• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Sifat Fisik–Kimia Jagung (Zea mays) Pipilan Pasca Proses Pengeringan dan Fermentasi dengan Penambahan Asam Propionat dan Molases selama Penyimpanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Sifat Fisik–Kimia Jagung (Zea mays) Pipilan Pasca Proses Pengeringan dan Fermentasi dengan Penambahan Asam Propionat dan Molases selama Penyimpanan"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

MOLA

SE

INS

ASES SEL

YENNI I

EKOLAH

STITUT P

LAMA PE

ILMAN N

H PASCA S

ERTANIA

BOGOR

2009

ENYIMPA

NAFIAH

SARJANA

AN BOGO

ANAN

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Sifat Fisik–Kimia Jagung

(Zea mays) Pipilan Pasca Proses Pengeringan dan Fermentasi dengan Penambahan Asam Propionat dan Molases selama Penyimpanan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Yenni Ilman Nafiah

(3)

YENNI ILMAN NAFIAH. Assessment of Physical and Chemical Qualities of Shelled Maize Grain during Storage After Drying Process and Fermentation with Propionic Acid and Molasses. Under direction of ERIKA BL and AHMAD DL.

The objective of this research was to compare physical and chemical qualities of three shelled maize grain i.e dry processing and fermentation with propionic acid and molasses as an additives. The quality of fermentation products and evaluation of shelled maize grain after storaging process were determined due to the physical and chemical evaluations. The design of the research was t-test and Completely Randomized Design with Factorial evaluation and continued by analyzed variance followed by Duncan test. The results showed that treatments of fermentation with propionic acid (FJPA) dan molasses (FJPM) were had better fermentation and nutrition qualities. Shelled maize grain after storage showed that total of aflatoxin and broken grain of fermentation by propionic acid treatment had the lowest (P<0.05), however organic matter content had the highest compared to the others treatments. The gross energy of drying processing (PPJP) treatment had the highest (P<0.05). Fermentation with molasses had the highest quality due to pH value, lactat acid, acetat acid, N–NH3, dry matter loss and organic matter loss i.e 4.31, 775.80 ppm, 59.15 ppm, 1.34%, 11.17% and 1.49%, respectively. In concludion after fermentation with propionic acid dan molasses product could be an alternative to maintain shelled maize grain quality during storage.

(4)

YENNI ILMAN NAFIAH. Kajian Sifat Fisik–Kimia Jagung (Zea mays) Pipilan Pasca Proses Pengeringan dan Fermentasi dengan Penambahan Asam Propionat dan Molases selama Penyimpanan. Dibimbing oleh ERIKA BL dan AHMAD DL.

Jagung merupakan salah satu komoditas utama dalam industri pakan dan dimanfaatkan sebesar 5.50 juta ton/tahun oleh industri pakan di Indonesia untuk pakan ternak monogastrik. Jagung mempunyai β–caroten (xantofiel) dan karbohidrat atau pati sebesar 75% yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi utama, terutama dalam ransum unggas, serta jagung tidak mempunyai zat anti nutrient. Pengolahan jagung pipilan dapat dilakukan dengan penjemuran di sinar matahari atau menggunakan alat pengering untuk memperpanjang daya simpan pakan selama proses penyimpanan. Penyimpanan pakan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu komoditi yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi ataupun menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi. Penyimpanan dengan kadar air yang tinggi akan menunjang pertumbuhan kapang, khususnya Aspergillus flavus dan A. parasiticus,

yang akan menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin yang dapat mempercepat proses kerusakan bahan pakan (Syarief et al. 2003). Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas jagung pipilan, khususnya total aflatoksin adalah melalui proses pengeringan dan fermentasi sebelum penyimpanan. Untuk mendapatkan hasil fermentasi silase yang berkualitas perlu ditambahkan bahan aditif untuk mempercepat proses ensilase, misalnya molases danasam propionat. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa bahan yang kaya karbohidrat seperti molases, berfungsi sebagai stimulan pada proses fermentasi, sumber energi untuk merangsang perkembangan bakteri asam laktat yang mempercepat penurunan pH dan mengurangi tingkat ammonia. Pemberian asam propionat efektif terhadap kapang dan menghambat bakteri dan khamir, dapat menurunkan peningkatan pH, menghambat respirasi biji, sebagai pengawet pada biji–bijian dan mengurangi kerusakkan sebagai akibat dari manajemen silo (Mills and Kung 2002; Kung et al. 2003). Kajian sifat fisik–kimia jagung (Zea mays) pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan belum pernah dilaporkan, sehingga kajian tersebut diatas menjadi sangat penting.

Hasil fermentasi jagung pipilan dianalisis ragam menggunakan uji T-test dan hasil pasca penyimpanan menggunakan RAL berpola faktorial 3x3 dengan 3 ulangan, dimana faktor A adalah pasca proses jagung pipilan (PPJP, FJPA dan FJPM) dan faktor B adalah waktu penyimpanan pasca proses jagung pipilan (0, 3 dan 6 minggu). Peubah yang diukur pada penentuan kualitas hasil fermentasi meliputi: sifat fisik (warna, bau, tekstur dan total biji rusak) dan sifat kimia (derajat keasaman, asam laktat, asam asetat, N–NH3, kehilangan bahan kering dan kehilangan bahan organik). Peubah yang diukur pada kualitas pasca proses penyimpanan meliputi: total biji rusak dan sifat kimia (kadar air, total aflatoksin, kandungan bahan organik dan gross energi).

(5)

fermentasi dan nutrient yang baik setelah proses ensilase. Kualitas fermentasi yang tertinggi pada fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases, menghasilkan bau asam yang tidak menyengat, total biji rusak 4.79%, pH (derajat keasaman) 4.31, asam laktat 775.80 ppm, asam asetat 59.15 ppm, N–NH3 1.34%, kehilangan bahan kering 11.18% dan kehilangan bahan organik 1.49%. Kadar air hasil fermentasi silase jagung pipilan adalah 32.63–32.66%, sehingga sangat memungkinkan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. Pengeringan perlu dilakukan sampai kadar air yang aman untuk disimpan.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

MOLASES SELAMA PENYIMPANAN

YENNI ILMAN NAFIAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc.

(9)

Nama : Yenni Ilman Nafiah

NIM : D152070071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Erika Budiarti Laconi, M.S. Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Ilmu Nutrisi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2008 ini adalah Kajian

Sifat Fisik–Kimia Jagung (Zea mays) Pipilan Pasca Proses Pengeringan dan Fermentasi dengan Penambahan Asam Propionat dan Molases selama Penyimpanan.

Jagung merupakan salah satu komoditas utama dalam industri pakan dan dimanfaatkan sebesar 5.50 juta ton/tahun oleh industri pakan di Indonesia untuk pakan ternak monogastrik. Berdasarkan data BPS dan Dirjen Tanaman Pangan (2007) produktivitas jagung sebesar 3.67 ton/ha. Produksi yang tinggi tidak tahan terhadap penyimpanan yang dibutuhkan oleh pabrik pakan. Alternatif yang diterapkan untuk mempertahankan kualitas jagung pipilan, khususnya total aflatoksin yaitu melalui proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases sebelum dilakukan penyimpanan. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mempertahankan kualitas jagung pipilan. Hasil dari penelitian tersebut dituangkan dalam tulisan ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tidak terhingga dan setinggi-tingginya kepada yang terhormat Ibu Dr. Ir. Erika B. Laconi, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Ahmad Darobin L., M.Sc. selaku pembimbing atas kesabaran, penyediaan waktu dan keikhlasan selama proses pembimbingan. Ucapan terimakasih kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran untuk kesempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. S.H. Dilaga, M.S, atas rekomendasinya. Dr. Luki A. M.Sc. Agr selaku Dekan Fakultas Peternakan IPB. Dr. M. Ridla, M.Sc. Agr, Dr. Idat G. P, M.Sc. Agr serta Dosen lainnya atas ilmu dan sarannya untuk kesempurnaan tesis ini. Pak Opik, Pak Sopian dan Mba Dian yang telah ikut membantu kelancaran penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga yang sangat tulus kepada Bapak H. Mahfud, SE. MM. M.Si dan Ibu Hj. Nurhayati SE. M.Si, saudara–saudaraku Fakhri Surahman, ST. M.Si, Nur IstiQamah, Nur Fatanah, Najhatunnisa dan keponakan tersayang *Fathir, atas segala do’a, motivasi, kasih sayang dan bawelnya selama ini. Kalian adalah hidup, spirit dan inspirasi dalam hidupku. Kemudian Aji Tua, Dae Aji, Umi Ia dan Umi Tua (Alm.), Ua, Tante–tanteku, Om-omku, Sepupuku. Selanjutnya terima kasih kepada teman–teman Pasca Program Studi INP Fakultas Peternakan angkatan 2007, Ir. Andi Saenab, Oktovianus R. N, S.Pt, Annisa Rahmawati, S.Pt, Andi Tarigan, S.Pt dan Imana Martaguri, S.Pt. M.Si atas segala dukungan, bawel dan semangatnya, teman–teman seperjuangan dalam mencari ilmu di program Pascasarjana IPB. Serta teman–teman Kosan, SDN, SLTPN, SMUN dan S1 Fapet UNRAM angkatan 2003.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin….

Bogor, Agustus 2009

(11)

Penulis dilahirkan di Mataram, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 26 Januari 1986 dari Bapak H. Mahfud Har, SE, MM, M.Si dan Ibu Hj. Nurhayati, SE.M.Si. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Raba Bima, Nusa Tenggara Barat dan pada tahun yang sama masuk Universitas Mataram melalui jalur PMJK. Penulis memilih Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan dan lulus pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Institut Pertanian Bogor.

(12)

Halaman

4.2.1 Sifat Fisik Fermentasi Jagung Pipilan ... 31

4.2.2 Sifat Kimia Fermentasi Jagung Pipilan ... 32

4.2.3 Proses Pengeringan Setelah Fermentasi ... 37

4.3 Kualitas Pasca Penyimpanan Jagung Pipilan ... 38

4.3.1 Perubahan Total Biji Rusak Pasca Penyimpanan Jagung Pipilan 38 4.3.2 Perubahan Sifat Kimia Pasca Penyimpanan Jagung Pipilan ... 40

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Kesimpulan ... . 50

(13)
(14)

Tabel Halaman

1 Komposisi kimia jagung kuning berdasarkan

bahan kering (BK) ... 5

2 Persyaratan mutu jagung untuk pakan unggas ... 5

3 Kualitas silase berdasarkan kandungan N–NH3 ... 10

4 Enam phase fermentasi silase selama ensilase... 15

5 Jumlah bahan aditif yang digunakan ... 18

6 Jenis–jenis aditif silase ... 18

7 Karakteristik produk silase hijauan dengan kualitas yang berbeda ... 21

8 Pola percobaan penelitian ... 20

9 Kisaran suhu dan kelembaban relatif ruang penyimpanan ... 27

10 Sifat fisik fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat dan molases setelah proses ensilase... 28

11 Sifat kimia fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat dan molases setelah proses ensilase... 33

12 Kandungan bahan kering dan bahan organik hasil fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat dan molases sebelum dan setelah proses ensilase serta kehilangannya (%) ... 36

13 Total biji rusak jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (%) ... 38

14 Total aflatoksin jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (ppm) ... 41

15 Kadar air jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (%) ... 44

16 Kandungan bahan organik jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan (%) ... 46

(15)

Gambar Halaman

1 Persentaser bahan kering jagung ... 3

2 Suktur biji jagung ... 4

3 Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus ... 6

4 Kurva isoterm sorpsi Air ... 7

5 Ekosistem bebijian dalam penyimpanan ... 9

6 Beberapa faktor yang mempengaruhi proses ensilase dan kualitas silase ... 14

7 Prosedur kerja penelitian ... 28

8 Jagung pipilan setelah proses ensilase. FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases) ... 32

9 Pola perubahan total biji rusak jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dengan waktu penyimpanan ... 40

10 Pola perubahan total aflatoksin jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dengan waktu penyimpanan ... 43

11 Pola perubahan kadar air jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases dengan waktu penyimpanan ... 45

(16)

1 Analisis ragam total biji rusak fermentasi jagung pipilan ... 56

2 Analisis ragam pH (derajat keasaman) fermentasi jagung pipilan ... 53

3 Analisis ragam jumlah asam laktat fermentasi jagung pipilan ... 57

4 Analisis ragam jumlah asam asetat fermentasi jagung pipilan ... 57

5 Analisis ragam kadar N–NH3 fermentasi jagung pipilan ... 58

6 Analisis ragam kehilangan bahan kering fermentasi jagung pipilan .... 58

7 Analisis ragam kehilangan bahan organik fermentasi jagung pipilan .. 59

8 Analisis ragam total biji rusak pasca penyimpanan jagung pipilan ... 60

9 Analisis ragam total aflatoksin pasca penyimpanan jagung pipilan ... 61

10 Analisis ragam kadar air pasca penyimpanan jagung pipilan ... 62

11 Analisis ragam kandungan bahan organik pasca penyimpanan jagung pipilan ... 63

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung merupakan salah satu komoditas utama dalam industri pakan dan

dimanfaatkan sebesar 5.50 juta ton/tahun oleh industri pakan di Indonesia untuk

pakan ternak monogastrik. Jagung mempunyai β–caroten (xantofie) dan

karbohidrat atau pati sebesar 75% yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi

utama, terutama dalam ransum unggas, serta jagung tidak mempunyai zat anti

nutrien. Berdasarkan data BPS dan Dirjen Tanaman Pangan (2007) produksi

jagung di Indonesia sebesar 13 280 juta ton dengan luas areal panen sebesar 3 619

juta Ha dan produktivitas sebesar 3.67 ton/ha. Produksi yang tinggi tidak tahan

terhadap penyimpanan yang dibutuhkan oleh pabrik pakan.

Penyimpanan pakan bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mutu

komoditi yang disimpan dengan cara menghindari, mengurangi ataupun

menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas

komoditi. Batas maksimal total aflatoksin pada jagung adalah 50 ppb sebagai

bahan baku pakan unggas sedangkan kadar air penyimpanan maksimal 14% (SNI

1998). Penyimpanan dengan kadar air yang tinggi akan menunjang pertumbuhan

kapang, khususnya Aspergillus flavus dan A. parasiticus, yang akan menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin yang dapat mempercepat proses kerusakan

bahan pakan (Syarief et al. 2003). Jika masalah ini tidak segera ditangani akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan kimia jagung. Penurunan ini

menyebabkan kerugian yang besar bagi industri pakan dan petani karena jagung

tidak dapat digunakan dengan baik dan nilai jualnya akan menurun, lebih jauh lagi

dapat mempengaruhi produktivitas ternak.

Alternatif yang diterapkan untuk mempertahankan kualitas jagung pipilan,

khususnya total aflatoksin adalah melalui proses pengeringan dan fermentasi

sebelum dilakukan penyimpanan. Untuk mendapatkan hasil fermentasi silase yang

berkualitas perlu ditambahkan bahan aditif untuk mempercepat proses ensilase, misalnya molases danasam propionat. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa bahan yang kaya karbohidrat seperti molases, berfungsi sebagai stimulan pada

(18)

laktat yang mempercepat penurunan pH dan mengurangi tingkat ammonia.

Pemberian asam propionat efektif terhadap kapang dan menghambat bakteri dan

khamir, dapat menurunkan peningkatan pH, menghambat respirasi biji, sebagai

pengawet pada biji–bijian dan mengurangi kerusakkan sebagai akibat dari

manajemen silo (Mills and Kung 2002; Kung et al. 2003). Kajian kualitas sifat fisik–kimia jagung pipilan pasca proses pengeringan dan fermentasi dengan

penambahan asam propionat dan molases selama penyimpanan belum pernah

dilaporkan, sehingga kajian tersebut di atas menjadi sangat penting.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan

a. Mengkaji kualitas sifat fisik fermentasi jagung pipilan dengan penambahan

asam propionat dan molases(warna, bau, tekstur dan total biji rusak) dan hasil

penyimpanan pasca proses pengeringan dan fermentasi (total biji rusak).

b. Mengkaji kualitas sifat kimia fermentasi jagung pipilan dengan penambahan

asam propionat dan molases (derajat keasaman, jumlah asam laktat, jumlah asetat, kadar N–NH3, kehilangan bahan kering dan bahan organik) dan hasil

penyimpanan pasca proses pengeringan dan fermentasi (aflatoksin, kadar air,

kandungan bahan organik dan gross energi).

1.3 Manfaat

Bahan informasi bagi petani peternak dan industri pakan tentang pengolahan

jagung pipilan melalui proses fermentasi dengan penambahan asam propionat dan

molasesdapat mempertahankan kualitas sifat fisik dan kimia sampai penyimpanan

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Jagung sebagai Pakan Ternak

Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija di Indonesia yang

kegunaannya luas terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan ternak dan

konsumsi manusia. Jagung merupakan sumber energi dengan kandungan

karbohidrat/pati sebesar 75%. Pati terdiri atas dua polimer glukosa yaitu amilosa

dan amilopektin. Fungsi karbohidrat/pati dalam ransum unggas adalah pemberi rasa manis, penghemat protein, mengatur metabolisme lemak dan mengatur

mengeluarkan feses. Jagung dapat tumbuh pada selang pH 5–8, lebih tahan pada

kondisi pH netral, kondisi nitrogen yang seimbang dengan fosfor dan kalium.

Komposisi nutrien jagung tergantung varietas, cara penanaman dan iklim serta

tingkat kematangan (Phang 2001).

Taksonomi sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub–divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Tripsaceae

Famili : Graminae Sub–famili : Panicoidea Genus : Zea Spesies : Zea mays

(20)

Ada beberapa jenis jagung yang dikenal di Indonesia yaitu: jagung kuning,

jagung merah dan jagung putih. Jagung yang biasa digunakan adalah jagung

kuning karena mengandung provitamin A yang memberikan warna kuning pada

kulit dan kuning telur. Biji jagung disebut kariopsis, dinding ovari menyatu

dengan kulit biji atau testa, membentuk dinding buah. Biji jagung terdiri atas

bagian utama, yaitu: 1) pericarp (kulit luar) memiliki 3.5% dari bobot biji, berupa

lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu

dan kehilangan air dan sebagai lapisan pembungkus biji yang berubah cepat

selama pembentukkan biji, 2) endosperm, sebagai cadangan makanan dan

merupakan bagian terbesar dari biji jagung yaitu sekitar 85% dari bobot biji,

hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dan 3) lembaga merupakan bagian yang

cukup besar, meliputi 11.5% dari bobot biji. Lembaga terdiri atas dua bagian yaitu

skutelum dan poros embrio, 4) tip cap (pangkal biji) adalah bagian yang

mengandung biji dengan janggel. Pati umumnya sebagian besar terdapat pada

endosperm sebesar 86.45%, sedangkan lemak, protein dan gula terdapat pada

bagian lembaganya. Pati merupakan komponen terbesar dalam biji jagung yang

terdiri atas amilosa 27% dan amilopektin 73%. Sruktur biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Sruktur biji jagung (Hardman dan Gunsolus 1998; Syarief dan Halid 1999)

(21)

nutrien tercerna pada jagung sangat tinggi (81.9%) dan mengandung: 1) bahan

ekstrat tanpa nitrogen (BETN) yang hampir semuanya pati, 2) mengandung lemak

yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua butiran dan 3) serat kasar rendah,

oleh karena itu sangat mudah dicerna. Butiran yang ada hanya jagung kuning yang

mengandung xantofil. Kandungan β–caroten jagung akan menurun dan hilang

selama penyimpanan, selain itu jagung tidak mempunyai anti nutrien. Jagung

dipanen dalam keadaan matang mengandung kadar air 22–25% dan dikeringkan

secara buatan mencapai 15–16% untuk disimpan dan dijual (Stanley 2003).

Komposisi kimia jagung kuning berdasarkan bahan kering dan persyaratan mutu

jagung untuk pakan unggas dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Komposisi kimia jagung kuning berdasarkan bahan kering (BK)

Zat Makanan Komposisi (%)

Tabel 2 Persyaratan mutu jagung untuk pakan unggas

Kriteria Standar

Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI 1998)

Indonesia dan Negara–negara penghasil jagung lainnya memiliki

permasalahan dalam pengolahan pascapenen. Hal ini karena jagung mudah

terkontaminasi oleh cendawan, khususnya Aspergillus flavus dan A. parasiticus,

(22)

adalah metabolit yang dihasilkan oleh cendawa untuk pembentukkan biomasa dan

membangkitkan energi untuk keperluan metabolisme. Senyawa aflatoksin dapat

menimbulkan gangguan baik pada hewan maupun manusia karena bersifat

karsinogenik (Kennedy 2003).

A. Aspergillus flavus B. Aspergillus parasiticus

Gambar 3 Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus

2.2 Kadar Air dan Aktivitas Air (Aw)

Kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung

dalam bahan pangan, tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air.

Kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah atau

berat kering. Kadar air yang sama tidak selalu memberikan aktivitas air yang sama

pada berbagai macam bahan (Syarief dan Halid 1999). Kandungan air dalam

bahan pakan mempengaruhi daya tahan bahan pakan terhadap serangan mikroba

yang dinyatakan dengan Aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh

mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno 1992). Batas aktivitas air

minimum untuk pertumbuhan dan perkecambahan spora seperti kapang yaitu 0.80

(Tambunan et al. 2001; Syarief et al. 2003). Aktivitas air dinyatakan 0–0.100 yang sebanding dengan kelembaban 0–100%. Makin kecil angka aktivitas air

yang dimiliki oleh komoditas pertanian, maka semakin kecil pula air yang tersedia

dan makin sulit pula suatu jasad renik untuk tumbuh dan berkembang (Ayu 2003).

(23)

Gambar 4 Kurva isoterm sorpsi air

Hubungan antara Aw, dengan kadar air per gram suatu bahan makanan

bahan pangan dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut

sebagai keadaan kelembaban relative ruang penyimpanan. Bentuk kurva isoterm

sorpsi dibagi menjadi tiga daerah yaitu A, B dan C seperti yang tertera pada

Gambar 4, yang merupakan pertanda mekanisme pengikatan air yang berbeda

pada tempat–tempat terpisah pada matriks padatan (Tambunan et al. 2001).

Daerah A menunjukkan air terikat kuat sehingga tidak dapat digunakan

untuk reaksi. Daerah tersebut memiliki adsorpsi lapis tunggal uap air (monolayer)

dengan kisaran nilai Aw 0–20dan air yang terkandung adalah air yang terikat pada

permukaan yang sangat stabil dan tidak dapat dibekukan pada suhu berapapun.

Daerah B menunjukkan air terikat lebih longgar dalam kapiler yang lebih kecil

dan terjadinya pertambahan lapisan–lapisan di atas satu molekul air (multilayer)

dengan kisaran Aw 0.20–0.70 dan pada daerah ini kondisi air tidak terikat erat

dengan komponen bahan atau produk. Air pada daerah ini digunakan untuk

berbagai reaksi kimia dan mikrobiologi. Daerah C menunjukkan kondensasi air

pada pori–pori bahan mulai terjadi, kisaran Aw lebih dari 0.70 dan air bersifat

(24)

2.3 Pengeringan Bahan Pakan

Pengeringan merupakan langkah penting untuk melindungi biji–bijian dari

serangan mikroorganisme seperti kapang, jamur dan bakteri. Kadar air hasil

fermentasi sangat tinggi sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan dan

perkembangbiakan mikroorganisme. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa penyimpanan dengan kadar air yang tinggi akan menunjang pertumbuhan kapang,

khususnya Aspergillus flavus dan A. parasiticus, yang akan menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin yang dapat mempercepat proses kerusakan

bahan pakan.

Pengeringan hasil pertanian dan hasil fermentasi bertujuan untuk penguapan

sebagian air dari bahan sampai kadar air yang aman untuk disimpan. Keuntungan

melakukan pengeringan adalah meningkatkan daya simpan, mempertahankan

viabilitas bahan, menambah nilai ekonominya, memudahkan pengolahan lebih

lanjut dan memudahkan (Thahir et al. 1988). Pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran di sinar matahari atau menggunakan alat pengering. Pengeringan

bahan yang menggunakan sinar matahari mempunyai berbagai masalah

diantaranya sangat tergantung pada cuaca, sehingga kesinambungan pengeringan

tidak dapat dikembalikan. Demikian juga suhu, kelembaban udara dan kecepatan

alir udara tidak dapat diatur. Suhu yang biasa dipergunakan oleh petani antara 27–

30 dengan kelembaban 70% dan pengeringannya sampai 1–2 hari. Pengeringan

bahan dengan alat pengering dapat menghasilkan produk dengan mutu yang relatif

lebih baik karena kondisi pengeringan dapat terjaga dan teratur.

2.4 Penyimpanan Bahan Pakan

Penyimpanan adalah salah satu bentuk tindakan pengamanan yang selalu

berkaitan dengan waktu. Hasil pertanian terutama bebijian yang disimpan masih

mengalami proses respirasi karena bahan tersebut masih hidup. Tujuan

penyimpanan adalah untuk menjaga dan mempertahankan mutu komoditi yang

disimpan dengan jalan menghindari, mengurangi atau menghilangkan berbagai

faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas mutu komoditi tersebut.

(25)

biji–bijian, periode penyimpanan, metode penyimpanan, suhu lingkungan, kadar

air bahan, proteksi fisik dan kelembaban relatif (Williams 1991).

Ekosistem Penyimpanan

a. Faktor Abiotik dan Biotik

Faktor bahan hasil pertanian dan faktor lingkungan yang dapat

menyebabkan serangan: abiotik (faktor lingkungan itu sendiri) dan biotik

(faktor biologi). Bebijian yang disimpan adalah makhluk hidup yang

memiliki sifat alamiah seperti melakukan pernapasan, oksidasi pada keadaan

aerobik, kegiatan fermentasi pada anaerobik dan perkecambahan pada

keadaan lembab (Gambar 5).

Gambar 5 Ekosistem bebijian dalam penyimpanan (Syarief dan Halid 1999)

b. Perpindahan panas dan migrasi air

Sumber panas terdiri dari sumber internal dan sumber eksternal. Sumber

panas internal disebabkan oleh adanya aktivitas serangga, jasad renik atau

metabolisme bebijian itu sendiri (pernapasan). Dari proses respirasi bebijian

dihasilkan 26 100 kJ untuk tiap kg bebijian. Panas akibat respirasi ini

besarnya hampir sebelas kali panas yang diperlukan oleh 1 kg air untuk

(26)

udara luar, biasanya karena adanya perbedaan suhu siang–malam, perubahan

cuaca (iklim). Pindah panas yang terjadi pada penyimpanan bebijian diikuti

oleh pergerakan air yang terbawa oleh pergerakan intergranulasi secara

konveksi. Pada mulanya, kerusakan terjadi secara lokal, kemudian sedikit

demi sedikit merambat ke bagian–bagian lainnya. Pindah panas terjadi secara

konduksi, walaupun konduktivitas termik dari bebijian sangat rendah.

Suhu dan kelembaban relatif tidak hanya berpengaruh terhadap laju

perubahan kimia, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan serangga dan

kapang. Serangga mengambil dan memakan zat makanan dari biji–bijian atau

bahan baku lain yang menyebabkan rusaknya lapisan pelindung bahan. Selain

menyebabkan kerusakan secara fisik, karena sifatnya yang suka bermigrasi,

serangga dapat memindahkan spora jamur perusak bahan pakan dan membuka

jalan bagi kontaminasi jamur atau kapang yang menghasilkan mikotoksin. Imdad

dan Nahwangsih (1995) mengatakan bahwa fruktuasi suhu dan kelembaban

lingkungan penyimpanan secara alamiah akan menyebabkan terjadinya

pergerakan (perpindahan) uap air dari bahan sehingga akan mendorong terjadinya

kerusakan kualitatif (secara fisik) pada bahan yang disimpan. Hal yang tidak

menguntungkan dalam penyimpanan adalah hilangnya nutrient atau zat–zat

tertentu yang dibutuhkan baik oleh ternak maupun manusia selama proses

penyimpanan.

Suhu optimum dan waktu memproduksi aflatoksin oleh Aspergillus flavus

adalah 250C dalam waktu 7–9 hari, suhu 300C dalam waktu 5–7 hari dan pada

suhu 200C dibutuhkan waktu 11–13 hari. Aspergillus parasiticus memproduksi aflatoksin Sebagian besar total aflatoksin diproduksi pada suhu 250C sampai 300C

selama masa inkubasi 7–15 hari. Umumnya petani melakukan penyimpanan

dengan menggunakan sistem penyimpanan tradisional dengan suhu berkisar 27–

30oC dan kelembaban relatif sekitar 70%. Imdad dan Nawangsih (1999); Syarief

dan Halid (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan kapang terjadi pada suhu 26–

35oC dan kelembaban relative 70–90%.

Berdasarkan waktu penyimpanan, dikenal penyimpanan jangka panjang

(27)

penyimpanan konsumtif (beberapa jam atau hari). Lama penyimpanan dalam

gudang menurut (Sahwa 1999) sebaiknya tidak melebihi waktu tiga bulan.

Penyimpanan pakan termaksud kategori penyimpanan jangka panjang, karena

memakai waktu selama beberapa minggu bahkan sampai beberapa bulan. Ruang

penyimpanan yang baik adalah kering, bersih, tertutup dan terdapat cukup

pergantian udara segar (Damayanti dan Mudjajanto 1995).

2.5 Silase

Silase adalah pakan produk fermentasi yang diawetkan dengan

menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun secara alami

dihasilkan selama penyimpanan dalam kondisi an aerob. Pada kondisi an aerob

tercapai pada bahan yang diawetkan beberapa proses mulai berlangsung yaitu

respirasi (menghasilkan karbondioksida, air dan energi) dan proteolisis

(menghasilkan asam amino, peptida dan N–NH3) (McDonald et al. 1991). Menurut Coblentz (2003) ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi tersebut

yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang

membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan

menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan. Schroeder (2004); Kung

dan Shaver (2001) menyatakan bahwa hasil fermentasi yang berkualitas tercapai

apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih cepat turun,

sehingga lebih banyak nutrient yang dapat dipertahankan.

Proses kimia atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase

disebut ensilase, sedangkan tempatnya disebut silo (Bolsen et al. 2000). pH merupakan indikator utama untuk mengetahui pengaruh ensilase terhadap nilai nutrient silase, pH yang rendah menunjukkan kualitas lebih baik. Kandungan

nutrient silase sangat bergantung pada spesies hijauan, umur tanaman dan aktifitas

enzim bakteri dalam pemrosesan fermentasi. Jones et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan bahan kering bahan, kondisi an aerob, kandungan gula dan produksi asam laktat merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas hasil

(28)

Ada 2 cara pembuatan silase yaitu secara kimiawi dan biologis. Cara kimia

dilakukan dengan menambahkan asam sebagai pengawet seperti asam format,

asam propionat, asam klorida dan asam sulfat. Penambahan tersebut dibutuhkan

supaya pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4.2), sehingga keadaan ini

akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri

Clostridia (Collentz 2003; McDonald et al. 1991). Sedangkan cara biologis dengan memfermentasi bahan sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH

silase. Asam yang terbentuk selama proses tersebut antara lain: asam laktat, asam

asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol,

karbondioksida, gas metan, karbon monoksida nitrit (NO) dan panas. Dalam

proses fermentasi, bakteri asam laktat menguraikan karbohidrat menjadi asam

organik, protein terurai menjadi amonia asam amino. Peningkatan keasaman

mengakibatkan bakteri an aerob yaitu bakteri asam laktat berkembangbiak dengan baik, sedangkan bakteri lain menjadi tertekan kehidupannya dan selesailah proses

fermentasi maka silase terbentuk (Bolsen et al. 2000).

Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang

berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki dan dapat mendorong

berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Bolsen 1993). Selain

menghasilkan asam laktat, bakteri ini juga mampu menghasilkan berbagai

substansi antimikroba yang potensial seperti asam organik (asam laktat, asam

asetat dan asam format), hidrogen peroksida dan bakteriosin (Schved et al. 1992). Substansi ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan

pembusukan selama proses ensilase. Aspek penting yang mempengaruhi kualitas silase adalah kandungan asam organik yang terdapat di dalamnya. Umumnya yang

dijadikan tolak ukur kualitas silase adalah jumlah asam laktat, propionat dan

asetat yang dikandungnya (McDonald et al. 2002). Silase yang berkualitas baik mengandung 1.5–2.5% asam laktat, 0.5–0.8% asam asetat dan asam butirat kurang

dari 0.1% (Moran 1996).

Kualitas silase juga dapat diketahui dari kandungan N–NH3 dan keadaan pH

(29)

persentasi total N, semakin rendah nilai N–NH3 maka kualitas silase semakin baik

Kualitas silase berdasarkan kandungan N–NH3 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kualitas silase berdasarkan kandungan N–NH3

Kandungan N–NH3 silase Kualitas silase

< 5% Sangat baik

5 – 10% Baik

10 – 15% Sedang

.>15% Jelek Sumber: Moran (1996)

Semakin rendah pH menunjukkan semakin tingginya tingkat keasaman

silase. Secara normal peningkatan pH terjadi akibat peningkatan bahan kering

silase. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dari bakteri penghasil asam

dipengaruhi oleh ketersediaan air di dalam silase (Moran 1996; Kung dan Stokes

2001). Menurut McDonald et al (1991) bahwa sebanyak 60 jenis Clostridium dan 7 spesies merupakan mikroorganisme yang sering terlibat dalam proses fermentasi

silase. Lebih lanjut dijelaskan bahwa clostridia bersifat saccarolitik seperti

Clostridium butiricum yang mampu memfermentasikan asam organik dan gula serta sedikit mempunyai kemampuan untuk memfermentasi protein dan asam

amino, selain itu juga bersifat proteolitik seperti Clostridium sporogenes yang mana mampu memfermentasikan asam amino (asam glutamate, lisin, arginin,

histidin, alanin dan glisin). Sehingga dengan demikian kehadiran bakteri tersebut

tidak diinginkan ada dalam proses ensilase. Davies (2007) menyatakan bahwa persentase kehilangan bahan kering pada hasil fermentasi yang dikelola dengan

baik berkisar antara 5–27%.

Silase yang diawetkan dalam keadaan segar memiliki kandungan air 60–

70%. Temperatur yang baik untuk pembuatan silase berkisar antara 27–35oC.

Lebih lanjut dijelaskan faktor lainnya yang mempengaruhi kualitas silase yaitu: 1)

karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas penyangga, struktur fisik

dan variatas), 2) tatalaksana pembuatan silase yaitu: ukuran partikel, kepadatan

pengepakan dan penyegelan silo dan 3) keadaan iklim: suhu dan kelembaban

(30)

Gambar 6 Beberapa faktor yang mempengaruhi proses ensilase dan kualitas silase (Woolford 1984)

Semua bakteri asam laktat dapat tahan dalam suasana asam walaupun

kepekaannya berbeda–beda. Secara umum bakteri ini tumbuh pada pH 4.0–6.8.

Bahkan Lactobacillus dan Pediacoccus tumbuh pada pH 3.5 (Bolsen et al. 2000). Berbagai spesies bakteri asam laktat mempunyai peranan penting dalam

pengawetan baik secara tradisional maupun modern. Peranan bakteri ini dalam

fermentasi asam laktat ini adalah dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain

yang tidak dikehendaki yang dapat menurunkan kualitas fisik dan kimia hasil

fermentasi. Sifat yang terpenting dalam pembuatan produk–produk fermentasi

dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk memfermentasi gula

menjadi asam laktat, sehingga dapat menurunkan pH, menghambat aktivitas

proteolitik, lipolitik dan pathogen lainnya. Enam phase fermentasi silase selama

(31)

Tabel 4 Enam phase fermentasi silase selama ensilase

Produsen Bakteri

asam

Proses fermentasi silase secara garis besar dibagi menjadi 4 fase yaitu 1)

fase aerob, 2) fase fermentasi, 3) fase stabil dan 4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan tiga proses penting yaitu: glikolisis, siklus krebs dan rantai respirasi.

Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus krebs menghasilkan 2 ATP, sedangkan

rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan

menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami

fermentasi. Proses respirasi ini membakar karbohidrat dan memproduksi panas,

sehingga waktu yang digunakan untuk fase ini harus diminimalkan.

Pada fase fermentasi (respirasi an aerob) menghasilkan 2 ATP tiap satu molekul glukosa. Fase ini terjadi saat keadaan anaerob dicapai dan

(32)

negatif pada kualitas silase. Mikroorganisme ini berkompetisi dengan bakteri

asam laktat untuk menfermentasi karbohidrat dan memproduksi senyawa yang

mengganggu proses pengawetan pakan (Bolsen et al. 2000). Sementara itu menurut Schroeder (2004) fase fermentasi diawali dengan pertumbuhan bakteri

yang menghasilkan asam asetat. Bakteri ini menfermentasi karbohidrat terlarut

dan memproduksi asam asetat sebagai hasil akhirnya. Produksi asam asetat akan

menurunkan pH, hingga pertumbuhannya akan terhambat bila pH di bawah 5.

Penurunan pH terus berlangsung seiring dengan meningkatnya jumlah kelompok

bakteri penghasil asam laktat. Bakteri ini akan terus berkembang sampai mencapai

pH sekitar 4. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai dicapai pH yang cukup rendah untuk menghambat

pertumbuhan mikroorganisme, selanjutnya bahan pakan akan tahan disimpan dan

tidak akan terjadi proses kerusakan sepanjang silase tetap terpelihara dalam

kondisi an aerob.

Masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir karena berkurangnya

WSC, maka ensilase memasuki fase stabil. Bakteri asam laktat memfermentasi gula yang dirombak dari hemiselulosa, sehingga menyebabkan lambatnya

penurunan pH. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam

mempertahankan suasana an aerob (Bolsen et al. 2000). Pada fase stabil proses pertumbuhan dan kematian bakteri asam laktat seimbang. Hal ini disebabkan pada

kondisi ini hanya beberapa mikroorganisme saja yang mampu bertahan, sehingga

tidak terjadi lagi peningkatan produksi asam. Di samping itu sejumlah bakteri

Clostridia dimungkinkan tumbuh, jika terjadi kebocoran dan akan menaikkan pH (Schroeder 2004).

Fase pengeluaran dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang

cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba

aerob yang menyebabkan kebusukan, terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase, kehilangan bahan kering terjadi karena

mikroorganisme aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrient terlarut lainnya dalam silase (Sapienza dan Bolsen 1993). Sementara itu

(33)

pH dengan kisaran peningkatan 4.0–7.0 dengan konsentrasi pertumbuhan kapang

yang cukup tinggi. Pengawetan silase yang baik ditandai dengan lebih 60% dari

total asam organik yang dihasilkan selama ensilase adalah asam laktat.

Berdasarkan kemampuannya dalam proses fermentasi, bakteri

homofermentatif menghasilkan dua molekul asam laktat, sedangkan bakteri

heterofermentatif menghasilkan satu molekul asam laktat.

Glukosa 2 asam laktat

2 fruktosa + glukosa asam laktat + asam asetat + CO2 + 2 manitol

2.5.2 Bahan Aditif

Pengawetan merupakan suatu usaha untuk menghambat atau mencegah

terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindari terjadinya kerusakan,

memudahkan penanganan dan penyimpanan. Daya kerja bahan pengawet

umumnya dengan cara: mengganggu cairan nutrient dalam sel mikroba atau

dengan merusak sel membran, mengganggu aktivitas enzim–enzim yang ada

dalam sel mikroba, mengganggu system genetika dari mikroba. Mekanisme kerja

bahan pengawet yang terdiri dari asam–asam organik, berdasarkan permeabilitas

dari membran sel mikroba terhadap molekul–molekul asam yang tidak terdisosiasi

(undissosiated acid).

Fungsi penambahan bahan aditif:

- Menambah bahan kering untuk mengurangi kadar air

- Menambah air untuk meningkatkan kadar air

- Mengubah kecepatan, jumlah dan jenis asam yang diproduksi

- Mengasamkan silase

- Menghambat pertumbuhan bakteri dan khamir

- Kultur silase (inokulan/starter bakteri) untuk menstimulasi produksi asam

- Meningkatkan kandungan nutrient silase

Penambahan zat aditif pada silase bertujuan untuk mendapatkan fermentasi

yang berkualitas, mengurangi fermentasi yang tidak diinginkan dan meningkatkan

(34)

adalah: molases dan asam propionat. Jumlah penggunaan bahan pengawet dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah bahan aditif yang digunakan

Bahan Pengawet Jumlah Penggunaan (optimum) (%)

Tetes atau molases 3 dari bagian silase

Dedak padi 5 dari bagian silase

Onggok 5 dari bagian silase

Menir 4 dari bagian silase

Jagung 4 dari bagian silase

Sumber: Ridla dan Hasjmy (1998)

McDonald et al. (2002); Woolford (1984); mengemukakan bahwa bahan yang kaya karbohidrat seperti molases, gula dan pati yang berasal dari biji–bijian

merupakan sejumlah bahan yang berfungsi sebagai stimulan pada proses

fermentasi, sumber energi untuk merangsang perkembangan bakteri asam laktat

yang mempercepat penurunan pH dan mengurangi tingkat ammonia.

Berdasarkan fungsinya bahan aditif pada silase dapat digolongkan menjadi

lima golongan yaitu asam, bahan penghambat fermentasi, bahan pendorong

fermentasi, kelompok anti mikrobial spesifik dan bahan nutrien (Wooldford

1984). Beberapa aditif dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis–jenis aditif silase

Perangsang Penghambat

Langsung Tidak langsung Asam Lainnya

Kultur bakteri Glukosa Asam mineral Paraformaldehida

Molases atau yang lebih dikenal dengan tetes adalah hasil samping dari

proses pembuatan gula tebu. Meningkatnya produksi gula tebu Indonesia sekitar

sepuluh tahun terakhir ini akan meningkatkan produksi molases. Molases

merupakan media fermentasi yang baik, karena masih mengandung kadar gula.

(35)

amino, sodium glutamat hingga saat ini masih menghasilkan limbah cair yang

sulit didegradasi secara aerobik konvensional. Komposisi nutrien molases: total

gula 55.37%, sukrosa 30.62%, protein 3.89%, kadar air 20.33%, abu 13.09%.

Molases digunakan karena banyak mengandung karbohidrat 48–60% sehingga

menjadi sumber energi, asam amino (aspertat, glutamat, lisin dan alanin) dan

mineral (Mosafie et al. 1989). McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan molases pada proses ensilase berpengaruh besar terhadap produksi asam laktat, karena molases merupakan sumber energi yang mudah difermentasi,

keberadaan molases pada proses ensilase bersifat mempercepat perkembangan bakteri asam laktat, sehingga asam laktat terbentuk secara cepat yang

mengakibatkan turunnya pH media ensilase. Sifat dan komposisi tetes dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: keadaan tebu, lahan, musim, pemupukan,

proses pengolahan gula dan sebagainya.

Asam propionat adalah cairan tidak berwarna, berminyak, larut dalam air,

berbau merangsang, efektif terhadap kapang dan sedikit menghambat bakteri dan

khamir, efektivitasnya optimal pada pH 5–6 dan menurun peningkatan pH

(Desrosier 1988). Asam propionat dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pakan

ternak dan makanan untuk konsumsi manusia. Dalam industri, asam adalah

propionic utama yang dihasilkan oleh hydrocarboxylation dari ethylene

menggunakan nikel carbonyl sebagai katalisator. Struktur asam propionat yaitu:

Fuskhah (1999) menyarankan pemakaian asam propionat untuk pengawetan

jagung yang berkadar air tinggi adalah sebesar 1.0–1.5% dari bahan yang

dipergunakan. Asam propionat atau campuran antara asam propionat dan asam

asetat dapat menghambat respirasi biji dan aktivitas mikroorganisme pada

beberapa tipe butiran berkadar air tinggi (Stevenson 1982). Asam propionat yang

disemprotkan pada butiran berkadar air tinggi, maka asam tersebut membunuh

(36)

keburukan pada butiran dan butiran yang berkadar air tinggi dapat disimpan

dengan cara yang sama dengan butiran–butiran kering. Levital et al. (2009) menyatakan bahwa asam propionat tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah

bakteri asam laktat dalam silase jagung pipilan. Adanya peningkatan bakteri asam

laktat pada awal penyimpanan karena masih banyaknya substrat yang akan

dikonsumsi bakteri dan begitupula terjadinya penurunan jumlah bakteri asam

laktat pada hari–hari berikutnya karena semakin terbatasnya substrat bahan

organik yang dapat dicerna oleh bakteri tersebut.

2.5.3 Kualitas Fermentasi dan Nutrisi Silase

Pengamatan fisik produk silase seperti warna, bau dan penampakan yang

lainnya hanya menggambarkan nilai nutrien secara umum, untuk mendapatkan

hasil yang akurat perlu dilakukan analisa kimia dan mikrobial silase (Macaulay

2004). Pengukuran bahan kering, pH, kandungan protein, amonia, asam organik

serta jumlah mikrobial merupakan parameter yang umum dijadikan untuk

menggambarkan kualitas silase (Macaulay 2004; Saung dan Heinrichs 2008).

Silase pada kadar air tinggi dari normal (>80%) dapat menyebabkan

panjangnya proses fermentasi, banyaknya protein yang dirombak dan kehilangan

energi, sementara proses fermentasi dengan kadar air lebih rendah dari normal

(<60%) mengakibatkan ketidakstabilan pada silase, tumbuhnya yeast, jamur dan

Bacillus serta tingginya kerusakan struktur protein (Seglar 2003). Warna silase dapat mengidikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi.

Penentuan kualitas suatu fermentasi juga dapat ditentukan melalui bau. Pada

fermentasi asam laktat tidak mengeluarkan bau, sementara fermentasi asam

propionat menimbulkan bau wangi yang menyengat (Saung dan Heinrichs 2008).

Kandungan bahan kering pada awal ensilase merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas fermentasi. Sementara Kung dan Stokes (2001)

menyatakan bahwa pH adalah salah satu faktor penentu keberhasilan fermentasi.

Lebih lanjut dijelaskan Macaulay (2004) kualitas silase dapat digolongkan

menjadi 4 kriteria berdasarkan pH yaitu: baik sekali dengan pH 3.2–4.2, baik pH

4.2–4.5, sedang pH 4.5–4.8 dan buruk pH >4.8. Kandungan amonia yang tinggi

(37)

selama ensilase. Karakteristik produk silase hijauan dengan kualitas yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik produk silase hijauan dengan kualitas yang berbeda

Kakrakteristik

Kualitas silase

Baik Sedang Jelek

Warna Tergantung materi

silase

Sumber: Macaulay (2004)

(38)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai April 2009 di

Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian

Bogor.

3.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: jagung pipilan yang

diperoleh dari Cibatok Leuwiliang Bogor, serta asam propionat dan molases

sebagai bahan aditif. Alat yang digunakan adalah timbangan, silo (plastik),

karung, oven dan seperangkat peralatan laboratorium lainnya.

3.3 Metode Penelitian

a. Persiapan bahan

Jagung yang dipergunakan yaitu jagung setelah panen dengan umur panen

100 hari, kemudian dilakukan pemipilan dan selanjutnya dianalisa kadar air untuk

mengetahui volume asam propionat, molases dan air yang akan dipergunakan.

Kadar air jagung pipilan dalam penelitian ini adalah 24.41% yang langsung

disimpan dan digunakan sebagai kontrol (JPTP) dan tidak diikuti dalam analisis

rancangan acak lengkap (RAL) dalam penelitian.

b. Pasca proses pengolahan dan penyimpanan jagung pipilan

Pengolahan jagung pipilan dilakukan dalam 3 perlakuan dan masing–masing

perlakuan terdiri dari 3 kali ulangan yang ditulis sebagai berikut:

PPJP = pengeringan sampai kadar air maksimal 14%

FJPA = fermentasi dengan penambahan asam propionat 1.5%

FJPM = fermentasi dengan penambahan molases 3%

Pengeringan dilakukan sampai mencapai kadar air maksimal 14% sebelum

penyimpanan dimulai. Proses fermentasi dilakukan dengan penambahan asam

propionat dan molases. Sebelum pencampuran dimulai kadar air diusahakan

(39)

molases kemudian dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan dan ditutup rapat,

diinkubasi dilakukan pada kondisi an aerob hingga mencapai pH ≤ 4.5. Setelah proses ensilase selesai, dilakukan pengeringan pada suhu 105oC sampai mencapai kadar air maksimal 14%. Selanjutnya dilakukan penyimpanan yang sama seperti

jagung pipilan dengan pengeringan (PPJP) yaitu selama 0, 3 dan 6 minggu.

Tabel 8 Pola percobaan penelitian

Perlakuan pengolahan

JPTP = Jagung pipilan tanpa pengolahan (kontrol)

PPJP = pengeringan sampai kadar air maksimal 14%

0 9 9 9

3 9 9 9

6 9 9 9

FJPA = fermentasi dengan penambahan asam propionat

FJPM = fermentasi dengan penambahan Molases 3%

Keterangan : JPTP (jagung pipilan tanpa pengolahan) digunakan sebagai kontrol, tidak diikuti dalam analisis rancangan acak lengkap (RAL) PPJP, FJPA dan FJPM kadar air penyimpanan maksimal 14%

3.4 Peubah yang Diamati

Hasil fermentasi dievaluasi sifat fisik meliputi warna, bau, tekstur

(Macaulay 2004) dan persentase total biji rusak (SNI 1998). Sedangkan sifat

kimia dievaluasi dengan melihat pH yang diukur dengan menggunakan pH meter,

asam organik (asam laktat, asetat, butirat dan propionat) dengan menggunakan

Gas Chromatography, N–NH3 dengan menggunakan teknik mikrodifusi (Conway

1957). Kehilangan bahan kering dan bahan organik dengan analisa proksimat

(AOAC 2005).

Hasil pasca penyimpanan jagung pipilan dievaluasi sifat fisik dan kimianya.

Evaluasi sifat fisik ditentukan dari jumlah total biji rusak (SNI 1998), sedangkan

sifat kimia dievaluasi dengan menganalisa total aflatoksin dengan menggunakan

(40)

energi dianalisa dengan metode proksimat (AOAC 2005). Kondisi lingkungan

selama penyimpanan diamati dengan melihat suhu dan kelembaban relatif dengan

menggunakan alat Hygrometer.

Warna, bau dan tekstur

Warna, Bau dan tekstur hasil fermentasi dilakukan melalui pengamatan

secara organoleptik produk silase setelah proses ensilase. Sampling dilakukan dengan mengambil bagian atas, tengah dan bawah silo.

Persentase total biji rusak

Sampel ditimbang (a), kemudian dipisahkan antara biji utuh dengan biji

jagung yang rusak (retak, biji patah, biji berubah warna, biji terserang serangga

dan cendawa). Biji rusak ditimbang (b) dalam gr. Persentase biji rusak dapat

dihitung dengan rumus:

%biji rusak = b x 100% a

pH (derajat keasaman)

Sampel ditimbang ditambahkan aquades (1:2), kemudian didiamkan selama

30 menit sambil diaduk. Selanjutnya pH diukur dengan menggunakan pH meter.

Asam organik (asam laktat, asetat, butirat dan propionat)

Sampel ditimbang 5 gr, ditambahkan 50 ml buffer asetonitril. Buffer dibuat

dengan mengatur pH 0.4%, larutan asetonitril (v/v) dalam 0.5% (w/v) larutan

(NH4)2PO4 dalam air H3PO4 sehingga pH 2.24. Campuran yang dihasilkan

dihomogenasi dan diekstraksi selama 1 jam, seterusnya disentrifuse pada 7 000 x

6 selama 5 menit. Supernatant yang dihasilkan disaring melalui kertas saring dan

dua kali melalui penyaring membran berukuran 0.45 µm. Siap injek ke HPLC.

NNH3

Cawan Conway yang akan dipakai lebih dahulu diolesin vaselin pada kedua

bibirnya. Sebanyak 1 ml sampel berupa supernatant ditempatkan pada satu sisi

(41)

tengah diletakkan 1 ml larutan asam borat berindikator. Cawan selanjutnya ditutup

dengan tutup yang bervaselin sambil digoyang perlahan, sehingga supernatant

tercampur dengan natrium karbonat. Selanjutnya cawan dibiarkan selama 24 jam

pada suhu kamar. Setelah tutup cawan dibuka asam borat dititrasi dengan 0.02 N

H2SO4 sampai warnanya kembali menjadi merah muda. Produksi N–NH3dihitung

sebagai berikut:

NNH3 (mM) = ml H2SO4 x 100/L

%NNH3 (total N) = NNH3 (mM) x 17 (BM NNH3) x 100%

1 000

Kandungan bahan kering dan kehilangan bahan kering

Bahan kering diukur sebelum dan setelah ensilase. Sebanyak 5 gram sampel kering dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Setelah itu

dipanaskan di dalam oven 105oC selama 6 jam. Selanjutnya didinginkan di dalam

eksikator selama 15 menit dan ditimbang. Perhitungan kehilangan bahan kering

merupakan selisih antara bobot sebelum dan setelah ensilase. Selanjutnya dibandingkan dengan pengalian bobot sebelum ensilase dan dikali seratus persen.

Kandungan bahan organik dan kehilangan bahan organik

Bahan organik diukur sebelum dan setelah ensilase. Sebanyak 5 gram sampel (kering udara) ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen yang

telah diketahui bobotnya. Sampel dipijarkan di atas nyala api pembakar Bunsen

sampai tidak berasap lagi. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik suhu 400–

600oC selama 6 jam. Setelah itu didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan

ditimbang. Perhitungan kehilangan bahan organik merupakan selisih antara bobot

sebelum dan setelah ensilase. Selanjutnya dibandingkan dengan pengalian bobot sebelum ensilase dan dikali seratus persen.

Total Aflatoksin

Aflatoksin diekstrak dalam pelarut organik yang sesuai dan kemudian

dipisahkan secara kromatografi lapisan tipis di bawah sinar tampat ultra. Adapun

(42)

1. Penimbangan sebanyak 50 gram jagung pipilan dan dimasukan ke dalam

blender (explosion proof) 1 liter.

2. Tambahkan 250 ml methanol (55:45 v/v), 100 ml heksana dan 2 gram NaCl.

Lumatkan dengan kecepatan tinggi selama 1 menit. Pindahkan segera ke

dalam botol/tabung sentrifuse dan putarkan pada kecepatan 2 000 rev/menit

selama 5 menit. Apabila alat sentrifuse tidak dimiliki, pindahkan campuran

tersebut ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan biarkan selama 30 menit agar

terjadi pemisahan antara endapan dan cairan.

3. Pipet 25 ml lapisan methanol dan masukkan ke dalam corong pemisah 250

ml, tambahkan 25 ml kloroform, ekstrak dengan cara mengocoknya selama

1–2 menit. Biarkan kedua lapisan terpisah dan alirkan lapisan kloroform

(lapisan bawah) ke dalam Erlenmeyer 50 ml dan harap diperhatikan agar

padatan tidak ikut terbawa ke dalam kloroform. Uapkan di atas penangas air

sampai hampir kering.

4. Pindahkan ekstrak ke dalam botol kecil dan uapkan sampai kering dengan

menggunakan aliran nitrogen.

5. Larutkan ekstrak dengan 200 µl kloroform. Buat dua garis lurus pada

kedudukan 2 cm dan 12 cm dari salah satu sisi lempeng kromatografi

(“precoated kieselgel”) G plate.

6. Totolkan masing–masing 2;5 dan 10 µl larutan standar campuran pada garis

yang terletak di bagian bawah lempeng kromatografi dengan jarak 1.5 cm.

7. Masukkan lempeng ke dalam tangki pengembang yang berisi 100 ml

campuran kloroform; aseton (9:1 v/v) jenuh, tutup dan biarkan pelarut

bergerak sampai batas yang ditentukan.

8. Keluarkan lempeng dan biarkan kering, kemudian segera amati di bawah

lampu UV. Kemudian memberi tanda pada fluorensen contoh yang sesuai

dengan fluorensen standar. Apabila intensitas fluorensen contoh terlalu

rendah untuk diamati, pekatkan larutan ekstrak (butir 5) dan ulangi butir 7

dan seterusnya.

9. Kandungan aflatoksin dalam contoh dapat dinyatakan sebagai µg/kg dihitung

sampai dua angka decimal, dengan menggunakan rumus:

(43)

Keterangan:

C = kandungan masing–masing aflatoksin dalam contoh (µg/kg)

S = standar yang ditotolkan yang intensitasnya sama dengan

intensitas contoh (µl)

Y = konsentrasi masing–masing standar (µg/ml)

W = bobot contoh (gr)

Z = jumlah ekstrak contoh yang ditotolkan yang memberikan

intensitas yang sama dengan S

V = jumlah pelarut (kloroform) yang dipakai untuk melarutkan

ekstrak (µl)

f = faktor pengenceran.

Gross energi

Membuat pellet yang akan ditentukan energi brutonya dengan berat antara

0.5–1.0 gr, simpan dalam kertas. Kemudian letakkan dalam electroda pada tutup

bomb. Mengikat kawat platina diantara elektrode dengan disentuhkan pada

sampel tersebut. Teteskan air distilasi ke dasar bomb. Tempatkan tutup bomb

dalam bomb dan tutup rapat. Isi bomb dengan oksigen hingga 25 atmosfer.

Masukkan air distilasi 2 kg (2 liter) ke dalam bucket. Tempatkan bucket dalam

jacket. Tutup calometer, turunkan thermometer. Masukkan air panas dan

dinginkan hingga temperatur dalam bucket dan jacket sama. Biarkan lima menit

hingga temperatur tetap. Baca temperatur hingga 0.005oF. Bakar dengan menekan

tombol. Pada temperatur dalam bucket megikuti kenaikan suhu dalam temperatur

bucket hingga temperatur tetap dalam bucket. Kemudian mencatat temperatur

akhir. Buka calometer, keluarkan bomb, lepaskan oksigen dari bomb. Kawat yang

terbakar diukur dengan mengukur kawat yang dipakai dengan sisa kawat yang

tidak terbakar.

(44)

Keterangan:

ta = temperatur akhir (oF/oC)

tm = temperatur mula–mula pada saat dibakar (oF/oC)

W = water equivalent

e1 = koreksi asam yaitu jumlah larutanNa2CO3

e2 = koreksi kawat terbakar (kalori)

e3 = koreksi sulfur bila kandungan S > 0.1 persen (kalori)

Untuk lebih jelasnya prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 7:

Pengeringan

(oven 105oC)

Kontrol

Gambar 7 Prosedur kerja penelitian

Penyimpanan dengan periode 0, 3 dan 6 minggu

Kadar air maksimal 14%

Penambahan molases 3% Penambahan asam

propionat 1.5% Proses pengeringan

(oven 105oC)

Jagung pipilan

Evaluasi sifat fisik dan sifat kimia

(45)

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisa Data

Hasil fermentasi jagung pipilan dianalisis ragam menggunakan uji T-test,

sedangkan rancangan yang dipergunakan dalam hasil penyimpanan pasca proses

pengeringan dan fermentasi dengan penambahan asam propionat dan molases

adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola faktorial 3x3 dengan 3 kali

ulangan. Faktor pertama yaitu 3 perlakuan (pengeringan, fermentasi dengan

penambahan asam propionat dan molases) dan faktor kedua yaitu 3 waktu

penyimpanan (0, 3 dan 6 minggu). Bentuk umum model linear Rancangan Acak

Lengkap (RAL) berpola faktorial adalah:

Yij = µ + Ai + Bj+ (AB)ij +

ε

ijk

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan yang memperoleh faktor A ke–i, faktor B kej,

ulangan ke–k

µ = nilai tengah populasi

Ai = pengaruh pengolahan faktor A ke–i

Bj = pengaruh penyimpanan faktor B ke–j

(AB)i = pengaruh interaksi antara faktor A ke–i dan faktor B ke–j

ε

ijk = galat

Data dianalisis ragam dengan program SAS versi 6.12 dan bila berbeda

(46)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Ruangan Penyimpanan

Pada daerah tropis seperti Indonesia, kerusakan bahan yang disimpan akibat

suhu yang tinggi (Syarief dan Halid 1999). Faktor–faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan mikrooganisme adalah suhu, kelembaban relatif, kadar air bahan dan

spesies serangga. Suhu mempengaruhi gerakan molekul dan kecepatan reaksi di

dalam kegiatan penyimpanan. Suhu yang tinggi akan mempercepat reaksi kimia

seperti kegiatan respirasi dan reaksi enzimatik yang mengakibatkan terjadi

kerusakan dalam jagung yang memudahkan kapang untuk masuk dan tumbuh.

Suhu yang rendah akan menekan perkembangbiakan dan aktivitas kapang

sehingga pertumbuhannya menurun. Waktu pengamatan suhu dan kelembaban

relatif selama penelitian adalah pagi, siang dan sore pada pukul 07.00, 12.00 dan

17.00 WIB. Kisaran suhu dan kelembaban relatif ruangan penyimpanan dapat

dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kisaran suhu dan kelembaban relatif ruangan penyimpanan

Minggu ke

PPJP FJPA dan FJPM

Suhu (oC) Kelembaban (%) Suhu (oC) Kelembaban (%)

1 27.24±0.37 87.90±4.73 26.62±0.48 87.52±3.68

2 27.33±0.34 82.95±4.83 27.29±0.48 86.10±4.79

3 26.81±0.48 86.00±4.79 27.10±0.39 86.14±3.81

4 26.43±0.39 87.14±3.81 26.93±0.33 87.52±3.71

5 27.33±0.00 86.48±3.37 26.79±0.48 86.76+3.97

6 27.10±0.00 86.14±4.88 27.14±0.26 85.76±2.58

Rataan 27.04±0.34 86.10±4.40 27.01±0.36 86.63±3.68

Keterangan: PPJP (proses pengeringan jagung pipilan sampai kadar air maks 14%), FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)

Kisaran hasil pengukuran suhu dan kelembaban ruangan penyimpanan

selama penelitian berlangsung berkisar antara 26.43–27.33oC dan 82.95–87.90%

(Tabel 9). Ditinjau dari suhu dan kelembaban sewaktu penyimpanan,

(47)

penelitian ini. Imdad dan Nawangsih (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan

kapang terjadi pada suhu 26–35oC dan kelembaban relative 70%–90%.

4.2 Kualitas Fermentasi Jagung Pipilan

Fermentasi bertujuan untuk mengawetkan dan mempertahankan kualitas

bahan pakan. Proses kimia atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan

silase disebut ensilase. Waktu proses ensilase pada penelitian adalah 3 minggu (sampai penurunan pH). Kandungan asam butirat dan asam propionat pada hasil

fermentasi jagung pipilan tidak terdeteksi. Kandungan nutrient silase sangat

bergantung pada spesies hijauan, umur tanaman dan aktifitas enzim bakteri dalam

pemrosesan fermentasi.

4.2.1 Sifat Fisik Fermentasi Jagung Pipilan

Kualitas fermentasi jagung pipilan dapat dilihat berdasarkan karakteristik

fisik fermentasi tersebut. Hasil pengamatan terhadap warna, bau, tekstur dan total

biji rusak setelah proses ensilase dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sifat fisik fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat dan molases setelah proses ensilase

Peubah Perlakuan FJPA FJPM

Warna Kuning cerah Kuning coklat

Bau Asam menyengat Asam tidak menyengat

Tekstur Utuh dan kompak Utuh dan kompak

Total biji rusak (%) 4.00 4.79

Keterangan: FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%), FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)

Hasil pengamatan fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam

propionat dan molases setelah proses ensilase menunjukkan warna yang tidak jauh berbeda dari sebelum ensilase (Gambar 8). Campuran kedua warna ini merupakan pengaruh campuran dari bahan aditif yang digunakan pada pembuatan

silase yaitu asam propionat dan molases. Hal ini sesuai dengan rekomendasi

Macaulay (2004) bahwa fermentasi silase yang berkualitas baik akan berwarna

(48)

asam setelah proses ensilase (Tabel 10). Pada perlakuan FJPA, produksi asam asetat lebih tinggi sehingga menghasilkan bau yang lebih menyengat, sementara

pada perlakuan FJPM didominasi oleh asam laktat yang ditandai dengan bau yang

tidak menyengat. Hasil ini didukung oleh Saung dan Heinrichs (2008)

menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai bau seperti susu fermentasi

karena mengandung asam laktat. Pengamatan terhadap tekstur hasil fermentasi

pada masing–masing perlakuan setelah proses ensilase menunjukkan tekstur utuh, kompak dan tidak terlihat adanya lendir.

A. FJPA B. FJPM

Gambar 8 Jagung pipilan setelah proses ensilase. FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)

Secara umum kedua perlakuan memperlihatkan hasil fermentasi yang baik,

karena tidak terdapat tanda–tanda kerusakan seperti tekstur yang hancur atau

kering. Hal ini disebabkan semua perlakuan mempunyai kadar air yang sesuai

untuk suatu proses fermentasi berkisar 60–70%. Macaulay (2004) menyatakan

bahwa tekstur hasil fermentasi dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal

ensilase. Fermentasi dengan kadar air (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir dan berjamur, sedangkan fermentasi berkadar air (<30%) mempunyai

tekstur kering dan ditumbuhi jamur. Keberadaan jamur pada permukaan silo

merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses ensilase. Idealnya silase yang baik mempunyai permukaan yang tidak berjamur.

4.2.2 Sifat Kimia Fermentasi Jagung Pipilan

(49)

pipilan dengan penambahan asam propionat dan molases setelah proses ensilase

dapat dilihat pada Tabel 11.

a. pH (derajat keasaman), Jumlah Asam Laktat dan Asam Asetat

Sifat yang terpenting dalam produk–produk fermentasi dari bakteri asam

laktat adalah kemampuannya untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat,

sehingga dapat menurunkan pH, menghambat aktivitas proteolitik, lipolitik dan

pathogen lainnya. pH merupakan indikator utama untuk mengetahui pengaruh

ensilase terhadap nilai nutrient hasil fermentasi berkadar air tinggi, pH lebih rendah menunjukkan kualitas lebih baik (Kung dan Stokes 2001).

Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa pH hasil fermentasi

jagung pipilan setelah proses ensilase (Tabel 11) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). pH hasil fermentasi setelah proses ensilase kurang dari 4.5. Nilai ini menunjukkan bahwa hasil fermentasi jagung pipilan mempunyai kualitas

fermentasi yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Macaulay (2004) yang

menyatakan bahwa kualitas hasil fermentasi digolongkan menjadi 4 kriterial

berdasarkan pH yaitu: baik sekali dengan pH 3.2–4.2, baik pH 4.2–4.5, sedang pH

4.5–4.8 dan buruk pH >4.8. Jumlah asam laktat (ppm) 626.50±169.30d 775.80±239.71c Jumlah asam asetat (ppm) 161.30±9.47e 59.15±18.17f

Kadar N–NH3 (%) 1.26±0.21 1.34±0.20

Kehilangan bahan kering (%) 11.26±0.10 11.18±0.68 Kehilangan bahan organik (%) 1.72±0.11 1.49±0.14

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05), FJPA (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan asam propionat 1.5%) dan FJPM (fermentasi jagung pipilan dengan penambahan molases 3%)

Rendahnya pH pada perlakuan FJPM didukung dengan produksi asam laktat

yang lebih tinggi dibandingkan FJPA. Namun secara keseluruhan asam organik

Gambar

Gambar 1  Persentase bahan kering jagung (Perry et al. 2003)
Gambar  2   Sruktur biji jagung (Hardman dan Gunsolus 1998; Syarief dan Halid         1999)
Tabel 1  Komposisi kimia jagung kuning berdasarkan bahan kering (BK)
Gambar 3 Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ternyata pada lama penyimpanan 70 hari dan 112 hari, macam suhu pengeringan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada kadar protein jagung varietas Lokal, Arjuna dan

Judul : Pengaruh Penambahan P Anorganik terhadap Nilai Viabilitas dan Penggunaan Asam Fi- tat pada Benih Jagung (zea mays L.). Nama Mahasiswa : ASDIANTI Nomor Pokok : A

Dalam penelitian ini akan dipelajari pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung yang

4.4 Pengaruh Lama Fermentasi dan Penambahan Inokulum Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum Terhadap Kualitas Organoleptik Silase Tebon Jagung ( Zea mays

Kesimpulan yang diperoleh adalah kombinasi perlakuan penambahan asam propionat sampai 1,77 N dan pengeringan dengan dedak halus 15% (BK/BK) tidak dapat menekan jumlah bakteri

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali ulangan, jagung manis yang terkontaminasi A.flavus pada suhu ruang dan suhu rendah selama penyimpanan

Peningkatan kadar air minuman probiotik sari jagung manis sebesar 0,0086% terjadi setiap peningkatan 2% konsentrasi ekstrak kayu manis pada lama penyimpanan 2 hari dan peningkatan