• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesan Dakwah yang Dominan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban Hasil perhitungan kesepakatan ketiga orang juri pada tiap-tiap bab

BAB IV : ANALISIS ISI PESAN DAKWAH DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

D. Pesan Dakwah yang Dominan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban Hasil perhitungan kesepakatan ketiga orang juri pada tiap-tiap bab

dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang dianalisis ini memiliki nilai pesan dakwah yang berbeda antara satu bab dengan bab yang lain.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, secara keseluruhan, pesan dakwah yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-Khalieqy ini dengan total jumlah komposit reliabilitas adalah nilai aqidah 0.32, nilai akhlak berjumlah 0.50, dan nilai syariah berjumlah 0.53.

Untuk mengetahui pesan dakwah yang dominan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dengan prosentase pesan, maka nilai komposit reabilitas diatas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = _F_ x 100% N Keterangan : P : Prosentase F : Frekuensi N : Jumlah Populasi

75 1. Aqidah P = 0.32 x 100% = 23.70% 1.35 2. Akhlak P = 0.50 x 100% = 37.04% 1.35 3. Syariah P = 0.53 x 100% = 39.26% 1.35 Tabel 8 Prosentase Pesan N = 1.35

No Kategorisasi Koefisien Reliabilitas Prosentase (%)

1 Aqidah 0.32 23.70

2 Akhlak 0.50 37.04

3 Syariah 0.53 39.26

4 Total 1.35 100

Dengan demikian, pesan dakwah yang paling dominan yang terdapat pada novel Perempuan Berkalung Sorban adalah pesan syariah dengan hasil prosentase 39.26%, berdasarkan hasil perhitungan kesepakatan dari ketiga orang juri.

Adapun hasil prosentase pesan membuktikan bahwa pesan Syariah adalah pesan yang dominan, hal ini disebabkan oleh begitu banyaknya dialog ataupun paragraf yang mengarah pada nilai-nilai syariah khususnya syariah muamalah.

Dimana novel ini banyak mengingatkan dan memotivasi pada pembacanya khususnya kaum perempuan untuk melakukan perubahan sosial

dan budaya yang didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang tersurat dalam Al-Qur`an maupun Hadist. Bahwa laki-laki dan perempuan, suami dan istri, muslim dan muslimah itu memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Seperti yang dikisahkan pada sosok Khudori dan Anisa dalam dialog berikut ini:

“Memang kita mengenal ada hak ijbar atas bapak terhadap anak gadisnya. Tetapi hak seperti ini sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan dalam Islam. Selain tidak relevan lagi untuk masa sekarang, pernikahan di bawah umur, ketika perempuan belum siap dari segi fisik dan biologisnya maupun mental kejiwaannya, pastilah akan memiliki dampak yang jauh

77 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menjelaskan dan menganalisa pembahasan-pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pesan-pesan yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah beragam. Adapun pesan dakwah yang terkandung dalam novel tersebut di antaranya ialah: mengandung pesan Aqidah, Akhlak dan Syariah. Isi Pesan yang diteliti merupakan kutipan dialog ataupun paragraf yang terdapat pada novel Perempuan Berkalung Sorban. Adapun kategori pesan yang disebutkan di atas, memiliki subkategori masing-masing.di antaranya sebagai berikut:

a. Pesan Aqidah meliputi: Iman kepada Allah SWT, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitab Allah, Iman kepada Rasul Allah, Iman kepada hari akhir, Iman kepada qadha dan qadar.

b. Pesan Akhlak meliputi: Akhlak kepada Allah SWT, Akhlak kepada sesama manusia, akhlak kepada lingkungan.

c. Pesan Syariah meliputi : Ibadah dan Muamalah.

2. Adapun kategori pesan Aqidah yang paling dominan yaitu pesan Aqidah mengenai Iman kepada Allah. Dan kategori pesan Syariah yang paling dominan yaitu mengenai pesan muamalah yang berkaitan dengan

hukum-hukum fiqih, ilmu tajwid, dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan kategori pesan akhlak yaitu mengenai pesan akhlak kepada sesama manusia yaitu sikap menghormati dan menyayangi serta sopan santun. 3. Berdasarkan pengolahan data secara analisis, maka dapat disimpulkan

bahwa kecenderungan isi pesan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ini adalah pesan Syariah dengan prosentase 39.26% diikuti pesan Akhlak dengan prosentase 37.04%, kemudian pesan Akidah dengan prosentase 23.70%. Dilihat dari data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa isi pesan dakwah yang paling dominan adalah pesan Syariah dengan nilai prosentase 39.26%.

B. Saran-saran

Setelah penulis menyelesaikan penelitian ini, penulis memberikan beberapa saran-saran, antara lain:

1. Kepada praktisi atau ilmuwan dakwah yang bergerak dalam bidang dakwah agar lebih memperhatikan dunia sastra atau media cetak sebagai sarana dakwah. Karena pada saat ini sarana media cetak sangat efektif dan juga efisien dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah.

2. Dosen-dosen dan mahasiswa Fakultas Dakwah lebih memperdalam diskusi tentang media novel yang bisa dijadikan media dakwah.

3. Pengarang dan penulis pada umumnya sebaiknya menulis karya-karya yang mempunyai pesan-pesan moral dan humanis untuk mencerahkan kehidupan umat manusia.

79

4. Pengarang novel Perempuan Berkalung Sorban agar lebih memperhatikan pada setiap kesalahan menulis teks, sehingga tidak membuat pembaca bingung. Dan semoga tidak berhenti berjuang membuat karya-karya yang mempunyai pesan-pesan dakwah yang lebih baik.

5. Masyarakat dan pembaca agar lebih selektif dalam memilih bacaan. Pilihlah bacaan yang bisa memberikan pencerahan. Hindari bacaan-bacaan yang bisa merusak akhlak dan moral.

6. Penerbit novel-novel Islami agar lebih konsisten dan memiliki komitmen dalam menertbitkan novel-novel baik fiksi maupun nonfiksi yang banyak menyampaikan ajaran Islam.

80 baabil habli wa auladah, 1350.

Ambary, Abdullah. Inti Sari Sastra Indonesia. Bandung: Djantika, 1983

Amrullah, Ahmad. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta, PLP2M:1985.

Arifin, HM. Dakwah Bil Qolam. Bandung: Mujahid Press, 2004

AS, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1992 Atsari Al, AA Hamid. Intisari Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama`ah. Jakarta, Niaga

Swadaya, 2004.

Aziz, M.Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Bilali Al, Abdul Hamid.Fiqh Dakwah fi ingkar Mungkar. Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1999.

Eneste, Pamusut. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas, 2001.

Eogleton, Terry. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2006.

Forum, Brawijaya. Imam Besar Istiqlal Serukan Boikot Film Perempuan Berkalung Sorban, artikel diakses pada tanggal 02 Maret 2010 dari http: //forum.brawijaya.ac.id/index. Php?action=vthread&forum=67topic=2940, pada pukul 15.30 WIB.

Ghazali, M.Bahri. Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah. Jakarta: Media Dakwah, 1984.

Hafidhudin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta, Gema Insani, 1998. Hasanuddin. Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.

Imam, Suprayogo & Tobroni. Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya : 2005.

Jarisyah Al, Ali. Adab al-Khiwar wa al-Mudhoroh. Al-Munawaroh: Dar al Wifa,1989.

81

Jumroni. Metode-metode Penelitian Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Kontroversi film Perempuan Berkalung Sorban, artikel diakses pada tanggal 03 Maret 2010 dari http://genenetto.blogspot.com/2009/02/kontroversi-film-perempuan-berkalung.html, pada pukul 16.30 WIB.

Ma`luf, Lois. Munjid fi al-Lughah wa a`lam. Beirut: Dar Fikr, 1986. Mubarok, Ahmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Muchlisin Asti, Badiyah. Berdakwah dengan Menulis Buku. Bandung : Penerbit MQ Media Qalbu, 2004

Mujib, M.Abdul. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 1994.

Munir, M. dan Wahyu Illahi. Manajemen Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006 Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006.

Muthiah, Siti. Skripsi “Analisis Isi Pesan Dakwah Pada Film Perempuan

Berkalung Sorban” 105051001951. Wawancara Pribadi dengan Bustal Nawawi: Jakarta, 05 Februari 2010.

Naqiyah, Najlah. Otonomi Perempuan. Malang: Bayu Media Publishing, 2005. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Jogjakarta : Gajah Mada University

Press, 1995.

Partantu, Pius A. & M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arloka, 1994.

Republika, Harian. Seni dan Budaya, 13 Juli 2008. hal. 9

Sam, Arianto. Pengertian Novel, Artikel diakses di

http://sobatbaru.blogspot.com/2008/04/pengertian-novel.htm, pada tanggal 08 April 2010, pukul 16.00 WIB.

Soejono & Abdurrahman. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 1999.

Sofia, Adib & Sugihastuti. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis, 2003.

Sumardjo, Jacob & Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia 1986.

Suprapto, Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra Bahasa Indonesia. Surabaya : Indah, 1993.

Syukri, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Jakarta:Penerbit Arloka,

1999.

Tirtawirya, Putu Arya. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah, 1983. Uchana Efendi, Onong. Ilmu Komunikasi:Teori dan Praktek. Bandung:

PT.Remaja Rosdakarya, 1994.

Umar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: PT. Wijaya,1971.

Wawancara pribadi dengan Abidah El Khalieqy melalui email di „elkhaliy@yahoo.com‟, pada tanggal 26 Juni 2009, pukul 10.26 WIB. Yogi, Indra. Dibalik Novel „Perempuan Berkalung Sorban‟. artikel diakses pada

tanggal 05 februari 2009 dari

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0405/01/hib01.html pada pukul 18.30 WIB. Zaidun Dedi Sugono, Abdul Rozak. Adakah Bangsa Dalam Sastra. Jakarta :

83

Transkip Wawancara dengan Abidah El Khalieqy melalui Email pada tanggal 26 Juni 2009

1. Bisa Mbak ceritakan proses kreatif penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban (PBS)?

Pada mulanya, novel PBS ditulis sebagai media alternatif pemberdayaan perempuan di kalangan pesantren, serta sosialisasi isu jender dan hak-hak reproduksi. Sedangkan pemrakarsa utama dari penulisan novel ini ialah Mbak Ruchah dan Mukhotib MD, dari YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat). Keduanya begitu antusias mendorong energi spiritualitas, imajinasi dan pikiran saya untuk berani berkarya melalui proses kreatif yang agak berbeda dengan penulisan novel pada umumnya. Pada penerbitan pertama, PBS dicetak lebih dari 3000 copy dan diedarkan ke seluruh perpustakaan pesantren se Indonesia secara cuma-cuma. Namun sebagai karya fiksi, PBS juga dipasarkan di kalangan umum, dan kemudian berjalan dengan kakinya sendiri melalui jalurliku kesusastraan. Hingga akhirnya tersebar luas dan dibaca oleh sebagian dari masyarakat sastra Indonesia. Bahkan, PBS telah dibahas dan dijadikan sumber penulisan skripsi di berbagai universitas dan fakultas sastra, lebih dari 10 judul. PBS juga pernah diadaptasi dan disiarkan ke dalam bentuk sandiwara radio berbahasa Jawa.

Untuk menyelesaikan novel ini, saya melakukan riset lapangan hampir setiap minggu selama 3 bulan, di pesantren-pesantren kecil daerah Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Sembari menulis, kami juga melakukan riset pustaka (kitab-kitab kuning yang membahas masalah perempuan) dan secara berkala

datang ke lapangan. Dalam melakukan riset itu, saya mendapat rekomendasi dari Pengurus Fatayat NU DIY, dan dibantu sepenuhnya oleh Hibatun Wafirah, tokoh perempuan santri dari Magelang, yang hampir setiap minggu terganggu aktivitasnya oleh berbagai pertanyaan, serta mendampingi kami dalam bertatap muka dengan Ibu Nyai dan Bapak Kiai yang sekaligus kedua orang tuanya. Ketika menulis novel ini, saya sedang mengandung anak ketiga, dan beberapa hari setelah novel selesai, tepatnya pada 17 Januari 2001, lahir pula anak kami. Karena itu pula, saya sering menyitir bahwa kelahiran PBS memiliki sejarah tersendiri yang melekat pada tetesan keringat, airmata dan darah kami. Setelah novel selesai saya tulis, dan didiskusikan bersama aktivis perempuan, khususnya pengurus YKF waktu itu, kemudian saya edit ulang dan memasukkan beberapa ide yang seirama dengan ceritanya. Baru kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh YKF berkerjasama dengan Ford Fondation (2001).

2. Apa yang ingin Mbak ungkapkan dalam novel perempuan berkalung sorban? Persoalan perempuan itu tidak pernah lekang dari zaman. Sejak Adam sampai Muhammad, sejak zaman Muhammad sampai sekarang, persoalan perempuan dengan berbagai sisinya masih saja aktual untuk dibicarakan. Itu sebabnya, perempuan disebut-sebut dalam Al-Qur`an dan Hadist sebagai bagian dari masalah kehidupan dunia selain kekuasaan dan harta. Dalam sejarahnya sampai kini, persoalan perempuan timbul lebih disebabkan oleh sumber-sumber tiranik yang bergerak melalui sistim patriarki. Oleh pikiran dan konstruksi budaya kaum lelaki. Termasuk di dalamnya sistim nilai agama yang hanya ditafsirkan

85

demi kepentingan kuasa kaum lelaki. Dalam konteks novel PBS, bahkan juga novel-novel saya yang lain, persoalan perempuan itu memang fokusnya.

Pertama, mengingatkan dan mendorong kaum lelaki dan perempuan, khususnya kaum muslimah, untuk melakukan perubahan sosial dan budaya yang didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang tersurat dalam al-quran maupun al-hadis. Bahwa laki-laki dan perempuan, suami dan istri, muslim dan muslimah itu memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Sehingga tidak seorang pun di antara makhluk Tuhan itu yang boleh menindas dan merendahkan antara satu dengan lainnya. Kedua, kaum muslimah juga harus berani mengkritisi dan memberontak jika diperlukan, terhadap ajaran-ajaran Islam (khususnya hadis-hadis misoginis) yang disalahgunakan atau dijadikan alasan untuk menindas kaum perempuan. Untuk mencapai itu semua, perempuan harus memiliki ilmu, memiliki pengetahuan agama dan budaya yang memadai. Berani membangun sikap mandiri, berani meluruskan yang bengkok, dan tetap teguh dalam iman. Ketiga, berupaya memahami, mengubah dan memperbaiki pandangan-pandangan yang berkaitan dengan posisi, status dan eksistensi kaum perempuan dengan kacamata perempuan. Artinya, semangat juang kaum perempuan tidak mungkin dapat meruntuhkan sistim budaya patriarki itu tanpa terlebih dulu mengubah pandangan hidup, sikap dan tatalaku dari kaum perempuan itu sendiri yang kurang atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan. Dengan kata lain, kaum muslimah mesti berani bekaca, berani berefleksi, namun tidak terjebak dalam pepatah yang banyak digunakan orang: “wajah buruk cermin dipecah.”

3. Lalu bagaimana proses novel itu diangkat menjadi film?

Tahun 2002, bapak Chand Parwes dari Starvision tertarik dengan novel PBS untuk dilayarlebarkan. Kemudian terjadilah kesepakatan antara saya dengan starvision. Pada tahun 2004, starvision mengirimkan draft sekenario awal kepada saya (yang ditulis oleh Lintang Wardani) dan saya memberi usulan yang cukup padat ketika itu, agar ada cemistry visional antara novel dan filmnya. Hingga kemudian, pada 2007, datang lagi kepada saya draft skenario baru yang ditulis oleh Ginatri S Noor dan Hanung Bramantyo. Seingat saya, draft skenario kedua ini telah dilakukan perbaikan lebih dari 4 kali, bersamaan dengan masukan-masukan yang bersifat visional dari saya.

4. Sampai sejauh mana dialog Mbak dengan Hanung dlm mengangkat novel itu menjadi film?

Dalam hal ini saya percaya pada kaidah Islam, „serahkan segala sesuatu itu pada ahlinya.‟ Jadi, secara kreatif, dalam proses pembuatan gambar, saya tidak memiliki kapasitas dan kompetensi untuk terlibat di dalamnya. Seperti yang saya sebutkan tadi, saya hanya memberi usulan perbaikan pada proses penulisan skenarionya, dan itupun yang terkait dengan visi utama dari novel PBS, bukan pada penggambaran visualnya, pilihan artistik maupun konsep estetik filmisnya. Disamping itu, Mas Hanung juga beberapa kali berdialog dengan saya, sebagai upaya kreatif untuk mempersamakan pandangan agar amanat novel dan film itu tidak berseberangan.

87

5. Setelah Mbak melihat film PBS, sebagai penulis novelnya, bagaimana Mbak melihat tafsirnya? Apakah sebagai film gagasan kesadaranya melenceng dari novel?

Sebagai karya seni, novel dan film itu jelas beda. Keduanya memiliki hukum dan konvensinya sendiri yang tidak bisa disamakan. Tapi secara substansial, novel dan film PBS memiliki visi dan misi yang sama. Memang banyak hal-hal yang tersirat dalam novel, kemudian diolah dan disuratkan melalui gambar oleh Mas Hanung. Begitu sebaliknya, banyak siratan makna dari film itu yang tersurat dalam novelnya. Jadi kalau ingin melihat tafsir film itu secara utuh, wajib kiranya untuk membaca novelnya. Bukankah karya sastra juga perlu dipromosikan. Haha..haha..

6. Banyak kritik yang melihat bahwa film PBS melenceng dan menyesatkan, terutama pada setting pesantren, tabiat kiai, dan peran perempuan. Sebagai penulis novelnya bagaimana Mbak melihatnya?

Saya tidak ingin komentar tentang kritik dan kontroversi itu. Kalau mereka mau membaca dan menonton PBS secara serius, tidak akan muncul anggapan dan kesan-kesan semacam itu. Mungkin malah sebaliknya, ditengah arus politik dan budaya global yang ruwet di negeri ini, masih ada generasi muslim yang peduli dengan masalah-masalah yang terjadi ditengah masyarakatnya. Karena sesungguhnya, apa yang dianggap kontroversi dalam film PBS itu memiliki makna yang sama dengan apa yang ingin disampaikan oleh film itu sendiri. Artinya, anggapan-anggapan yang salah tentang ajaran Islam yang melarang perempuan naik kuda, keluar rumah, mencari ilmu dan lain-lain tindakan yang

bersifat misoginis (tidak berpihak pada perempuan) itu berupaya diluruskan baik dalam novel maupun filmnya. Memang, jika kita melihat sepotong-potong dari film itu, atau menyitir dialog-dialog tokoh tanpa mendengar jawaban tokoh lain yang diajak dialog, atau hanya mendengar komentar orang tanpa menontonnya sendiri, pertanyaan anda bisa menambah keruh suasana. Barangkali kita perlu menjernihkan pikiran, bahwa logika dalam karya seni itu tidak berbanding lurus dengan logika sehari-hari. Karena jika kita menggunakan logika sehari-hari dalam melihat karya seni, hampir setiap karya seni dapat dianggap menyimpang atau menyeleweng dari kenyataan.

7. Banyak yang menganggap film PBS sebagai sebuah cerita bertutur ihwal fenomena gender dalam konteks/setting pesantren. Apa Pendapat Mbak?

Seperti saya sebut di depan, baik novel maupun film PBS memang bertutur tentang fenomena yang sama. Ikhwal perempuan dan kehidupan dalam keluarga. Berbicara tentang isu-isu gender dan hak-hak reproduksi perempuan, khususnya di kalangan pesantren. Dan jangan dilupakan, novel itu saya tulis 9 tahun yang lalu, ketika masalah yang sama belum banyak mendapatkan perhatian. Sebulan lalu, Ema Marhumah mendapat gelar doktor di UIN Sunan Kalijaga atas sebuah disertasi yang meneliti tentang masalah kesetaraan gender di pesantren salafiah Yogyakarta. Dan hasil penelitian itu menyimpulkan, masih ada ketimpangan soal gender dalam sistim pengajaran di pesantren termaksud. Artinya, film PBS pun masih relevan dengan kenyataan terkini.

8. Ketika novel ini terbit, pernahkah Mbak mengalami kritikan atau pandangan2 miring yang sekarang diterima oleh Hanung?

89

Pada acara lonching novel PBS di Hotel Radison Yogyakarta (10/3/2001), yang dihadiri oleh Kiai, Nyai dan intlektual muda dari berbagai pesantren di Jawa Tengah dan DIY, kritikan-kritikan itu memang ada. Tapi kritikan itu berjalan tegak, tidak berjalan miring seperti yang sekarang diterima oleh Hanung. Bahkan dalam dunia maya, novel PBS juga mendapat kritikan. Terutama mereka yang membaca novel ini, dan bersikap abai terhadap hak-hak reproduksi perempuan. Atau mereka yang memahami kodrat perempuan sebagai makhluk yang berada di bawah laki-laki. Padahal makna kodrat perempuan ialah hamil, melahirkan dan menyusui. Maka, jika ada perempuan yang menolak ketiga hal itu, bolehlah dianggap menyimpang dari kodratnya. Jadi, selama masih menggunakan nalar dan bukan semata emosi yang ditonjolkan, pro dan kontra terhadap sebuah karya seni itu harus disikapi sebagai sesutu yang wajar. Ya, kalau pun ada yang menganggap film PBS itu menyesatkan, semoga maksudnya ialah, menyesatkan di jalan yang benar.

9. Apakah tema-tema keislaman selalu hadir dalam karya Anda? Kenapa dan apa urgensinya? Apa target anda secara sosial atau pengaruhnya pada masyarakat?

Sebagai pengarang saya tidak bernah berpikir tentang tema keislaman atau bukan, bahkan tidak juga merasa terikat oleh ideologi apapun. Tapi sebagai seorang muslimah, saya tidak pernah bisa melepaskan diri dari prinsip-prinsip teologi, dengan keimanan dan tata nilai kehidupan yang saya yakini kebenaran dan otentisitasnya. Persekutuan antara kebebasan dan keterikatan inilah yang melandasi imajinasi dan pikiran saya dalam berkarya. Kebebasan memberi ruang bagi saya untuk mengeksplorasi berbagai persoalan sampai ke akar-akarnya.

Sedangkan keimanan memberi jalan dan sekaligus batasan-batasan dalam berekspresi, dalam mengolah dan menyusun kata-kata. Dengan sendirinya, semua karya yang saya lahirkan merupakan bagian dari refleksi kehidupan saya sebagai seorang muslimah. Barangkali saja, itu sebabnya banyak pengamat sastra yang menilai karya-karya saya memiliki muatan yang sarat dengan tema-tema keislaman. Sebab saya tidak bisa membayangkan orang “beragama” dapat melahirkan karya-karya “anti-agama”, orang “muslim” menciptakan karya-karya “anti-Islam” atau sebaliknya. Itulah urgensi kepengarangan saya, sedangkan urgensi karya sastra itu ya untuk kemanusiaan. Untuk kemaslahatan umat manusia, bahasa Islam-nya, rahmatan lil-„alamin. Bukan saja untuk umat muslim, tapi juga untuk umat beragama lainnya. Jika pun banyak muatan dari karya-karya saya yang tertuju pada umat muslim, karna saya juga memiliki harapan agar masyarakat muslim, khususnya yang membaca karya-karya saya, mendapatkan sedikit pencerahan dan kesadaran untuk merenungkan kembali hakikat kemuslimannya. Memang, karya sastra selalu lahir dari dan untuk masyarakat. Tapi karya sastra itu hanya sebagian saja dari sarana budaya yang dapat mempengaruhi perubahan di tengah masyarakat. Politik dan ekonomilah yang banyak berperan. Karena itu, saya tidak mensyaratkan apapun untuk mencapai target perubahan yang secara langsung disebabkan oleh karya-karya saya. Saya hanya berharap, para pembaca karya saya dapat menemukan inspirasi untuk melakukan perubahan. Jadi bukan karya sastra itu sendiri yang mampu melakukan perubahan, tapi masyarakat pembacanya.

91

10. Menurut pandangan Mbak Ida Pesan-pesan apa yang dibawakan film Perempuan Berkalung Sorban?

Film PBS itu bukan karya saya, tapi karya Hanung Bramantyo. Seni film memiliki hukum dan konvensi-konvensi sendiri yang berbeda dengan karya sastra. Memang masih ada kaitan pesan antara novel dan filmnya. Salah satu pesan utamanya ialah agar perempuan mampu berkata, “tubuhku adalah milikkku, tak