• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA MASYARAKAT DESA SEJAK TAHUN 1980-AN

TINJAUAN PUSTAKA

PERUBAHAN STRUKTURAL DAN KULTURAL PADA MASYARAKAT DESA SEJAK TAHUN 1980-AN

Bagian ini menjelaskan sumber perubahan atau faktor-faktor yang menyebabkan perubahan beserta identitas perubahan atau faktor-faktor yang mengalami perubahan, dalam hal aspek-aspek struktural dan kultural pada masyarakat Kampung Cimapag. Perubahan dilihat dari batasan waktu tahun 1980- an hingga penelitian dilakukan. Upaya untuk menerangkan perubahan sosial adalah dengan melakukan pendekatan perspektif materialistik yang mendorong terjadinya perubahan. Perspektif materialistik menganggap bahwa faktor ekonomi dan teknologi sebagai penyebab utama perubahan sosial dan budaya. Disamping itu, ada juga peran pemimpin dalam proses perubahan di Kampung Cimapag. Pada bagian ini terpaparkan sejarah singkat desa dan dinamikanya, sistem pemerintahan, jenis-jenis mata pencaharian, stratifikasi sosial, kelompok- kelompok sosial, norma dan nilai di masyarakat.

Sejarah Singkat Desa dan Dinamikanya

Desa Bangunjaya merupakan wilayah hasil pemekaran. Awalnya Desa Bangunjaya masuk ke dalam wilayah Desa Rengasjajar. Pada tahun 1980 atas pertimbangan pertambahan jumlah penduduk yang tinggi maka keputusan melakukan pemekaran desa pun diambil. Hal ini sebagai upaya tindakan efektif dalam mencapai pemerataan kesejahteraan. Kepemimpinan Desa Bangunjaya pertama kali diduduki oleh Pak HBL yang menjabat sebagai lurah sementara, didampingi oleh Pak SHR sebagai sekretaris desa. Kemudian pada tahun 1982, desa dipimpin oleh Pak SKN seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh warga dengan masa jabatan selama 8 tahun. Ini menjadi awal masyarakat Desa Bangunjaya melaksanakan “pesta” demokrasi.

Tahun 1990 saat masa jabatan berakhir, Pak SHR ditunjuk sebagai pejabat sementara selama 3 tahun, dan di tahun 1993 jabatan sementara dipegang oleh Pak RB. Pada tahun yang sama dilaksanakan kembali pemilihan kepala desa, terpilih Pak HSN dengan masa jabatan selama 8 tahun. Tahun 2001 masa jabatan Pak HSN berakhir dan Kepala Desa yang baru terpilih adalah Pak SRPN yan menjabat selama 6 tahun. Tahun 2007 sebelum dilaksanakan kembali pemilihan kepala desa. posisi lurah sementara dijabat oleh Pak JN. Kepemimpinan Desa Bangunjaya periode 2007-2013 diduduki kembali oleh Lurah SRPN.

Desa Bangunjaya terdiri dari 5 Dusun, setiap dusunnya dipimpin oleh seorang Kepala Dusun atau dikenal dengan sebutan jaro. Dalam satu dusun terdapat beberapa RW dan RT, setiap RW dan RT-nya dipimpin oleh ketua RW dan ketua RT. Sistem pemerintahan di Desa Bangunjaya berdasarkan urutan tingkatan kewenangannya adalah lurah, jaro, ketua RW, dan ketua RT. Masing- masing memiliki tugas dalam melaporkan dan melayani masyarakat di kawasan kewenangan diberikan. Pemilihan langsung jaro, ketua RW, dan ketua RT di salah satu dusun di Desa Bangunjaya tepatnya Dusun 04 baru terjadi di tahun 2008.

Sebelum tahun 1985, kondisi jalan Kampung Cimapag meliputi akses jalan menuju Dusun 04 dan Dusun 05 dimana lokasi penelitian difokuskan masih dalam

keadaan rusak parah. Akses ke pasar dilakukan dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 5 Km. Disamping itu, penerangan listrik untuk Kampung Cimapag juga belum ada. Memasuki tahun 1985 baru ada pembangunan jalan. Tahun 1985 menjadi momentum perubahan bagi pembangunan Desa Bangunjaya. Pembangunan jalan sebagai wujud adanya peningkatan teknologi membawa perubahan besar pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Kampung Cimapag. Pembangunan jalan berdampak pada peningkatan kemampuan akses masyarakat ke luar desa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk menjual hasil pertaniannya ke pasar dan membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Masyarakat yang sakit menjadi lebih cepat menuju puskesmas atau rumah sakit. Hubungan antar desa menjadi lebih baik karena jangkauan antar desa menjadi lebih mudah dicapai, dan berbagai kemudahan lainnya.

Pembangunan jalan dilakukan secara gotong royong. Masyarakat menyebutnya dengan padat karya, memasang batu setiap hari dimulai dari pukul 07.00-16.00 WIB. Hingga kini perbaikan jalan hanya dilakukan sebatas tambal- sulam. Jalan hanya dibenarkan sekedarnya sehingga kondisi jalan yang baik tidak bertahan lama. Kondisi jalan di Kampung Cimapag juga semakin diperparah oleh keberadaan perusahaan tambang. Mobil-mobil berkapasitas besar membuat jalan yang hanya di tambal-sulam tersebut tidak mampu menahan beban dan jalan pun menjadi bertambah rusak. Pembangunan jalan yang berdampak pada peningkatan kemampuan akses masyarakat yang mempengaruhi pembangunan pedesaan dan aspek-aspek kehidupan masyarakat desa kemudian menjadi terbatas karena kondisi jalan yang kualitasnya tidak mengalami peningkatan hingga kini. Kondisi jalan yang buruk mau tidak mau berimplikasi pada tingkat pembangunan di pedesaan.

Adanya rencana pembangunan perusahaan tambang di Desa Bangunjaya tepatnya di Kampung Cibungur mulai diketahui masyarakat pada tahun 2010. Orang-orang yang berkepentingan membangun perusahaan tambang mulai melakukan penjajakan lokasi dan pendekatan kepada warga setempat. Pihak perusahaan tambang memerlukan waktu satu tahun untuk meyakinkan warga dalam melakukan transaksi pembebasan lahan. Pada tahun 2011 perusahaan tambang berdiri di atas lahan yang tadinya adalah lahan sawah, daratan, dan tebing.

Proses berdirinya perusahaan tambang tersebut berjalan lancar tanpa menimbulkan konflik. Konflik justru baru terjadi setelah perusahaan tambang didirikan. Konflik terjadi karena perusahaan tambang menyalahi aturan batasan lahan. Disamping itu, keberadaan perusahaan tambang juga membuat jalan semakin rusak. Hingga kini perusahaan tambang tersebut masih berjalan, namun dengan kondisi yang memprihatinkan. Menurut masyarakat setempat, hasil galian tambang hanya mendapatkan batu yang memiliki nilai jual rendah.

Keberadaan pertambangan di desa seharusnya punya pengaruh pada peningkatan pembangunan, namun yang terjadi di Desa Bangunjaya tidaklah demikian. Perusahaan tambang tidak membawa perubahan yang maju. Perubahan malah bersifat mundur, hal ini dibuktikan dari bentang alam yang berubah dan infrastruktur jalan yang semakin rusak menjadi penghambat pembangunan.

Perkembangan pedesaan tidak hanya diperlihatkan dari adanya pembangunan jalan dan masuknya pertambangan. Pada tahun 2002 masyarakat

Kampung Cimapag mulai mendapatkan aliran listrik. Kondisi listrik saat itu belum stabil. Alat-alat elektronik yang mereka beli dalam jangka waktu yang singkat rusak karena tegangan listrik yang naik-turun. Pada tahun 2008, jaro yang baru terpilih melakukan pembenahan listrik. Makan waktu kurang lebih 9 bulan untuk melakukan perbaikan kestabilan listrik tersebut. Pada tahun 2009 barulah listrik stabil dengan proses yang cukup menegangkan, prosesnya hampir terjadi demonstrasi warga.

Adanya listrik di satu sisi membuat aktivitas warga di malam hari menjadi lebih produktif. Adanya penerangan listrik membuat anak-anak dapat belajar membaca kitab suci Al-Qur’an di malam hari. Anak-anak dapat belajar di malam hari dengan penerangan lampu yang lebih baik, dan lain sebagainya. Meskipun di sisi lain adanya listrik membuat warga menjadi konsumtif terhadap barang-barang elektronik seperti kulkas dan TV. TV sedikit banyak membawa pengaruh pada tingkah laku masyarakat, seperti masyarakat yang menjadi semakin konsumtif dalam mengikuti perkembangan teknologi, para remaja mengikuti cara berpakaian yang ditampilkan artis-artis di televisi, acara sinetron yang kurang mendidik menjadi tontonan di rumah, dan sebagainya. Perubahan tingkah laku masyarakat ini secara tidak langsung menggeser norma dan nilai yang ada di masyarakat.

Perkembangan pedesaan dari kemajuan teknologi yang ditandai dengan adanya pembangunan jalan, pertambangan, dan aliran listrik membawa pengaruh pada kondisi perekonomian masyarakat. Dahulu, mata pencaharian yang banyak dilakukan oleh masyarakat setempat adalah kuli babat dan mengandalkan penghasilan yang diperoleh dari menanam buah-buahan. Komoditas yang menjadi potensi desa adalah Pisang, Picung, dan Durian. Untuk komoditas pisang dapat memberikan penghasilan Rp100 000/bulan. Komoditas pete dengan harga Rp15000 dan komoditas Picung dengan harga Rp 25/buah. Saat komoditas- komoditas ini memasuki musim panen, warga pada umumnya menjualnya tidak langsung ke pasar. Transportasi yang sulit dan mahal membuat warga tidak melakukan transaksi jual-beli langsung di pasar.

Transaksi jual-beli komoditas pertanian yang baru saja dipanen dilakukan di dalam kampung. Disamping alasan jarak pasar yang jauh, masyarakat memilih melakukan transaksi kepada orang yang memberikan hutang sebelumnya. Hal ini menyebabkan penjualan hasil bumi tersebut dibayar seadanya dan cenderung lebih rendah dari harga pasar. Kondisi ini hingga kini belum memiliki perubahan yang signifikan. Masyarakat tetap melakukan transaksi di dalam kampung dengan nilai jual yang rendah.

Kondisi perekonomian masyarakat bisa dikatakan kekurangan. Salah satu kondisinya adalah ketika ada sebuah kelurga yang salah satu anggota keluarganya sakit dan harus menjalani pengobatan di rumah sakit maka biaya pengobatan yang mahal akan dibayar dengan menjual atau menggadaikan lahan atau pohon yang dimiliki. Harga gadai 1 pohon terkadang lebih rendah dari hasil pohon saat panen. Contoh kasus 1 pohon durian yang digadaikan seharga Rp500 000 sebenarnya memiliki nilai bisa mencapai Rp1 000 000 ketika panen tiba. Saat panen tiba maka warga yang tadinya memiliki pohon tersebut justru menjadi pekerja kuli ikat. Pekerja kuli ikat tugasnya mengikat buah durian untuk menghindari jatuhnya buah ketika sudah matang.

Gambaran umum masyarakat Kampung Cimapag di awal telah dipaparkan bahwa ukuran kaya dan miskin dilihat dari kepemilikan benda fisik seperti lahan,

pohon, dan rumah. Sehubungan dengan hal tersebut maka sistem gadai ini membawa pengaruh pada tingkat kemiskinan di Kampung Cimapag. Masyarakat yang mayoritas awalnya memiliki lahan minimal 1 ha kini sudah mulai berkurang. Masyarakat saat ini rata-rata kepemilikan lahannya kurang dari 1 ha. Masyarakat yang tadinya memiliki lahan beserta pohon-pohon kemudian kepemilikannya tidak lagi hanya dipegang oleh satu orang tetapi dalam satu lahan kepemilikan dan penguasaan terhadap setiap asetnya (pohon) menjadi berbeda-beda

Perkembangan teknologi, kondisi perekonomian yang relatif belum meningkat, serta kebutuhan yang terus meningkat mempengaruhi masyarakat menjadi lebih peka terhadap aktivitas-aktivitas yang memiliki potensi mendatangkan keuntungan ekonomi. Pada tahun 2009 masyarakat Kampung Cimapag mulai menaruh minat pada budidaya tanaman kayu. Masyarakat Kampung Cimapag tertarik untuk menanam kayu karena tanaman kayu seperti sengon cepat panen dan sekali panen bisa mendatangkan banyak uang. Berbudidaya tanaman kayu diketahui warga melalui informasi yang disebarkan dari mulut ke mulut. Warga melakukan praktek menanam kayu tanpa dibekali pengetahuan dalam menanam tanaman kayu. Masyarakat sudah mengenal jual- beli kayu sejak senso atau alat potong kayu mulai masuk ke desa pada tahun 1993. Dulu pohon karet yang banyak dibudidaya warga. Namun kini jenis budidaya tanaman kayu mulai bergeser menjadi jenis sengon/jeng-jeng dan aprika.

Berdasarkan sejarah singkat desa yang telah terpaparkan, tahun 1985 yang menjadi awal mula pembangunan jalan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan desa. Periode di tahun 1980-an ini menjadi momentum besar bagi perubahan Desa Bangunjaya, meskipun perubahan terjadi secara lambat dan tidak menyeluruh kepada setiap aspek-aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan jalan telah membuat akses masyarakat keluar-masuk desa menjadi lebih mudah sehingga teknologi mulai masuk dan perekonomian desa pun mulai tumbuh. Periode ini pula sebagai periode modernisasi yang merupakan fokus dari penelitian ini.

Gambar 2 Sejarah desa dan dinamikanya 1980 •

Desa Bangunjaya menjadi wilayah hasil pemekaran

1985

• Awal mula pengerasan jalan

• Pembangunan meningkat, akses keluar masuk desa menjadi mudah

2000-an

• (2002) listrik masuk

• (2008) pemilihan aparat pemerintah tingkat dusun secara langsung • (2009) budidaya tanaman kayu meningkat

Dinamika Pemerintahan Desa

Susunan organisasi pemerintah Desa Bangunjaya adalah Kepala Desa sebagai pimpinan tertinggi. Desa Bangunjaya terdiri dari beberapa dusun, Kemudian dalam satu dusun terdiri atas beberapa RW. Pemimpin di tingkat dusun adalah Kepala Dusun atau Kadus atau masyarakat setempat menyebutnya jaro. Kadus sudah ada semenjak dahulu. Syarat seseorang ditunjuk menjadi seorang kadus adalah warga asli dusun setempat, memiliki kemampuan ekonomi, berilmu dalam hal ini ilmu gaib, berwibawa, dipandang oleh masyarakat, dan punya keberanian. Kedudukan sebagai kadus ditentukan melalui musyawarah yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja seperti tokoh agama di dusun tersebut. Setelah musyawarah dilakukan maka hasil dari musyawarah akan diumumkan melalui pengeras suara masjid.

Kondisi warga Kampung Cimapag hingga tahun 1998 masih tidak paham dengan pemerintahan desa. Jika ada seseorang yang berpenampilan rapi dan pandai berbicara maka masyarakat akan cenderung untuk menghindari kontak dengan orang tersebut. Padahal orang tersebut bisa jadi bukanlah bagian dari pemerintahan. Hal ini berdasarkan pernyataan salah satu warga pendatang di Kampung Cimapag.

“Jika ada orang baru yang berpenampilan rapi dan pandai berbicara sedikit saja, masyarakat langsung akan menghindar.

Dianggap orang pemerintah.” (JRMN, aparat pemerintah desa)

Masyarakat cenderung “mengikuti” apapun yang diputuskan oleh kadus tanpa mengetahui keuntungan atau kerugiannya. Masyarakat tidak peduli dengan pentingnya kepemilikan KTP, masyarakat tidak peduli dengan pentingnya memiliki Akta Lahir, masyarakat tidak peduli dengan pentingnya memiliki Kartu Keluarga, dan hal ini diperparah dengan aparat-aparat perangkat desa yang tidak mempedulikan situasi masyarakat tersebut. Ketidakpedulian aparat pemerintah ternyata bukan semata-mata karena mereka tidak ingin masyarakat menjadi tertib administrasi sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) melainkan karena para ketua RW dan ketua RT-nya tidak memiliki pengetahuan bagaimana mengurus hal-hal tersebut. Masyarakat yang ditunjuk menjadi kadus, ketua RW, dan ketua RT hanya sebatas formalitas tanpa ada pengetahuan yang menyertainya.

Memasuki tahun 2008, untuk pertama kalinya dilakukan pemilihan langsung kadus. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa sudah tidak ada lagi orang pribumi yang termasuk orang berpengaruh di dusun setempat. Begitupun juga dengan RW, RT, dan Amil yang awalnya ditunjuk kemudian dipilih langsung oleh masyarakat. Masyarakat Kampung Cimapag menjadi lebih aktif berpartisipasi dalam pemilihan perangkat dusun. Gaji triwulan sebesar Rp300 000 untuk RW dan RT pun mulai ada di pertengahan tahun 2008. Hal ini sedikit banyak membawa perubahan pada pemerintahan desa. Memasuki tahun-tahun berikutnya kecenderungan para RT dan RW ingin mempertahankan posisinya. Saat penelitian dilakukan dan terjadi pemilihan RW dan RT, ada salah seorang RT yang tidak menerima posisinya digantikan oleh orang lain. Kejadian tersebut membuat pengangkatan RT baru sempat terhambat. Padahal status sebagai RW dan RT dulunya dianggap status yang tidak diinginkan dan memberatkan. Bentuk-

bentuk keinginan akan kedudukan yang disertai keuntungan ekonomi mulai muncul di masyarakat. Perangkat desa yang tela terpili cenderung untuk tidak mau meninggalkan posisinya. Fenomena ini menjadi pembuktian bahwa masyarakat sedang mengalami perubahan menuju masyarakat yang materialistik.

Perubahan yang terjadi dalam pemerintahan Desa Bangunjaya disamping dipengaruhi oleh unsur materialistik juga dipengaruhi oleh adanya peran aktor. Aktor disini adalah jaro JRMN yang menjadi kadus pertama yang bukan pribumi dan dipilih secara langsung. Aktor ini memiliki pengetahuan tentang desa yang tidak kalah dari warga asli Kampung Cimapag. Aktor memiliki latar belakang sebagai salah satu penggerak serikat pekerja yang berada di salah satu perusahaan di Tangerang. Sebelumnya aktor ini juga memiliki pengalaman belajar di Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pada tahun 2007, aktor memutuskan untuk menetap di Kampung Cimapag setelah perusahaan tempat dirinya bekerja tutup. Latar belakang yang menyertai aktor ini yang menjadi nilai tambah dalam aksi kepemimpinannya serta cara-cara pengambilan keputusan.

Akhir 2007, aktor diangkat menjadi ketua RW 10 oleh tokoh masyarakat. Melalui perannya yang baru sebagai ketua RW maka aktor ini melakukan pendekatan personal kepada warga di wilayahnya dengan mendatangi satu per satu. Pendekatan personal dilakukan kurang lebih 1 bulan, hasilnya diketahui bahwa warga banyak yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hasil penelusuran lebih lanjut terkait temuan ini diketahui bahwa warga tidak paham pentingnya kepemilikan KTP. Aparat desa setempat tidak melakukan pemberitahuan, begitupula ketua RW dan ketua RT pun tidak punya inisiatif untuk membantu menyadarkan warganya untuk memiliki KTP. Disamping itu, alasan lainnya adalah warga merasa berat untuk membuat KTP yang seharga Rp50 000 belum terhitung biaya transportasi menuju kantor desa.

Tahun 2008, terjadi pemberhentian Jaro A Dusun 04. Jaro A dianggap tidak amanah sehingga diadakan Musluba (Musyawarah Luar Biasa) yang dihadiri para tokoh masyarakat yakni para kiai. Hasil Musluba adalah memberhentikan jaro A dan mengangkat jaro JRMN sebagai kepala dusun baru. Hal ini tidak serta merta diterima oleh tokoh. Tokoh meminta untuk melakukan pemilihan secara demokrasi yaitu pemilihan langsung oleh warga. Hal ini untuk mengetahui tingkat kepercayaan warga kepada jaro yang baru. Hasilnya sama, jaro JRMN terpilih menjadi Kepala Dusun 04.

Jaro JRMN menjabat sebagai kepala dusun selama 2 tahun. Perubahan yang telah dilakukan dalam kurun waktu tersebut antara lain 90% masyarakat memiliki KTP, dari yang awalnya hanya 20% warga yang punya KTP. Kemudian aktor membantu warga dalam pembiayaan RS dengan menggunakan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Adanya SKTM sangat membantu masyarakat yang tidak mampu membayar biaya RS. Perubahan lainnya adalah program pemerintah terkait subsidi gas 3 kg yang awalnya tidak masuk ke desa kemudian atas peran tokoh gas 3 kg berhasil masuk ke desa.

Sistem demokrasi membawa perubahan besar pada masyarakat Kampung Cimapag. Kebebasan menyampaikan pendapat menjadikan masyarakat tidak lagi hanya menerima dengan pasrah keputusan orang-orang yang diberi mandat sebagai perwakilan suara rakyat. Masyarakat Desa Bangunjaya pun tidak ketinggalan dengan era demokrasi ini. Tahun 2007 terjadi demonstrasi warga yang

berujung pada pembakaran kantor desa. Hal ini disebabkan ketidakpuasan warga atas terpilihnya kembali kepala desa yang telah menjabat satu periode sebelumnya.

Isu demonstrasi yang diusung adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai). Rencana masyarakat untuk melakukan aksi diketahui oleh kepala desa dan diberikan izin. Para penggerak aksi meminta jaro JRMN sebagai orang yang punya pengalaman aksi untuk ikut serta dalam rencana aksi warga. Jaro JRMN memberikan syarat untuk melakukan aksi dengan cara yang benar yakni memberikan surat pemberitahuan yang ditujukan kepada kantor desa dan kepolisian. Namun, anjuran tersebut tidak diikuti. Demonstrasi pun berjalan tanpa ada pengawasan dari aparat hukum. Aksi berlangsung tiba-tiba, dengan massa aksi yang jumlahnya besar. Suasana demonstrasi menjadi anarkis, pihak desa mencoba untuk menghalangi warga. Situasi menjadi semakin tidak terkontrol dan aksi pembakaran desa pun tidak terelakkan. Demonstrasi yang dilakukan kebanyakan tidak melibatkan aparat desa. Aksi tersebut digerakkan oleh warga desa yang massanya berasal dari hampir semua dusun kecuali Dusun 02 karena Dusun 02 adalah dusun dimana lurah berasal. Aksi pembakaran kantor desa ini menyebabkan aktivitas di kantor desa hingga kini belum dapat berjalan dengan baik.

Pemilihan secara langsung aparat pemerintah di tingkat desa beserta perangkat di tingkat dusun serta bentuk penolakan masyarakat dalam aksi demonstrasi menjadi wujud adanya dinamika pemerintahan di Desa Bangunjaya. Masyarakat desa yang awalnya pasif dan tidak paham dengan pemerintahan, kemudian menunjukkan perubahan. Periode terjadinya kesadaran demokrasi di masyarakat desa dikatakan terlambat. Hal ini mengingat bahwa pemerintah pusat telah memberikan kebebasan memilih kepala desa sejak pemerintah mengeluarkan UU No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang tertuang dalam Pasal 5 Ayat 1 (Lampiran 7).

Terlepas dari waktu munculnya demokrasi, pemahaman yang dapat ditarik adalah keputusan pemerintah di tingkat pusat tidak serta merta diterjemahkan oleh pemerintah di tingkat daerah. Ada rentang waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya. Pada saat masyarakat di tingkat pedesaan baru menerjemahkan apa itu demokrasi, masyarakat di perkotaan telah menjalankan demokrasi. Sudut pandang ini menjadi salah satu faktor pembeda tingkat pembangunan di pedesaan dan perkotaan.

Gambar 3 Dinamika pemerintahan desa Hingga tahun 2007 hanya 20% warga yang memiliki KTP

2008, pemilihan langsung jaro diikuti pemilihan ketua RW, ketua RT, Amil, Ketua Pemuda

2 tahun pencapaian jaro terpilih yakni 90 % warga punya KTP, adanya SKTM, subsidi gas 3 Kg

2007, terjadi demonstrasi warga yang berujung pembakaran desa

Ragam Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Kampung Cimapag umumnya bergantung pada sektor pertanian. Petani di Kampung Cimapag dahulu memiliki lahan minimal 1 ha untuk setiap keluarga. Perubahan luas kepemilikan lahan mulai terjadi pada tahun 2002. Rata-rata luas kepemilikan lahan saat ini adalah kurang dari 1 ha untuk setiap keluarga. Kepemilikan lahan yang sempit ini membuat kebutuhan warga menjadi kurang terpenuhi.

“Alasan warga menjual lahan, pertama faktor kebutuhan. Contoh

musim paceklik, usaha kesana kesini sulit, kebutuhan makan mendesak, punya utang, lahan digadai, gak bisa bayar utang, akhirnya tanah dilepas atau dijual. Kedua, jika ada yang meninggal butuh uang. Contoh mertua meninggal, butuh uang ± 26 juta untuk 1 minggu, akhirnya jual lahan atau jual pohon. Ketiga,

memenuhi keinginan anak untuk beli motor.” (JRMN, Aparat

pemerintah desa)

Buruh tani di Kampung Cimapag sudah ada sejak tahun 1989. Masyarakat sudah mulai berorientasi pada uang, sistem gotong royong dalam pertanian pun semakin memudar. Buruh tani di Kampung Cimapag umumnya tidak sepenuhnya tidak memiliki lahan. Pekerjaan buruh tani dilakukan ketika lahan sendiri telah digarap dan saat menunggu hasil panen, para buruh tani akan bekerja di lahan

Dokumen terkait