• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. DIAKONIA DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI

B. Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE)

3. Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja

Sebagai bagian dari keluarga manusia, Gereja mempunyai tugas dan tanggungjawab terhadap hidup sesamanya. Sebagai anak Allah, Gereja mempunyai

tugas untuk menaati hukum cinta kasih kepada Allah dan sesama. Gereja ikut ambil bagian dalam kehidupan sosial dengan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Martabat Manusia

Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar-Nya. Gereja memandang manusia, dalam setiap pribadinya merupakan citra Allah yang hidup. Pribadi itu ditentukan sebagai sasaran sekaligus pelaku kehidupan sosial. Memperjuangkan martabat manusia menjadi tujuan akhir kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam GS 26 dituliskan bahwa “tatanan masyarakat serta kemajuannya harus tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi manusia, sebab penataan hal-hal harus dibawahkan pada tingkatan pribadi-pribadi, dan jangan sebaliknya.” Maka, kesejahteraan pribadi itu dapat diupayakan dengan memandang setiap manusia sebagai sesamanya, tidak ada pengecualian terhadap golongan-golongan lain untuk mengupayakan kelayakan hidup setiap orang (KGK 2235).

Landasan kesetaraan martabat manusia tercantum dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes artikel 29 bahwa “Karena kemuliaan Allah bersinar pada wajah setiap orang maka martabat setiap orang di hadapan Allah merupakan dasar martabat manusia di depan sesamanya.” Karenanya, kita tidak membedakan serta memberi pengecualian kepada orang. Allah nampak dalam diri setiap orang. Untuk itu, setiap orang memang mempunyai tugas untuk menghormati satu sama lain karena pada hakikatnya mereka setara.

b. Kesejahteraan Umum

Menurut Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2009: 112) kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang

memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.” Maka, kesejahteraan yang dimaksud bukan hanya merujuk pada kondisi pribadi saja. Justru masing-masing pribadi tidak akan merasakan kesejahteraannya dalam dirinya sendiri. Kesejahteraan yang dirasakan merujuk pada kenyataan bahwa ia ada “bersama yang lain” dan “untuk yang lain.”

Kesejahteraan umum dikaitkan dengan prinsip keutuhan martabat manusia dan pandangan bahwa setiap manusia mempunyai derajat yang sama. Kesejahteraan yang dibangun bukan karena satu pribadi atau kelompok saja, melainkan “dibangun bersama yang lain.” Selanjutnya kesejahteraan itu juga tidak dinikmati oleh satu pribadi atau kelompok saja, melainkan “untuk yang lain.”

Maka dari itu, kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab bersama. Setiap orang dapat berperan dalam membangun kesejahteraan umum. Kelompok dengan tatanan tinggi sampai pada kelompok dengan tatanan rendah atau masing-masing pribadi dapat ikut serta. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperjuangkan keadilan sosial. Pandangan ini didukung oleh ajaran Paus Pius XI (Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, 2009: 133) yang mengatakan bahwa

“Pemerataan harta benda tercipta yang seperti tiap orang bernalar tahu, dewasa ini mengalami situasi buruk sekali akibat perbedaan yang amat besar antara kelompok kecil yang kaya raya dan mereka yang serba tak empunya dan tak terbilang jumlahnya, harus dikembalikan kepada kesesuaian dengan norma-norma kesejateraan umum, yakni keadilan sosial.”

c. Subsidiaritas

Menurut Kompendium Katekismus Gereja Katolik (KWI, 2009: 137) “prinsip subsidiaritas menyatakan bahwa komunitas pada tatanan yang lebih tinggi tidak boleh mengambil alih tugas komunitas pada tatanan yang lebih rendah dan mengambil otoritasnya. Namun jika ada kebutuhan, komunitas yang tatanannya lebih tinggi wajib mendukungnya.”

Menurut Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2009: 126) asal usul prinsip ini adalah adanya prinsip keutuhan martabat manusia. Manusia merupakan makhluk yang bebas untuk menentukan masa depannya. Kebebasan pribadi manusia juga membantu prinsip kesejahteraan umum berjalan. Untuk mencapai kesejateraan umum itu, kelompok tatanan tinggi menerapkan perilaku menolong atau subsidium. Subsidium berarti mendukung, memajukan, dan mengembangkan kelompok tatanan yang lebih rendah.

Bantuan diberikan hanya bila kelompok itu tidak dapat menyelesaikan permasalahan atau bebannya. Dalam prinsip ini, kelompok tatanan tinggi justru memberikan kesempatan kepada kelompok tatanan rendah untuk mengatasi sendiri masalah mereka. Inilah yang akan membantu perkembangan pribadi maupun komunitas. Komunitas yang tatanannya lebih rendah, dengan berani dan mencoba mengatasi permasalahan yang terjadi, justru akan meningkatkan daya juang. Apabila kelompok kecil belum mampu mengatasi masalah, kelompok besar bertanggungjawab untuk membantu penyelesaian masalah.

d. Solidaritas

Menurut Mulyatno (2015: 125) solidaritas mencakup keyakinan bahwa setiap pribadi membutuhkan sesama dan setiap pribadi bertanggung jawab terhadap perkembangan diri dan hidup sesama. Sedangkan menurut Ensiklik Sollicitudo Rei

Socialis, solidaritas adalah tekad untuk tetap dan kontinu berkarya demi

kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan bagi semua dan setiap orang, karena kita bertanggungjawab atas semuanya (Koerniatmanto Soetoprawiro, 2003: 142). Solidaritas Kristiani sangat dibutuhkan dalam masyarakat dengan kesenjangan ekonomi yang tajam. Solidaritas dapat diwujudkan dengan membela dan memberikan bantuan kepada kaum KLMTD akibat ketidakadilan pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan menjadi bentuk nyata solidaritas itu. Karya pendidikan dan pendampingan bagi KLMTD juga sungguh penting dengan tujuan pemenuhan hak asasi manusia dan martabat hidup manusia.

Selain itu menurut YOUCAT Foundation gemeinnützige GmbH (2016: 102) solidaritas juga dimaksudkan sebagai usaha untuk menjadi rekan bicara, tumbuh dengan memahami ide-ide, argumen, kebutuhan, dan keinginan orang lain, serta untuk dapat mengembangkan kepribadian seutuhnya. Dengan begitu, solidaritas bukan semata memenuhi kebutuhan sesama dengan memberikan bantuan material. Bantuan moril berupa pendampingan dan menjadi rekan atau komunitas dapat menjadi suatu bentuk solidaritas yang konkret bagi sesama.

Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium artikel 192 menegaskan bahwa

kita bahkan menginginkan lebih daripada ini: impian kita membumbung lebih tinggi. Kita tidak hanya berbicara tentang kepastian adanya makanan atau “nafkah yang bermartabat” bagi semua orang, tetapi juga “agar semua mencapai kesejahteraan dalam aneka aspeknya”159 Hal ini berarti pendidikan, akses pelayanan kesehatan, dan terutama pekerjaan, karena melalui kerja yang bebas, kreatif, dan partisipatif dan saling mendukunglah manusia dapat mengungkapkan dan meningkatkan martabat hidup mereka. Upah yang adil memampukan mereka memiliki akses yang memadai kepada semua hal-hal baik lain yang ditujukan untuk pemakaian kita bersama.

Solidaritas berarti upaya agar setiap orang mendapatkan makanan yang bermartabat dan terpenuhinya kebutuhan hidup manusia. Paus Fransiskus mengatakan bahwa solidaritas juga memastikan bahwa semua orang mempunyai akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, dan mendapatkan pekerjaan yang membawa pembebasan, kreativitas, serts kerja sama. Pekerjaan yang mereka peroleh harus memberikan mereka upah yang adil; pekerja bisa membiayai hidup sendiri, hidup keluarganya, dan menyumbang dalam membangun kesejahteraan umum.

Dokumen terkait