4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.3 Kualitas Pasca Penyimpanan Jagung Pipilan
4.3.1 Perubahan Total Biji Rusak Pasca Penyimpanan Jagung Pipilan
fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dapat dilihat berdasarkan total biji rusak pada Tabel 13.
Tabel 13 Total biji rusak jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (%)
Perlakuan Waktu penyimpanan (minggu)
0 3 6
JPTP 4.59±0.05 12.62±1.27 20.14±1.08
PPJP 4.51±0.15d 7.65±0.38c 9.32±1.23ab FJPA 4.09±0.25d 6.94±0.37c 8.11±1.03bc FJPM 4.60±0.11d 8.07±0.45bc 9.73±1.32a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05),
JPTP (jagung pipilan tanpa pengolahan) digunakan sebagai kontrol, tidak diikuti dalam analisis rancangan acak lengkap (RAL), PPJP (proses pengeringan jagung pipilan sampai kadar air maks 14%), FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)
Berdasarkan hasil penelitian total biji rusak pasca proses PPJP, FJPA dan FJPM, waktu penyimpanan dan interaksi dengan perlakuan nyata (P<0.05) mempengaruhi perubahan total biji rusak (Tabel 13). Pada penyimpanan 6 minggu mengalami peningkatan yang nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan minggu sebelumnya, kecuali FJPA pengaruhnya hanya sampai minggu ke 3, seterusnya
tidak berbeda nyata. Perlakuan PPJP, FJPA dan FJPM tidak berbeda nyata kecuali pada minggu ke 6 dimana PPJP dan FJPM nyata lebih besar dari FJPA. Kondisi ini berati penggunaan asam propionat masih mampu mempertahankan total biji rusak sampai minggu ke 6.
Faktor lain yang mempengaruhi keretakan biji yaitu: terjadi perubahan kadar air akibat perubahan cuaca, pemipilan yang tidak benar dan serangan hama gudang. Kerusakan bahan pakan akibat perubahan kadar air merupakan kasus yang paling sering terjadi, sehingga mempermudah pertumbuhan mikroorganisme terutama kapang. Mikroorganisme mengambil dan memakan zat makanan dari biji–bijian atau bahan baku lain yang menyebabkan rusaknya lapisan pelindung bahan. Selain menyebabkan kerusakan secara fisik karena sifatnya yang suka bermigrasi, mikrooranisme dapat memindahkan spora jamur perusak bahan pakan dan membuka jalan bagi kontaminasi mikrooranisme lain seperti kapang yang menghasilkan mikotoksin yang dapat meningkatkan kerusakan bahan pakan seperti biji berlubang, hancur dan pecah.
Garcia dan Park (1999) menyatakan bahwa biji rusak jagung akan menyediakan dan memudahkan rute infeksi dan pertumbuhan Aspergilus flavus
dan produksi aflatoksin dibandingkan dengan cendawan lain sehingga dapat merusak bahan pakan. Peningkatan total biji rusak yang diperoleh pada penelitian ini masih dalam batasan normal untuk proses penyimpanan yaitu batas persentase biji rusak maksimal 12% (SNI 1998).
Pola hubungan antar total biji rusak dengan waktu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9. Peningkatan biji rusak yang bersifat linear dengan persamaan garis PPJP, FJPA dan FJPM masing–masing yaitu Y=4.75+0.80X, Y=4.37+0.67X dan Y=7.83+0.27X dengan koefisien korelasi 0.97, 0.94 dan 0.73. Slope regresi tertinggi adalah PPJP dan terendah FJPM. Secara umum dapat dilihat bahwa waktu penyimpanan berpengaruh terhadap total biji rusak.
Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koofisien korelasi. Nilai koefisien korelasi (R2) tertinggi terdapat pada PPJP, FJPA dan FJPM dengan nilai korelasi berturut–turut adalah 0.97, 0.94 dan 0.73. Pada PPJP dapat dilihat bahwa lama penyimpanan mempengaruhi total biji rusak sebesar 97%, dibandingkan
dengan perlakuan lain. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan molases dan asam propionat lebih efektif mempertahankan peningkatan total biji rusak.
Gambar 9 Pola perubahan total biji rusak jagung pipilan pasca proses molases pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan
dengan waktu penyimpanan
4.3.2 Perubahan Sifat Kimia Pasca Penyimpanan Jagung Pipilan
Total aflatoksin, kadar air, kandungan bahan organik dan gross energi jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases sewaktu penyimpanan dapat dilihat pada berturut– turut pada tabel 14, 15, 16 dan 17.
a. Total aflatoksin
Aflatoksin merupakan suatu racun sebagai hasil metabolisme sekunder dari kapang Aspergilus flavus dan A. parasiticus. Toksin ini dapat mengakibatkan hepatoksik dan karsinogenik pada hampir semua binatang mamalia, manusia, burung, ayam dan ikan. Aspergilus flavus menghasilkan B1 dan B2, Aspergilus
parasiticus menghasilkan B1, B2, G1 dan G2. Pengelompokan aflatoksin menjadi B1, B2, G1 dan G2. Karbohidrat merupakan nutrient terpenting dalam sintesis metabolit sekunder sebagai cikal bakal aflatoksin, terutama sukrosa, glukosa dan
ribosa, sehingga bahan pangan maupun pakan yang mengandung karbohidrat merupakan objek terbesar untuk terserang aflatoksin. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pakan dapat dicegah dengan cara mengendalikan fungi penghasil aflatoksin. Jagung mudah terkontaminasi oleh cendawan, khususnya Asprgillus flavus dan Aspergilus parasiticus, yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin (Kennedy 2003). Aktivitas metabolisme mikroorganisme dapat menyebabkan kenaikan kadar air substrat yang selanjutnya memacu pertumbuhan cendawan (Muis et al. 2002).
Perlakuan penyimpanan menyebabkan meningkatnya kandungan total aflatoksin. Dharmaputra et al. (1997) menyatakan total aflatoksin akan meningkat dengan bertambahnya waktu penyimpanan karena aflatoksin tidak mudah didekomposisi, sehingga akan terakumulasi dengan waktu. Jumlah aflatoksin yang dihasilkan oleh kapang dipengaruhi oleh faktor–faktor tertentu seperti galur kapang, substrat yang ditumbuhi, kelembaban, kandungan CO2 dan oksigen serta interaksi mikroba lain yang tumbuh pada bahan tersebut.
Tabel 14 Total aflatoksin jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (ppm)
Perlakuan Waktu penyimpanan (minggu)
0 3 6
JPTP 29.12±0.01 29.94±0.04 47.01±0.87
PPJP 28.50±0.15e 32.39±1.96c 38.04±0.64a
FJPA 21.80±0.01g 29.38±0.75de 30.39±0.34d
FJPM 26.69±0.06f 29.63±0.73de 35.21±1.46b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05), JPTP (jagung pipilan tanpa pengolahan) digunakan sebagai kontrol, tidak diikuti dalam analisis rancangan acak lengkap (RAL), PPJP (proses pengeringan jagung pipilan sampai kadar air maks 14%), FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)
Hasil penelitian total aflatoksin menunjukkan bahwa pasca proses PPJP, FJPA dan FJPM, waktu penyimpanan dan interaksi dengan perlakuan nyata (P<0.05) mempengaruhi perubahan total aflatoksin (Tabel 14). Total aflatoksin perlakuan PPJP, FJPA dan FJPM hingga minggu ke 6 mengalami peningkatan yang berbeda nyata (P<0.05) kecuali FJPA pengaruhnya hanya sampai minggu ke 3, seterusnya tidak berbeda nyata. Penggunaan asam propionat masih mampu mempertahankan total aflatoksin sampai minggu ke 6. Rataan persentase total
aflatoksin pada minggu ke 3 FJPA dan FJPM menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan masih ada asam dikedua perlakuan tersebut sehingga oksidasi sama–sama dihambat, tetapi berbeda nyata dengan PPJP. Penggunaan aditif dapat mengurangi kenaikan total aflatoksin dibanding perlakuan lain. Pada minggu ke 6 total aflatoksin yang paling rendah FJPA dan PPJP yang paling tinggi.
Aflatoksin lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, diikuti oleh bahan yang kaya lipida dan protein (Toteja 2006). Penggunaan asam propionat dapat mencegah berkembangbiaknya kapang dengan cara merusak sel membran, mengganggu keaktifan enzim–enzim yang ada dalam sel karena asam propionat memiliki stuktur 3 atom karbonnya tidak bisa diurai oleh mikroba. Peningkatan total aflatoksin antar perlakuan yang diperoleh pada penelitian ini masih sesuai dengan persyaratan bahan baku pakan berdasarkan (SNI 1998). Aflatoksin yang tinggi dalam ransum unggas dapat menyebabkan pertumbuhan menurun dan konversi makan tidak efisien.
Aspergillus flavus merupakan cendawan yang mampu tumbuh pada kadar air 13–18% (Ominski 1994). Kadar air yang rendah dalam biji jagung tidak jaminan kandungan aflatoksin rendah, karena menurunkan kadar air lebih mudah dibandingkan menurunkan kandungan aflatoksin. Menurut Syarief dan Halid (1999) bahwa toksinogenesis tergantung pada komposisi kimia yang dikandung oleh bahan pangan. Toteja (2006) menyatakan perubahan kontaminasi aflatoksin tergantung pada kondisi iklim dan manipulasi kondisi. Kondisi penyimpanan yang tidak baik merupakan faktor penting terhadap variasi kontaminasi aflatoksin. Titik et al. (2001) menyatakan bahwa Aspergillus flavus mulai terdeteksi pada penyimpanan jagung sewaktu 2 minggu dan cendawan Aspergillus flavus
dan A. parasiticus mampu tumbuh pada kadar air rendah. Total aflatoksin pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian (Fuskhah 1999). Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu pasca proses fermentasi. Penelitian yang dilakukan Fuskhah, langsung menggunakan asam propionat tanpa melalui proses fermentasi. Peningkatan total aflatoksin yang bersifat linear dengan persamaan garis PPJP, FJPA dan FJPM masing–masing Y=28.21+1.60X, Y=22.90+1.43X dan Y=26.25+1.41X (Gambar 10).
Gambar 10 Pola perubahan total aflatoksin jagung pipilan pasca proses
pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dengan waktu penyimpanan
Slope regresi tertinggi adalah PPJP dan terendah FJPM. Secara umum dapat dilihat bahwa waktu penyimpanan berpengaruh terhadap total aflatoksin. Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koofisien korelasi. Nilai koefisien korelasi (R2) tertinggi terdapat pada PPJP, kemudian FJPM dan FJPA dengan nilai korelasi berturut–turut adalah 0.99, 0.84 dan 0.97. Pada PPJP dapat dilihat bahwa lama penyimpanan mempengaruhi kenaikan total aflatoksin sebesar 99%, sedangkan pada FJPA sebesar 84%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan asam propionat lebih efektif mempertahankan peningkatan total aflatoksin dibanding PPJP dan FJPM.
b. Kadar Air
Faktor terpenting dalam mencegah kerusakan pakan sewaktu penyimpanan adalah mengontrol kadar air. Waktu penyimpanan cenderung menaikan kadar air pakan. Kadar air perlakuan pasca proses PPJP, FJPA dan FJPM menunjukkan bahwa waktu penyimpanan dan interaksinya dengan perlakuan nyata (P<0.05) mempengaruhi perubahan kadar air. Perlakuan penyimpanan menyebabkan meningkatnya kadar air. Kadar air jagung pipilan pasca proses pengeringan dan
fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Kadar air jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (%)
Perlakuan Waktu penyimpanan (minggu)
0 3 6
JPTP 24.41±0.40 21.71±0.76 18.25±1.23
PPJP 11.02±0.00d 12.29±0.12b 12.89±0.06a
FJPA 9.38±0.06f 9.84±0.46e 12.07±0.23bc
FJPM 9.12±0.01f 9.36±0.08f 11.79±0.15c
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05), JPTP (jagung pipilan tanpa pengolahan) digunakan sebagai kontrol, tidak diikuti dalam analisis rancangan acak lengkap (RAL), PPJP (proses pengeringan jagung pipilan sampai kadar air maks 14%), FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)
Pada penelitian ini menggunakan kadar air sesuai dengan standar penyimpanan jagung maksimal 14%, kecuali JPTP sebagai kontrol.Penyimpanan PPJP, FJPA mengalami peningkatan yang berbeda nyata (P<0.05) hingga minggu ke 6, kecuali FJPM pada minggu ke 3. Kondisi ini berarti penggunaan molases dapat mempertahankan kadar air sampai minggu ke 3
Peningkatan kadar air ini seiring dengan penurunan bahan kering. Salah satu penyebab penurunan bahan kering adalah respirasi. Kenaikan kadar air dan penurunan bahan kering akibat respirasi bijian menyebabkan kelembaban meningkat sehingga merangsang pertumbuhan kapang yang akan memanfaatkan nutrient dari bahan tersebut. Pengurangan kadar air akan memperlambat aktivitas mikroorganisme dan membatasi pertumbuhan kapang (Syarief et al. 2003). Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini masih sesuai standar kadar air jagung dalam penyimpanan yaitu maksimal 14% (SNI 1998).
Syarief dan Halid (1999) menyatakan bahwa bila kelembaban meningkat maka kadar air akan meningkat. Hal ini terjadi antara jagung dan udara ruangan penyimpanan terjadi interaksi berupa absorbsi/desorbsi uap air dari dan ke udara. Absorbsi dan desorbsi ini berjalan bersamaan pada kondisi kelembaban tinggi maka absorbsi uap air dari udara ke jagung lebih besar daripada desorbsi uap air dari jagung ke udara sehingga akan terjadi kenaikan kadar air jagung. Air yang
terabsorbsi ini akan menempel pada permukaan jagung, makin banyak lapisan yang terbentuk akan menyebabkan semakin besarnya aktifitas air.
Gambar 11 Pola perubahan kadar air jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dengan waktu penyimpanan
Peningkatan kadar air bersifat linear dengan persamaan garis PPJP, FJPA dan FJPM masing Y=11.14+0.31X, Y=9.09+0.45X dan Y=8.75+0.44X dengan koefisien korelasi 0.96, 0.87 dan 0.82 (Gambar 11). Slope regresi tertinggi adalah PPJP dan terendah FJPA. Secara umum dapat dilihat bahwa waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kadar air. Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koofisien korelasi. Nilai koefisien korelasi (R2) terbesar terdapat pada PPJP, kemudian FJPA dan FJPM dengan nilai korelasi berturut–turut adalah 0.96, 0.87 dan 0.82. Pada PPJP dapat dilihat bahwa lama penyimpanan dapat mempengaruhi kenaikan total biji rusak tertinggi sebesar 96%, dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan molases dan asam propionat lebih efektif untuk mempertahankan peningkatan kadar air.
Syarief dan Halid (1999) menyatakan bahwa secara kuantitatif kerusakan fisiologis karena respirasi dapat dinyatakan dengan susut bahan kering. Kerusakan jenis ini sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban dan tekanan udara. Respirasi yang merupakan aktifitas fisiologi terjadi di dalam sel.
c. Kandungan Bahan Organik
Kandungan bahan organik merupakan cerminan dari kandungan karbohidrat, lemak, protein dan vitamin. Waktu penyimpanan mempengaruhi kandungan bahan organik. Jagung mengandung rata–rata pati 74.7%, protein 9.5% dan lemak 4.3% (Watson 2003). Bahan organik tersebut dapat menjadi bahan pembentuk aflatoksin. Rumus kimia aflatoksin terdiri dari unsur karbon, oksigen dan hidrogen (aflatoksin B1; C17H12O6, aflatoksin B2; C17H14O6, aflatoksin G1; C17H12O7 dan aflatoksin G2; C17H14O7), dimana unsur–unsur tersebut banyak terdapat dalam bahan organik.
Kandungan bahan organik pasca proses PPJP, FJPA dan FJPM, waktu penyimpanan dan interaksi dengan perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05) mempengaruhi perubahan kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Kandungan bahan organik jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (%)
Perlakuan Waktu penyimpanan (minggu)
0 3 6
JPTP 98.69±0.04 98.58±0.09 98.50±0.03
PPJP 98.64±0.02ab 98.61±0.06abc 98.60±0.04abc
FJPA 98.73±0.11a 98.59±0.10bc 98.67±0.09ab
FJPM 98.43±0.02d 98.41±0.05d 98.50±0.05cd
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05), JPTP (jagung pipilan tanpa pengolahan) digunakan sebagai kontrol, tidak diikuti dalam analisis rancangan acak lengkap (RAL), PPJP (proses pengeringan jagung pipilan sampai kadar air maks 14%), FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)
Perlakuan PPJP dan FJPM mengalami penurunan yang tidak berbeda nyata (P>0.05) hingga minggu ke 6 kecuali FJPA pada minggu ke 3. Hal ini berarti penggunaan molases dan PPJP masih mempertahankan kandungan bahan organik sampai minggu ke 6. Demikian juga FJPA, karena aditif dapat melindungi bahan supaya tidak terlalu banyak terdegradasi.
Jagung yang mengandung bahan organik yang tinggi disukai cendawan penghasil aflatoksin sehingga kandungan aflatoksin tinggi pula tetapi dengan
bertambahnya waktu bahan organik tersebut akan berkurang karena dipergunakan untuk metabolisme cendawan. Penurunan dan perubahan bahan organik selama penyimpanan dipengaruhi oleh respirasi dan kerusakan bahan oleh mikroorganisme karena bahan organik seperti protein, karbohidrat dan lemak merupakan komponen utama sel. Untuk pertumbuhan selnya, mikroorganisme membutuhkan karbon, terutama yang berasal dari bahan organik. Penambahan aditif pada perlakuan tersebut dapat melindungi bahan dari serangan kapang dan khamir yang memanfaatkan kandungan nutrientbahan sehingga menurunkan kandungan bahan kering dan bahan organik, dengan demikian penyimpanan sampai minggu ke 6 tidak sampai merusak bahan organik.
d. Gross Energi
Jagung merupakan sumber energi dengan kandungan karbohidrat/pati sebesar 75% dan dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk sumber energi utama. Berdasarkan hasil penelitian kandungan gross energi menunjukkan pasca proses PPJP, FJPA dan FJPM, waktu penyimpanan dan interaksi dengan perlakuan nyata (P<0.05) mempengaruhi perubahan gross energi (Tabel 17).
Tabel 17 Gross energi jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (kkal)
Perlakuan Waktu penyimpanan (minggu)
0 3 6
JPTP 4192±14.41 3305±109.86 3185±31.79
PPJP 4187±1.14b 3928±108.00c 3558±112.00d
FJPA 4312±45.21a 3310±31.2ef 3242±66.42f
FJPM 4166±17.88b 3398±57.30e 3302±45.5ef
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05), JPTP (jagung pipilan tanpa pengolahan) digunakan sebagai kontrol, tidak diikuti dalam analisis rancangan acak lengkap (RAL), PPJP (proses pengeringan jagung pipilan sampai kadar air maks 14%), FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)
Perlakuan PPJP dan FJPM pada waktu penyimpanan awal menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata, kecuali FJPA. Pada penyimpanan 3 minggu mengalami penurunan yang berbeda nyata (P<0.05) jika dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Pada penyimpanan 6 minggu mengalami penurunan yang
tidak berbeda nyata kecuali PPJP. Gross energi terendah FJPA dan yang tertinggi PPJP. Tingginya bahan organik pada FJPA maka kondisi ini lebih dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme dibanding dengan perlakuan lain yang selanjutnya memanfaatkan pati. Hal ini menyebabkan penurunan energi pada FJPA lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain.
Perlakuan FJPA dan FJPM pada penyimpanan 3 minggu tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan pemberian molases dan asam propionat tidak berpengaruh nyata terhadap gross energi dibandingkan dengan PPJP. Perlakuan penyimpanan menyebabkan penurunan kandungan gross energi. Kondisi ini dipengaruhi oleh pemanfaatan energi oleh mikroorganisme di dalam bahan pakan terutama pada polisakarida (pati) seperti glukosa yang dapat dijadikan sebagai sumber karbon dan energi terutama pada perlakuan yang mengandung bahan organik yang tinggi (FJPA) sehingga gross energinya rendah. Rendahnya gross energi perlakuan FJPM mengindikasikan bahwa mikroorganisme memanfaatkan energi pada proses ensilase untuk pertumbuhan dan produksinya karna energi mudah didegradasi. Buckle (1985) menyatakan bahwa karbon dan sumber energi untuk kebutuhan mikroorganisme dapat diperoleh dari karbohidrat sederhana seperti glukosa. Molekul–molekul organik yang komplek seperti polisakarida harus dipecah dulu menjadi unit–unit yang lebih sederhana, sebelum digunakan.
Pola hubungan antar gross energi dengan waktu penyimpanan, memperlihatkan peningkatan gross energi yang bersifat linear dengan persamaan garis PPJP, FJPA dan FJPM masing Y=4205+104.73X, Y=4156+178.27X dan Y=4054+143.89X dengan koefisien korelasi 0.99, 0.80 dan 0.83 (Gambar 12). Slope regresi tertinggi adalah FJPA dan terendah PPJP. Secara umum dapat dilihat bahwa waktu penyimpanan berpengaruh terhadap gross energi. Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koofisien korelasi. Nilai koefisien korelasi (R2) tertinggi terdapat pada PPJP, kemudian FJPM dan FJPA dengan nilai korelasi berturut–turut adalah 0.99, 0.83 dan 0.80. Pada PPJP dapat dilihat bahwa lama penyimpanan mempengaruhi penurunan gross energi tertinggi sebesar 99%, dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan asam propionat lebih efektif untuk mempertahankan penurunan gross energi.
Gambar 12 Pola perubahan gross energi jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dengan waktu penyimpanan
Penyimpanan jagung pipilan dapat menurunkan kualitas fisik dan kimia. Penurunan dan perubahan total aflatoksin, bahan kering dan bahan organik, selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, respirasi dan kerusakan bahan oleh mikroorganisme karena bahan organik seperti protein, karbohidrat, lemak maupun vitamin merupakan komponen utama sel. Penambahan aditif dapat melindungi bahan supaya tidak terlalu banyak terdegradasi. Penambahan asam propionat dapat mencegah berkembangbiaknya kapang dengan cara merusak sel membran, mengganggu keaktifan enzim–enzim yang ada dalam sel dan menghambat transport nutrient mikroba karena stuktur 3 atom karbonnya tidak bisa diurai oleh mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan bahan sehingga kualitas dapat dipertahankan. Peningkatan total biji rusak, kadar air dan total aflatoksin antar perlakuan yang diperoleh pada penelitian ini masih sesuai dengan persyaratan bahan baku pakan unggas berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 1998) yaitu maksimal: biji rusak 12%, kadar air 14% dan aflatoksin 50 ppb.