• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menjelaskan perubahan kepemilikan dan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya terhadap lahan garapan hutan yang terdiri dari dua bagian, yakni sebelum dan setelah penetapan TNGHS. Berikut penjabaran mengenai perubahan akses masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya.

Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya Sebelum Penetapan TNGHS Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya masih bergantung pada lahan adat seluas 4000 ha yang ada di kawasan hutan. Secara hukum lahan tersebut belum diakui oleh pemerintah sebagai hutan adat. Dengan demikian, lahan yang diklaim oleh masyarakat sebagai lahan komunal milik adat masih sepenuhnya berstatus lahan negara.

Sebelum dialihfungsikan menjadi taman nasional, hutan adat masyarakat kasepuhan berada pada pengawasan perum perhutani yang menjalankan fungsi produksi. Pengelolaan oleh Perum Perhutani tidak terlalu berpengaruh bagi masyarakat kasepuhan. Masyarakat masih diperbolehkan menanam padi di sawah yang sudah ada sejak dulu namun tidak boleh memperluas lahan sawah. Mereka tetap meyakini bahwa lahan tersebut merupakan lahan yang telah diwariskan oleh para leluhur dan ditandai dengan botol berwarna merah sebagai pembatas. Kesepakatan mengenai luas lahan tersebut diakui oleh masyarakat kasepuhan secara tidak tertulis.

Dalam penerapan pengelolaan hutan, perum perhutani mulai turut melibatkan masyarakat semenjak tahun 2001 melalui program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PSDHBM). Berdasarkan SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang PSDHBM, pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani tidak hanya dilakukan oleh pihak perusahaan tetapi juga pemangku kepentingan lainnya terutama masyarakat desa hutan.

Dengan demikian, Desa Sirnaresmi yang masuk dalam kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani turut menjadi desa sasaran program tersebut. Penerapan PSDHBM yang ideal sesungguhnya adalah mengkolaborasikan kepentingan pemerintah dengan masyarakat. Penerapan program dilandasi dengan prinsip partisipatif, mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

Penerapan program PSDHBM memang kemudian melibatkan masyarakat desa hutan, termasuk Desa Sirnaresmi. Beberapa masyarakat Desa Sirnaresmi, khususnya Kasepuhan Cipta Mulya merasa diuntungkan dengan adanya program tersebut. Keuntungan yang diperoleh masyarakat yakni dapat menambah pendapatan rumah tangga karena mendapat upah dari kegiatan menanam dan memanen pohon. Masyarakat juga dapat meminta bibit dari mandor Perhutani untuk ditanam di lahan milik masyarakat. Bahkan menurut seorang anggota rumah tangga responden yang merupakan mantan mandor Perhutani (EP), ada saatnya pihak Perhutani memperbolehkan masyarakat membuka ladang untuk dijadikan huma dan ditanami pohon.

…bikin huma, nanem manii, jengjeng, apa boleh, sama masyarakat, tapi

hasil dapet tanaman perum ga boleh diambil masyarakat…Ada bukaan

kata perum 200 ha, dibuka sama masyarakat, dibuat huma trus ditanem pohon pinggirnya (EP, 41 tahun).

Hasil panen yang diperoleh dari lahan bukaan tersebut boleh diambil oleh masyarakat karena diperkenankan untuk dimanfaatkan oleh Perhutani. Sebaliknya, dalam kegiatan panen yang memperkerjakan masyarakat sebagai kuli, masyarakat hanya diperkenankan mengangkut hasil panen. Mereka tidak diperbolehkan mengambil hasil panen tersebut karena terhitung milik negara.

Sebenarnya masyarakat kasepuhan tidak memiliki hak untuk mengelola secara formal namun mereka tetap merasakan kemudahan dalam mengakses sumber daya hutan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tingkat kemudahan akses terhadap lahan garapan adat sebelum penetapan TNGHS disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum Penetapan TNGHS, 2013

Persepsi Tingkat Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat

Jumlah (orang) Persentase (%)

Mudah 30 100

Sulit 0 0

Total 30 100

Tabel 11 menunjukkan bahwa seluruh responden merasa mudah dalam mengkakses lahan garapan adat sebelum penetapan TNGHS. Meski demikian, dalam beberapa hal seperti menebang kayu, mereka merasa dibatasi namun tidak terlalu ketat. Selain itu terkait dengan penanaman padi di sawah maupun di huma masyarakat kasepuhan diwajibkan membayar sejumlah 12 kg hasil panen untuk 1 ikat bibit yang ditanam. Bayaran tersebut sebagai pajak bagi masyarakat yang telah menanam padi di hutan. Masyarakat cenderung merasa tidak masalah dengan pungutan ini, meski ada pula yang merasa keberatan. Untuk tetap dapat menanam padi di hutan, terlepas dari bersedia atau tidak, masyarakat membayar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Perum Perhutani.

Akses Masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya Setelah Penetapan TNGHS Semenjak diterbitkannya SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003, kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) seluas 40 000 ha diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas 113 357 ha. Menurut informasi yang didapat Bapak WR (34 tahun) selaku perwakilan

TNGHS, perluasan tersebut dilatarbelakangi beberapa faktor yakni degradasi dan deforestasi, desakan internasional, serta desakan LSM dan akademisi.

Desakan internasional untuk memperluas wilayah kawasan konservasi membuat Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen pada G-20, Pittsburgh dan COP 15, Copenhagen untuk mengurangi emisi sebesar 26 persen tanpa bantuan internasional dan 41 persen dengan bantuan internasional (Murniningtyas 2011). Menurut Bapak WR (34 tahun) komitmen inilah yang kemudian membuat Kementerian Kehutanan memutuskan perluasan taman nasional di Indonesia, salah satunya TNGHS. Keputusan yang sangat teburu-buru tersebut mengakibatkan penetapan TNGHS tidak sesuai prosedur sehingga menimbulkan permasalahan dengan masyarakat yang sudah lama menetap di kawasan yang ditunjuk menjadi taman nasional.

Perluasan kawasan taman nasional tersebut menimbulkan pertentangan antara masyarakat dengan pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan. Masyarakat adat yang telah lama tinggal dan memanfaatkan kawasan tersebut merasa tidak nyaman dengan ditetapkannya taman nasional. Lahan yang selama ini mereka akui sebagai lahan adat kini masuk ke dalam kawasan TNGHS. Penetapan tersebut membuat masyarakat merasa semakin sulit dalam mengakses lahan adat. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi tingkat kemudahan akses terhadap lahan garapan adat setelah penetapan TNGHS disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat

Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Setelah Penetapan TNGHS, 2013

Persepsi Tingkat Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat

Jumlah (orang) Persentase (%)

Mudah 12 40

Sulit 18 60

Total 30 100

Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (60 persen) merasa sulit dalam mengakses lahan garapan adat sedangkan 40 persen responden masih merasakan kemudahan. Perbandingan kemudahan akses terhadap lahan adat menurut masyarakat disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kemudahan akses setelah penetapan TNGHS. Meski demikian, masih ada responden yang merasa mudah dalam mengakses lahan adat. Kesulitan akses masyarakat tercermin dari pembatasan kegiatan penebangan kayu. Masyarakat yang terlihat oleh polisi hutan sedang menebang kayu akan langsung diadili. Berikut pemaparan beberapa informan mengenai hal tersebut.

Dulu masih bisa ambil kayu, sekarang udah ga bisa, ditangkep (HN, 33 tahun).

Mending dikelola perum, karena kalau tertangkap, TN langsung bawa masyarakat ke polisi, kalau sama perum dibicarakan baik- baik di desa (ST, 37 tahun).

Keluhan masyarakat ke taman nasional mah gini, ada tanaman masyarakat di lokasi taman nasional, diambil masyarakat, masyarakat ditewak (EP, 41 tahun).

Rasa takut dan khawatir yang dirasakan masyarakat Kasepuhan Cipta Mulya dalam mengakses lahan garapan di hutan mempertegas kekuatan otoritas TNGHS dalam pengelolaan hutan. Hal ini kemudian berdampak pada kelembagaan pengelolaan hutan mengenai pembagian lahan adat dalam tiga bagian menjadi sulit diterapkan. Lahan garapan yang seharusnya dapat mereka manfaatkan dengan mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup kini tidak dapat diakses dengan mudah dan aman.

Masyarakat kasepuhan telah meyakini dari dulu pembagian tanah adat menjadi tiga: 1) leuweung tutupan, 2) leuweung titipan, 3) leuweung garapan. Pada leuweung tutupan dan titipan, masyarakat adat tidak diperkenankan untuk

Gambar 3 Perbandingan Persentase Responden berdasarkan Persepsi Tingkat Kemudahan Akses terhadap Lahan Garapan Adat Sebelum dan Setelah Penetapan TNGHS Tahun 2013

100 0 40 60 0 20 40 60 80 100 120 Mudah Sulit Sebelum Setelah

menggarap. Kedua leuweung tersebut sengaja tidak dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian ekosistem seperti menjaga kuantitas air dan mencegah longsor. Leuweung titipan boleh dimanfaaatkan dalam keadaan yang mendesak untuk kepentingan komunal dan dengan persetujuan Abah.

Wilayah TNGHS telah dibatasi menggunakan tapal batas yang terbuat dari

beton bertuliskan “TN”. Taman nasional pada umumnya terbagi atas empat zona: 1) zona inti, 2) zona rimba, 3) zona pemanfaatan, 4) zona lain (zona tradisional; zona rehabilitasi; zona religi, budaya, dan sejarah; dan zona khusus). Menurut penuturan Bapak WR (34 tahun) selaku perwakilan TNGHS, awal perluasan TNGH menjadi TNGHS yakni pada tahun 2003 hingga 2008, pihak TNGHS masih melakukan berbagai upaya pemantauan (ground check) dan inventarisasi untuk menentukan zonasi. Berlandaskan pada berbagai kebijakan seperti Undang- Undang RI No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/Menhut- II/2006, TNGHS dibebaskan dari segala bentuk aktivitas manusia, termasuk masyarakat kasepuhan. Hal ini kemudian menyebabkan bagian perlindungan hutan sangat ketat dalam menjaga kawasan TNGHS.

Menurut beberapa responden, seperti Bapak HN, Bapak DI dan Bapak MD, sebenarnya wilayah garapan masyarakat pernah sempat ingin ditutup sama sekali oleh pihak TNGHS. Masyarakat yang mengetahui berita tersebut khawatir dan mengancam akan menyerang pihak TNGHS apabila penutupan akses benar- benar terjadi.

…waktu itu sempet mau bener-bener ditutup sama taman nasional, untungnya ga jadi. Kalo ditutup mah nanti kita mau makan apa (HN, 33 tahun).

…sempet tuh neng mau ditutup sama taman nasional kita ga boleh lagi di sini gitu. Akhirnya ga jadi, Alhamdulillah (DI, 48 tahun).

…pernah taman nasional mau nutup garapan masyarakat. kalo

jadi ditutup mah perang aja udah (MD, 100 tahun).

Masalah tersebut akhirnya terselesaikan setelah diadakan musyawarah dengan para petinggi kasepuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan istri Pak HN, yakni Bu AR (33 tahun).

…iya, untungnya diomongin tuh sama orang-orang atas (petinggi kasepuhan) jadinya kita masih tetep bisa nanem seperti sekarang (AR, 33 tahun).

Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada tahun 2007 terbentuk zonasi indikatif TNGHS. Zonasi yang dibuat masih bersifat sementara karena belum disahkan oleh Menteri Kehutanan. Menurut zonasi tersebut, wilayah Kasepuhan Cipta Gelar telah termasuk dalam zona khusus. Berbeda dengan Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya masih belum dipastikan posisinya dalam zonasi namun tetap saja dalam pandangan hukum, masyarakat Kasepuhan berada di tanah negara.

Pihak TNGHS tidak lagi mempermasalahkan masyarakat yang menggarap di dalam kawasan taman nasional. Meski demikian, terkait penebangan pohon, pihak TNGHS tidak dapat mentoleransi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak WR (34 tahun).

…kita masih mengakomodir kegiatan penanaman padi atau tanaman lainnya…yang susah adalah jika berkaitan dengan

penebangan kayu, yang namanya penebangan itu barang haram di taman nasional. Meski yang tanam masyarakat, kan lahannya punya Negara (WR, 34 tahun).

Pembagian zona TNGHS terus mengalami perkembangan, hingga pada April 2013, zonasi yang telah terbentuk disahkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SK. 142/IV-SET/2013 tentang Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Zonasi baru tersebut dibuat dengan berbagai pertimbangan termasuk keberadaan masyarakat adat di dalam kawasan dengan melibatkan berbagai stakeholder. Berdasarkan zonasi TNGHS, seluruh kawasan pemukiman termasuk kasepuhan termasuk dalam zona khusus.

Hingga saat ini masyarakat belum mendapat kepastian mengenai status lahan adat yang sudah sejak lama menjadi sumber hidup mereka. Berbagai upaya advokasi telah dilakukan untuk mendapat pengakuan Negara namun masih belum memberi hasil yang diharapkan.Saat ini mereka membutuhkan dukungan dari Bupati mengenai pengakuan wilayah adat mereka untuk selanjutnya diproses dan disahkan dalam sebuah peraturan daerah. Menurut seorang aparat desa yakni Bapak BR (68 tahun), kunci pengakuan wilayah adat kasepuhan berada pada Bupati.

…intinya di perda, kalo sudah diakui dalam bentuk perda baru bisa diakui sebagai lahan adat. tinggal keberanian bupati aja (BR, 68 tahun).

Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan Bapak WR (34 tahun) yang pernah menanyakan pengakuan wilayah adat Kasepuhan melalui Bupati.

…kita juga pernah tuh, ke Bupati, menanyakan kenapa tidak dibuat perda. Ternyata Bupatinya juga ga berani (WR 34 tahun).

Menurut Bapak WR (34 tahun) alasan Bupati belum berani mengeluarkan perda terkait pengakuan wilayah adat masyarakat kasepuhan yaitu keraguan atas keaslian adat kasepuhan. Keraguan tersebut juga dirasakan oleh pihak TNGHS yang diungkapkan Bapak WR.

…Oke, kalo memang mereka secara tradisional kan tapi kita ga tau apa mereka masih menerapkan itu. Coba bandingkan sama masyarakat adat lainnya seperti Baduy. Mereka cuma ada 40 rumah di Baduy dalam ya mungkin Cuma 2 hektar lah. Kalau sudah melebihi carrying capacity ada yang pindah, jadi di Baduy

luar. Makanya kan Baduy sudah disahkan dalam perda. Lalu juga masyarakat di Taman Nasional Bukit Duabelas. Kalau ada yang meninggal kan, mereka pindah ke bagian hutan yang lain baru kembali lagi setelah beberapa bulan. Kalau Kasepuhan? sekarang di Cipta Gelar udah ratusan hektar loh.

PERUBAHAN AKTIVITAS NAFKAH DAN PENDAPATAN RUMAH