1.1 diatas, rasio konsentrasi setiap subsektor industri setiap tahun selalu berubah naik dan turun. Jika dilihat besarnya rasio konsentrasi per subsektor industri terdapat kondisi dimana pada satu periode waktu tertentu nilai rasio konsentrasi yang tertinggi ataupun rasio konsentrasi yang terendah. Pada tahun 1998, subsektor industri komponen dengan kode ISIC 32100 mengalami kenaikan nilai rasio konsentrasi sebesar 23.08 persen. Pada tahun inilah selama periode waktu pengamatan yaitu dari tahun 1995 sampai tahun 2005 nilai CR4 terbesar dari subsektor industri ini. Kenaikan nilai CR4 pada tahun 1998 ini jika

0. 00 2 0. 00 4 0. 00 6 0. 00 8 0. 00 1 00. 00 1 2 0. 00 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 000 2 001 2 002 2 003 2 004 2 005 tahun CR4 I S I C 3 2 1 00 I S I C 3 2 2 00 I S I C 3 2 3 00

Gambar

Tabel 1.1 Perkembangan Ekspor Komoditi Utama Non-migas Indonesia periode  2004-2007 (US$ Juta)  Jan-Okt Jan-Juni No Uraian 2004  2005  2005  2006 %  2006 2007 %  1 Elektronika,  Telematika  dan Mesin  Listrik  10738  12211.3 10125.0  9887.9  -2.34  5615.36
Tabel 2.1 Pengolongan industri pengolahan berdasarkan jumlah tenaga kerja  Golongan Industri  Banyaknya Tenaga Kerja
Tabel 2.2 Karakteristik Pasar  No Struktur  Pasar  Kondisi Utama  Indeks HH  (Hirscman-Herfindhal)  Hambatan Masuk  Efisiensi Jumlah  Produsen  1  2  3  Monopoli Murni  Perusahaan yang dominan  Oligopoli  ¾  Oligopoli  Ketat   Pangsa  pasarnya 100 persen P
Tabel 2.3 Karakteristik pada Daur Hidup Suatu Produk           Siklus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis, saran yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu: industri diharapkan mampu menekan biaya produksi dan mampu meningkatkan nilai output

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa Bogasari memiliki pangsa pasar sebesar 57,3 persen yang merupakan pangsa pasar terbesar dalam industri tepung terigu.. Sedangkan posisi

Nilai penjualan besi baja digunakan untuk menghitung CR4 karena terkait dengan kemampuan perusahaan-perusahaan untuk bersaing dalam produk besi baja, sehingga yang dilihat

Mengunakan data perusahaan Industri Besar Sedang tahun 2009-2012, penelitian ini menganalisa hubungan liberalisasi perdagangan yang dilihat dari keterbukaan ekonomi

Data-data yang diambil dalam penelitian ini adalah: (1) Nilai output, yaitu diperoleh dari barang-barang yang dihasilkan, tenaga listrik yang dijual, jasa industri yang diberikan

Seperti yang diketahui bahwa industri rokok telah memperkerjakan banyak tenaga kerja, untuk industri rokok kretek kelas menengah ke bawah dimana mereka rata-rata adalah

Kinerja industri minuman ringan di Indonesia diwakili oleh variabel Price Cost Margin (PCM) dan variabel-variabel yang digunakan dalam mewakili faktor-faktor yang memengaruhi

Kinerja industri pulp dan kertas di Indonesia yang dicirikan dari tingkat keuntungan (PCM) dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan produksi, efisiensi internal, hambatan masuk pasar