• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. ASPEK KEUANGAN

1.2. Perumusan Permasalahan

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, mutu, keragaman dan keamanannya. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang utama pada komoditas pangan organik adalah kuantitas dan mutu pangan organik itu sendiri, khususnya sayuran. Bila kuantitas dan mutu telah terpenuhi, maka permasalahan yang kemudian timbul adalah akan dikirim kemana dan bagaimana manajemen rantai pasok dari komoditas sayuran organik ini dikembangkan, karena memengaruhi stabilitas dan keberlanjutan siklus usahatani sayuran organik. Pengelolaan rantai pasok dapat membantu petani dalam hal stabilitas harga dan kontinuitas pasar, serta pemasaran produk sayuran organik.

Ditinjau dari kajian Supply Chain Management (SCM), salah satu akar masalah pada bisnis komoditas sayuran organik pascapanen adalah masalah distribusi. Permasalahan distribusi tersebut terjadi karena tidak adanya informasi yang akurat mengenai ketersediaan produk sayuran organik, permintaan konsumen dan hasil produksi yang ada. Adanya ketidakpastian informasi akan berakibat sangat tidak menentunya bisnis di dalam distribusi komoditas sayuran organik pascapanen, sehingga petani dan masyarakat sering dipermainkan oleh para pedagang yang tidak bertanggungjawab. Permasalahan yang berkaitan dengan penyediaan dan pendistribusian informasi tersebut dapat diminimalkan dengan membangun model distribusi berbasis SCM. Keluaran kajian ini adalah model distribusi komoditas sayuran organik pascapanen berbasis SCM.

Semakin meningkatnya permintaan sayuran organik maka peluang untuk mengembangkan bisnis pertanian sayuran organik juga semakin meningkat. Hal ini akhirnya mendorong para petani untuk beralih dari pertanian konvensional menjadi pertanian organik. Selain untuk meningkatkan pendapatan para petani dan mewujudkan ketahanan pangan nasional, pertanian organik juga memiliki peluang besar untuk memasuki pasar internasional (ekspor), karena permintaan produk pertanian organik khususnya sayuran organik di luar negeri juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Namun dalam proses perkembangannya, banyak petani sayuran khususnya yang ada di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor menghadapi beberapa kendala dalam budidaya, seperti adanya keterbatasan penyediaan benih bermutu varietas unggul dan bersertifikat, kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan masih lemah, serangan organisme pengganggu tanaman, lahan sempit dan terpencar-pencar, serta masih terbatasnya teknologi dan sarana prasarana produksi. Selain kendala yang disebutkan, juga ada beberapa faktor penghambat perkembangan produk organik lainnya, yaitu masalah ketersediaan produk di pasaran yang masih rendah, harga yang terlalu tinggi dan ketidakpercayaan konsumen atas produk organik sesuai dengan yang tertera.

Menurut Setiadharma dan Chrisantine (2006), bahwa permasalahan dalam manajemen usaha yang sering dihadapi adalah : (1) Manajemen rantai pasok yang belum berjalan optimal; (2) Tataniaga dan SCM belum efektif dan transparan, sehingga margin antar pelaku rantai pasokan belum adil/proporsional; (3) Belum sepenuhnya berorientasi pasar dan konsumen (mutu, jumlah, waktu dan kontinuitas); (4) Jumlah pelaku usaha/pelopor (Champions) masih terbatas (ekspor dan pasar modern); (5) Informasi peluang usaha, potensi dan harga belum terkomunikasikan secara transparan; (6) Dukungan prasarana produksi, distribusi dan pemasaran belum optimal.

Berdasarkan uraian permasalahan yang dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalahan berikut :

1. Apakah usaha sayuran organik berbasis petani di Kecamatan Megamendung Bogor layak dinilai dari aspek finansial ?

2. Bagaimana karakteristik produk sayuran organik berbasis petani yang sesuai dengan keinginan pasar dan berpotensi didalam peningkatan alur rantai pasok ?

3. Faktor internal dan eksternal apakah yang dapat menyusun strategi yang terkait dengan produksi produk sayuran organik dan rantai pasokannya yang berbasis petani ?

1.3. Tujuan Kajian

Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, maka kajian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Mengkaji kelayakan sederhana usahatani sayuran organik berbasis petani di Kecamatan Megamendung dilihat dari aspek finansial.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis karakteristik produk sayuran organik berbasis petani, yang berpotensi dan bernilai tambah tinggi bagi petani 3. Merumuskan strategi manajemen rantai pasok (SCM) produk sayuran

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Organik

Sistem Pertanian Organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, bermutu dan berkelanjutan (Deptan, 2002). Pangan Organik adalah pangan yang berasal dari suatu lahan pertanian organik yang menerapkan praktek-praktek pengolahan yang bertujuan untuk memelihara ekosistem dalam mencapai produktivitas berkelanjutan dan melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit melalui berbagai cara seperti daur ulang sisa-sisa tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, pengelolaan air, pengolahan lahan dan penanaman, serta penggunaan bahan hayati (SNI-6729:2010).

Pestisida kimia banyak membunuh predator alami dan bahkan manusia sendiri. WHO (World Health Organization) melaporkan bahwa setiap tahun sekitar 3 juta orang teracuni pestisida. Kira-kira 200 ribu orang kemudian meninggal dunia. Bahan kimia sintetis tersebut juga diyakini menjadi faktor utama yang mengakibatkan berkembangnya penyakit-penyakit yang mengganggu metabolisme seperti ginjal, lever, paru-paru dan sebagainya (Saragih, 2003).

Prinsip pertanian organik adalah ramah lingkungan, tidak mencemarkan dan tidak merusak lingkungan hidup dari penggunaan bahan kimia berbahaya yang dapat berupa pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan dan sebagainya (Pracaya, 2010). Pertanian organik menurut Saragih (2008) adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sistem pertanian organik menurut

pakar pertanian Barat merupakan “hukum pengembalian (low of return)”

yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman, maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman.

Tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik (Sutanto, 2002) adalah :

1 Melindungi dan melestarikan keragaman hayati, serta fungsi keragaman dalam bidang pertanian.

2 Memasyarakatkan kembali budidaya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan, sehingga menunjang kegiatan budidaya pertanian berkelanjutan.

3 Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk, serta bahan kimia pertanian lainnya.

4 Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan.

5 Meningkatkan usaha konservasi tanah dan air, serta mengurangi masalah erosi akibat pengolahan tanah yang intensif.

6 Mengembangkan dan mendorong kembali menculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki petani secara turun-temurun dan merangsang kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian dan universitas.

7 Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk dan bahan kimia pertanian lainnya.

8 Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik, maupun global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian.

Budidaya pertanian organik, juga mendorong kemandirian dan solidaritas di antara petani sebagai produsen. Mandiri untuk tidak tergantung pada perusahaan-perusahaan besar penyedia pupuk dan bahan agrokimia serta perusahaan bibit. Solidaritas untuk berdaulat dan berorganisasi demi mencapai kesejahteraan, pemenuhan hak dan keadilan sosial bagi petani. Untuk lebih jelasnya, pada Tabel 2 disajikan perbedaan sistem budidaya pada pertanian organik dan konvensional.

Tabel 2. Perbedaan sistem budidaya pertanian organik dengan pertanian konvensional

No Proses Pertanian Konvensional Pertanian Organik 1 Persiapan

benih

Akomodatif terhadap benih yang berasal dari rekayasa genetika, Genetically Modified Organism (GMO)

Menolak penggunaan benih yang berasal dari rekayasa genetika (GMO)

2 Pengolahan tanah

Maksimalisasi pengolahan tanah melalui mekanisasi pertanian yang berakibat pemadatan tanah dan matinya beberapa organisme

Minimalisasi pengolahan tanah dan mekanisasi pertanian yang memacu pertumbuhan organisme sehingga menjaga aerasi tanah

3 Persiapan bibit

Bibit diperlakukan dengan bahan kimia sintetis

Bibit diperlakukan secara alami

4 Penanaman Monokultur, rotasi tanaman hanya dari satu jenis tanaman dan tidak ada kombinasi tanaman

Multikultur, rotasi bertahap, kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan.

Penanaman habitat predator dan pengendali hama. Tanaman pupuk hijau, pestisida hayati dan obat-obatan alami

5 Pengairan Dapat menggunakan air dari mana saja

Menggunakan air yang bebas bahan kimia sintetis

6 Pemupukan dan pengendali-an hama serta gulma Dominasi menggunakan pupuk kimia dan pestisida

Penggunaan pupuk organik, pengendalian hama

berdasarkan keseimbangan hayati

7 Panen dan pasca panen

Produk mengandung residu bahan kimia dan

menggunakan bahan kimia sintetik

Tidak diperlakukan dengan bahan kimia anorganik dan sehat untuk konsumen

Menurut Winarno, et al. (2002), untuk pemrosesan, prinsipnya integritas produk pangan organik harus tetap dijaga selama pemrosesan (pasca panen dan pengolahan) dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan hati-hati untuk menjaga kemurnian produk pangan organik. Bahan kemasan untuk mengemas produk organik sebaiknya dipilih dari bahan berikut :

a. Dapat diuraikan oleh mikroorganisme (bio-degradable materials) b. Bahan hasil daur ulang (recycled materials)

c. Bahan yang dapat didaur ulang (recycleable materials)

d. Tidak terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia yang penggunaannya dilarang dalam sistem pertanian organik

Menurut Winarno (2010), manfaat yang diperoleh dalam mengkonsumsi pangan organik adalah :

a. Kesehatan

1) Mengandung zat antioksidan dan serat yang penting, serta kadar nitrat lebih rendah yang dapat mengurangi tekanan darah, mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke, penangkal kanker dan demensia (pikun), serta untuk menjaga kesehatan pencernaan, karena mampu mengikat zat racun, kolesterol dan kelebihan lemak, sehingga mencegah berkembangnya sumber penyakit.

2) Produk organik jauh lebih menyehatkan b. Ramah lingkungan

c. Ekonomi d. Sosial

2.2 Syarat dan Mutu Produk Organik

Secara teknis menurut Agustina dan Syekhfani (2002), praktek pertanian organik diharapkan dilakukan dengan cara :

1 Menghindari penggunaan benuh/bibit hasil rekayasa genetik dan mikroorganisme yang belum tepat guna.

2 Menghindari penggunaan kimia sintetik, baik dalam pengendalian gulma, hama dan penyakit.

3 Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetik. 4 Menghindari penggunaan bahan pengawet dan penyedap rasa sintesis

selama pengolahan hasil.

5 Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan sintetis, baik dalam makanan, ternak, ikan maupun produk olahan lainnya.

Produk pertanian organik di Indonesia ditetapkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pertanian Organik yang disahkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) melalui BSN SNI 01-6729-2002. Standar ini bersumber pada kesepakatan antarnegara yang tertuang dalam Codex

Alimentarius Guidelines for the Production, Processing, Labelling and Marketing of Organikally Produced Foods (Saragih, 2008). Pada tahun 2010 BSN merevisi SNI 01-6729-2002 menjadi SNI 6729-2010 dengan merevisi dua (2) poin standarisasi dalam standar pangan organik. Saat ini lembaga sertifikasi internasional yang beroperasi di Indonesia ada tujuh (7), yaitu IMO (Institute for Marketecology), Control Union, NASAA (North American Securities Administrators Association), Naturland, France Organic Certification Organization (Ecocert), Guaranteed Organic Certification Agency (GOCA) dan Australian Certified Organic (ACO). Sedangkan lembaga sertifikasi nasional yang telah diakreditasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan diakui oleh OPKO yaitu BIOCert (Bogor), Inofice (Bogor), Sucofindo (Jakarta), LeSOS (Seloliman), Mutu Agung Lestari (Depok) dan PT. Persada (Yogyakarta).

Produk pertanian organik tidak mudah diklaim sebagai produk organik, karena produk pertanian tersebut harus mendapatkan label, atau sertifikat dari lembaga sertifikasi pemerintah. Dengan adanya peraturan tersebut, tidaklah mudah menjual produk pertanian organik ke pasar. Label-label produk organik dibagi menjadi empat (4) jenis (Saragih, 2008), yaitu : 1 Label Biru. Label ini mengindikasikan bahwa proses produksi yang

dilakukan sudah bebas dari pestisida sintetik

2 Label Kuning. Label ini mengindikasikan bahwa proses produksi sedang mengalami masa transisi dari cara bertani yang selama ini menggunakan bahan kimia sintetik ke cara bertani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik.

3 Label Hijau Organik. Label ini mengindikasikan bahwa proses produksi yang sudah setara dengan standar SNI.

4 Label Hijau Organikally Grown. Label ini mengindikasikan produk pertanian yang tumbuh secara organik dengan sendirinya.

Adanya label dan sertifikat tersebut akhirnya para petani harus dapat menjaga mutu produk organiknya. Menurut Agustina dan Syekhfani (2002), mutu produk organik harus memenuhi enam (6) syarat berikut :

1 Mutu terjamin : mulai dari teknik budidaya sampai produk sampai pada konsumen tidak tercemar secara fisik, kimia dan biologi.

2 Daya tahan produk lebih lama : pengolahan, penyimpanan dan kemasan. 3 Kemasan dan desain : tidak mudah rusak, sesuai dengan produk dan

menarik.

4 Label dan sertifikat sesuai peraturan produk organik. Untuk tahap awal sebutkan apabila produk belum 100% organik, maka produk masuk kategori bebas pupuk dan pestisida kimia sintetik.

5 Jalur distribusi dan pemasaran yang tepat.

6 Produsen memperhatikan Undang-undang (UU) Pangan, UU Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah (PP) Label dan Iklan, PP Keamanan, Mutu dan Gizi, serta PP Ketahanan Pangan.

Sertifikasi Prima adalah sertifikasi yang diberikan oleh Otoritas Kompeten yang ditunjuk oleh Gubernur kepada produsen atau kelompok produsen yang telah memenuhi kriteria prima, sehingga produsen berhak atas pelabelan prima (Gambar 1) pada produk yang dihasilkan (http://diperta.jabarprov.go.id/2012). Sertifikasi Prima terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. Prima 1 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani, dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi, bermutu baik dan cara produksinya ramah terhadap lingkungan

2. Prima 2 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan bermutu baik.

3. Prima 3 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi.

Prima 3. Prima 2. Prima 1.

Gambar 1. Bentuk label jaminanan pada produk

2.3 Kelembagaan Tani

2.3.1 Kelompok Tani

Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta keluarganya yang mengelola usaha di bidang pertanian, agroforestry, agrofishery, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan di sekitar hutan, yang mencakup usaha hulu, usahatani, usaha hilir dan usaha jasa penunjang (UU No. 6 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan). Pembinaan kelompoktani (Poktan) bermaksud untuk membantu para petani agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses teknologi, permodalan, pasar dan sumberdaya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai potensi kelembagaan, karena pada dasarnya selalu terjadi interaksi antar individu atau antar kelompok masyarakat yang terpola. Berbagai bentuk potensi kelembagaan yang ada pada masyarakat, antara lain: (a) Kumpulan arisan; arisan uang, barang ataupun tenaga, (b) interaksi antara petani sebagai produsen dengan pedagang (konsumen), (c) Interaksi antar petani dalam memasarkan hasil maupun membeli saprodi, (d) Interaksi antara petani dengan pihak luar (pembina, pemodal, pedagang) (Deptan, 2007).

Potensi kelembagaan ini dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk pembentukan dan pembinaan kelembagaan-tani. Rasa sosial untuk saling tolong-menolong perlu ditumbuh-suburkan agar modal sosial ini tidak

terkikis kemajuan masyarakat. Kelembagaan-tani berupa “Poktan”

merupakan alternatif wadah yang dapat diandalkan agar para petani dapat berhimpun dan saling bekerjasama meningkatkan usahanya. Poktan adalah wadah sebagai tempat/forum dari sekumpulan petani yang mempunyai kepentingan sama dalam suatu kawasan/hamparan yang sama dan terorganisasi secara musyawarah dan mufakat bersama. Azas Poktan dapat dilihat dari definisi tersebut, yaitu :

a. Kesamaan kepentingan

Dasar pembentukan Poktan adalah kesamaan kepentingan yang diwujudkan dalam suatu tujuan kelompok. Tujuan dan cara pencapaiannya ditetapkan secara bersama-sama. Pembagian dan pendegelasian pencapaian tujuan diwujudkan dalam suatu kepengurusan kelompok yang disepakati bersama.

b. Kesamaan kawasan/hamparan usaha

Kesamaan ini akan memudahkan terjadinya komunikasi antar anggota. Intensitas komunikasi akan tingi bila jarak dan jumlah anggota tidak besar, sehingga kekompakan kelompok dapat mudah terbentuk. Oleh karena itu, jumlah anggota yang efisien antara 10 - 25 orang.

c. Musyawarah dan mufakat

Prinsip ini merupakan fondasi dari kelompoktani dimana kepentingan setiap anggotanya diapresiasikan. Segala keputusan berada di tangan para anggota yang dituangkan dalam suatu kesepakatan bersama.

Dalam peri-kehidupan petani, Poktan mempunyai fungsi sebagai :

a. Wadah bagi anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berusahatani, sehingga lebih mandiri, dimana kelompok sebagai kelas wahana belajar

b. Kesatuan unit usahatani untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang menguntungkan, sehingga kelompok sebagai unit produksi usahatani.

c. Tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompok maupun antara kelompok dengan pihak lain, sehingga dapat menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.

Dinamika Poktan akan terjadi secara berkesinambungan apabila dalam kelompok tersebut terdapat proses-proses berikut :

a. Penetapan tujuan kelompok

Tujuan kelompok haruslah memberikan manfaat bagi seluruh anggota kelompok dan merupakan apresiasi kepentingan bersama.

b. Pemilihan Ketua Poktan dan pengurusnya

Ketua Poktan dipilih oleh anggotanya berfungsi sebagai pemimpin kelompok harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik dan dapat diteladani oleh anggotanya. Pengurus lainnya sebaiknya orang yang akomodatif.

c. Penetapan AD-ART

Ada pepatah “Jer basuki mawa bea” artinya untuk suatu keberhasilan

memerlukan biaya. Aktivitas kelompok akan lebih lancar, apabila ada dukungan materi dan finansial oleh seluruh anggotanya.

d. Penetapan tata cara dan aturan bersama

Dalam suatu masyarakat ada norma dan aturan yang harus dianut agar terwujud keadilan bersama.

e. Penetapan agenda kerja bersama

Agar terjadi proses saling asih, asah, dan asuh dalam meningkatkan usahatani para anggotanya, perlu dibuat agenda kerja sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Sebaiknya terjadi pertemuan yang rutin dengan acara terencana.

2.3.2 Kerjasama Antar Poktan

Kekuatan posisi tawar Poktan dapat ditingkatkan dengan melakukan kerjasama dengan kelompok lain. Bentuk kerjasama ini akan dapat diformalkan dalam suatu Gabungan Poktan (Gapoktan) atau dalam bentuk forum kontaktani. Kontaktani adalah Ketua Poktan/sub kelompok yang dipilih dan diangkat oleh para Anggotanya atas dasar musyawarah kelompok karena mempunyai kelebihan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku, serta mau berkorban untuk kemajuan kelompoknya. Organisasi ini akan menjadi wakil untuk bekerjasama dengan Poktan lainnya.

Gapoktan akan lebih cocok apabila bentuk dan jenis yang diusahakan oleh masing-masing Poktan sama, atau serupa, sehingga unit usahatani akan semakin besar dan lebih efisien sebagai agro industrial. Sedangkan apabila masing-masing kelompok mempunyai jenis usahatani berbeda tetapi mempunyai keterkaitan baik secara wilayah maupun produksinya maka akan lebih cocok melakukan kerjasama dalam bentuk forum kontaktani.

Poktan pada dasarnya adalah organisasi non formal di perdesaan yang ditumbuhkembangkan dengan falsafah “dari, oleh dan untuk petani”

http://perundangan.deptan.go.id//2012). Ciri–ciri Poktan adalah :

a. Saling mengenal, akrab dan saling percaya diantara sesama anggota. b. Mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusaha tani c. Memiliki kesamaan dalam tradisi dan/atau pemukiman, hamparan usaha

jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan dan ekologi.

d. Ada pembagian tugas dan tanggungjawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama.

Menurut Peraturan Menteri Pertanian (2007), Poktan adalah kumpulan petani, peternak dan pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Poktan mempunyai fungsi sebagai :

a. Wadah bagi anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berusahatani, sehingga lebih mandiri, atau kelompok sebagai kelas wahana belajar.

b. Kesatuan unit usahatani untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang menguntungkan, sehingga kelompok sebagai unit produksi usahatani.

c. Tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompok, maupun antara kelompok dengan pihak lain, sehingga dapat menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.

Kelas kemampuan Poktan-nelayan ditetapkan berdasarkan nilai yang dicapai oleh masing-masing kelompok, yakni dengan kriteria nilai 0-1000.

Berdasarkan nilai tingkat kemampuan tersebut, masing-masing Poktan-nelayan ditetapkan kelasnya dengan ketentuan berikut :

a. Kelas Pemula merupakan kelas terbawah dan terendah dengan nilai 0- 250.

b. Kelas Lanjut merupakan kelas lebih tinggi dari kelas pemula dimana kelompok tani-nelayan sudah melakukan kegiatan perencanaan, meskipun masih terbatas, dengan nilai 251-500.

c. Kelas Madya merupakan kelas berikutnya, setelah kelas lanjut, di mana kemampuan Poktan-nelayan lebih tinggi dari kelas lanjut, yaitu nilai 501-750.

d. Kelas Utama merupakan kelas kemampuan kelompok yang tertinggi, dimana Poktan-nelayan sudah berjalan dengan sendirinya atas dasar prakarsa dan swadaya sendiri. Nilai kemampuan di atas 750.

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.41/Kpts.OT.210/1/1992, tentang pedoman pembinaan Poktan-nelayan, maka pengakuan terhadap kemampuan kelompok diatur berikut:

1. Kelas Pemula, dengan piagam yang ditandatangani oleh Kepala Desa. 2. Kelas Lanjut, dengan piagam yang ditandatangani oleh Camat.

3. Kelas Madya, dengan piagam yang ditandatangani oleh Bupati/Walikota. 4. Kelas Utama, dengan piagam yang ditandatangani oleh Gubernur.

2.4 Analisis Kelayakan Sederhana

Analisis kelayakan sederhana dalam kajian ini dilakukan dengan menghitung pendapatan petani, break even point (BEP) atau analisa pulang pokok, R/C ratio dan marjin pemasaran. Menurut Umar (2003), analisis pendapatan akan dibedakan menjadi dua (2) yakni pendapatan atas biaya tunai (pendapatan tunai) dan pendapatan atas biaya total (pendapatan total). Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dan biaya tunai usahatani. Perhitungan pendapatan atas biaya tunai secara umum adalah :

Dimana :

TR = Total penerimaan (revenue) usahatani dalam Rp

Y = Pendapatan tunai atau keuntungan tunai usahatani (Kg) BT = Biaya tunai

P = Harga jual dalam Rp/Kg Q = Jumlah

Pendapatan total memasukkan biaya yang diperhitungkan sebagai biaya usahatani berikut :

Dimana :

YT = Pendapatan total atau keuntungan total usahatani

BT = Biaya total termasuk biaya tunai dan biaya diperhitungkan.

Hubungan antara biaya dan penerimaan usahatani ada beberapa kemungkinan, yaitu sebagai berikut :

1. Bila biaya usahatani (cost ) lebih besar dari penerimaan, maka usahatani dikatakan rugi.

2. Bila biaya usahatani sama dengan penerimaan, maka usahatani dikatakan tidak untung dan tidak rugi. Dengan kata lain keadaan ini disebut titik