• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif merupakan praktek pemberian makanan yang paling sesuai untuk bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan merupakan salah satu strategi global untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang optimal (WHO 2011).

ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan dan manfaat baik dari aspek gizi, aspek imunologis, aspek psikologis, aspek kecerdasan, aspek ekonomis dan aspek penundaan kehamilan (Duijts et al. 2009). Meskipun banyak manfaat pemberian ASI eksklusif, cakupannya yang rendah di berbagai negara termasuk Indonesia masih menjadi salah satu keprihatinan di bidang gizi masyarakat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan hanya 30.2% (Kemenkes 2013).

Faktor ASI belum keluar atau produksi ASI yang tidak mencukupi merupakan faktor utama dan yang paling umum untuk memberikan substitusi atau pengganti ASI sehingga pemberian ASI eksklusif menjadi gagal (Gatti 2008; Haucket al.2011; Hurleyet al.2008; Kent et al.2012). Studi oleh Hidayatet al. (2010) di Jawa Barat mengungkapkan bahwa 32.2% dari 609 responden mengaku telah diberi cairan pralaktal berupa susu formula oleh petugas kesehatan di rumah bersalin karena ASI belum keluar. Faktor terkait lainnya adalah pengetahuan dan perilaku di masyarakat yang tidak mendukung untuk mempraktekkan pemberian ASI eksklusif (Aghoet al. 2011; Haideret al.2010).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan laju sekresi dan produksi ASI adalah melalui penggunaan galaktagogum (galactagogue). Definisi galaktagogum atau laktagogum menurut ABM (2011) adalah obat-obatan atau zat lain yang dapat membantu inisiasi, mengatur atau meningkatkan laju produksi ASI. Sementara itu, untuk sejumlah perilaku yang tidak mendukung pemberian ASI eksklusif dapat diperbaiki melalui konseling menyusui (Depkes 2007).

Tanaman torbangun atau bangun-bangun (Coleus amboinicus (Lour.) merupakan tanaman pangan yang memiliki fungsi sebagai laktagogum. Pemanfaatan torbangun masih terbatas di kalangan masyarakat suku Batak. Daun torbangun umumnya dimasak sebagai sayur atau sop untuk dikonsumsi ibu segera setelah melahirkan agar produksi ASI meningkat (Damaniket al. 2006; Damanik 2009).

Ibu menyusui membutuhkan zat-zat gizi yang lebih banyak daripada ibu yang tidak menyusui (LIPI 2004). Namun, belum ada produk yang diformulasi dan dikembangkan berbasis tepung torbangun menjadi makanan tambahan untuk ibu menyusui. Padahal tanaman torbangun sangat potensial untuk dikembangkan baik dari fungsi laktagogumnya, maupun dari sifatnya yang sangat mudah tumbuh

2

n 2 (Z1-α/2 + Z1-β)2

dengan umur panen yang singkat (Rice 2011). Oleh karena itu, dikembangkan produk makanan tambahan bagi ibu menyusui berbasis tepung torbangun dalam bentuk produk siap saji. Jumlah tepung torbangun yang digunakan dalam pengembangan produk tersebut setara dengan jumlah daun torbangun segar yang umum dikonsumsi oleh ibu-ibu dari masyarakat suku Batak pasca melahirkan (Damanik 2009). Produk tersebut diharapkan menjadi salah satu alternatif variasi olahan torbangun, lebih tidak mudah rusak dan penggunaan yang lebih praktis dibandingkan hasil olahan tradisional. Keistimewaan lainnya adalah konsumsi produk tersebut diharapkan tidak hanya berkontribusi terhadap tambahan asupan zat gizi yang dibutuhkan oleh ibu menyusui tetapi sekaligus juga dapat mendukung praktek pemberian ASI eksklusif melalui fungsi laktagogum yang dimilikinya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemberian produk makanan tambahan fungsional berbasis tepung torbangun pada ibu menyusui yang mendapat konseling menyusui terhadap pemberian ASI eksklusif dan pertumbuhan bayi.

Metode Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain single blind randomized controlled trial, menggunakan 2 kelompok perlakuan yaitu: 1) kelompok subjek yang diberikan konseling menyusui dan produk makanan tambahan mengandung tepung torbangun, disebut sebagai kelompok intervensi; 2) kelompok subjek yang diberikan konseling menyusui dan produk makanan tambahan tidak mengandung tepung torbangun, disebut sebagai kelompok kontrol. Penelitian dilaksanakan di 4 desa wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor yaitu desa Bantar Sari, Bantar Jaya, Cimulang dan Pasir Gaok, pada bulan Juli sampai Desember 2013.

Populasi dan Subjek Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah ibu hamil pada trimester ke-3 di 4 desa wilayah kerja Puskesmas Bantar Jaya Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. Subjek penelitian adalah sebagian dari populasi dengan kriteria inklusi, yaitu umur 20-35 tahun, tidak bekerja formal, kehamilan ke-2 hingga kehamilan ke-5, tidak menderita penyakit kronis, tidak merokok, persalinan ditolong tenaga kesehatan. Kriteria eksklusi, bila bayi lahir prematur atau berat badan lahir kurang dari 2500 g dan persalinan tidak secara normal atau dengan cara operasi caesar. Jumlah minimal subjek penelitian ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Lemeshowet al. 1990):

n = jumlah subjek sebagai jumlah ulangan untuk setiap kelompok perlakuan Z1-α/2= nilai Z pada uji 2 sisi dengan tingkat kemaknaan (α) 5%=1.96 Z1-β= nilai Z pada kekuatan uji (1-β) 80%=0.842

= perbedaan rata-rata pemberian ASI eksklusif (µ1-µ2)=80.2 hari

σ= standar deviasi dari rata-rata pemberiaan ASI eksklusif=53.3 hari (asumsi nilaidanσberdasarkan penelitian Nurhayati 2007)

37 Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut, maka jumlah minimal subjek untuk setiap kelompok perlakuan adalah sebanyak 7 orang, kemudian ditambah 3 orang untuk kemungkinan subjek gagal untuk diikuti (loss to follow up). Total subjek penelitian berjumlah 20 orang.

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian dimulai dengan mengelompokkan secara random 20 orang subjek penelitian menjadi 2 kelompok yaitu 10 orang sebagai kelompok intervensi dan 10 orang sebagai kelompok kontrol. Ibu hamil tersebut diikuti hingga melahirkan.

Seluruh subjek penelitian diberikan konseling menyusui dengan frekuensi 2 kali sebelum melahirkan dan 3 kali selama pemberian makanan tambahan. Konseling menyusui dilakukan melalui kunjungan rumah dengan durasi 45 menit per 1 kali pertemuan oleh petugas yang telah mengikuti pelatihan konseling menyusui metode WHO/UNICEF /Kemenkes 40 jam.

Tahap pemberian makanan tambahan pada subjek dilakukan selama 30 hari dimulai pada hari ke-2 setelah melahirkan. Desain single blind randomized controlled trial digunakan untuk menentukan jenis produk makanan tambahan yang diberikan ke ibu yaitu kelompok intervensi (n=10) mendapat produk yang mengandung tepung torbangun dan kelompok kontrol (n=10) mendapat produk tanpa tepung torbangun.

Bahan Intervensi

Bahan intervensi meliputi materi konseling menyusui dan produk makanan tambahan untuk ibu menyusui. Materi konseling menyusui bersumber dari modul konseling menyusui metoda WHO/UNICEF/Kemenkes 40 jam (Depkes 2007), meliputi rekomendasi pemberian ASI, mengapa menyusui penting, bahaya makanan pralaktal dan susu formula, inisiasi menyusui dini, kolostrum, kaitan menyusui dengan kesuburan, posisi dan pelekatan, cara mempertahankan menyusui, ASI tidak cukup dan bayi menangis. Setiap subyek penelitian mendapat 1 buku kecil yang berisi ringkasan materi konseling sebagai panduan bagi ibu.

Produk makanan tambahan yang diberikan terdiri dari 2 jenis yaitu produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) dan produk makanan tambahan tanpa tepung torbangun (F0). Ke-2 produk dibuat dengan bahan dasar yang sama yaitu tepung jagung, isolat protein kedelai, susu skim bubuk, gula (Lampiran 2). Komposisi bahan dari produk FT dan produk F0 disajikan pada Tabel 14.

Masing-masing subjek penelitian mendapat 3 kemasan produk makanan tambahan per hari selama 30 hari sejak hari ke-2 setelah ibu melahirkan. Produk dikemas dengan bentuk, ukuran dan bahan kemasan yang sama.Produk dikonsumsi 3 kali sehari pada selang waktu makan utama dan pada malam hari sebelum tidur. Tiap kemasan berisi 33 g produk berupa serbuk siap saji. Produk didistribusikan ke ibu 2 kali dalam seminggu. Penyajian produk dengan diseduh air matang yang panas sebanyak 1 gelas (±200 ml) untuk setiap kemasan.

Tabel 14 Komposisi bahan dari produk makanan tambahan FT dan F0 (%)

Bahan Produk makanan tambahan

FT F0

Tepung torbangun 12.1 0.0

Tepung jagung 27.3 39.4

Isolat protein kedelai 20.2 20.2

Susu skim bubuk 10.1 10.1

Tepung gula 30.3 30.3

Total 100.0 100.0

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer meliputi karakteristik subjek dan keluarga (umur, tinggi badan, paritas, jumlah anak balita dan anggota keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendidikan suami), karakteristik bayi (jenis kelamin, tempat lahir), pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif. Selain data tinggi badan ibu, semua data tersebut diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner oleh enumerator lulusan S1 Gizi yang telah dilatih, sedangkan data tinggi badan ibu diperoleh melalui pengukuran menggunakan mikrotoa yang memiliki ketelitian 0.1 cm. Pengukuran pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif dilakukan sebelum intervensi konseling menyusui dan setelah konseling terakhir dengan menggunakan kuesioner yang dimodifikasi daripre-post testpada modul Behavior Change Communication for Improved Infant Feeding dan disesuaikan dengan materi konseling yang diberikan. Kuesioner yang digunakan terdiri dari 12 pertanyaan pengetahuan tentang ASI, masing-masing dengan 4 pilihan jawaban dan 12 pernyataan sikap tentang ASI, masing-masing dengan 3 pilihan jawaban yaitu: setuju, ragu-ragu atau tidak setuju.

Data antropometri bayi meliputi berat badan, panjang badan dan lingkar kepala diperoleh melalui pengukuran langsung. Berat badan diukur saat bayi lahir dan setiap hari selama periode Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada ibu dengan timbangan bayi kapasitas 20 kg ketelitian 0.01 kg. Panjang badan diukur dengan alat pengukur panjang badan bayi dalam posisi berbaring dengan ketelitian 0.1 cm. Lingkar kepala diukur dengan pita ukur lingkar kepala dengan ketelitian 0.1 cm. Panjang badan dan lingkar kepala diukur pada saat lahir dan pada akhir PMT.

Pengolahan dan Analisis Data

Data pengetahuan tentang ASI diolah dengan memberi skor 100 untuk 12 pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh subjek penelitian. Pengolahan data sikap tentang ASI dilakukan dengan memberi skor 100 untuk 12 pernyataan yang dijawab dengan benar oleh subjek, dimana pilihan jawaban yang benar adalah

“setuju” untuk pernyataan positif dan “tidak setuju” untuk pernyataan negatif.

Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan program pengolah data Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS versi 16. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensial dengan tingkat signifikansi atau nilai p<0.05. Analisis secara deskriptif dilakukan dengan menghitung rata-rata dan standar

39 deviasi untuk data numerik dan persentase untuk data kategorik. Analisis inferensial dilakukan dengan uji beda rerata setelah terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan data menggunakan uji Shapiro-Wilk.

Rerata skor pengetahuan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, sebelum intervensi konseling dilakukan dengan uji t independen dan pada akhir intervensi konseling menyusui dengan uji Mann-Whitney. Rerata skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, sebelum maupun pada akhir intervensi konseling masing-masing dilakukan dengan uji t independen. Rerata skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif antara sebelum dengan sesudah intervensi konseling menyusui pada masing-masing kelompok perlakuan dilakukan dengan uji Wilcoxon.

Rerata antropometri bayi antar kelompok perlakuan, saat lahir atau sebelum PMT dan pada akhir PMT dilakukan dengan uji t independen untuk berat badan dan panjang badan serta uji Mann-Whitney terhadap ukuran lingkar kepala dan parameter rerata waktu untuk mencapai kembali berat badan bayi ≥BBL pada akhir PMT ibu.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Subjek dan Keluarga

Tabel 15 Karakteristik subjek dan keluarga

Karakteristik Kel.intervensi

(n=10)

Kel.kontrol (n=10)

Umur ibu (tahun) 28.5(22;35)a) 27(22;35)a)

Tinggi badan ibu (cm) 151.4±4.7b) 154.9±5.2b)

Paritas (orang) 3(2;4)a) 2(1;4)a)

Jumlah anak balita (orang) 2(1;3)a) 1(0;2)a)

Jumlah anggota keluarga (orang) 5.5(4;9)a) 5(4;6)a)

Umur suami (tahun) 34.7±5.1b) 33.2±6.9b)

n (%) n (%) Pendidikan ibu SD 5(50) 3(30) SLTP 2(20) 4(40) SLTA 2(20) 2(20) PT 1(10) 1(10) Pendidikan suami SD 2(20) 0(0) SLTP 3(30) 4(40) SLTA 3(30) 5(50) PT 2(20) 1(10) Pekerjaan suami Buruh/tukang/supir 5(50) 4(40) Karyawan/satpam/guru swasta 4(40) 3(30) PNS 1(10) 0(0) Wiraswasta 0(0) 3(30)

Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p>0,05).a)Median (minimum; maksimum), perbedaan antar kelompok dengan uji Mann-

Secara umum, karakteristik subjek dan keluarga antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol seperti disajikan pada Tabel 15, tidak berbeda signifikan (p>0.05). Umur subjek penelitian saat bayi yang dikandungnya lahir, paling muda adalah 22 tahun dan paling tua 35 tahun. Tinggi badan subjek penelitian berkisar antara 145.5 cm hingga 164 cm. Subjek penelitian dengan tinggi badan <150 cm ada sebesar 50% di kelompok intervensi dan sebesar 20% di kelompok kontrol. Subjek penelitian ini diikuti pada kehamilan trimester ke3 hingga melahirkan. Kemenkes (2013) menguraikan bahwa wanita hamil dengan tinggi badan <150 cm termasuk wanita hamil berisiko tinggi. Persentase subjek dengan tinggi badan <150 cm pada lokasi penelitian ini yang merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat sejalan dengan hasil yang diungkapkan pada Riskesdas 2013 yaitu, Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu dari 19 provinsi dengan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi berdasarkan tinggi badan (<150 cm) di atas nasional atau lebih besar dari 31.3%.

Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang ASI Eksklusif

Sebelum intervensi konseling menyusui, ada 3 pertanyaan dengan persentase jawaban benar kurang dari 50% pada kelompok intervensi (FT), yaitu pertanyaan nomor 1, 9,11 tentang kapan bayi mulai menyusu; tanda bayi tidak mendapat ASI yang cukup; dan tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusui. Pada Tabel 16 terlihat bahwa 3 pertanyaan tersebut juga merupakan 3 pertanyaan dengan persentase jawaban benar yang rendah pada kelompok kontrol (F0).

Tabel 16 Persentase jawaban benar tentang pengetahuan ASI eksklusif (%) Topik pertanyaan Kel. perlakuan (FT) Kel. kontrol (F0)

sebelum sesudah sebelum sesudah 1. Setelah persalinan, kapan bayi mulai menyusu 40 100 67 100

2. Pengertian tentang ASI eksklusif 70 100 89 100

3. Umur bayi diberikan ASI eksklusif 80 100 100 100

4. Makanan yang paling tepat untuk bayi sejak lahir sampai 6 bulan

90 100 89 100

5. Pemberian kolostrum 70 100 89 100

6. Pemberian cairan atau makanan selain ASI 60 100 89 100

7. Umur bayi diberikan ASI 90 100 89 100

8. Kapan mulai diberikan MP-ASI 80 100 100 100

9. Tanda bayi tidak mendapat ASI yang cukup 0 60 11 56 10. Frekuensi bayi disusui selama sehari 60 100 78 100 11. Tanda mulut bayi melekat dengan baik ke

payudara saat menyusu

0 70 0 78

12. Porsi makan ibu menyusui 70 100 100 100

Jawaban yang paling banyak diberikan oleh subjek penelitian pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol terhadap pertanyaan ‘kapan bayi mulai

menyusu adalah setelah dimandikan. Sedangkan untuk pertanyaan tanda bayi tidak mendapat ASI yang cukup adalah bayi seringkali menangis; jawaban untuk tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusui dengan jawaban mulut bayi menempel di puting. Depkes (2007) menguraikan bahwa segera setelah persalinan, bayi tidak dimandikan dulu baru diberikan ASI tetapi idealnya

41 bayi segera diberikan ASI melalui proses inisiasi menyusui dini. Tanda yang lebih obyektif bahwa bayi tidak mendapat ASI yang cukup adalah bayi kencing sedikit dan pekat, sedangkan tanda mulut bayi melekat dengan baik ke payudara saat menyusui adalah bibir bawah bayi berputar keluar.

Pada Tabel 17 terlihat bahwa pernyataan sikap dengan persentase jawaban benar yang sangat rendah yaitu kurang dari 25% pada kelompok intervensi (FT) maupun kelompok kontrol (F0) adalah pernyataan tentang bayi mulai menyusu setelah dimandikan dan pernyataan tentang memberi ASI saja ke bayi sampai umur 6 bulan kemungkinan ibu hamil pada masa tersebut lebih kecil.

Tabel 17 Persentase jawaban benar tentang sikap terhadap ASI eksklusif (%) Topik pernyataan sikap Kel. perlakuan (FT) Kel. kontrol (F0)

sebelum sesudah sebelum sesudah 1. Kebutuhan gizi bayi dari lahir sampai umur

6 bulan dapat dipenuhi hanya dari ASI saja

100 100 100 100

2. Setelah persalinan, bayi mulai menyusu setelah dimandikan

0 100 22 89

3. Kolostrum tidak diberikan 50 90 100 100

4. Makanan tertentu (misalnya madu) diberikan kepada bayi baru lahir

80 100 89 100

5. Bayi mulai diberi makan setelah umur 6 bulan

100 100 100 100

6. Pemberian ASI eksklusif sampai bayi umur 4 bulan

90 90 56 89

7. ASI diberikan ke anak sampai umur 2 tahun atau lebih

90 100 100 100

8. Bayi 0-6 bulan sering menangis diberi susu botol sebagai tambahan ASI

70 90 56 100

9. Bayi disusui sesuai jadwal yang dibuat ibu 70 90 78 89 10. Porsi makan ibu menyusui lebih sedikit

supaya tidak gemuk

80 100 89 100

11. Memberi ASI saja ke bayi sampai umur 6 bulan, kemungkinan ibu hamil pada masa tersebut lebih kecil

10 80 11 78

12. Bayi yang diberi ASI eksklusif lebih kecil kemungkinannya diare dibandingkan bayi yang diberi susu botol

50 90 89 89

Skor pengetahuan dan sikap ibu tentang ASI eksklusif melalui intervensi konseling menyusui disajikan pada Tabel 18. Sebelum intervensi konseling menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling menyusui secara signifikan meningkatkan rerata skor pengetahuan dan sikap responden tentang ASI eksklusif pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok intervensi, rerata skor pengetahuan dari 59.1±22.4 menjadi 94.1±6.9. rerata skor sikap dari 65.8±11.4 menjadi 94.1±8.8 (p<0.05). Pada kelompok kontrol, rerata skor pengetahuan dari 75.0±11.8 menjadi 94.4±7.2, rerata skor sikap dari 75.0±14.4 menjadi 94.4±11.0 (p<0.05). Pada akhir intervensi konseling menyusui, rerata skor pengetahuan dan skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah sebanding atau tidak berbeda signifikan (p>0.05).

Studi melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan di Bangladesh oleh Haider et al. (2010) mendukung hasil penelitian ini, bahwa teknik konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku ibu dan anggota keluarga untuk mendukung praktek menyusui eksklusif.

Tabel 18 Perubahan skor pengetahuan dan sikap tentang ASI eksklusif Komponen Kel.Intervensi (n=10) Kel.Kontrol (n=10) Nilai p

Rerata±SD Rerata±SD

Pengetahuan

Sebelum 59,1±22,4 75,0±11,8 0,075

Sesudah 94,1±6,9 94,4±7,2 0,893

Perubahan 35,0±22,5 19,4±16,1 0,105

Nilai p dalam kelompok 0,005 0,017

Sikap

Sebelum 65,8±11,4 75,0±14,4 0,148

Sesudah 94,1±8,8 94,4±11,0 0,776

Perubahan 28,3±13,1 19,4±13,8 0,113

Nilai p dalam kelompok 0,005 0,007

Kontribusi Produk terhadap Asupan Energi dan Protein Ibu Menyusui Jumlah produk yang dikonsumsi oleh subjek penelitian adalah 3 kemasan per hari. Kepatuhan mengonsumsi produk makanan tambahan dimonitor dengan wawancara dan observasi terbatas pada saat penimbangan berat badan bayi melalui kunjungan rumah setiap hari. Kepatuhan mengonsumsi produk sebesar 100%, namun seorang subjek penelitian mengaku pernah 1 kali menyajikan tidak sesuai dengan anjuran yaitu 1 kemasan yang diperoleh subjek dicampur dengan adonan bakwan untuk digoreng dan dikonsumsinya.

Produk makanan tambahan dengan tepung torbangun (FT) tiap 100 g memiliki kandungan energi sebesar 376 kkal dan dan protein sebesar 12 g, sedangkan produk tanpa tepung torbangun (F0) dengan kandungan energi 369 kkal dan protein 15 g (Tabel 19). Berdasarkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) bagi bangsa Indonesia tahun 2013, tambahan energi untuk ibu menyusui bayi pada 6 bulan pertama adalah 330 kkal dan protein 20 g. Oleh karena itu, PMT sebanyak 3 kemasan per hari (3 x 33 g) berkontribusi terhadap pemenuhan tambahan kecukupan energi dan protein ibu masing-masing sebesar 113% dan 59% (produk FT) dan 111% dan 74% (produk F0).

Tabel 19 Kontribusi energi dan protein terhadap tambahan AKG ibu menyusui

Komponen Tambahan AKG*) Jumlah (3xukuran saji =3x33 g) Kontribusi terhadap tambahan AKG (%) Produk FT Produk F0 Produk FT Produk F0

Energi (kkal) 330 372.2 365.3 113% 111%

Protein (g) 20 11.9 14.9 59% 74%

43 Karakteristik Bayi

Bayi yang dilahirkan subjek dari kelompok intervensi sebesar 70% berjenis kelamin laki-laki dan bayi laki-laki yang dilahirkan subjek dari kelompok kontrol sebesar 50%. Semua bayi lahir dengan penolong persalinan oleh tenaga bidan namun masih ada 30% bayi dari kelompok intervensi dan 20% bayi dari kelompok kontrol yang dilahirkan di tempat persalinan yang tidak ideal yaitu di rumah dan di perjalanan. Kemenkes (2013) menguraikan bahwa proses kelahiran bayi dihadapkan pada kondisi kritis sehingga sangat diharapkan dilakukan di fasilitas kesehatan. Tempat yang ideal untuk melahirkan bayi adalah rumah sakit atau minimal di fasilitas kesehatan lainnya agar bila sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka dapat segera ditangani atau bila perlu rujukan dapat segera dilakukan.

Rerata berat bayi lahir pada kelompok intervensi adalah 3190 dan pada kelompok kontrol sebesar 3355 g. Tidak ada bayi lahir pendek (<48 cm) pada ke-2 kelompok. Rerata lingkar kepala bayi saat lahir pada ke-2 kelompok relatif sama yaitu sekitar 33 cm. Hasil analisis dengan uji t independen terhadap rerata ukuran berat badan lahir dan panjang badan lahir serta hasil analisis dengan uji Mann-Whitney terhadap rerata ukuran lingkar kepala lahir menunjukkan bahwa, antropometri bayi yang dilahirkan subjek kelompok intervensi dengan kelompok kontrol tidak berbeda signifikan (p>0.05). Dengan kata lain, sebelum PMT kepada ibu, ukuran antropometri bayi antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol adalah sebanding (Tabel 20).

Pengaruh Jenis PMT Ibu terhadap Pertumbuhan Bayi

Mortel dan Mehta (2013) menguraikan beberapa studi tentang efikasi galaktagogum yang berasal dari herbal diukur berdasarkan parameter antropometri bayi dan waktu kembali untuk mencapai kembali berat badan lahir (BBL). Pada penelitian ini, pengaruh produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun yang diberikan kepada ibu selama 30 hari terhadap pertumbuhan bayi didasarkan pada paramater waktu untuk mencapai kembali BBL dan antropometri bayi pada akhir PMT yaitu berat badan, panjang badan dan lingkar kepala (Tabel 20).

Tabel 20 Antropometri bayi saat lahir dan pada akhir PMT ibu

Antropometri bayi Kel.intervensi (n=10) Kel.kontrol (n=10) Nilai p Rerata±SD Rerata±SD Berat badan (g) Saat lahir 3190±369,5 3355±328,7 0,305 Akhir PMT ibu 4470±561,8 4450±392,3 0,927 Panjang badan (cm) Saat lahir 49,6±1,2 49,3±1,4 0,613 Akhir PMT ibu 54,6±1,5 54,8±1,5 0,808 Lingkar kepala (cm) Saat lahir 33,5±0,5 33,1±0,9 0,282 Akhir PMT ibu 36,5±1,9 34,8±1,0 0,044

Hasil uji statistik terhadap rerata antropometri bayi pada akhir PMT ibu menunjukkan bahwa produk makanan tambahan yang mengandung tepung torbangun (FT) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan bayi berdasarkan parameter lingkar kepala bayi dan waktu yang dibutuhkan untuk peningkatan kembali berat badan lahir(regain birth weight)(p<0.05).

Setelah bayi lahir, berat badannya akan turun selama beberapa hari, namun kehilangan berat badan bayi yang berlebihan dan waktu yang lama untuk mencapai kembali berat badan lahir dapat merupakan indikator kurangnya asupan ASI (Crossland et al. 2008). Gambar 6 menunjukkan bahwa rerata waktu yang diperlukan oleh bayi yang ibunya mengonsumsi produk yang mengandung tepung torbangun (FT) untuk kembali mencapai berat badan ≥BBL lebih singkat yaitu 5.1±1.4 hari, dibandingkan dengan rerata waktu yang diperlukan bayi dari ibu yang mengonsumsi produk tanpa tepung torbangun (F0) yakni 7.0±2.4 hari (p<0.05).

Studi oleh Turkyilmaz et al. (2011) juga melaporkan bahwa penggunaan laktagogum dari tanaman yaitu teh herbal dapat mempersingkat waktu untuk

Dokumen terkait