• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan cengkeh pada hakekatnya merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Dan dengan asumsi inventori/ stok adalah konstan maka perkembangan permintaan akan rokok kretek dapat didekati melalui perkembangan produksi rokok kretek (Gwyer, 1977 dan Gonarsyah, 1996). Secara umum, walaupun cukai yang dikenakan dan kampanye anti rokok terus meningkat, namun sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, produksi rokok kretek menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, terutama untuk rokok jenis SKT, dimana kandungan cengkehnya lebih banyak daripada rokok jenis SKM. Selama kurun waktu 1994-2004, produksi rokok jenis SKT meningkat dari 30.4 persen menjadi 40.6 persen dari total produksi rokok kretek (Gappri, 2005).

Mengingat terbatasnya produksi cengkeh negara produsen lain seperti Madagaskar dan Tanzania (Zanzibar) serta negara produsen kecil lainnya yang hanya mampu memasok sekitar 20-25 persen dari konsumsi cengkeh PRK, maka kebutuhan cengkehnya sangat bertumpu pada produksi domestik. Secara teoritis, adanya peningkatan permintaan cengkeh sementara penawarannya cenderung terbatas akan menyebabkan harga cengkeh cenderung meningkat. Namun, harga per kilogram cengkeh di tingkat petani tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Belakangan ini, dengan diberlakukannya Keppres RI Nomor 21 Tahun 1998 tentang Perdagangan Cengkeh, dimana cengkeh produksi dalam negeri diperdagangkan secara bebas berdasarkan harga pasar, maka fluktuasi harga cengkeh terjadi lagi. Pada awal pemberlakuan kebijakan ini, rata-rata harga cengkeh meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 7 420 per kg tahun 1998 menjadi Rp. 20 0000 per kg tahun 1999, kemudian terus meningkat

hingga berkisar antara Rp. 75 000 hingga Rp. 100 000 per kg pada Juni 2002, namun kembali berangsur turun hingga mencapai titik terendah pada Rp. 13 500 diakhir tahun 2003 (Ditjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Puslitbun, dan FAO, 2004)2. Meskipun perkembangan terakhir menunjukkan bahwa harga cengkeh per kilogram berangsur meningkat kembali, antara Rp. 30 000 hingga Rp. 40 0003, namun Simatupang (2003) menyatakan bahwa pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh semestinya tidak terjadi karena neraca cengkeh I ndonesia masih defisit, dalam arti kebutuhan atau konsumsi dalam negeri masih lebih besar dari pada produksi, sementara volume perdagangan cengkeh di pasar dunia juga amat kecil. Dari perspektif nasional, ini berarti tantangan untuk dapat meningkatkan produksi cengkeh dan menutupi kesenjangan ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa antara petani cengkeh dan PRK memiliki kesalingtergantungan yang tinggi. Di satu pihak, bagi petani cengkeh, adanya fluktuasi harga berdampak langsung pada kegiatan usahataninya, tingkat pendapatan serta kesejahteraannya, sehingga dibutuhkan jaminan kestabilan harga untuk kepastian kelangsungan kegiatan usahataninya. Apalagi pemasaran cengkehnya sangat tergantung pada tingkat kebutuhan cengkeh PRK sebagai konsumen utama cengkeh. Di lain pihak, kelangsungan produksi rokok kretek dari PRK, juga sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku cengkeh produksi dalam negeri, karena relatif terbatasnya pasokan cengkeh impor. Dengan demikian kontinuitas pasokan cengkeh yang berasal dari produksi dalam negeri sangat dibutuhkan bagi kelangsungan proses produksi rokok kretek.

2

Koran Tempo, 10 Desember 2003

Namun kenyataannya, petani cengkeh memiliki posisi tawar-menawar yang lebih rendah dibandingkan dengan PRK.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, melalui beberapa kebijakan di bidang tataniaga, seperti Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 atau Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, yang dalam pelaksanaannya membentuk BPPC, juga dengan meningkatkan peran KUD sebagai lembaga tataniaga, namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Padahal untuk menjamin kelangsungan usaha masing-masing sekaligus untuk masa depan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional sangat tergantung kepada kerjasama yang sinergis antara petani cengkeh dan PRK melalui Gappri. Namun, mengapa upaya kearah ini belum dapat terwujud? Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan tataniaga cengkeh menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, Gonarsyah et al. (1995) menyarankan agar pemerintah membatasi kegiatan penyanggaan dengan mengikutsertakan Gappri. Sementara itu, Husodo (2006) menyatakan bahwa perlu diciptakan hubungan kemitraan yang adil dan harmonis antara petani dan pabrik rokok kretek agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan semua pihak, juga perlu untuk memperkuat posisi tawar petani cengkeh.

Dari penjelasan di atas, menarik untuk dikaji:

1. Bagaimana keterkaitan antara industri cengkeh nasional dan industri rokok kretek dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

2. Berapa sebenarnya harga cengkeh per kilogram? Bagaimana sebenarnya rentabilitas usahatani cengkeh? Bagaimana dengan perubahan harga cengkeh dan kebijakan pemerintah di bidang tataniaga terhadap rentabilitas usahatani cengkeh?

3. Bagaimana kemungkinan adanya kerjasama antara industri cengkeh nasional (petani cengkeh) dan industri rokok kretek (pabrik rokok kretek) dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

Beberapa penelitian terdahulu sebenarnya telah mencoba menelaah isu-isu tersebut di atas, seperti beberapa studi berikut ini :

Studi tentang permintaan dan penawaran cengkeh dilakukan oleh Gwyer (1976) dan Chaniago (1980). Selain itu, pernah juga dilakukan oleh Wachyutomo (1996), yang menggunakan pendekatan ekonometrik untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah dalam percengkehan nasional dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa satu-satunya kebijakan yang berdampak pada peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh serta produsen sigaret kretek adalah kebijakan kenaikan harga cengkeh di tingkat petani.

Sementara itu, penelitian yang mengevaluasi perkembangan serta pelaksanaan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara oleh Rumondor (1993) dan secara nasional, dilakukan oleh Gonarsyah et al. (1995), hasil penelitiannya antara lain menyarankan bahwa perlu dibatasi kegiatan penyanggaan oleh BPPC dengan mengikut sertakan Gappri.

Dalam kaitannya dengan usahatani cengkeh di Sulawesi Utara, Dumais et al. (2002) mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah apabila diterapkan suatu kebijakan pemerintah daerah berupa pajak terhadap komoditas tersebut. Namun, masih menggunakan metode analisis single-period PAM.

Sedangkan penelitian mengenai industri rokok kretek, pernah dilakukan oleh Bird (1999) yang menguji aspek struktur pasarnya, Sumarno dan Kuncoro (2002) menelaah struktur, kinerja dan klusternya, dan Wibowo (2003) yang

mencoba menggambarkan potret industri rokok I ndonesia, serta Tjahjaprijadi dan I ndarto (2003) yang menganalisis pola konsumsi rokok kretek.

Sebagaimana penjelasan di atas, tampak bahwa studi-studi terdahulu, pendekatannya secara parsial, dan hasilnya relatif kurang memuaskan, dalam arti temuan yang diperoleh belum dapat memperbaiki industri percengkehan nasional. Dengan menganalisisnya secara utuh dan dengan menggunakan pendekatan ekonometrik, matriks analisis kebijakan (PAM), dan teori permainan (game theory), diharapkan hasil studi ini dapat memberikan masukan berharga bagi perkembangan percengkehan nasional.