• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pewartaan Gereja: Terwujudnya Kerajaan Allah

BAB III. PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI (PSE)

A. Pewartaan Gereja: Terwujudnya Kerajaan Allah

Diakonia merupakan salah satu cara Gereja untuk mewujudkan hadirnya

Kerajaan Allah di dunia. Menurut Abdipranata (1993: 225) Kerajaan Allah adalah saat-saat di mana Allah hidup dengan karya-Nya yang bersarikan kasih menyelamatkan, meraja, berkuasa, dan ‘merambah rasuk’. Allah dipercaya sebagai satu-satunya sumber keselamatan umat manusia. Keselamatan dari-Nya menganugerahkan kesejahteraan dalam hidup konkret manusia. Kesejahteraan itu tidak secara langsung dirasakan secara fisik. Perubahan juga terjadi pada sikap batin (tergantung pada peran Roh Kudus, keterbukaan, dan kemampuan) yang akan mengatasi dan memperbaharui fisiknya. Perubahan yang terjadi dalam diakonia Gereja diharapkan dapat terjadi (bukan hanya pada setiap pribadi tetapi juga) pada seluruh keluarga manusia.

Kerajaan Allah diwartakan Yesus pada zaman kekuasaan Romawi yang memberikan penindasan. Penindasan itu berakibat kelaparan, kemiskinan, bahkan kematian bagi bangsa Yahudi. Bahkan dalam masyarakat terjadi sistem yang terkotak-kotak yaitu kaum kaya dan miskin. Allah tidak menghendaki hal itu terjadi. Dalam pewartaan Yesus itulah muncul suatu harapan akan adanya “Israel

baru.” Israel baru maksudnya adalah terbangunnya suatu masyarakat yang hidup penuh dengan kesejahteraan dan persaudaraan (Putranta, 2012: 7). Maka Yesus diharapkan dapat menjadi teladan untuk melakukan keterlibatan sosial, maksudnya bukan hanya sekedar hidup di tengah masyarakat namun juga secara aktif memperjuangkan nilai-nilai pembebasan dan keadilan.

Yesus dipandang sebagai utusan Allah yang memulihkan keadilan dan memihak kaum KLMTD. Kaum KLMTD menjadi pusat perhatian pewartaan Yesus. Kabar keselamatan akan kedatangan Kerajaan Allah itu sungguh diwartakan bagi mereka. Pewartaan Yesus sungguh tampak pada sikap dan cara hidup-Nya. Yesus lahir, hidup, dan wafat dalam kemiskinan. Ia sendiri menghayati kemiskinan akibat sistem dalam masyarakat Palestina waktu itu. Justru dalam kemiskinan dan kesederhanaan itulah Ia menemukan pola pewartaan-Nya. Pola Yesus yang kurang strategis ini justru menampakkan ciri pewartaan yang sederhana/tidak mencolok dan tidak terkait dengan prosedur atau peraturan (Tisera, 2001:74-75).

Kerajaan Allah bukan hanya disampaikan dengan teori namun terutama dalam tindakan Yesus. Yesus mengusir setan, menyembuhkan yang sakit, dan memberi makan dengan tujuan untuk meringankan penderitaan dan mengatasi kemelaratan umat manusia. Dalam Kitab Suci, yang diceritakan adalah perubahan secara fisik atau kesejahteraan lahiriah. Sikap batin yang dirasakan mereka tidak diungkapkan oleh penulis namun yang perlu ditekankan bahwa kesejateraan lahiriah memang harus menjadi tanda komprehensif dalam Yesus (Tisera, 2001:79). Karenanya, perubahan yang terjadi akibat menerima pewartaan Kerajaan

Allah itu bukan semata-mata perubahan batiniah saja atau lahiriah saja. Keduanya dirasakan benar-benar sehingga dapat merubah keseluruhan hidup mereka.

Mewartakan Kerajaan Allah merupakan perutusan Yesus yang dilanjutkan oleh murid-murid-Nya. Yesus menuntut para murid untuk menghayati kemiskinan dalam tugas pewartaannya. Tuntutan itu membuat para murid harus menghadirkan diri dalam kemiskinan. Para murid hidup bersama mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel sebagai saudara. Para murid belajar hidup dengan sikap solider dan mengidentikkan diri sebagai bagian dari mereka yang dipandang hina.

Gereja sebagai komunitas para murid Yesus perlu menegakkan prinsip bahwa apa yang diterima adalah cuma maka harus diberikan dengan cuma-cuma pula. Tisera (2008: 79) mengatakan bahwa “Kerajaan Allah adalah hadiah, tetapi juga menuntut perbuatan untuk orang kecil.” Demi solidaritas, harta milik kita menjadi harta milik bersama. Sudah menjadi suatu kewajiban kita untuk membantu sesama manusia.

2. Tanda hadirnya Kerajaan Allah

Yesus tidak pernah menjelaskan definisi Kerajaan Allah dalam pewartaan-Nya. Ia menggunakan perumpamaan dan tindakan-Nya berupa mukjizat bagi banyak orang. Justru dari cara pewartaan itulah, Kerajaan Allah terwujud nyata. Menurut Fuellenbach (2006: 219) penjelasan Paulus mengenai Kerajaan Allah digambarkan bukan tentang makanan dan minuman tetapi mengenai adanya

kebenaran/keadilan, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus (Rm. 14:17). Ketiga nilai itu menjadi tanda bahwa Allah telah meraja di hati manusia.

a. Keadilan

Secara biblis, keadilan diartikan sebagai hubungan yang benar. Keadilan dapat diartikan pula sebagai rasa saling menghargai hubungan satu dengan yang lainnya. Bila seseorang dapat membangun hubungan yang benar dengan Yahwe maka haruslah ia dapat membangun hubungan yang benar pula dengan dirinya sendiri, sesama dan alam ciptaan. Sama halnya dengan yang ditulis oleh Yeremia (Yer. 22: 16) “Barangsiapa mengenal Aku, berarti menjalankan keadilan” (Fuellenbach, 2016: 223-224). Menurut Brueggemann (dalam Fuellenbach, 2016: 223) “keadilan adalah menentukan apa yang menjadi hak seseorang dan memberikannya kepada orang itu.”

Keadilan juga dapat dipahami sebagai kehendak yang tetap dan teguh untuk memberikan kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka (KGK 1807). Nilai keadilan merupakan nilai yang diperjuangkan sampai saat ini. Keadilan menjadi satu dari lima nilai dalam dasar negara Indonesia. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia menyangkut seluruh aspek kehidupan. Gaudium et Spes art. 29 menuliskan bahwa keadilan dalam aspek ekonomi berarti orang tidak boleh direndahkan karena fungsi dan apa yang tidak mereka miliki. Kebijakan pemerintah harus memperjuangkan keadilan, khususnya bagi pemerataan kesejahteraan (YOUCAT Foundation gemeinnützige GmbH, 2016: 106). Maka kita sebagai orang Kristianimendapatkan perutusan untuk membantu memeratakan kesejahteraan. Misalnya bagi pemilik perusahaan yang membutuhkan karyawan dapat

meningkatkan dan mendorong kreativitas, kemampuan berwira usaha, mengatur perekonomian dengan terlibat pada proses ekonomi itu.

b. Perdamaian

Menurut Von Rad (dalam Fuellenbach, 2016: 234) dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kata damai muncul dari kata ‘shalom’ yang secara garis besar berarti kesejahteraan, kesehatan, dan keutuhan. Damai terlebih menunjukkan kesejahteraan yang dihubungkan dengan rasa puas dan senang. Jika mengartikan damai dalam konsep Yunani, maka damai bisa berarti tidak berperang seperti yang dituliskan oleh nabi Mikha (Mi. 4: 3-4).

Dalam Perjanjian Baru ada lima cara mengartikan kata ‘damai’ yaitu: pertama, tidak ada perang; kedua, hubungan yang benar dengan Allah; ketiga, hubungan baik di antara orang-orang; keempat, keadaan pribadi yang tenang dan tentram; kelima, kata dari bagian rumusan sapaan.

Pengertian damai itu masih belum memadai bila ditempatkan dalam keadaan sekarang ini. Perdamaian diartikan sebagai ketenteraman dalam tata aturan dan kebahagiaan dalam tatanan kebaikan Allah. Tanda adanya damai dalam hidup kita adalah bahwa kita mendapati diri melangkah bersama dengan mereka yang mempunyai kejujuran dan mencari kebenaran, peduli terhadap kesejahteraan dan keselamatan manusia (YOUCAT Foundation gemeinnützige GmbH, 2016: 256).

c. Sukacita Dalam bahasa Yunani sukacita berarti kesenangan fisik. Dalam Kitab Suci,

hidup manusia. Maka kita dapat memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berkembang menjadi lebih kreatif sesuai dengan kemampuan dan kemauannya. Lebih dalam lagi mengenai keutuhan hidup manusia, sukacita juga dapat dikaitkan dengan pemenuhan hak asasi manusia.

Gereja yang mewartakan Kerajaan Allah dimaknai sebagai sebuah upaya memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Istilah yang telah disepakati dalam sidang ekumenis dalam World Council of Churches (WCC) adalah JPIC atau justice, peace, and integrity of creation. Keadilan diperjuangkan oleh Gereja dengan membentuk Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Dewan itu mempunyai tugas untuk membela mereka yang lemah yang tidak mampu secara ekonomi, sosial dan hukum. Nilai perdamaian diperjuangkan pula dengan menjadi pelaku rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dimulai oleh para pelaku rekonsiliasi dalam masyarakat sehingga terbangun keharmonisan. Keutuhan ciptaan dipahami sebagai upaya meningkatkan kelayakan hidup sehingga manusia dapat hidup dengan lebih manusiawi (Bismoko Mahamboro, 2016: 20-22).

Dokumen terkait