• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian ekonomi keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian ekonomi keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

I NDUSTRI CENGKEH DAN

I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL

GRACE A.J. RUMAGI T

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

(2)

Pujilah Tuhan, hai jiwaku!

Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!

Pujilah Tuhan, hai jiwaku,

dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!

(Mazmur 103 : 1& 2)

Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal :

Dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan

(I Korintus 1 : 5)

Memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas,

Dan mendapat pengertian jauh lebih berharga dari pada mendapat perak

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

KAJI AN EKONOMI KETERKAI TAN ANTARA PERKEMBANGAN I NDUSTRI CENGKEH DAN I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2007

(4)

ABSTRAK

GRACE A.J. RUMAGI T. Kajian Ekonomi Keterkaitan antara Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional. (I SANG GONARSYAH sebagai Ketua, HERMANTO SI REGAR dan DEDI BUDI MAN HAKI M

sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Cengkeh merupakan komoditi unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena I ndonesia adalah negara produsen, konsumen, dan pengimpor cengkeh terbesar di dunia, dan dikatakan strategis karena berperan langsung dalam penyerapan tenaga kerja. Secara umum, permasalahan dalam percengkehan nasional adalah rendahnya tingkat harga cengkeh terutama pada saat panen raya yang menyebabkan petani enggan untuk melakukan pemeliharaan tanamannya sehingga produktivitasnya cenderung menurun. Di lain pihak, pabrik rokok kretek membutuhkan kontinuitas pasokan cengkeh karena sebagian besar kebutuhannya dipasok dari dalam negeri, mengingat produksi cengkeh dunia hanya mampu memenuhi sekitar 25 persen dari kebutuhannya. Tujuan penelitian ini adalah: untuk menganalisis (1) keterkaitan antara industri cengkeh dengan industri rokok kretek nasional, (2) perkembangan sistem produksi dan tataniaga dalam usahatani cengkeh, dan (3) kemungkinan kerjasama antara industri cengkeh dengan industri rokok kretek nasional.

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, matriks analisis kebijakan periode ganda (multi-period PAM), dan teori permainan (game theory). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek perlu untuk diperbaiki, (2) rendahnya harga cengkeh terutama pada saat panen raya menyebabkan keuntungan privat usahatani cengkeh relatif rendah, walaupun masih tetap memiliki keunggulan komparatif, dan (3) kerjasama yang sinergis antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek diperlukan untuk keberlanjutan industri cengkeh dan industri rokok kretek.

(5)

ABSTRACT

GRACE A.J. RUMAGI T. An Economic Study of the Linkages betw een the Development of National Cloves and Kretek Cigarettes I ndustries.

(I SANG GONARSYAH as Chairman, HERMANTO SI REGAR and DEDI BUDI MAN HAKI M as Advisory Committee Members).

Clove is a unique and strategic commodity for I ndonesian economy. I t is unique because I ndonesia is both the largest producing and consuming as well as importing country of cloves in the world. Cloves farming and kretek cigarettes industry play a very important role in the I ndonesian economy due their capability of absorbing a lot of labor works. I n general, the problem of I ndonesian cloves industry is due to a relatively low price of cloves especially during peak harvest season, which is reducing incentive for farmers to increase their farming productivity. On the other hand, continuity of clove as raw material is very important for the survival of kretek cigarettes factory, since most of cloves needed come from domestic production and only around 25 percent supplied by world production. The objectives of this study are to analyze: (1) the linkages between national cloves and kretek cigarettes industries and factors affecting them, (2) the development of cloves farming and its economic efficiency, and (3) the possibility of cooperation between cloves industry and kretek cigarettes industry to improve the performance of both industries in the future.

Decsriptive analysis, multi-period PAM, game theory and econometric model are used to analyze the primary and secondary data. Results of study indicate that: (1) in the future, the linkages between clove industry and cigarettes kretek industry need to be corrected, (2) though cloves farming still has a comparative advantage, however the persistent and relatively low farm-gate prices of clove tend to deteriorate its competitiveness, and (3) a synergistic cooperation between cloves farmers and kretek cigarettes factories is required to ensure the national cloves and the kretek cigarettes industries facing with intense competition in the global market.

(6)

@ Hak cipta milik I nstitut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(7)

KAJI AN EKONOMI KETERKAI TAN ANTARA PERKEMBANGAN I NDUSTRI CENGKEH DAN

I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL

GRACE A.J. RUMAGI T

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

(8)

Judul Penelitian : Kajian Ekonomi Keterkaitan Antara Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional

Nama Mahasiswa : Grace A.J. Rumagit Nomor Pokok : A546010041

Program Studi : I lmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. I r. I sang Gonarsyah Ketua

Dr. I r. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. I r. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana I lmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. I r. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. I r. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

RI WAYAT HI DUP

Penulis dilahirkan di Tomohon, Minahasa pada tanggal 27 Agustus 1964, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari ayah Arnold V. Rumagit dan ibu Mariantje M. Runturambi. Penulis menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Tompaso, Minahasa serta SMA di Manado. Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado. Selanjutnya, pada tahun 1995-1997, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana, I nstitut Pertanian Bogor (I PB). Pada tahun 2001 kembali mendapat kesempatan untuk menempuh program S3 pada Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana I nstitut Pertanian Bogor.

(10)

PRAKATA

Puji Tuhan dan segala Ucapan Syukur dipersembahkan kepadaNya, atas berkat, kasih, anugerah dan penyertaanNya sehingga penulis dimampukan untuk menyelesaikan disertasi ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini dapat tercipta melalui bimbingan, petunjuk, arahan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. I r. I sang Gonarsyah sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. I r. Hermanto Siregar, M.Ec dan Dr. I r. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai anggota Komisi Pembimbing yang dengan kasih dan penuh kesabaran, telah memberikan motivasi, sejak persiapan melanjutkan pendidikan S3, petunjuk akademik selama perkuliahan, pembimbingan serta banyak membuka wawasan menyangkut analisis data hingga proses penyusunan dan penyelesaian disertasi ini.

2. Dr. I r. Rina Oktaviani, MS selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup serta Dr. I r. Tahlim Sudaryanto, MS dan Dr. I r. Endah Murniningtyas, M.Sc selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

(11)

4. Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado, Prof. Dr. I r. L.W. Sondakh, M.Ec, serta Dekan dan Ketua Jurusan SOSEK Fakultas Pertanian yang memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan S3 juga bantuan biaya penelitian.

5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan biaya pendidikan melalui beasiswa BPPS.

6. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara atas bantuan biaya penelitian serta fasilitas asrama yang ditempati selama menempuh pendidikan di Bogor. 7. Kepala Badan Pusat Statistik Sulut Drs. Jasa Bangun, M.Si. beserta staf,

Kepala dan Staf Dinas Peridustrian Sulut, Dinas Perdagangan Sulut, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Minahasa I r. Wenny Talumewo dan Staf, juga I r. Handry Rawung, M.Si dan Drs. Sjaiful Bahri, M.Ec, serta para petani dan pedagang cengkeh di Desa Kombi, pedagang cengkeh di Kecamatan Tondano serta para nara sumber yang telah memberikan bantuan data dan informasi. 8. Rekan-rekan sejawat di Fakultas Pertanian Unsrat, teman-teman di asrama

Sam Ratulangi, teman-teman di PS. EPN-I PB khususnya bu Reni, bu Atien, bu Umy, bu Poer, pak Adolf, dan pak Bayu, atas dukungan dan bantuan dalam perkuliahan hingga penyusunan dan penyelesaian disertasi ini.

9. Mami Altje Masengi-Mait, Toche, serta Besse yang dengan penuh kesabaran dan kesetiaan tak henti-hentinya memberikan semangat, dukungan serta senantiasa mendoakan untuk penyelesaian disertasi ini.

(12)

11.Dan dengan penuh cinta kasih untuk putraku Rick, atas kesabaran dan keikhlasannya, merelakan kehilangan waktu bersama yang begitu panjang, juga atas kesetiaannya untuk senantiasa memberikan doa dan dukungan terbesar selama ini.

12.Juga untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang berguna dalam rangka penyempurnaan karya ilmiah ini. Walaupun demikian, penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembangunan pertanian di Provinsi Sulawesi Utara juga bagi semua pihak yang membutuhkannya, lebih khusus lagi bagi kesejahteraan petani cengkeh di I ndonesia.

Bogor, April 2007

(13)

DAFTAR I SI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPI RAN... xix

I . PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 8

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 12

1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 13

1.5. Keterbatasan Penelitian... 13

I I . TI NJAUAN PERKEMBANGAN PERCENGKEHAN NASI ONAL... 15

2.1. Tinjauan Perkembangan Pertanaman Cengkeh di I ndonesia... 15

2.1.1. Sejarah Singkat Penyebaran Tanaman Cengkeh... 15

2.1.2. Tipe Karakteristik dan Aspek I klim Tanaman Cengkeh.... 16

2.2. Tinjauan Kebijakan Percengkehan Nasional... 18

2.2.1. Kebijakan di Bidang Produksi... 18

2.2.2. Kebijakan di Bidang Tataniaga... 20

2.2.2.1. Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980... 21

2.2.2.2. Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992... 26

2.2.2.3. Keppres RI Nomor 21 Tahun 1998... 29

2.2.3. Kebijakan di Bidang I mpor... 29

2.2.4. Kebijakan di Bidang Cukai Rokok Kretek... 30

2.2.4.1. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.597/ KMK.05/ 2001... 30

(14)

2.2.4.3. Peraturan Menteri Keuangan RI

No.17/ PMK.04/ 2006... 32

2.2.5. Kebijakan di Bidang Kesehatan... 33

2.2.5.1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun 1999... 33

2.2.5.2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2000... 35

2.2.5.3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2003... 36

2.3. Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional... 37

2.3.1. Perkembangan Penawaran Cengkeh... 37

2.3.1.1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 37

2.3.1.2. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 39

2.3.1.3. Perkembangan Produksi Cengkeh... 41

2.3.1.4. Perkembangan I mpor Cengkeh... 43

2.3.1.5. Perkembangan Stok Cengkeh... 45

2.3.2. Perkembangan Permintaan Cengkeh... 46

2.3.2.1. Perkembangan Permintaan Rokok Kretek... 47

2.3.2.2. Perkembangan Konsumsi Cengkeh... 52

2.3.2.3. Perkembangan Ekspor Cengkeh... 54

2.3.4. Perkembangan Harga Cengkeh dan Harga Rokok Kretek... 55

2.3.4.1. Perkembangan Harga Cengkeh... 55

2.3.4.2. Perkembangan Harga Rokok Kretek... 56

I I I . TI NJAUAN PUSTAKA... 59

3.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Percengkehan Nasional... 59

3.1.1. Aspek Permintaan dan Penawaran Cengkeh... 59

3.1.2. Aspek Kebijakan dalam Produksi Cengkeh... 61

3.1.3. Aspek Tataniaga dan Kebijakan dalam Tataniaga Cengkeh... 61

(15)

3.2. Tinjauan Tulisan dan Makalah Tentang Percengkehan

Nasional... 67

3.2.1. Aspek Usahatani Cengkeh... 67

3.2.2. Aspek Kebijakan dalam Percengkehan Nasional... 68

3.2.3. Aspek Kesehatan... 71

3.3. Aspek yang Dikaji dalam Penelitian I ni... 72

I V. METODOLOGI PENELI TI AN... 74

4.1. Kerangka Pemikiran... 74

4.1.1. Kerangka Konseptual... 74

4.1.2. Kerangka Teoritis... 85

4.1.2.1. Kerangka Teoritis Model Keterkaitan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional.... 85

4.1.2.2. Kerangka Teoritis Policy Analysis Matrix... 94

4.1.2.3. Kerangka Teoritis Game Theory... 101

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 103

4.3. Jenis dan Sumber Data... 104

4.4. Metode Pengambilan Contoh... 106

4.5. Metode Analisis... 108

4.5.1. Pendekatan Deskriptif... 108

4.5.2. Pendekatan Ekonometrik... 108

4.5.2.1. Spesifikasi Model... 109

4.5.2.2. I dentifikasi Model... 122

4.5.2.3. Pendugaan Model... 124

4.5.3. Pendekatan Policy Analysis Matrix... 124

4.5.3.1. Perilaku Produksi Tanaman Cengkeh... 125

4.5.3.2. Asumsi-asumsi dalam Multi-period PAM... 126

4.5.3.3. Metode Penentuan Harga Sosial... 127

4.5.4. Pendekatan Game Theory ... 130

V. KETERKAI TAN I NDUSTRI CENGKEH DAN I NDUSTRI ROKOK KRETEK NASI ONAL... 136

5.1. Penawaran Cengkeh... 136

5.1.1. Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 136

(16)

5.1.3. Produksi Cengkeh Nasional... 140

5.1.4. I mpor Cengkeh... 140

5.1.5. Stok Cengkeh... 142

5.1.6. Jumlah Penawaran Cengkeh... 144

5.2. Permintaan Cengkeh... 144

5.2.1. Konsumsi Cengkeh Nasional... 145

5.2.1.1. Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek... 145

5.2.1.1. Konsumsi Cengkeh Non-Pabrik Rokok Kretek... 147

5.2.2. Ekspor Cengkeh... 147

5.2.3. Jumlah Permintaan Cengkeh... 149

5.3. Harga Cengkeh... 150

5.4. Permintaan, Ekspor dan Harga Rokok Kretek... 151

5.4.1. Permintaan Rokok Kretek... 151

5.4.2. Ekspor Rokok Kretek... 153

5.4.3. Harga Rokok Kretek... 155

5.5. Simpulan... 157

VI . PERKEMBANGAN SI STEM USAHATANI CENGKEH DI SULAWESI UTARA SERTA I NTERAKSI ANTARA PETANI CENGKEH DAN PABRI K ROKOK KRETEK... 159 6.1. Perkembangan Tataniaga Cengkeh... 159

6.2. Perkembangan Usahatani dan Pemasaran... 165

6.3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Cengkeh... 167

6.3.1. Kondisi Awal... 168

6.3.1.1. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial... 168

6.3.1.2. Efisiensi Finansial dan Ekonomi... 170

6.3.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah dan/ atau Kegagalan Pasar dalam Usahatani Cengkeh... 171

6.3.2. Analisis Dampak Kenaikan Harga Cengkeh... 176

6.3.3. Simpulan... 180

6.4. Analisis Game Theory Permasalahan Percengkehan Nasional 181 6.4.1. Pilihan Strategi Masing-masing Pemain... 182

(17)

VI I . SI MPULAN DAN I MPLI KASI KEBI JAKAN... 187

7.1. Simpulan... 187

7.2. I mplikasi Kebijakan... 189

7.3. Saran Penelitian Lanjutan... 191

DAFTAR PUSTAKA... 193

(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Yang Digunakan Pabrik

Rokok Kretek... 4 2. Konsumsi Cengkeh untuk Rokok Kretek, Tahun 1994-2004... 5 3. Produksi Cengkeh Dunia, Tahun 1997-2004... 7 4. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan SK. a.n. Menteri Keuangan RI

Dirjen Bea CukaiNomor 609a/ KMK.04/ 2001... 31 5. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan SK Menteri Keuangan RI Nomor

449/ KMK.04/ 2002... 32 6. Tarif Cukai Rokok Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI

Nomor 17/ PMK.04/ 2006... 33 7. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Nasional, Tahun

1975-2004... 38 8. Perkembangan Produksi Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 42 9. Perkembangan I mpor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 44 10. Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional, Tahun

1975-2004... 48 11. Perkembangan Ekspor Rokok Kretek Nasional, Tahun

1975-2004... 51

12. Perkembangan Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian/ Laporan, Tahun 1989-2003... 53 13. Perkembangan Ekspor Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 55 14. Perkembangan Harga Riil Cengkeh di Pasar Domestik dan Dunia,

Tahun 1975-2004... 56 15. Perkembangan Harga Riil Rokok Kretek dan Rokok Putih, Tahun

1975-2004... 57 16. Bentuk Umum Tabel Multi-period PAM... 95 17. Peubah-peubah yang Digunakan dalam Gaming Permasalahan

Percengkehan Nasional... 135 18. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Areal

Tanaman Cengkeh Menghasilkan... 137 19. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

(19)

20. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi I mpor

Cengkeh... 141

21. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stok Cengkeh 143 22. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Cengkeh Pabrik Rokok Kretek... 146

23. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Cengkeh... 148

24. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Cengkeh... 150

25. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Rokok Kretek... 152

26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Rokok Kretek... 154

27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Rokok Kretek... 155

28. Struktur Marjin Tataniaga Cengkeh di Sulawesi Utara, Tahun 2005... 164

29. Nailai Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial... 169

30. Rasio Biaya Privat dan Rasio Sumberdaya Domestik... 170

31. Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal... 172

32. Transfer I nput dan Koefisien Proteksi I nput Nominal... 173

33. Transfer Faktor dan Transfer Bersih... 175

34. Koefisien Proteksi Efektif, Koefisien Profitabilitas dan Rasio Subsidi Bagi Produsen... 176

35. Dampak Peningkatan Harga Cengkeh Berdasarkan Tiga Alternatif Kebijakan... 179

(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek, Tahun 1999-2004... 2

2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek, Tahun 1975-2004... 3

3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh, Tahun 1994-2004... 6

4. Sistem Tataniaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980... 23

5. Sistem Tataniaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992... 27

6. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Nasional... 40

7. Perkembangan Stok Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004... 46

8. Perkembangan Konsumsi Rokok Per Kapita Menurut Jenisnya, Tahun 1975-2002... 50

9. Struktur Percengkehan Nasional... 75

10. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Fluktuasi Pasokan Cengkeh... 77

11. Prinsip Penyanggaan Cengkeh oleh BPPC... 80

12. Dilema Narapidana... 103

13. Bentuk Permainan antara Petani Cengkeh dan PRK... 135

(21)

DAFTAR LAMPI RAN

Nomor Halaman

1. Hasil Pendugaan Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 199

2. Nama-nama Peubah dalam Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 204

3. Data Peubah-peubah yang Digunakan dalam Model Ekonometrik Percengkehan Nasional... 206

4. Hasil Perhitungan Harga Sosial Output dan I nput Tradable... 214

5. Hasil Perhitungan Harga Sosial Modal... 215

6. Hasil Perhitungan Multi-period PAM pada Kondisi Awal... 216

7. Hasil Perhitungan Multi-period PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I : Harga Cengkeh Rp. 30 000 per kg... 217

8. Hasil Perhitungan Multi-period PAM untuk Simulasi Alternatif Kebijakan I I : Harga Cengkeh Rp. 32 500 per kg... 218

(22)

1.1. Latar Belakang

Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena I ndonesia adalah negara produsen sekaligus konsumen bahkan merupakan pengimpor cengkeh terbesar di pasar cengkeh dunia yang tipis (thin market), yang hanya dapat memenuhi maksimal seperempat dari kebutuhan nasional (Gonarsyah, 1996). Dikatakan strategis karena komoditas ini berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, berupa penyerapan tenaga kerja dalam usahatani cengkeh secara keseluruhan, yang dimulai dari kegiatan budidaya sampai dengan proses panen dan pascapanen serta pemasaran cengkeh. Sementara itu, secara tidak langsung, melalui penyerapan tenaga kerja, dalam keseluruhan kegiatan di dalam pabrik rokok kretek. Selain itu, penyerapan tenaga kerja juga dalam kegiatan lain yang terkait dengan industri rokok kretek, seperti: percetakan, pedagang pengecer maupun petani tembakau dalam kegiatan usahatani tembakau.

(23)

Selain itu, bagi perekonomian nasional, industri rokok kretek juga mempunyai peranan strategis karena memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya melalui penerimaan pajak dalam negeri yang bersumber dari cukai dan pajak penghasilan. 0 5 10 15 20 25 30

94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04

TAHUN P E NG G UNA AN P IT A CU KAI (T RI L Y U N RU P IA H)

Sumber: Gappri, 2005

Gambar 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek, Tahun 1994-2004

(24)

terus berkembang hingga kini, tampak bahwa setelah berlangsungnya krisis moneter pada tahun 1998, penggunaan cukai rokok kretek justru mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan sebelum krisis, artinya industri ini mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Malah belakangan ini, pada tanggal 19 Mei 2005, PT. Phillip Morris, salah satu produsen rokok dunia mengakuisisi saham PT. H.M. Sampoerna Tbk, salah satu dari 3 produsen utama rokok kretek1.

0 50 100 150 200 250

1975 1978 1981 1984 1987 1990 19993 1996 1999 2002

TAHUN P RO DU KS I RO KO K K RE T E K (M IL Y AR BAT AN G )

SKT SKM KLB TOTAL

Sumber: Gappri, 2005

Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek, Tahun 1975-2004

Sementara itu, data yang kemukakan Gappri (2005), menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1994 hingga 2004, total produksi rokok kretek meningkat sebesar 30.6 persen. Pada tahun 1994, total produksi masih sekitar 156.3 milyar batang, yang didominasi oleh SKM sebesar 69.2 persen, diikuti SKT sebesar 30.4 persen dan KLB sebesar 0.4 persen. Sedangkan pada tahun 2004, produksi rokok kretek menjadi 204.2 milyar

(25)

batang, yang tetap didominasi oleh SKM sebesar 59.1 persen, diikuti SKT sebesar 40.6 persen dan KLB sebesar 0.3 persen. Hal menarik yang tampak pada peningkatan produksi rokok kretek ini adalah meskipun produksi rokok kretek masih tetap didominasi oleh rokok jenis SKM namun tingkat produksinya justru mengalami penurunan sebesar 10.1 persen, sementara produksi rokok jenis SKT meningkat sebesar 10.2 persen dan produksi rokok jenis KLB cenderung tetap.

Pesatnya peningkatan produksi rokok kretek produksi dalam negeri, didorong oleh dua hal, yaitu: (1) meningkatnya potensi pasar rokok kretek di dalam negeri. Ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata konsumsi rokok kretek per kapita per bulan, baik untuk daerah pedesaan maupun daerah perkotaan, dari 2.4 batang SKT dan 4.0 batang SKM pada tahun 1990 menjadi 3.7 batang SKT dan 6.0 SKM pada tahun 2003 dan (2) meningkatnya potensi ekspor rokok kretek terlihat dari nilai ekspor rokok kretek. Ditunjukkan oleh meningkatnya sumbangan devisa dari ekspor rokok kretek, dari 100 juta US$ tahun 1998, 113 juta US$ tahun 1999, 137 juta US$ tahun 2000, dan 172 juta US$ tahun 2001, serta bertambahnya negara-negara tujuan ekspor baru yang cukup potensial bagi rokok kretek produksi I ndonesia (BPS, 2003).

Tabel 1. Kandungan Cengkeh Dalam Rokok Kretek Yang Digunakan Pabrik Rokok Kretek

(mg/ batang) Jenis Rokok Kretek

Tahun Sigaret Kretek Tangan (SKT)

Sigaret Kretek

Mesin (SKM) Klobot (KLB)

1989 800 600 1 000

1995 640 480 880

2004 650 350 880

Sumber: Gonarsyah, 1996 ; Gappri, 2004

(26)

utamanya karena permintaan akan cengkeh merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Kebutuhan akan cengkeh pabrik rokok kretek (PRK), yang merupakan konsumen utama cengkeh karena menyerap sekitar 90 persen produksi cengkeh nasional, tergantung pada besarnya kandungan cengkeh jenis-jenis rokok kretek yang diproduksinya. Rokok jenis SKM menggunakan cengkeh lebih sedikit dibandingkan jenis SKT dan KLB. Perkembangan penggunaan cengkeh PRK menurut jenis rokok kretek, yang diproduksinya, dapat dilihat pada Tabel 1. Tampak bahwa terjadi penurunan kandungan cengkeh yang cukup signifikan terutama untuk rokok jenis SKM, sementara untuk rokok jenis SKT dan KLB kandungan cengkehnya cenderung tidak berubah.

Dibandingkan dengan produksi rokok kretek PRK yang menunjukkan peningkatan pesat, maka konsumsi cengkeh PRK cenderung stagnan. Dalam periode tahun 1994 hingga 1999, konsumsi cengkeh mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1.9 persen per tahun. Sedangkan untuk periode tahun 2000 hingga 2004 pertumbuhan rata-rata tersebut mengalami levelling off hingga hanya mencapai 0.7 persen per tahun.

Tabel 2. Konsumsi Cengkeh untuk Rokok Kretek, Tahun 1994-2004

(Ton) Tahun Konsumsi Cengkeh Tahun Konsumsi Cengkeh

1994 95 378 2000 96 818

1995 98 703 2001 96 106

1996 92 298 2002 86 823

1997 96 777 2003 85 245

1998 99 906 2004 95 670

1999 93 410

(27)

Sementara itu, perbandingan perkembangan produksi dan konsumsi cengkeh nasional, dapat dilihat pada Gambar 3. Tampak bahwa, perkembangan produksi cengkeh cenderung fluktuatif bila dibandingkan dengan perkembangan konsumsi cengkeh yang cenderung stagnan. Terjadinya fluktuasi produksi cengkeh, terutama disebabkan oleh perilaku produksi tanaman cengkeh itu sendiri yang mengikuti siklus empat tahunan. Produksi cengkeh mencapai puncaknya pada saat panen raya berlangsung, setelah itu produksi akan kembali turun drastis pada tahun berikutnya karena tanaman cengkeh dalam tahap pemulihan, setelah itu terjadi panen kecil pada dua tahun berikutnya, dan begitu seterusnya.

0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000

94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04

TAHUN

VO

L

U

M

E (

T

O

N

)

PRODUKSI KONSUMSI Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Gappri dan FAO (2005)

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh, Tahun 1994-2004

(28)

tanaman cengkeh yang mati karena diserang hama dan penyakit seperti bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC), cacar daun cengkeh (CDC) dan gugur daun cengkeh (GDC). Sedangkan konsumsi cengkeh nasional dari pabrik rokok kretek yang menguasai sebagian besar produksi cengkeh dunia, cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek (Gonarsyah, 1998; Ditjen Perkebunan, 2000).

Tabel 3. Produksi Cengkeh Dunia, Tahun 1997-2004

(Ton)

Tahun Produksi Negara

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Asia 62 194 70 227 57 003 76 247 83 384 92 759 92 809 92 809 I ndonesia 59 194 67 177 52 903 74 047 80 684 87 909 87 909 87 909 China 300 350 400 500 500 550 600 600 Malaysia 200 200 200 200 200 200 200 200 Srilanka 2 500 2 500 3 500 1 500 2 000 4 100 4 100 4 100

Afrika 19 046 20 844 25 535 28 732 29 275 31 419 31 563 31 550 Komoro 2 000 2 294 2 438 2 582 2 725 2 869 3 013 3 000

Grenada 20 20 20 20 20 20 20 20

Kenya 40 50 70 550 550 550 550 550

Madagaskar 14 500 13 500 15 000 15 600 15 500 15 500 15 500 15 500 Tanzania 2 506 5 000 8 027 10 000 10 500 12 500 12 500 12 500

Dunia 81 204 91 071 82 538 104 979 112 659 124 178 124 372 124 359 Sumber: Food and Agriculture Organization (FAO), 2005

(29)

1.2. Perumusan Masalah

Permintaan cengkeh pada hakekatnya merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan akan rokok kretek. Dan dengan asumsi inventori/ stok adalah konstan maka perkembangan permintaan akan rokok kretek dapat didekati melalui perkembangan produksi rokok kretek (Gwyer, 1977 dan Gonarsyah, 1996). Secara umum, walaupun cukai yang dikenakan dan kampanye anti rokok terus meningkat, namun sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, produksi rokok kretek menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, terutama untuk rokok jenis SKT, dimana kandungan cengkehnya lebih banyak daripada rokok jenis SKM. Selama kurun waktu 1994-2004, produksi rokok jenis SKT meningkat dari 30.4 persen menjadi 40.6 persen dari total produksi rokok kretek (Gappri, 2005).

(30)

hingga berkisar antara Rp. 75 000 hingga Rp. 100 000 per kg pada Juni 2002, namun kembali berangsur turun hingga mencapai titik terendah pada Rp. 13 500 diakhir tahun 2003 (Ditjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Puslitbun, dan FAO, 2004)2. Meskipun perkembangan terakhir menunjukkan bahwa harga cengkeh per kilogram berangsur meningkat kembali, antara Rp. 30 000 hingga Rp. 40 0003, namun Simatupang (2003) menyatakan bahwa pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh semestinya tidak terjadi karena neraca cengkeh I ndonesia masih defisit, dalam arti kebutuhan atau konsumsi dalam negeri masih lebih besar dari pada produksi, sementara volume perdagangan cengkeh di pasar dunia juga amat kecil. Dari perspektif nasional, ini berarti tantangan untuk dapat meningkatkan produksi cengkeh dan menutupi kesenjangan ini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa antara petani cengkeh dan PRK memiliki kesalingtergantungan yang tinggi. Di satu pihak, bagi petani cengkeh, adanya fluktuasi harga berdampak langsung pada kegiatan usahataninya, tingkat pendapatan serta kesejahteraannya, sehingga dibutuhkan jaminan kestabilan harga untuk kepastian kelangsungan kegiatan usahataninya. Apalagi pemasaran cengkehnya sangat tergantung pada tingkat kebutuhan cengkeh PRK sebagai konsumen utama cengkeh. Di lain pihak, kelangsungan produksi rokok kretek dari PRK, juga sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku cengkeh produksi dalam negeri, karena relatif terbatasnya pasokan cengkeh impor. Dengan demikian kontinuitas pasokan cengkeh yang berasal dari produksi dalam negeri sangat dibutuhkan bagi kelangsungan proses produksi rokok kretek.

2

Koran Tempo, 10 Desember 2003

(31)

Namun kenyataannya, petani cengkeh memiliki posisi tawar-menawar yang lebih rendah dibandingkan dengan PRK.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, melalui beberapa kebijakan di bidang tataniaga, seperti Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 atau Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, yang dalam pelaksanaannya membentuk BPPC, juga dengan meningkatkan peran KUD sebagai lembaga tataniaga, namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Padahal untuk menjamin kelangsungan usaha masing-masing sekaligus untuk masa depan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional sangat tergantung kepada kerjasama yang sinergis antara petani cengkeh dan PRK melalui Gappri. Namun, mengapa upaya kearah ini belum dapat terwujud? Dari hasil evaluasi terhadap pelaksanaan tataniaga cengkeh menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, Gonarsyah et al. (1995) menyarankan agar pemerintah membatasi kegiatan penyanggaan dengan mengikutsertakan Gappri. Sementara itu, Husodo (2006) menyatakan bahwa perlu diciptakan hubungan kemitraan yang adil dan harmonis antara petani dan pabrik rokok kretek agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan semua pihak, juga perlu untuk memperkuat posisi tawar petani cengkeh.

Dari penjelasan di atas, menarik untuk dikaji:

1. Bagaimana keterkaitan antara industri cengkeh nasional dan industri rokok kretek dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

(32)

3. Bagaimana kemungkinan adanya kerjasama antara industri cengkeh nasional (petani cengkeh) dan industri rokok kretek (pabrik rokok kretek) dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?

Beberapa penelitian terdahulu sebenarnya telah mencoba menelaah isu-isu tersebut di atas, seperti beberapa studi berikut ini :

Studi tentang permintaan dan penawaran cengkeh dilakukan oleh Gwyer (1976) dan Chaniago (1980). Selain itu, pernah juga dilakukan oleh Wachyutomo (1996), yang menggunakan pendekatan ekonometrik untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah dalam percengkehan nasional dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa satu-satunya kebijakan yang berdampak pada peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh serta produsen sigaret kretek adalah kebijakan kenaikan harga cengkeh di tingkat petani.

Sementara itu, penelitian yang mengevaluasi perkembangan serta pelaksanaan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara oleh Rumondor (1993) dan secara nasional, dilakukan oleh Gonarsyah et al. (1995), hasil penelitiannya antara lain menyarankan bahwa perlu dibatasi kegiatan penyanggaan oleh BPPC dengan mengikut sertakan Gappri.

Dalam kaitannya dengan usahatani cengkeh di Sulawesi Utara, Dumais et al. (2002) mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah apabila diterapkan suatu kebijakan pemerintah daerah berupa pajak terhadap komoditas tersebut. Namun, masih menggunakan metode analisis single-period PAM.

(33)

mencoba menggambarkan potret industri rokok I ndonesia, serta Tjahjaprijadi dan I ndarto (2003) yang menganalisis pola konsumsi rokok kretek.

Sebagaimana penjelasan di atas, tampak bahwa studi-studi terdahulu, pendekatannya secara parsial, dan hasilnya relatif kurang memuaskan, dalam arti temuan yang diperoleh belum dapat memperbaiki industri percengkehan nasional. Dengan menganalisisnya secara utuh dan dengan menggunakan pendekatan ekonometrik, matriks analisis kebijakan (PAM), dan teori permainan (game theory), diharapkan hasil studi ini dapat memberikan masukan berharga bagi perkembangan percengkehan nasional.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Secara spesifik, bertujuan untuk :

1. Menganalisis keterkaitan antara industri cengkeh nasional dan industri rokok kretek dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya

2. Menganalisis perkembangan sistem produksi dan tataniaga dalam usahatani cengkeh di Sulawesi Utara.

3. Menganalisis kemungkinan kerjasama antara industri cengkeh nasional (petani cengkeh) dan industri rokok kretek (pabrik rokok kretek).

(34)

nasional. Selain itu, juga sebagai bahan masukan bagi berbagai pihak lainnya yang terkait dalam permasalahan percengkehan nasional, lebih khusus lagi bagi upaya peningkatan kesejahteraan petani cengkeh. Serta sebagai bahan rujukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah percengkehan nasional dengan dua komponen utamanya yaitu industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional.

Untuk menganalisis hubungan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional serta analisis usahatani cengkeh, digunakan data primer dan data sekunder yang dipublikasikan. Lokasi penelitian untuk usahatani cengkeh, dibatasi pada salah satu daerah sentra produksi cengkeh yang potensial di I ndonesia yakni Provinsi Sulawesi Utara, dan lokasi ini ditentukan secara sengaja supaya dapat diperoleh informasi yang relatif akurat mengenai pertanaman cengkeh.

Sedangkan, untuk industri rokok kretek, informasi yang bisa ditelusuri relatif terbatas karena hanya dapat diperoleh melalui publikasi Gappri serta publikasi dari berbagai media lainnya yang tersedia karena adanya hambatan struktural sehingga mengalami kesulitan untuk mengakses secara langsung ke pabrik rokok kretek.

1.5. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini :

(35)

serta data biaya produksi rokok kretek menurut jenis rokok kretek yang diproduksi oleh pabrik rokok kretek.

2. Keterbatasan data deret waktu percengkehan nasional yang memadai sehingga tidak memungkinkan penulis untuk menggunakan pendekatan lain selain yang digunakan dalam penelitian ini, misalnya pendekatan cointegration dan vector error corection model (VECM).

(36)

Pada bagian ini, akan dipaparkan tinjauan perkembangan pertanaman cengkeh di I ndonesia, tinjauan perkembangan kebijakan dalam percengkehan nasional, serta perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional.

2.1. Tinjauan Perkembangan Pertanaman Cengkeh di I ndonesia

2.1.1. Sejarah Singkat Penyebaran Tanaman Cengkeh

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan di antara para ahli botani tentang asal tanaman cengkeh. Cosmos I ndocoplantus, seorang biarawan Mesir pada tahun 547, secara tegas menyatakan bahwa cengkeh berasal dari Tiongkok dan Thailand. Tetapi menurut Nicolo Conti seorang saudagar Venesia, orang pertama yang membuka tabir rahasia asal rempah-rempah termasuk cengkeh, adalah daerah Banda di I ndonesia. Pendapat ini didukung oleh banyak ahli yang menyatakan bahwa cengkeh berasal dari gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Roti, Makian dan Bacan di kepulauan Maluku. Terlepas dari hal itu, yang jelas hingga abad ke delapan belas, kepulauan Maluku merupakan satu-satunya produsen cengkeh terbesar di dunia. Di daerah itu pula ditemukan tanaman cengkeh tertua di dunia, tepatnya di Pulau Ternate.

(37)

1870. Sementara itu, penyebaran cengkeh ke luar negeri, terjadi pada saat VOC memonopoli perdagangan cengkeh di Maluku, bibit tanaman cengkeh diselundupkan keluar pulau Maluku untuk dibudidayakan di Malagasi dan Tanzania oleh pedagang Arab. Di Zanzibar cengkeh dimuliakan oleh ahli-ahli Perancis dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, bahkan kembali lagi ke tanah asalnya yaitu I ndonesia. Saat ini, tanaman cengkeh telah menyebar di hampir seluruh I ndonesia bahkan dunia (Dhalimi, 1997; Najiyati dan Danarti, 2003).

2.1.2. Tipe, Karakteristik dan Aspek I klim Tanaman Cengkeh

Hadipoentyanty (1997), mengemukakan bahwa cengkeh merupakan tanaman asli I ndonesia, termasuk famili Myriaceae yang mempunyai ± 3 000 jenis tersebar di daerah tropik dan subtropik. Eugenia merupakan genera yang terbesar dengan ± 2 800 jenis yang tersebar luas di daerah tropik dan subtropik di Amerika, Asia, Afrika dan Australia. Akan tetapi beberapa ahli memasukkannya ke dalam Syzygium. Adapun sistematiknya adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Klasis : Dicotyledoneae Sub klasis : Dialypetales Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Eugenia/ Syzygium Jenis : Eugenia aromaticum L.

(38)

Secara umum, tanaman cengkeh memiliki karakteristik seperti berikut ini, tanaman ini berbentuk pohon dan tingginya dapat mencapai 15-40 meter, dengan kanopi berbentuk piramid, silindris dan bulat, tergantung pada varietasnya. Memiliki akar tunggang yang mampu mencapai kedalaman hingga tujuh meter. Batangnya berkayu keras, tumbuh lurus ke atas, membentuk percabangan dengan anak-anak cabang yang tumbuh miring ke atas dengan sudut kira-kira 45 derajat pada pangkalnya. Daun letaknya berhadap-hadapan dengan ranting dan beraroma, berukuran panjang 7-13 cm dan lebar 3-6 cm, sementara bentuknya lonjong dengan pangkal daun yang runcing sampai tumpul dan ujungnya biasanya runcing. Cengkeh mempunyai sistem pembungaan terminal, berbentuk tandan yang terdiri dari 5-25 bunga dan bersifat hermaprodit, ketika matang buah tersebut berwarna ungu merah kehitaman, dengan daging buah relatif tebal, berbentuk bulat telur sampai lonjong dan berukuran panjang 2.5-3.5 cm dengan diameter 1-2 cm. Bijinya berbentuk bulat telur sampai lonjong dan mempunyai dua keping lembaga (dicotyl).

Cengkeh di I ndonesia bermacam-macam tipe dan memiliki kriteria yang berbeda pula. Menurut Rahayu, terdapat enam tipe cengkeh yang berada di kebun koleksi Sukamantri dan koleksi Balittro di Cimanggu yaitu Zanzibar, Sikotok, Simenir, Siputih, Ambon dan Sihutan. Sementara Hadiwijaya membedakan tipe cengkeh menjadi tiga golongan yaitu Zanzibar, Sikotok dan Siputih, yang dikenal dan banyak dibudidayakan di I ndonesia.

(39)

cukup merata. Untuk petumbuhannya, curah hujan optimal bagi tanaman cengkeh berkisar antara 1 500 hingga 4 500 mm per tahun. Suhu optimal yang dikehendaki tanaman ini adalah 22-330 C, dengan suhu siang hari tidak lebih dari 340C. Kelembaban nisbi antara 60-80 persen. Tanaman ini juga dapat dibudidayakan di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, namun lebih cocok pada ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut (dpl), dengan ketinggian optimum pada 300-600 m dpl. Tanaman ini akan lebih produktif bila ditanam di dataran rendah, sehubungan dengan suhu udara, dimana semakin tinggi tempat suhu udaranya semakin rendah.

Selain iklim, faktor tanah juga memegang peranan penting pada pertumbuhan dan produksi cengkeh, terutama sifat fisiknya. Jenis tanah yang baik untuk tanaman ini adalah latosol, andosol dan podsolik merah. Tanaman cengkeh menyukai tanah gembur dengan drainase yang baik. Derajat keasaman (pH) yang cocok untuk tanaman cengkeh adalah 5.5-5.6. Kondisi tanah yang dikehendaki adalah remah, drainase dan aerase yang baik, kedalaman air tanah sekitar 3 meter serta tidak terdapat lapisan tanah yang keras (Ruhnayat dan Wahid, 1997; Siregar dan Suhendi 2006).

2.2. Tinjauan Kebijakan Percengkehan Nasional

2.2.1. Kebijakan di Bidang Produksi

(40)

tanaman cengkehnya, melalui peningkatan luas areal pertanaman cengkeh (ekstensifikasi) maupun peningkatan sistem penanaman dan pemeliharaan tanaman cengkeh (intensifikasi).

Sampai tahun 1958/ 1959, I ndonesia tidak memiliki perkebunan besar cengkeh hingga Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek I ndonesia (Gappri) memelopori dan membiayai Pilot Project Perkebunan Besar Cengkeh di perkebunan Brangah Banaran Jawa Timur seluas 550 hektar, Selokaton Jawa Tengah seluas 300 hektar, serta Pasir Madang dan Jonggol Jawa Barat masing-masing seluas 1 700 hektar dan 300 hektar. Namun, pada tahun 1963/ 1964 proyek perkebunan di Jonggol Jawa Barat dihentikan karena ada gangguan dari BTI . Pilot Project Perkebunan Besar Cengkeh tersebut menanam cengkeh tipe Zanzibar suatu tipe cengkeh unggul hasil seleksi Prof. Tojib Hadiwijaya yang merupakan hasil silangan antara tipe Bunga-lawang-kiri dengan tipe sikotok. Kemudian mulai tahun 1969, perkebunan Brangah Banaran, Pasir Madang dan Selokaton telah berfungsi sebagai Kebun I nduk Pilihan dan benih unggulnya disebarluaskan ke seluruh I ndonesia.

(41)

Masal yang paketnya disalurkan baik berupa uang tunai untuk pemeliharaan kebun dan berupa pupuk dan pestisida untuk sarana produksi. Kegiatan ini dilakukan oleh UPP I ntensifikasi Cengkeh di 9 propinsi, yaitu : D.I . Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku (Soeharjan, 1989).

Selain itu, dilakukan kegiatan pembinaan dan penyuluhan kepada petani secara terus menerus, juga dilakukan berbagai kegiatan dalam Proyek Monitoring Pemantapan Produksi Cengkeh dimana dananya dari bantuan presiden (BANPRES). Proyek tersebut dilakukan di 25 propinsi, dan kegiatannya adalah melakukan monitoring mengenai berbagai aspek produksi cengkeh di lokasi tersebut, serta pembuatan kebun percontohan yaitu kebun milik petani yang diberikan sarana produksi sehingga dapat dicontoh oleh para petani disekitarnya. Hasil dari berbagai kegiatan tersebut adalah terjadi peningkatan luas areal pertanaman cengkeh dan produksi cengkeh. Setelah tercapainya swa sembada cengkeh pada tahun 1983 dan 1984, hingga kini tidak ada lagi paket kebijakan pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang menunjang peningkatan luas areal pertanaman cengkeh maupun produksi dan produktivitas cengkeh cengkeh.

2.2.2. Kebijakan di Bidang Tata Niaga

(42)

terkait (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, 1991 dan 1992; Gonarsyah, 1995). Berikut ini akan diuraikan tiga kebijakan utama yang dianggap penting dalam sejarah tata niaga cengkeh:

2.2.2.1. Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980

Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 yang ditetapkan tanggal 15 Januari 1980 tentang Tata Niaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri bertujuan, guna mengatasi permasalahan yang timbul akibat tidak berjalannya kebijakan sebelumnya yaitu Keppres RI Nomor 50 Tahun 1976 dan Keppres RI Nomor 58 Tahun 1977. Beberapa butir pokok kebijakan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk melindungi petani produsen cengkeh maka pembelian/ pengumpulan cengkeh dari petani dilakukan hanya oleh KUD yang telah diseleksi.

2. Untuk menjamin kelangsungan pengadaan dan kemantapan harga cengkeh maka semua cengkeh hasil produksi dalam negeri diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri rokok kretek.

3. Cengkeh yang di antar pulaukan dikenakan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh (SRC) sebesar Rp. 500 per kg yang keseluruhannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan dan selanjutnya penggunaannya diutamakan untuk meningkatkan produksi cengkeh di daerah-daerah tersebut.

Selanjutnya, sehubungan dengan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 maka diterbitkan pula beberapa peraturan/ ketentuan pemerintah dari Departemen yang terkait, sebagai berikut:

(43)

kemudian diubah menjadi Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.46/ Kp/ XI / 1982.

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.29/ Kp/ I / 1980 tentang Pembentukan Tim Teknis Tingkat I untuk Pengadaan Cengkeh Produksi Dalam Negeri, yang kemudian diubah menjadi Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.267/ Kp/ VI / 1980.

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.74a/ Kp/ I V/ 1987 tentang Penetapan Harga Dasar Lelang Cengkeh Produksi Dalam Negeri.

4. Surat Menteri Perdagangan No.558/ M/ XI I / 1981 tentang Penunjukkan PT (Persero) Kerta Niaga Sebagai pemegang Stock Nasional Cengkeh Dalam Negeri.

5. I nstruksi Bersama Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 01/ DAGRI / I NS/ I V/ 1987 dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi No. 01/ I NS/ BUK/ I V/ 1987 tanggal 4 April 1987 tentang Penyempurnaan petunjuk Teknis Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh menurut Keppres No.8 Tahun 1980.

Tata niaga cengkeh dengan pola lelang ini diberlakukan di sembilan daerah sentra produksi cengkeh nasional, yaitu: D.I Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku. Dalam pelaksanaan pola lelang tersebut, lembaga yang terlibat adalah Koperasi Unit Desa (KUD), Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD), PT (Persero) Sucofindo, Pedagang Antar Pulau (PAP), Pedagang Perantara, PT (Persero) Kerta Niaga, dan Bank Rakyat I ndonesia (BRI ).

(44)
[image:44.612.87.506.222.645.2]

cengkeh petani dilakukan melalui KUD dengan harga dasar sebesar Rp. 6 500 per kg cengkeh dengan kadar air 14 persen dan kadar kotor 5 persen. Untuk kegiatan pembelian ini, KUD memperoleh fasilitas kredit dari BRI dan cengkeh hasil pembeliannya dikumpulkan ke PUSKUD untuk dilelang yang diikuti oleh pedagang antar pulau dan PT (Persero) Kerta Niaga.

Gambar 4. Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980

Ada pemenang

lelang Penalti: 5%

Harga dasar/ kg SRC: Rp.510/ kg

Fee: 1% X harga dasar/ kg SRC: Rp.500/ kg Petani

Pedagang Perantara

KUD

LELANG

Kredit Perbankan

Penelitian Mutu oleh PT(Persero) Sucofindo

Tidak ada pemenang lelang

Pedagang Antar Pulau

PT (Persero) Kerta Niaga

PRK Konsumen Lain

PUSKUD Badan Pelaksana

(45)

Apabila harga lelang di atas harga dasar maka PAP dapat melakukan pembelian, tapi bila di bawah harga dasar maka PT (Persero) Kerta Niaga wajib membeli sesuai dengan harga dasar. Baik PAP maupun PT (Persero) Kerta Niaga dikenakan fee lelang sebesar 1 persen dari harga dasar dan dana SRC sebesar Rp. 500 per kg, selanjutnya mereka dapat menjual cengkeh yang dibelinya kepada PRK ataupun konsumen lainnya. Sedangkan, melalui jalur non lelang, petani menjual cengkehnya ke padagang perantara yang kemudian menjualnya ke PAP. Karena tidak melalui lelang, PAP dikenakan penalty sebesar 5 persen dari harga dasar cengkeh dan SRC sebesar Rp. 510 per kg. Selanjutnya PAP dapat menjual cengkeh yang dibelinya tersebut ke PRK atau konsumen lainnya.

Kebijakan ini pada kenyataannya tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan kecuali terjaminnya penyediaan cengkeh bagi PRK karena harga yang diterima petani turun drastis, hal ini antara lain disebabkan:

1. PT (Persero) Kerta Niaga tidak dapat melakukan fungsi penyanggaan dengan baik karena keterbatasan dana.

2. Dana SRC tidak digunakan untuk rehabilitasi/ peningkatan produksi cengkeh tapi digunakan untuk membangun infrastruktur seperti: jalan, jembatan atau gedung-gedung pemerintahan.

3. Pengenaan pinalti tidak mencapai sasaran.

Untuk lebih menyempurnakan lagi pelaksanaan tata niaga cengkeh dalam negeri maka pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan untuk melengkapi Keppres RI No.8 Tahun 1980, sebagai berikut:

(46)

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.307/ KP/ XI I / 1990 tentang Pembentukan Badan Cengkeh Nasional (BCN).

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.308/ KP/ XI I / 1990 tentang Penunjukkan PT Sucofindo sebagai Surveyor Standar Mutu dan Berat Cengkeh yang Diperdagangkan.

4. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.23/ KP/ I / 1991 tentang Penetapan Harga Dasar Cengkeh, Harga Pembelian Cengkeh Dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari KUD, dan Harga Penyerahan BPPC.

5. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.125/ KP/ V/ 1991 tentang Penetapan Cengkeh Sebagai Barang dalam Pengawasan.

6. Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI No.307/ KPB/ XI / 91 dan Menteri Keuangan RI No.1180/ KMK.00/ 1991 tentang Pengkaitan Penyerahan Cengkeh dengan Pemesanan Pita Cukai.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 306/ KP/ XI I / 1990, tata niaga cengkeh dilaksanakan di empat belas daerah sentra produksi cengkeh, yaitu: D.I Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku.

(47)

kegiatan pembelian, penyanggaan, penjualan cengkeh dan stabilisasi harga cengkeh di tingkat petani.

Kebijakan ini pada kenyataannya tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, antara lain disebabkan:

1. Pembelian cengkeh oleh PRK tidak berjalan lancar karena ternyata PRK memiliki stok cengkeh yang cukup besar.

2. Harga pembelian BPPC yang dianggap terlalu mahal.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan Nomor 307/ Kbp/ XI / 91 dan Nomor 1180/ KMK.00/ 1991 tentang Pengkaitan Pembelian Cengkeh dengan Pemesanan Pita Cukai. Namun, upaya melalui kebijakan ini pada awalnya cukup efektif, namun dalam perkembangannya kebijakan inipun tidak berhasil mengatasi permasalahan karena peningkatan permintaan cengkeh oleh PRK tidak sebesar peningkatan produksi sehingga terjadi kelebihan pasokan yang harus disangga BPPC.

2.2.2.2. Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992

(48)
[image:48.612.117.495.242.616.2]

tanaman cengkeh disusun oleh Pemerintah Daerah berdasarkan petunjuk Departemen Pertanian. Yang dimaksud dengan diversifikasi tanaman cengkeh adalah usaha penganekaragaman pada suatu bidang areal pertanaman cengkeh, sedangkan konversi tanaman cengkeh adalah usaha untuk menggantikan tanaman cengkeh dengan tanaman lain. Gambar 5 di bawah ini menjelaskan mekanisme tataniaga berdasarkan kebijakan tataniaga tersebut di atas.

Gambar 5. Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992

Untuk melengkapi pelaksanaan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, maka pemerintah mengeluarkan beberapa paket kebijakan, sebagai berikut:

BPPC STOK

PRK Konsumen Lain

Pemasaran

Pengadaan Petani

PUSKUD/ Perwakilan

BPPC KUD

I NKUD BANK

(49)

1. I nstruksi Presiden RI No.1 Tahun 1992 tentang Harga Dasar Pembelian Cengkeh oleh Koperasi Unit Desa dari Petani Cengkeh.

2. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.91/ KP/ I V/ 92 tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri.

3. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.92/ KP/ I V/ 92 tentang Harga Pembelian Cengkeh dari Petani, Harga Pembelian Cengkeh dari KUD dan Harga Penyerahan Cengkeh BPPC.

4. Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI No.93/ KP/ I V/ 92 tentang Badan Cengkeh Nasinal (BCN).

5. Surat Keputusan Menteri Koperasi RI No.808/ KPTS/ M/ I V/ 1992 tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri oleh Koperasi Unit Desa.

6. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.248/ Kpts/ M/ I V/ 92 tentang Petunjuk Diversifikasi dan Konversi Tanaman Cengkeh.

7. Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No.03/ DAGRI / KPB/ I V/ 92 dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi dan No.05/ BUK/ SKB/ I V/ 92 tentang Pelaksanaan Teknis Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri.

8. Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan RI No.221/ kpb/ I X/ 94 dan Menteri Keuangan RI No.475/ KMK.05/ 94 tentang Pengkaitan Penyerahan Cengkeh dengan Pemesanan Pita Cukai.

9. Surat Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil RI No.282/ M/ X/ 94 tentang Pengembalian SWKP Cengkeh Tahun 1994.

(50)

2.2.2.3. Keppres RI Nomor 21 Tahun 1998

Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berkaitan dengan tata niaga cengkeh yang dituangkan dalam Keppres RI Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perdagangan Cengkeh. Terjadi perubahan yang sangat besar dalam mekanisme tata niaga cengkeh dalam negeri karena Pemerintah melepaskan intervensinya dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Dasar pertimbangannya adalah untuk menciptakan perdagangan cengkeh yang berorientasi pasar dan memberikan peluang yang lebih menguntungkan bagi petani serta terjaminnya pasokan cengkeh bagi industri rokok kretek. Terdapat dua butir pokok dari kebijakan tataniaga ini, yakni:

1. Petani dapat menjual cengkeh kepada dan pedagang dapat membeli cengkeh dari pihak manapun secara bebas berdasarkan harga pasar.

2. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh wajib menyelesaikan semua hal yang menyangkut kegiatannya selambat-lambatnya sampai dengan 30 Juni 1998. Terhitung mulai 30 Juni 1998, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh dibubarkan.

Sebagai peraturan pelaksanaannya, ditetapkanlah Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 22/ MPP/ Kep/ 1/ 1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Perdagangan Cengkeh.

2.2.3. Kebijakan di Bidang I mpor

Kebijakan di bidang impor cengkeh, diatur melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI , sebagai berikut:

(51)

Barang Yang Diatur Tata Niaga I mpornya Sebagaimana telah diubah dengan Kepmenperindag No.406/ MPP/ Kep/ 11/ 1997. Komoditas cengkeh termasuk dalam daftar barang yang diatur tata niaga impornya.

2. SK Menperindag RI No.528/ MPP/ Kep/ 7/ 2002 tentang Ketentuan I mpor Cengkeh. Sebagai dasar pertimbangannya adalah dalam rangka mengantisipasi lonjakan impor cengkeh yang mengakibatkan terjadinya penurunan harga cengkeh dan pendapatan petani cengkeh di dalam negeri, dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani cengkeh dengan tetap memperhatikan kepentingan industri pengguna cengkeh.

Tarif impor yang dikenakan untuk komoditas cengkeh saat ini adalah sebesar 5 persen.

2.2.4. Kebijakan di Bidang Cukai Rokok Kretek

Sebagaimana diketahui, penerimaan dari cukai rokok kretek merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah yang sangat besar dan penetapan tarif cukai rokok ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan.

2.2.4.1. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.597/ KMK.05/ 2001

(52)
[image:52.612.119.509.113.541.2]

Tabel 4. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Surat Keputusan a.n. Menteri Keuangan Dirjen Bea Cukai No.609a/ KMK.04/ 2001

Batasan HJE Jenis Rokok Kretek Pengusaha Pabrik Produksi Dalam

Satu Tahun Minimum Per Batang/ Gram Maksimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai

Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 270.00 Bebas 40%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 270.00 Bebas 31% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 270.00 Bebas 26% Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 225.00 Bebas 20%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 225.00 Bebas 12%

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 225.00 Bebas 8% Sigaret Kretek Tangan (SKT) Kecil Sekali

Tidak Melebihi 6

juta batang Rp. 175.00 Rp. 220.00 4% Besar Lebih dari 2

milyar batang Rp. 125.00 Bebas 8%

Menengah

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 125.00 Bebas 8%

Kecil Tidak melebihi

500 juta batang Rp. 125.00 Bebas 8% Klobot

(KLB)

Kecil Sekali

Tidak Melebihi 6

juta batang Rp. 100.00 Rp. 125.00 4% Sumber: Departemen Keuangan, 2001

2.2.4.2. Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.449/ KMK.04/ 2002

(53)
[image:53.612.124.507.183.482.2]

peningkatan harga jual eceran minimum dan tidak ada lagi harga maksimum, dan (3) terjadi peningkatan tarif cukai.

Tabel 5. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 449/ KMK.04/ 2002

Jenis Rokok Kretek

Golongan Pengusahaan

Pabrik

Produksi Dalam Satu Tahun HJE Minimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 400.00 40% I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 330.00 36% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

I I I Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 320.00 26% I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 340.00 22% I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 280.00 16%

I I I A Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 270.00 8%

Sigaret Kretek Tangan

(SKT)

I I I B Tidak Melebihi 6 juta

batang Rp. 200.00 4%

I Lebih dari 6 juta

batang Rp. 150.00 8%

Klobot (KLB)

I I Tidak lebih dari 6 juta

batang Rp. 125.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2002

2.2.4.3. Peraturan Menteri Keuangan RI No. 17/ PMK.04/ 2006

(54)
[image:54.612.122.507.116.416.2]

Tabel 6. Tarif Cukai Rokok Kretek Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 17/ PMK.04/ 2006

Jenis Rokok Kretek

Golongan Pengusahaan

Pabrik

Produksi Dalam Satu Tahun HJE Minimum Per Batang/ Gram Tarif Cukai I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 510.00 40% I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 420.00 36% Sigaret

Kretek Mesin (SKM)

I I I Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 410.00 26% I Lebih dari 2 milyar

batang Rp. 440.00 22% I I

Lebih dari 500 juta, tetapi tidak melebihi 2 milyar batang

Rp. 365.00 16%

I I I A Tidak melebihi 500 juta

batang Rp. 255.00 8%

Sigaret Kretek Tangan

(SKT)

I I I B Tidak Melebihi 6 juta

batang Rp. 200.00 4%

I Lebih dari 6 juta

batang Rp. 200.00 8%

Klobot (KLB)

I I Tidak lebih dari 6 juta

batang Rp. 165.00 4%

Sumber: Departemen Keuangan, 2006

2.2.5. Kebijakan di Bidang Kesehatan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka pemerintah perlu mengatur tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan seperti yang telah dituangkan dalam beberapa peraturan, berikut:

2.2.5.1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 81 Tahun 1999

(55)

itu diperlukan berbagai kegiatan pengamanan rokok bagi kesehatan. Beberapa hal penting yang diatur adalah:

1. Kadar kandungan nikotin dan tar

Kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang beredar di wilayah I ndonesia tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan kadar kandungan tar 20 mg.

2. Persyaratan produksi dan penjualan rokok

Setiap orang yang memproduksi rokok wajib melakukan pemeriksaan kadar kandungan nikotin dan tar pada setiap hasil produksinya, wajib mencantumkan keterangan tentang kadar kandungan nikotin dan tar pada Label dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca, wajib mencantuman kode produksi pada setiap kemasan rokok, dilarang menggunakan bahan tambahan dalam proses produksi yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

3. Persyaratan iklan dan promosi rokok

(56)

dalam wilayah I ndonesia dilarang melakukan promosi dengan memberikan secara cuma-cuma atau hadiah berupa rokok atau produk lainnya dimana dicantumkan bahwa merek dagang tersebut merupakan rokok.

4. Penetapan kaw asan rokok

Tempat umum dan atau tempat kerja yang secara spesifik sebagai tempat menyelenggarakan upaya kesehatan, proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, kegiatan ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja harus menyediakan tempat khusus untuk merokok harus menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi yang tidak merokok.

Penyesuaian terhadap persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar diberikan kelonggaran paling lambat 5 (lima) tahun setiap orang yang memproduksi rokok yang tergolong dalam industri besar, dan 10 (sepuluh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok yang tergolong dalam industri kecil.

2.2.5.2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2000

(57)

Terdapat dua perubahan yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah ini: 1. I klan yang dulunya hanya boleh di tempatkan pada media cetak dan media

luar ruangan, sekarang selain dua media tersebut ditambah lagi dengan media elektronik.

2. Setiap orang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan buatan tangan yang telah ada pada saat ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini harus menyesuaikan produksinya dengan persyaratan kadar maksimum kandungan nikotin dan tar sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat: (a) 7 (tujuh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan mesin dan (b) 10 (sepuluh) tahun untuk setiap orang yang memproduksi rokok kretek buatan tangan.

2.2.5.3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2003

(58)

2.3. Perkembangan I ndustri Cengkeh dan I ndustri Rokok Kretek Nasional

2.3.1. Perkembangan Penaw aran Cengkeh

2.3.1.1. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Menghasilkan

Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa secara nasional, luas areal pertanamanan cengkeh yang menghasilkan, sebagian besar merupakan perkebunan rakyat (PR), kemudian diikuti oleh perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS).

Perkembangan luas areal pertanaman cengkeh yang menghasilkan, seperti yang tampak pada Tabel 7, cenderung meningkat pada periode tahun 1975-1989 sebagai dampak tidak langsung dari kebijakan pemerintah di bidang usahatani. Gonarsyah et al. (1995), menyatakan bahwa sejak dicanangkannya swasembada cengkeh pada awal Repelita I -I I I , maka luas areal mengalami peningkatan yang signifikan melalui program perluasan pertanaman cengkeh secara parsial, yaitu dengan melakukan penyediaan dan penyebaran bibit cengkeh ke seluruh propinsi kecuali propinsi DKI Jakarta dan Timor Timur secara gratis. Dengan adanya bibit cengkeh yang dibagikan secara gratis, petani bersedia menanami lahannya dengan tanaman cengkeh. Kebijakan usahatani tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman cengkeh (intensifikasi), sementara itu perluasan areal tanaman cengkeh (ekstensifikasi) diharapkan berasal dari insentif harga cengkeh yang tinggi.

(59)
[image:59.612.115.511.116.645.2]

Tabel 7. Perkembangan Luas Areal Tanaman Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004

PR PBN PBS TOTAL

Tahun

(Ha) (% ) (Ha) (% ) (Ha) (% ) (Ha) (% )

1975 74 931 - 1 538 - 749 - 77 218 -

1976 84 208 12.38 1 855 20.61 767 2.40 86 830 12.45

1977 90 334 7.27 1 626 -12.35 911 18.77 92 871 6.96

1978 97 888 8.36 1 695 4.24 1 058 16.14 100 641 8.37

1979 107 631 9.95 1 848 9.03 1 131 6.90 110 610 9.91

1980 166 819 54.99 2 249 21.70 1 057 -6.54 170 125 53.81

1981 179 843 7.81 2 426 7.87 1 396 32.07 183 665 7.96

1982 186 460 3.68 2 758 13.69 1 942 39.11 191 160 4.08

1983 208 042 11.57 2 947 6.85 2 001 3.04 212 990 11.42

1984 237 844 14.32 1 815 -38.41 4 428 121.29 244 087 14.60

1985 268 805 13.02 1 909 5.18 5 038 13.78 275 752 12.97

1986 301 661 12.22 6 500 240.49 6 556 30.13 314 717 14.13

1987 352 974 17.01 3 483 -46.42 5 018 -23.46 361 475 14.86

1988 338 770 -4.02 3 332 -4.34 6 585 31.23 348 687 -3.54

1989 359 933 6.25 3 429 2.91 6 618 0.50 369 980 6.11

1975-1989 203 743 12.49 2 627 16.50 3 017 20.38 209 387 12.43

1990 389 826 8.31 3 081 -10.15 7 240 9.40 400 147 8.15

1991 390 905 0.28 3 204 3.99 8 128 12.27 402 237 0.52

1992 393 535 0.67 2 992 -6.62 8 794 8.19 405 321 0.77

1993 373 721 -5.03 2 225 -25.64 8 202 -6.73 384 148 -5.22

1994 392 949 5.15 1 984 -10.83 7 768 -5.29 402 701 4.83

1995 385 754 -1.83 486 -75.50 7 526 -3.12 393 766 -2.22

1996 352 355 -8.66 1 914 293.83 6 608 -12.20 360 877 -8.35

1997 335 641 -4.74 1 914 0.00 6 417 -2.89 343 972 -4.68

1998 328788 -2.04 1 860 -2.82 5 978 -6.84 336 626 -2.14

1999 310 097 -5.68 1 860 0.00 5 978 0.00 317 935 -5.55

2000 357 214 -0.77 1 860 0.00 5 641 -5.64 364 715 14.71

2001 351 282 3.44 1 860 0.00 6 102 8.17 359 244 -1.50

2002 346 615 -1.48 1 860 0.00 5 669 -7.10 354 144 -1.42

2003 352 123 1.59 1 860 0.00 5 663 -0.11 359 646 1.55

2004 336 510 -4.43 1 860 0.00 5 886 3.94 344 256 -4.28

1990-2004 359 821 -1.09 2 055 11.88 6 773 -0.57 368 649 -0.34

1975-2004 281 782 5.50 2 341 13.70 4 895 9.57 289 018 5.84

Sumber: Ditjenbun dan BPS, 2005 Keterangan:

(60)

Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pola unit pelaksana proyek (UPP) intensifikasi cengkeh di sembilan propinsi, yaitu : Daerah I stimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku.

Pada Tabel 7 juga tampak, bahwa sejak tahun 1986-2004, luas areal tanaman cengkeh menghasilkan berkisar antara 300-400 ribu hektar. Meskipun beberapa tahun terakhir, luas areal tanaman cengkeh mulai menunjukkan peningkatan (BPS, 2006; Siregar Suhendi, 2006), namun secara rataan pada periode 1990-2004, terjadi penurunan luas areal tanamanan cengkeh sebesar 0.34 persen, bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada periode 1975-1989 sebesar 12.43 persen.

Adanya gejala penurunan harga cengkeh, terutama sejak terjadinya kelebihan pasokan di pasar domestik, konsekuensinya banyak petani mengganti tanamannya dengan tanaman perkebunan lainnya yang dianggap lebih menguntungkan. Juga, ditemukan banyak tanaman cengkeh yang mati karena diserang hama dan penyakit, serta kurang intensifnya pemeliharan tanaman sebagai dampak dari rendahnya harga cengkeh, pada periode 1990-1998.

2.3.1.2. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Menghasilkan

(61)

dan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu sekitar 0.20 ton per hektar. Meskipun demikian, telah terjadi peningkatan laju pertumbuhan produktivitas tanaman cengkeh yang cukup signifikan, yakni sebesar 4.84 persen per tahun pada periode 1990-2004, bila dibandingkan dengan periode 1975-1989 yang hanya sebesar 1.41 persen. Sementara itu, Gonarsyah (1996) mengemukakan bahwa dari 14 daerah penghasil cengkeh di I ndonesia pada saat itu, propinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah yang memiliki produktivitas pertanaman cengkeh yang tinggi.

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50

1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003

TAHUN P R O DUKT IV IT A S ( T O N /HA)

[image:61.612.134.503.299.539.2]

Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan dan BPS, 2005

Gambar 6. Perkembangan Produktivitas Tanaman Cengkeh Nasional, Tahun 1975-2004

(62)

domestik yang sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari Rp. 120 000 per kilogram, pada tahun 1998 (Husodo, 2005), yang langsung direspons secara positif oleh petani dengan kembali melakukan pemeliharaan tanamannya.

2.3.1.3.

Gambar

Gambar 4.  Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI
Gambar 5.  Sistem Tata Niaga Cengkeh Menurut Keppres RI  Nomor 20 Tahun 1992
Tabel 4. Tarif  Cukai  Rokok  Kretek  Berdasarkan  Surat  Keputusan a.n. Menteri   Keuangan Dirjen Bea Cukai  No.609a/KMK.04/2001
Tabel 5. Tarif   Cukai   Rokok   Kretek   Berdasarkan   Surat   Keputusan  Menteri   Keuangan  RI  Nomor  449/KMK.04/2002
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keenam jenis ekstrak yang berasal dari tanaman akar tuba, kirinyuh, huni, widuri, ketapang, dan ekstrak gamal yang diuji berpotensi dan efektif sebagai bio- akarisida untuk

Maka dari itu, bagi anda yang mengalami keguguran dan ingin membersihkan sisa rahim dengan cara yang lebih efektif dan alami kami sarankan anda untuk rutin mengkonsumsi obat

Pembelian surat berharga jangka pendek (wesel), dalam hal ini perusahaan membeli surat berharga yang usianya tidak lebih dari satu tahun seperti wesel

Dalam PPL II ini, mahasiswa praktikan diharapkan mempunyai pengalaman nyata melaksanakan tugas sebagai seorang Guru baik untuk mengajar dan membuat perangkat pembelajaran dengan

Karena masih dihantui rasa penasaran, Sangi kemudian bertanya lagi kepada pemuda tampan itu, ”Apa keistimewaan menjadi seekor naga jadi-jadian itu?” sambil tersenyum, pemuda

R/ menentukan luas/beratnya masalah yang terjadi pada kira-kira 60% klien normal meskipun kapasitas vital meningkat, fungsi pernapasan diubah saat kemampuan difragma untuk turun

[r]

Ekotipe tegalan telah membentuk sosok Madura sebagai masyarakat atau komunitas yang unik, bukan saja membentuk hubungan sosial ekonomi yang berbeda dengan orang