• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI TERHADAP EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA S K R I P S I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI TERHADAP EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA S K R I P S I"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI TERHADAP EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Sesilia Adhi Wahyu Utami 151124018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2019

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahakan untuk

(Alm.) Ibu Christiana Tri Minarni dan Bapak Tukiman

Mbak Natalia Adhi Wulandari, Mas Yohanes Adhi Budiarja, dan Mas Agustinus Budi Wibowo serta untuk dosen dan teman-teman keluarga Program Studi Pendidikan Agama Katolik angkatan 2015 yang selalu setiadalam doa dan usaha

(5)

v MOTTO

“Jangan lagi takut dan khawatir, namun jangan juga pernah berhenti berusaha. Katakan ‘aku bisa’, maka kamu pasti bisa.”

(Ibu Ch. Tri Minarni)

“Jalani saja, jangan kebanyakan mikir. Semangat dan percaya!” (Bapak Tukiman)

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI TERHADAP EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA”. Skripsi ini ditulis untuk melihat lebih mendalam mengenai diakonia dan PSE. Pemahaman yang mendalam diperlukan karena Gereja memahami diakonia lebih-lebih sebagai aksi sosial dengan memberikan uang kepada orang miskin, pakaian layak pakai, dan bantuan kebutuhan pokok lainnya. Begitupula terkait dengan PSE sebagai salah satu bentuk perwujudan diakonia, diperlukan pemahaman yang mendalam agar umat dapat terlibat dalam karya kerasulan PSE. Menanggapi permasalahan pokok tersebut, penulis melakukan penelitian studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan membaca dan menghimpun informasi dari buku, artikel, dan jurnal yang berkaitan dengan diakonia dan PSE. Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif untuk memberikan pemahaman mengenai diakonia, PSE, serta peranan PSE terhadap efektivitas diakonia Gereja. Penelitian ini menghasilkan tiga temuan. Pertama, diakonia adalah tugas gereja untuk melayani semua orang (keluarga manusia) untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Kedua, PSE adalah karya kerasulan Gereja dalam bidang sosial ekonomi sebagai suatu bentuk diakonia yang bertujuan untuk mewujudkan Kesejahteraan Umum. Ketiga, peranan PSE bagi efektivitas diakonia adalah sebagai gerakan pemberdayaan yang memberikan manfaat jangka panjang, sebagai sumbangsih Gereja dalam tata dunia, sebagai pendorong terwujudnya kemandirian sosial ekonomi dan solidaritas. Sebagai tindak lanjut dari hasil studi pustaka, penulis menyusun upaya meningkatkan peranan PSE demi efektivitas diakonia Gereja melalui penyelenggaraan katekese dengan model

Shared ChristianPraxis (SCP) yang membantu gerakan pemberdayaan membawa

perubahan sosial sehingga terwujud Kerajaan Allah.

Kata-kata kunci: Diakonia Gereja, Pengembangan Sosial Ekonomi, Kerajaan Allah, dan Kesejahteraan Umum.

(9)

ix ABSTRACT

The title of this thesis is “THE ROLE OF SOCIO-ECONOMIC

DEVELOPMENT PROGRAM FOR EFFECTIVENESS OF CHURCH’S

DIAKONIA”. This thesis was written to come to know in-depth the diakonia and socio-ecomic development. The in-depth understanding is necessary because Church consider diakonia rathiv as a social action through giving money, used clothes, or another basic needs for the poor. It is necessary to understand in-depth the socio-economic development is a diakonia, so that they can get involved in the program. Address this issue, author conducts a literature study. The literature study is done with reading and collect information from book, article, and journal connecting with diakonia and socio-economic develompment program. This thesis employs descriptive method to fathom diakonia, socio-economic development program, and the role of socio-economic development program for effectiveness of Church’s diakonia. The study give three thought. First, diakonia is a Church’s duty to serve other in order to realize the Kingdom of God. Second, socio-economic development is a Church movement in social and economic sector as a diakonia’s form to realize general welfare. Third, the roles of socio-economic development program for the effectiveness of Church’s diakonia are empowerment movement leading to a long-term benefit, as a contribution of the Church in the world order, as a prop for realizing the socio-economic independency and solidarity. To follow up the result of this study, the author design a cathecetical session using Shared Christian Praxis model to contribute to the empowerment movement brings about the social transformation so that as the realization of the Kingdom of God.

Keywords: Church’s Diakonia, Socio-economic Development Program, Kingdom

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI TERHADAP DIAKONIA GEREJA. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kuliah dan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Selain itu, skripsi ini ditulis sebagai bentuk keikutsertaan penulis sebagai calon katekis Paroki.

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis dengan sepenuh hati mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku Ketua Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik yang telah memberikan dukungan dan izin bagi penulis untuk menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. I. L. Madya Utama SJ., selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan semangat, meluangkan waktu dan mendampingi penulis dengan sepenuh hati: memberi masukkan, kritikan, dan menumbuhkan nilai-nilai perjuangan, kemandirian, dan kedisiplinan bagi penulis.

3. Drs. F.X. Heryatno W.W., SJ., M.Ed selaku dosen pembimbing akademik dan penguji II yang telah mendampingi, membimbing, dan memberikan motivasi serta inspirasi bagi penulis.

4. dan Y.H. Bintang Nusantara, SFK. M.Hum selaku dosen penguji III yang penuh kesabaran dan perhatian memberikan semangat, dukungan, perhatian, kritikan, dan masukan yang membangun skripsi ini menjadi lebih baik.

5. Seluruh dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik yang setia memberikan dukungan, perhatian, dan pelayanan sampai menyelesaikan studi di sini.

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... Error! Bookmark not defined. PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penulisan ... 3

D. Manfaat Penulisan ... 3

E. Metode Penulisan ... 4

F. Sistematika Penulisan ... 5

BAB II. DIAKONIA DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI ... 6

A. Tugas Pelayanan (Diakonia) ... 6

1. Pengertian Diakonia ... 6

2. Diakonia menurut Kitab Suci ... 7

3. Diakonia menurut Gaudium et Spes ... 9

4. Bentuk-bentuk Diakonia ... 11

5. Ciri-ciri Diakonia ... 12

(13)

xiii

B. Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) ... 16

1. Pengertian PSE sebagai suatu Komisi/Bidang ... 16

2. Ajaran Sosial Gereja sebagai Sumber Inspirasi PSE ... 17

3. Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja ... 19

4. Tujuan PSE: Terwujudnya Kesejahteraan Umum. ... 24

5. Prinsip Moral dalam Kerasulan Ekonomi ... 26

6. Visi Dasar dan Spiritualitas PSE ... 28

7. Aktualisasi PSE ... 28

8. Karya PSE sebagai Gerakan Pemberdayaan ... 31

BAB III. PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI (PSE) TERHADAP EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA ... 35

A. Pewartaan Gereja: Terwujudnya Kerajaan Allah ... 35

1. Yesus, diakonia, dan Kerajaan Allah ... 35

2. Tanda hadirnya Kerajaan Allah ... 37

B. Peranan PSE terhadap Efektivitas Diakonia Gereja ... 40

1. PSE Berperan Dalam Berbagai Konteks Kerasulan Gereja ... 40

2. PSE sebagai Salah Satu Bentuk Perwujudan Diakonia ... 42

3. PSE Bermanfaat Jangka Panjang... 45

4. PSE sebagai Sumbangsih Gereja untuk Terlibat dalam Tata-duniawi ... 46

5. Karya PSE Menghadirkan Kerajaan Allah di Dunia ... 47

6. PSE sebagai Pendorong Terwujudnya Solidaritas Kristiani ... 48

BAB IV. UPAYA MENINGKATKAN PERANAN PSE DEMI EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA ... 50

A. Katekese Sosial Ekonomi Sebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan Peranan PSE Demi Efektivitas Diakonia Gereja ... 50

1. Kekhasan Katekese ... 50

2. Tujuan Katekese ... 52

3. Katekese Sosial Ekonomi dengan Metode Analisis Sosial ... 53

B. Shared Christian Praxis sebagai Salah Satu Model Katekese Umat ... 55

1. Kekhasan Shared Christian Praxis (SCP) ... 55

(14)

xiv

3. Langkah Katekese Umat Model Shared Christian Praxis ... 58

C. Usulan Program Peranan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) demi Efektivitas Diakonia Gereja di Wilayah St. Maria dan Yosep Rawaseneng, Paroki St.Petrus dan Paulus Temanggung. ... 62

1. Pemikiran Dasar Program ... 62

2. Tema Program ... 64

3. Program Peningkatan Peranan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) demi Efektivitas Diakonia Gereja... 66

4. Contoh Persiapan Katekese Model Shared Christian Praxis ... 73

BAB V. PENUTUP ... 83

A. Simpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

LAMPIRAN ... (1)

Lampiran 1. Makalah “APP DAN PSE SEBAGAI PERWUJUDAN DIAKONIA GEREJA” ... (Error! Bookmark not defined.) Lampiran 2. Teks Lagu ... (9)

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci Ams. : Amsal

Yes. : Yesaya Mat. : Matius Luk. : Lukas Yoh. : Yohanes

Kis. : Kisah Para Rasul 2 Kor. : 2 Korintus

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

ASG : Ajaran Sosial Gereja Kumpulan Ajaran mengenai Persoalan Keadilan Sosial, Isu Kemiskinan dan Kesejahteraan serta Peranan Negara; ensiklik pertama dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891.

CT : Catechesi Tradendae – Surat Anjuran Apostolik tentang

Katekese masa kini; dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 16 Oktober 1979.

EG : Evangelii Gaudium – Seruan Apostolik tentang Pewartaan

Injil dalam Dunia Zaman Sekarang; dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 24 November 2013.

GS : Gaudium et Spes – Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam

Dunia Dewasa ini; satu dari enam belas dokumen yang dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II pada 7 Desember 1965. KGK : Katekismus Gereja Katolik Buku mengenai Katekese yang

dipakai oleh Gereja Katolik; penggunaannya diresmikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1992.

C. Singkatan lainnya

(16)

xvi

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia Organisasi Gereja Katolik yang Beranggotakan para Uskup di Indonesia dan Bertujuan Menggalang Persatuan dan Kerja Sama dalam Tugas Pastoral Memimpin Umat Katolik di Indonesia; didirikan pada 26 Juli 1975.

PKKI : Pertemuan Kateketik antarKeuskupan se-Indonesia

PSE : Pengembangan Sosial Ekonomi Karya Kerasulan Gereja yang Bergerak dalam Permasalahan Sosial Ekonomi.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Gereja sebagai persekutuan umat Allah yang percaya akan Yesus Kristus memiliki tugas untuk melanjutkan karya keselamatan Allah di dunia. Gereja juga diutus untuk memberikan kesaksian (martyria) tentang karya keselamatan Allah. Tugas itu diwujudkan dalam empat tugas Gereja yaitu: perayaan liturgi (liturgia),

persekutuan (koinonia), pewartaan (kerygma), dan pelayanan (diakonia). Jika Gereja mampu melaksanakan tugas-tugas ini dengan baik maka akan terwujud Kerajaan Allah di tengah dunia.

Kesaksian menjadi dasar terlaksananya tugas Gereja lainnya untuk membangun Kerajaan Allah. Gereja melaksanakan tugas-tugasnya bukan hanya dalam komunitas Kristiani saja, Gereja juga harus melaksanakan tugasnya di tengah dunia. Jika Gereja hanya menitikberatkan pada satu kegiatan dan tidak memberikan perhatian bagi tugas-tugas lainnya, maka Kerajaan Allah belum dapat terwujud dalam dunia. Gereja masih lebih-lebih memerhatikan liturgia dibandingkan tugas lainnya.

Menurut O’Meara dalam Madya Utama (2011:55), pelayanan bertujuan untuk memberikan kesaksian tentang Kerajaan Allah serta mengupayakan Kerajaan Allah itu sungguh terwujud dalam dunia ini dan sekarang ini. Dalam Konsili Vatikan II, Gereja secara mantap mengarahkan amanatnya bukan lagi hanya kepada putra-putra Gereja, namun juga kepada semua orang dan kepada keluarga umat

(18)

manusia. Dengan begitu, Gereja akan benar-benar hadir bagi dan di dalam dunia (GS 2).

Champbell-Nelson (dalam Tule 1994:129-130) mengatakan bahwa karya pelayanan (diakonia) menjadi suatu hal yang penting bagi kehidupan Gereja dan komunitas Kristiani. Firman Tuhan diberitakan dan sakramen dilayani dengan benar maka di situlah Gereja harus fokus kepada fungsi Gereja. Unsur diakonia menjadi sangat penting untuk mewujudkan Gereja Yesus Kristus. Dengan diakonia, firman Tuhan menjadi nyata dan sakramen menjadi ajimat. Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan. Gereja memahami diakonia sebagai aksi sosial dengan memberikan uang kepada orang miskin, pakaian layak pakai, dan bantuan kebutuhan pokok lainnya. Padahal menurut Noordegraff (1991:4), diakonia lebih dari sekedar mengurusi orang miskin. Pemahaman yang sempit mengenai diakonia membatasi Gereja untuk berbuat banyak bagi dunia. Diakonia sebaiknya dipahami secara luas sebagai suatu karya keselamatan Allah, yang memberikan keselamatan secara utuh pada segala aspek kehidupan.

Gereja di Indonesia membentuk suatu kegiatan kerasulan dalam bidang sosial ekonomi yaitu Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) untuk mewujudnyatakan diakonia di tengah dunia. Gereja berusaha melanjutkan karya Yesus di dunia dengan memberikan pelayanan khususnya bagi mereka yang kecil, miskin, lemah, dan tersingkir. Pengembangan Sosial Ekonomi hadir sebagai karya evangelisasi untuk melihat kembali kebutuhan hidup manusia dengan semangat injil. PSE bukan hanya sebagai kegiatan bakti sosial namun menuntut adanya pengembangan diri yaitu nilai kemandirian yang mengabdi demi kebaikan bersama (Komisi PSE KWI, 1990:53). Untuk itu, Gereja membutuhkan keterlibatan dan tanggungjawab demi utuhnya hidup manusia di dunia. Oleh karena itu, judul skripsi

(19)

yang akan ditulis adalah “PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI TERHADAP EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA.”

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana sebaiknya diakonia dan PSE dipahami oleh Gereja?

2. Bagaimana peranan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) terhadap efektivitas

diakonia Gereja?

3. Bagaimana upaya untuk meningkatkan peranan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) demi efektivitas diakonia Gereja?

C.Tujuan Penulisan

1. Memperoleh pemahaman tentang diakonia dan PSE.

2. Mengetahui peranan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) sebagai karya kerasulan sosial ekonomi untuk efektivitas diakonia Gereja.

3. Mengetahui upaya untuk meningkatkan peranan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) demi efektivitas diakonia Gereja.

D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat teoretis

Dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang tugas pelayanan (diakonia) dan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE).

(20)

2. Manfaat praktis

a. Bagi pemimpin Paroki

Pemimpin Paroki dapat memahami dengan tepat mengenai diakonia dan PSE sebagai salah satu perwujudan diakonia sehingga pemimpin dapat mempertimbangkan dan mengupayakan kebijaksanaan terkait aktualisasi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) di tingkat Paroki.

b. Bagi Paroki

Umat Paroki memahami dengan tepat mengenai diakonia dan PSE sebagai salah satu perwujudan diakonia sehingga dapat ikut terlibat dalam aktualisasi PSE.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti dapat terbantu dengan adanya beberapa catatan dan keterbatasan penelitian yang telah dilakukan. Peneliti juga perlu melihat dan menemukan bidang pelayanan yang lain sebagai perwujudan diakonia. Untuk itu, penelitian selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih baik.

E. Metode Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode deskriptif; artinya, penulis mengemukakan, menyampaikan dan memberikan gambaran tentang tugas pelayanan (diakonia) Gereja dan Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) sebagai salah satu perwujudan diakonia. Berdasarkan judul skripsi, penulis juga akan memaparkan peranan PSE terhadap efektivitas diakonia Gereja. Skripsi ini

(21)

merupakan hasil studi pustaka untuk mengkaji pokok bahasan yang sudah penulis paparkan.

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini berjudul “Peranan Pengembangan Sosial Ekonomi terhadap Efektivitas Diakonia Gereja.” Untuk mencapai tujuan penulisan, skripsi ini terdiri dari lima (5) bab yang isinya sebagai berikut:

Bab I: merupakan pendahuluan yang terdiri dari latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II: merupakan pembahasan gambaran diakonia dan PSE.

Bab III: merupakan pembahasan mengenai peranan PSE sebagai karya kerasulan sosial ekonomi terhadap efektivitas diakonia Gereja.

Bab IV: merupakan program penyelenggaraan katekese sebagai upaya meningkatkan peranan PSE demi efektivitas diakonia Gereja.

Bab V: merupakan penutup yang terdiri dari simpulan dan saran. Dalam simpulan, penulis akan menyampaikan hal-hal pokok berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis akan memberikan saran untuk memanfaatkan hasil studi ini guna memahami diakonia,

PSE, mengetahui peranan PSE terhadap efektivitas diakonia Gereja, dan upaya meningkatkan peranan PSE demi efektivitas diakonia.

(22)

BAB II

DIAKONIA DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI

A. Tugas Pelayanan (Diakonia) 1. Pengertian Diakonia

Heuken (2004:60) mengatakan bahwa “diakonia atau dalam bahasa Yunani berarti pelayanan merupakan salah satu kegiatan pokok umat beriman bersama dengan liturgi dan martyria.” Melalui kegiatan ini Gereja melanjutkan

karya Yesus dengan menampakkan cinta kasih Kristus yang menjiwai mereka.

Diakonia bukan hanya melayani orang yang seiman, melainkan juga melayani semua orang.

Murphy dalam Marthaler (2003:718-719) mengatakan bahwa “diakonia

adalah pelayanan khusus bagi orang miskin, para janda, anak yatim, para peziarah, dan orang-orang asing yang diorganisir oleh Gereja secara sistematis. Kegiatan memberi sedekah dibarengi dengan kegiatan berdoa dan berpuasa telah menjadi tujuan utama kehidupan Kristiani.”

O’Meara dalam Madya Utama (2011:54) mendefinisikan pelayanan (ministry) sebagai “the public activity of a baptized follower of Jesus Christ flowing from the Spirit’s charism and an individual personality on behalf of a Christian community to witness to, serve and realize the Kingdom of God”. Tujuan dari karya

pelayanan itu adalah terwujudnya Kerajaan Allah yang membawa keselamatan bagi segenap umat manusia. Kerajaan Allah digambarkan sebagai Allah yang meraja dan membangun suasana yang penuh keadilan, perdamaian dan sukacita di dalam

(23)

bimbingan Roh Kudus. Kerajaan Allah diupayakan agar dapat terwujud dalam dunia ini dan sekarang ini.

For Christians, diakonia was a reality in which redemption that they preached could alread begin before death in this life, by transforming poverty, distress, sadness, and death through the power of love” (Brox, 1988:33). Peran diakonia sebagai perwujudan ajaran dan iman akan Kristus yang menebus dosa manusia sangatlah besar. Diakonia bukan hanya dikaitkan dengan kekuatan uang atau daya material, namun diakonia menjadi daya penebusan bagi kemiskinan, kesusahan, penderitaan, dan kematian.

Gereja menjalankan karya pelayanan ini di tingkat Paroki dan Keuskupan. Beberapa Paroki dan Keuskupan telah mengorganisasikan tugas pelayanan (diakonia) ke dalam bidang-bidang atau komisi tertentu. Misalnya dalam bidang kesehatan (poliklinik) atau bidang ekonomi dan sosial (dana papa, badan amal, rumah jompo, dan panti asuhan).

2. Diakonia menurut Kitab Suci

Menurut Supit (1988: 62-64) landasan alkitabiah dan teologis tentang

diakonia adalah sebagai berikut: Yesus diurapi untuk menyampaikan kabar baik, khususnya bagi orang miskin. Yesus juga diutus untuk memberitakan pembebasan dan melakukan penyembuhan (Luk. 4:18-19). Sekarang ini, tugas perutusan Yesus dilanjutkan oleh Gereja. Gereja menyampaikan kabar baik kepada kam Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir, dan Difabel (KLMTD) Kabar baik itu berupa pembebasan atau kemerdekaan dalam kehidupan. Aspek kehidupan bukan hanya

(24)

persoalan ekonomi dan sosial semata. Kemiskinan secara ekonomi akan mempengaruhi aspek lain seperti akses kesehatan, pendidikan, mobilitas sosial dan aspek kehidupan lainnya. Gereja secara khusus memberikan perhatian bagi mereka agar mendapatkan ‘keselamatan’ dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga setiap pribadi dapat menjadi manusia yang seutuhnya.

Tugas pelayanan Yesus yang kini disebut sebagai diakonia dipahami sebagai suatu hakikat dan kepastian iman kristen yang hidup (Mat. 25:36-46). Orang Kristen menjadi rekan kerja Kristus yang diutus untuk melanjutkan karya-Nya. Gereja (khususnya) mempunyai tugas untuk memberikan bantuan-bantuan yang telah terlebih dahulu diteladankan oleh Yesus. Bantuan untuk orang-orang yang telanjang, orang sakit, orang yang terpenjara, orang yang kelaparan dan kehausan, serta orang asing dikatakan sebagai bantuan yang selayaknya diberikan bagi-Nya. Untuk itu, diakonia Gereja memberikan perhatian bagi KLMTD tanpa mengesampingkan peran umat Kristen yang tidak masuk dalam kategori itu.

Diakonia adalah pelayanan yang benar-benar melayani (Mat. 20:28). Yesus menjadi manusia dan hidup bukan hanya untuk mengatasi penderitaan manusia namun bersama-sama manusia menghadapi penderitaan itu. Untuk menjauhkan manusia dari penderitaan dosa, Yesus menyerahkan diri-Nya dan setia hingga akhir dalam pelayanan-Nya untuk memberikan kebebasan dan keadilan.

Diakonia yang benar-benar melayani tidak menyebabkan munculnya rasa

merendahkan atau menguasai orang yang mereka layani. Mereka yang dilayani justru merasakan kehadiran dan pendampingan bagi mereka untuk membantu

(25)

pengembangan dirinya. Relasi yang terbangun adalah relasi saling mencintai, bukan semata pemberi dan penerima.

Dalam Perjanjian Lama, Nabi Yesaya (Yes. 53) mengatakan Mesias akan menderita untuk melepaskan dunia dari ketidakadilan; dan martabat manusia yang utuh sebagai konsekuensi panggilan. Yesus yang mati disalib merupakan contoh konsekuensi panggilan itu. Yesus merasakan ketidakadilan dalam masyarakat, dianggap sebagai penghujat Allah. Namun untuk itulah Ia dapat menjadi penegakan martabat manusia secara utuh. Kayu salib ini mempunyai pesan yang kuat bahwa

diakonia menuntut suatu pengorbanan yang mahal dan kemurnian jiwa. Kita harus siap menderita, dipenjarakan, disiksa, bahkan mati dalam perjuangan diakonia ini. Brox (1988: 33) mengatakan bahwa “if Christians were present where there was human need, as a community active helping, healing, and bringing about change, this had effect of a sermon without words –or instead of words (1Pet. 3:1f). Dalam surat rasul Petrus yang pertama, dikatakan bahwa diakonia adalah sebuah khotbah tanpa kata yang diwujudkan dengan secara aktif membantu, menyembuhkan, dan membawa perubahan. Sama seperti Gurunya, Petrus mengajak agar ajaran Yesus bukan hanya diajarkan atau diucapkan saja melainkan dilaksanakan.

3. Diakonia menurut Gaudium et Spes

Tugas pelayanan (diakonia) menjadi salah satu upaya Gereja untuk hadir bagi dunia. Gereja hadir untuk ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah pada setiap pribadi dan oleh karenanya dapat memperbaharui masyarakat. Gereja

(26)

menunjukkan keberpihakannya pada penyelamatan bagi orang miskin dan menderita (GS 1). Bukan hanya bagi orang Kristen yang miskin dan menderita, keselamatan juga diberikan kepada semua orang yang disebut sebagai keluarga manusia (GS 2). Keluarga manusia itu tidak hanya terbatas pada kesamaan agama, kesamaan bangsa, namun kesamaan sebagai insan manusia. Setiap manusia memiliki panggilan yang luhur untuk membangun persaudaraan dengan semua orang. Dengan persaudaraan itulah, Roh Penghibur berkarya dalam diri manusia untuk memberi kesaksian, menyelamatkan, dan melayani sesamanya (GS 3).

Diakonia bukan hanya perkara memberi bantuan secara material kepada orang miskin, tetapi memberi bantuan untuk menyelesaikan penderitaan manusia akibat permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Permasalahan itu sering timbul sebagian besar karena adanya ketegangan dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial (GS 25). Misalnya seperti bencana kelaparan, ketimpangan pendidikan, korupsi yang merugikan negara dan masyarakat, serta permasalahan lain. Maka Gereja hadir juga bukan hanya untuk membantu dalam bidang liturgi dan pewartaan Injil, namun juga dalam karya nyata cinta kasih untuk menolong sesama. Bila Gereja hanya melakukan perayaan liturgi dan pewartaan Injil tanpa memperhatikan kesengsaraan manusia, Gereja mengkhianati karya pelayanan Yesus bagi manusia (YOUCAT Foundation gemeinnützige GmbH, 2016: 41).

Umat Katolik berperan untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan. Bagi mereka yang benar-benar secara aktif melibatkan diri dalam perkembangan sosial ekonomi disebut berjasa dalam menciptakan kesejahteraan dan perdamaian dunia. Umat Katolik (baik secara pribadi maupun berkelompok) memberikan

(27)

teladan kehidupan yang diresapi Sabda Bahagia dan semangat kemiskinan. “Barang siapa patuh taat kepada Kristus, pertama-tama mencari Kerajaan Allah, akan menimba darinya cinta kasih yang lebih kuat dan lebih jernih, untuk membantu semua saudara-saudarinya, dan untuk berjiwakan cinta kasih melaksanakan karya keadilan” (GS 72).

4. Bentuk-bentuk Diakonia

Menurut Fackre (dalam Nugroho, 2015: 12-13) ada dua bentuk diakonia

Gereja, yaitu:

a. Diakonia Karitatif

Diakonia karitatif atau charity merupakan pelayanan cinta kasih dilakukan dengan merawat yang sakit, memberikan sembako harga murah, memberi uang kepada yang miskin, dan kegiatan kasih lainnya. Diakonia karitatif ini memberikan gambaran bahwa Gereja ada pada pihak mereka yang membutuhkan bantuan yaitu bagi mereka yang lemah dan miskin. Karya ini dilakukan agar hidup mereka menjadi lebih baik dan mengurangi penderitaan yang mereka alami.

Model diakonia ini disebut menjadi model tertua bagi pelayanan Gereja. Model ini masih bertahan sampai sekarang karena manfaatnya dirasakan secara langsung. Diakonia karitatif dianggap menjadi model yang tepat di saat situasi darurat seperti bencana alam.

b. Diakonia Pemberdayaan

Dalam model ini, Gereja berusaha mencari akar dari permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Bila akar permasalahan sosial-ekonomi sudah

(28)

ditemukan, Gereja akan melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan itu.

Diakonia pemberdayaan ini bukan hal yang mudah. Permasalahan yang biasanya

terjadi dalam masyarakat sudah mengakar dan mendarah daging sehingga sulit untuk diatasi. Bukan berarti Gereja menyerah pada usahanya meringankan penderitaan sesama. Melalui gerakan pemberdayaan, Gereja ikut ambil bagian dalam penderitaan manusia. Proses diakonia pemberdayaan cenderung memerlukan waktu yang lama namun dapat dirasakan manfaatnya dalam jangka waktu yang panjang.

5. Ciri-ciri Diakonia

Supit (1988: 55-59) mengatakan bahwa ada delapan ciri diakonia, yaitu: a. Hakiki

Diakonia bersifat mendasar bagi kehidupan dan kesejahteraan Gereja. Gereja menjadi pelayan, sama halnya dengan Kristus yang melayani sesama karena Gereja telah terlebih dahulu dipilih dan dikasihi Allah.

b. Mewujud dalam Gereja setempat

Gereja harus terbuka pada kebutuhan masyarakat di mana Gereja itu berada. Gereja bukan hanya melihat kebutuhan umat Katolik saja, namun juga kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini dilakukan agar wujud diakonia menjadi lebih nyata dan konkret.

(29)

c. Memerlukan bantuan bertaraf dunia

Beberapa Gereja menderita karena tersisih dan mengalami diskriminasi sehingga Gereja memiliki kesempatan yang terbatas untuk pelayanan. Selain itu, kebutuhan masyarakat dirasa membutuhkan bantuan secara lokal, nasional, maupun insternasional. Maka, diperlukan solidaritas internasional dengan Gereja di seluruh dunia.

d. Memerlukan langkah preventif atau pencegahan

Diakonia bukan hanya melihat kebutuhan dalam masyarakat. Diakonia

perlu melihat apa yang menjadi akar permasalahan atau penyebab munculnya kebutuhan itu. Analisis yang serius menjadi suatu kekuatan yang akan membuat

diakonia mejadi lebih peka, mendidik dan mengarahkan masyarakat melawan sistem yang membuat hidup manusia tidak bermartabat. Bila akar permasalahan telah ditemukan, maka akan muncul langkah pencegahan yang dapat dilakukan Gereja dalam rangka karya pelayanan itu.

e. Berhubungan dengan dimensi struktural dan politik

Dimensi struktural dan politik bangsa dan negara dapat menjadi sumber kesengsaraan, perbudakan, dan penderitaan bagi manusia. Gereja perlu menyadari bahwa ada beberapa Gereja yang dapat berperan dengan melampaui batas nasional untuk menunjukkan solidaritasnya.

f. Bersifat kemanusiaan

Diakonia tidak terbatas pada Gereja saja melainkan pada semua manusia. Kita harus mengakui bahwa Allah bekerja di tengah dunia. Ia bekerja melalui

(30)

kekuatan manusia. Manusia yang bekerja secara perseorangan, berkelompok, dan tentunya melalui Gereja yang penuh dedikasi untuk mencapai masyarakat yang adil dan utuh. Maka diakonia harus ditujukan untuk semua orang atau bagi seluruh keluarga manusia. Tentunya Gereja perlu membangun hubungan dengan pemerintah. Akan ada suatu kemungkinan bahwa Gereja mendapatkan batasan pada pelayanannya, namun hal ini justru dipercaya akan menjadi kesempatan yang lebih luas bagi kerjasama dengan pihak lain.

g. Bersifat saling

Diakonia bersifat saling, maksudnya adalah saling memberi dan saling menolong. Gereja tidak boleh beranggapan bahwa diakonia merupakan hubungan pemberi dan penerima atau si kaya menolong si miskin. Orang Kristen merupakan penerima rahmat Tuhan. Pandangan inilah yang dipakai sebagai motivasi untuk melayani sesama sebagai sikap saling memberi dan menerima karena rahmat Allah itu. Dalam diakonia, kekuasaan dan kekayaan seseorang akan lebur untuk menjadi satu dengan sesama yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Diakonia

menekankan pengorbanan diri dan penyadaran diri untuk bersikap saling menolong. h. Bersifat membebaskan

Gereja harus berpartisipasi dan menjadikan masyarakat memiliki kedudukan yang sederajat. Dengan begitu, Gereja dapat membantu mereka yang tertindas. Melalui diakonia, manusia menjadi semakin manusiawi. Manusia menjadi lebih bermartabat dan mempunyai kesempatan untuk berkembang. Hal inilah yang diupayakan oleh diakonia. Gereja, lembaga antaragama, dan organisasi masyarakat harus memberikan ruang bebas bagi manusia agar dapat melibatkan diri

(31)

secara aktif untuk menentukan hidup dan bekerjasama dalam usaha-usaha meningkatkan kesejahteraan umum.

6. Tujuan Diakonia

Tugas pelayanan atau diakonia bertujuan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Kerajaan Allah adalah suasana saat Allah meraja. Bila Allah meraja, kita akan melakukan hal-hal baik bagi banyak orang. Dengan hal-hal baik itulah kita menciptakan suasana yang bahagia, penuh perdamaian, adanya keadilan dan kesejahteraan bagi keluarga manusia.

Yesus telah memulai karya pewartaan Kerajaan Allah dengan perbuatan, perkataan, dan seluruh hidup-Nya. Ia menyembuhkan banyak orang yang dapat dilihat sebagai suatu tanda datangnya Kerajaan Allah. Yesus telah membebaskan manusia dari belenggu dosa, penderitaan, dan kematian. Yesus juga menggugat struktur masyarakat dan agama yang membawa penindasan bagi manusia. Untuk itu, Gereja bertugas untuk melanjutkan karya penyelamatan itu: dengan hadir secara eksplisit melalui perbuatan dan perkataan di tengah dunia. Gereja berkomitmen untuk setia pada pelayanan keadilan dan perdamaian demi Kerajaan Allah.

Terwujudnya Kerajaan Allah ditandai dengan adanya suasana sharing and loving community. Gereja yang mempunyai panggilan untuk berbagi dan membantu KLMTD diharapkan mempunyai relasi cinta. Mereka bukan membangun relasi pemberi dan penerima, namun relasi sesama yang penuh solidaritas sebagai sebuah komunitas.

(32)

B. Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) 1. Pengertian PSE sebagai suatu komisi/bidang

Komisi PSE pada awalnya disebut dengan Pansos atau Panitia Sosial. Kemudian para uskup membentuk Komisi PSE tersebut untuk membantu karya PSE dalam tingkat Keuskupan, Kevikepan, dan Paroki. Mekanisme kerja atau pelayanan komisi ini bersumber dari rencana pastoral Gereja. Perlu dilihat kembali bahkan jika perlu diuji, untuk menemukan jawaban apakah karya tersebut membantu Gereja dalam membangun tugas pelayanan demi kesejahteraan hidup manusia secara utuh dan layak.

Turang (2008: 18) mengatakan bahwa

mekanisme kerja PSE hendaknya menumbuhkan kesatuan dan persatuan dalam seluruh persekutuan hidup Kristiani, agar kehadirannya membuahkan keadilan, kesejahteraan, dan persaudaraan. Sedangkan struktur pelayanan hendaknya bercorak sederhana, jelas, cepat, luwes, dan aman. Corak bersaudara kerasulan PSE menggerakkan umat untuk mengambil peran aktif dalam kebersamaan.

Dalam konteks Parokial, Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) merupakan suatu bidang dalam susunan kepengurusan Dewan Paroki untuk menanggapi karya kerasulan sosial. Tim ini menangani perencanaan, pelaksanaan, dan koordinasi kegiatan dalam upaya mengembangkan aspek sosial ekonomi umat dan masyarakat. Dalam perkembangannya, PSE dapat juga disebut sebagai gerakan pastoral yang diharapkan dapat menanggapi kebutuhan sosial ekonomi umat melalui karya-karya dengan prinsip hidup Kristiani. PSE mempunyai prioritas untuk memberdayakan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel (KLMTD) agar dapat mencapai kesejahteraan hidupnya (Konferensi Waligereja Indonesia, 2008: 21).

(33)

PSE atau Pengembangan Sosial Ekonomi bermakna sebagai berikut (Konferensi Waligereja Indonesia, 2008: 32):

a. Pengembangan berarti mengusahakan adanya usaha pembangunan bagi pribadi manusia yang beriman dan bermutu.

b. Sosial berarti konsekuensi sifat dasar manusia yang hidup bersama dengan orang lain sehingga dunia harus dikelola bersama dengan sikap setia-kawan. c. Ekonomi berarti kemampuan manusia untuk menghayati dan menjiwai dispilin

Kristiani dan menerapkan semangat Injili dalam tata kesejahteraan ekonomi. Untuk itu, PSE mengandung makna sebagai suatu usaha manusia dalam mengelola tata dunia ini haruslah memberikan kemungkinan bagi setiap orang mengalami suatu kehidupan yang layak dalam semangat kebersamaan yang saling menguntungkan, saling melengkapi, saling membantu, dan saling menghormati.

Dalam karya PSE, Gereja diminta untuk siap menyelenggarakan pendidikan pembangunan. Pendidikan pembangunan maksudnya adalah bahwa agar umat dibina dalam semangat untuk rela berbagi harta milik dengan begitu bisa berperan dalam menyumbang bagi kesejateraan umat manusia. Dunia masa ini yang menuntut pembangunan untuk memerangi kemiskinan harus dilakukan terus menerus dan sepanjang masa.

2. Ajaran Sosial Gereja sebagai Sumber Inspirasi PSE

Gereja menyadari pentingnya berkarya nyata bagi dunia. PSE menjadi salah satu bentuk perwujudan komitmen Gereja. PSE muncul dari panggilan untuk memperjuangkan nilai keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan bagi keluarga

(34)

manusia. PSE juga diharapkan dapat membantu Gereja menghadapi permasalahan-permasalan sosial di dunia. Gereja membaca permasalahan sosial yang terjadi dalam ajaran sosial Gereja, mulai dari Rerum Novarum sampai dengan Deus Caritas Est (Komisi PSE KWI, 2008: 3).

Komisi PSE KWI (2008: 11) mengatakan bahwa Ajaran Sosial Gereja membantu Gereja untuk memberikan kesadaran dan kepedulian bagi kondisi kerja yang menyedihkan melalui pembagian gaji yang tidak adil (Rerum Novarum). Kondisi yang menyedihkan ini didorong oleh pribadi-pribadi manusia yang menginjak hak sesamanya. Maka Gereja mengajak perubahan pembangunan diawali dengan perubahan pribadi. Perubahan pribadi yang bersemangat Kristiani dan nilai Injili. Masing-masing pribadi juga perlu peduli terhadap keadilan sosial, dari situlah permasalahan dan perselisihan dapat terselesaikan (Quadragesimo Anno). Dalam Mater et Magistra, digambarkan permasalahan pada berbagai aspek kehidupan modern karena industrialisasi; maka Gereja diharapkan membantu mengarahkan jalan dalam kehidupan modern ini. Gereja juga perlu menegaskan kembali bahwa masing-masing pribadi bertanggungjawab untuk berkembang dan bergerak maju guna membangun dunia dan demi terwujudnya Kerajaan Allah di tengah kegiatan duniawi.

Pacem in Teris menegaskan peran orang Katolik dalam kesejahteraan masyarakat. Orang Katolik tidak boleh hanya diam melihat permasalahan ketidakadilan, perpecahan, kemiskinan serta masalah lainnya. Orang Katolik perlu menjadi aktif dalam kehidupan masyarakat dan pencapaian kesejahteraan umum (Komisi PSE KWI, 2008: 26).

(35)

Menurut Komisi PSE KWI (2008: 31) Gereja berperan untuk menawarkan bantuan bagi pribadi, kegiatan manusia, dan masyarakat. Bantuan itu berupa tanggapan atas apa yang menjadi kebutuhan atau permintaan dunia. Kebutuhan akan perlindungan martabat manusia, kebutuhan tercapainya kesatuan, dan kebutuhan lainnya. Untuk itu Gereja juga siap menerima bantuan, agar nilai dan semangat Injili terwujud dalam dunia (Gaudium et Spes). Bantuan itu juga dapat diberikan berupa upaya membangun solidaritas dengan saling berbagi kekayaan. Gereja mengajak dunia untuk berbagi dengan dilandasi persaudaraan yang sejati sebagai satu keluarga manusia. Umat Kristiani didorong untuk memperluas dan mengembangkan upaya kerja sama demi mengatasi kesulitan bangsa-bangsa (Populorum Progressio).

Berdasarkan permasalahan sosial ekonomi yang ada dan himbauan melalui ajaran sosial Gereja, PSE semakin berkembang untuk memberikan kesadaran bagi Gereja. Gereja perlu menyadari bahwa memperjuangkan keadilan, kemerdekaan, dan kedamaian bagi dunia merupakan karya pelayanan yang sejati (Komisi PSE KWI, 2008:3). Melalui PSE diharapkan karya keselamatan Allah nampak nyata. PSE juga diharapkan dapat memberikan semangat baru kepada (khususnya) fungsionaris PSE, umat Katolik, dan masyarakat guna bertumbuh dalam sikap serta tindakan saling melayani sebagai tanda solidaritas keluarga manusia.

3. Prinsip Keterlibatan Sosial Gereja

Sebagai bagian dari keluarga manusia, Gereja mempunyai tugas dan tanggungjawab terhadap hidup sesamanya. Sebagai anak Allah, Gereja mempunyai

(36)

tugas untuk menaati hukum cinta kasih kepada Allah dan sesama. Gereja ikut ambil bagian dalam kehidupan sosial dengan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Martabat Manusia

Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar-Nya. Gereja memandang manusia, dalam setiap pribadinya merupakan citra Allah yang hidup. Pribadi itu ditentukan sebagai sasaran sekaligus pelaku kehidupan sosial. Memperjuangkan martabat manusia menjadi tujuan akhir kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam GS 26 dituliskan bahwa “tatanan masyarakat serta kemajuannya harus tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi manusia, sebab penataan hal-hal harus dibawahkan pada tingkatan pribadi-pribadi, dan jangan sebaliknya.” Maka, kesejahteraan pribadi itu dapat diupayakan dengan memandang setiap manusia sebagai sesamanya, tidak ada pengecualian terhadap golongan-golongan lain untuk mengupayakan kelayakan hidup setiap orang (KGK 2235).

Landasan kesetaraan martabat manusia tercantum dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes artikel 29 bahwa “Karena kemuliaan Allah bersinar

pada wajah setiap orang maka martabat setiap orang di hadapan Allah merupakan dasar martabat manusia di depan sesamanya.” Karenanya, kita tidak membedakan serta memberi pengecualian kepada orang. Allah nampak dalam diri setiap orang. Untuk itu, setiap orang memang mempunyai tugas untuk menghormati satu sama lain karena pada hakikatnya mereka setara.

b. Kesejahteraan Umum

Menurut Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2009: 112) kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang

(37)

memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.” Maka, kesejahteraan yang dimaksud bukan hanya merujuk pada kondisi pribadi saja. Justru masing-masing pribadi tidak akan merasakan kesejahteraannya dalam dirinya sendiri. Kesejahteraan yang dirasakan merujuk pada kenyataan bahwa ia ada “bersama yang lain” dan “untuk yang lain.”

Kesejahteraan umum dikaitkan dengan prinsip keutuhan martabat manusia dan pandangan bahwa setiap manusia mempunyai derajat yang sama. Kesejahteraan yang dibangun bukan karena satu pribadi atau kelompok saja, melainkan “dibangun bersama yang lain.” Selanjutnya kesejahteraan itu juga tidak dinikmati oleh satu pribadi atau kelompok saja, melainkan “untuk yang lain.”

Maka dari itu, kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab bersama. Setiap orang dapat berperan dalam membangun kesejahteraan umum. Kelompok dengan tatanan tinggi sampai pada kelompok dengan tatanan rendah atau masing-masing pribadi dapat ikut serta. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memperjuangkan keadilan sosial. Pandangan ini didukung oleh ajaran Paus Pius XI (Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, 2009: 133) yang mengatakan bahwa

“Pemerataan harta benda tercipta yang seperti tiap orang bernalar tahu, dewasa ini mengalami situasi buruk sekali akibat perbedaan yang amat besar antara kelompok kecil yang kaya raya dan mereka yang serba tak empunya dan tak terbilang jumlahnya, harus dikembalikan kepada kesesuaian dengan norma-norma kesejateraan umum, yakni keadilan sosial.”

(38)

c. Subsidiaritas

Menurut Kompendium Katekismus Gereja Katolik (KWI, 2009: 137) “prinsip subsidiaritas menyatakan bahwa komunitas pada tatanan yang lebih tinggi tidak boleh mengambil alih tugas komunitas pada tatanan yang lebih rendah dan mengambil otoritasnya. Namun jika ada kebutuhan, komunitas yang tatanannya lebih tinggi wajib mendukungnya.”

Menurut Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2009: 126) asal usul prinsip ini adalah adanya prinsip keutuhan martabat manusia. Manusia merupakan makhluk yang bebas untuk menentukan masa depannya. Kebebasan pribadi manusia juga membantu prinsip kesejahteraan umum berjalan. Untuk mencapai kesejateraan umum itu, kelompok tatanan tinggi menerapkan perilaku menolong atau subsidium. Subsidium berarti mendukung, memajukan, dan mengembangkan kelompok tatanan yang lebih rendah.

Bantuan diberikan hanya bila kelompok itu tidak dapat menyelesaikan permasalahan atau bebannya. Dalam prinsip ini, kelompok tatanan tinggi justru memberikan kesempatan kepada kelompok tatanan rendah untuk mengatasi sendiri masalah mereka. Inilah yang akan membantu perkembangan pribadi maupun komunitas. Komunitas yang tatanannya lebih rendah, dengan berani dan mencoba mengatasi permasalahan yang terjadi, justru akan meningkatkan daya juang. Apabila kelompok kecil belum mampu mengatasi masalah, kelompok besar bertanggungjawab untuk membantu penyelesaian masalah.

(39)

d. Solidaritas

Menurut Mulyatno (2015: 125) solidaritas mencakup keyakinan bahwa setiap pribadi membutuhkan sesama dan setiap pribadi bertanggung jawab terhadap perkembangan diri dan hidup sesama. Sedangkan menurut Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, solidaritas adalah tekad untuk tetap dan kontinu berkarya demi kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan bagi semua dan setiap orang, karena kita bertanggungjawab atas semuanya (Koerniatmanto Soetoprawiro, 2003: 142). Solidaritas Kristiani sangat dibutuhkan dalam masyarakat dengan kesenjangan ekonomi yang tajam. Solidaritas dapat diwujudkan dengan membela dan memberikan bantuan kepada kaum KLMTD akibat ketidakadilan pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan menjadi bentuk nyata solidaritas itu. Karya pendidikan dan pendampingan bagi KLMTD juga sungguh penting dengan tujuan pemenuhan hak asasi manusia dan martabat hidup manusia.

Selain itu menurut YOUCAT Foundation gemeinnützige GmbH (2016: 102) solidaritas juga dimaksudkan sebagai usaha untuk menjadi rekan bicara, tumbuh dengan memahami ide-ide, argumen, kebutuhan, dan keinginan orang lain, serta untuk dapat mengembangkan kepribadian seutuhnya. Dengan begitu, solidaritas bukan semata memenuhi kebutuhan sesama dengan memberikan bantuan material. Bantuan moril berupa pendampingan dan menjadi rekan atau komunitas dapat menjadi suatu bentuk solidaritas yang konkret bagi sesama.

(40)

Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium artikel 192 menegaskan bahwa

kita bahkan menginginkan lebih daripada ini: impian kita membumbung lebih tinggi. Kita tidak hanya berbicara tentang kepastian adanya makanan atau “nafkah yang bermartabat” bagi semua orang, tetapi juga “agar semua mencapai kesejahteraan dalam aneka aspeknya”159 Hal ini berarti pendidikan, akses pelayanan kesehatan, dan terutama pekerjaan, karena melalui kerja yang bebas, kreatif, dan partisipatif dan saling mendukunglah manusia dapat mengungkapkan dan meningkatkan martabat hidup mereka. Upah yang adil memampukan mereka memiliki akses yang memadai kepada semua hal-hal baik lain yang ditujukan untuk pemakaian kita bersama.

Solidaritas berarti upaya agar setiap orang mendapatkan makanan yang bermartabat dan terpenuhinya kebutuhan hidup manusia. Paus Fransiskus mengatakan bahwa solidaritas juga memastikan bahwa semua orang mempunyai akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, dan mendapatkan pekerjaan yang membawa pembebasan, kreativitas, serts kerja sama. Pekerjaan yang mereka peroleh harus memberikan mereka upah yang adil; pekerja bisa membiayai hidup sendiri, hidup keluarganya, dan menyumbang dalam membangun kesejahteraan umum.

4. Tujuan PSE: Terwujudnya Kesejahteraan Umum

Tujuan digerakkannya karya pastoral dalam bidang Pengembangan Sosial Ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat/masyarakat. Kesejahteraan itu bukan hanya mengarah kepada kesejahteraan secara pribadi melainkan kesejahteraan umum. Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik Master et Magistra (seperti dikutip dalam GS 26) mengatakan bahwa

(41)

kesejahteraan umum adalah keseluruhan kondisi-kondisi hidup masyarakat, yang memungkinkan baik kelompok ataupun perseorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai keseluruhan kesempurnaan mereka. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan serta aspirasi kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan segenap keluarga manusia.

Tentunya setiap pribadi bertujuan untuk mencapai kesejahteraan. PSE menjadikan kesejahteraan umum sebagai tujuan bersama. Menurut YOUCAT Foundation gemeinnützige GmbH (2016: 94), kesejahteraan umum mengacu pada kesejahteraan setiap manusia dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa “kesejahteraan umum adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.”

Kesejahteraan umum itu dapat terwujud saat setiap pribadi manusia bukan hanya memikirkan kesejahteraan dan kebutuhan diri sendiri, tetapi lebih-lebih kesejahteraan bagi mereka yang KLMTD. Gereja yang memberi perhatian bagi orang miskin bukan berarti memberi batasan kepada orang yang kaya. Justru dalam PSE, keterlibatan orang yang mampu membantu orang lain dipandang sebagai suatu jalan rahmat kasih Allah. Dalam Kis. 2:41-47, cara hidup jemaat Perdana yang menjadikan ‘kepunyaan kita adalah kepunyaan bersama’ menjadi suatu jalan agar tercipta kesejahteraan umum.

(42)

5. Prinsip Moral dalam Kerasulan Ekonomi

Gereja ikut ambil bagian dalam upaya pembangunan ekonomi bangsa. Dalam Gereja, upaya itu disebut sebagai kerasulan ekonomi. Kerasulan ekonomi adalah segala usaha perbaikan situasi kehidupan ekonomi berdasarkan iman Katolik, dasarnya Kitab Suci, dan Ajaran Sosial Gereja. Dengan upaya itu, diharapkan Gereja dapat ikut terlibat dalam membangun kesejahteraan pribadi dan bersama secara adil dan merata. Menurut Darmaatmaja (2018: 9-10) untuk ikut terlibat dalam kerasulan ekonomi, ada enam prinsip moral yang harus diperhatikan. a. Permasalahan mengenai martabat pribadi manusia

Kebijaksanaan yang dirumuskan oleh pemerintah dan lembaga hukum harus melindungi martabat pribadi manusia. Setiap manusia dipercaya sebagai citra Allah yang mempunyai martabat tinggi. Meskipun pada kenyataannya, masyarakat lebih memandang manusia berdasar apa yang ia miliki (having) seperti kedudukan, jabatan, atau harta kekayaan dibandingkan dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia (being).

b. Masyarakat sebagai komunitas

Gereja harus menyadari bahwa martabat manusia tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas. Di dalam komunitas itulah, mereka memiliki kesempatan untuk mengetahui dan mengembangkan bakat. Sama halnya seperti kerasulan ekonomi yang memberikan kesempatan kepada para anggota komunitasnya untuk dapat berkembang dalam kebersamaan.

(43)

c. Setiap orang mempunyai hak untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi

Dengan bekerja seseorang mendapatkan upah untuk menjalani hidupnya menuju kesejahteraan. Setiap orang mempunyai hak untuk berpartisipasi. Mereka mempunyai hak untuk bekerja. Pemerintah yang harus menjamin adanya lapangan pekerjaan itu.

d. Anggota masyarakat berkewajiban khusus membantu warga yang miskin Selain memenuhi kebutuhan hidupnya dan membangun kesejahteraan pribadi, setiap anggota masyarakat berkewajiban untuk membantu yang miskin. Gereja sudah memperjuangkan mereka yang miskin dengan semangat prefential option of the poor atau mendahulukan kepentingan mereka yang miskin.

e. Memperhatikan hak asasi manusia

Manusia perlu memperhatikan satu sama lain sebagai “saudara”: saudara satu Bapa yaitu Allah di surga. Manusia justru sering melupakan hal itu, sehingga justru memangsa satu sama lain. Muncullah hak asasi berupa hak sipil, hak politik, dan hak ekonomi. Hak ini dirumuskan untuk melindungi martabat manusia sebagai ciptaan Allah dengan bakat yang menjadi berkat bagi sesama.

f. Masyarakat bertanggung jawab atas perkembangan diri dan perlindungan HAM

Meski hak asasi manusia telah dirumuskan, masih saja terdapat kasus pelanggaran HAM. Peran masyarakat dibantu pemerintah/negara adalah menjamin

(44)

terpenuhinya hak dasar itu. Selain pemerintah, Gereja ikut memperjuangkan hak asasi manusia sesuai dengan perintah Allah.

6. Visi Dasar dan Spiritualitas PSE

Menurut Garis-Garis Besar Pedoman PSE (Komisi PSE KWI, 1990:4), PSE memiliki Visi Dasar dan Spiritualitas sebagai berikut:

a. Visi Dasar

Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah. Tugas itu awalnya diberikan kepada Yesus dan dilanjutkan oleh Gereja (persekutuan umat Allah). Maka untuk itu, Gereja membutuhkan keterlibatan dan tanggung jawab demi utuhnya hidup manusia di dunia.

b. Spiritualitas PSE

Khususnya bagi mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, Yesus berharap bahwa perwujudan Kerajaan Allah bukan hanya melalui doa melainkan juga melalui karya pelayanan nyata. PSE hadir sebagai karya evangelisasi untuk melihat kembali kebutuhan hidup manusia dengan semangat injil. PSE menuntut adanya pengembangan diri yaitu kemandirian yang mengabdi demi kebaikan bersama.

7. Aktualisasi PSE

Karya kerasulan PSE diaktualisasikan sesuai dengan potensi atau situasi dalam masyarakat. Menurut Komisi PSE KWI (1990: 17) beberapa contoh aktualisasi PSE adalah sebagai berikut:

(45)

a. Bekerja sama dengan pemerintah melalui usaha keluarga/industri rumah tangga (IRT)

b. Credit Union (CU) yang bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya serta bertujuan untuk membangun kesejahteraan anggota.

c. Beberapa alternatif dalam PSE bagi masyarakat pedesaan yaitu: 1) Menggerakkan usaha tani;

2) Pelatihan usaha tani agar mampu bersaing;

3) Kelompok tani mengembangkan usaha dalam industri rumahan meski skala kecil;

4) Memberi informasi ketrampilan tepat guna; 5) Kerajinan keluarga mengelola hasil tani;

6) Petani mental wiraswasta dengan adanya koperasi, perkreditan;

7) Memantapkan peran wanita sehingga potensi lingkungan dapat berkembang dengan menanam apotek hidup;

8) Usaha kooperatif dengan kelompok tani; d. Koperasi

e. Peningkatan ketrampilan sesuai dengan sumber daya yang ada f.BPR (Bank Pengkreditan Rakyat) yang menyediakan modal usaha g. Pengembangan wirausaha

1) Usaha yang menciptakan lapangan kerja dengan pelatihan wiraswasta;

2) Mengembangkan tenaga pendamping terampil yang mampu mendampingi masyarakat yang berminat dalam berwiraswasta;

(46)

3) Menggerakkan masyarakat untuk bekerja sama lewat bantuan modal skala kecil, misalnya kebun bersama atau ternak bersama

h. Pengembangan masyarakat nelayan

1) Memberikan perhatian kepada kelompok nelayan tentang apa yang dibutuhkan dan apa solusi bersama yang perlu dikerjakan;

2) Usaha pengembangan fasilitas khususnya pemasaran/marketing bagi nelayan; 3) Memberikan pendidikan non formal untuk meningkatkan martabat.

i. Penumbuhan pola pembangunan tepat guna.

j.Mempelajari dan mengkaji situasi masyarakat dan mengembangkan pola pembangunan yang tepat.

k.Pembangunan yang tepat guna untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. l. Pengembangan lingkungan hidup.

1) Pembangunan berpaut erat dengan dukungan daya alam, maka pembangunan juga harus diimbangi dengan pemeliharaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Pembangunan kesejahteraan rakyat harus berwawasan lingkungan hidup.

2) Usaha PSE juga menaruh penghormatan terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan. Lingkungan hidup berperan sebagai penyokong kehidupan. Misalnya pertanian, perikanan, dan perkebunan tidak akan dilanjutkan bila justru merugikan lingkungan hidup manusia sendiri

3) PSE mendorong pengembangan usaha tani, usaha keluarga, kerajinan tanpa memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup

(47)

m. Pengembangan ekonomi keluarga dengan tabungan keluarga sebagai metode pengaturan ekonomi rumah tangga sehat.

n. Katekese bercorak sosial ekonomi.

o. Memberikan motivasi sosial ekonomi bagi keluarga pedesaan dengan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

p. Pengembangan sosial budaya masyarakat.

8. Karya PSE sebagai Gerakan Pemberdayaan

Permasalahan sosial ekonomi dalam wilayah Asia adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan suatu keprihatinan yang mendalam bagi masyarakat dunia. Begitu pula dengan penduduk benua Asia yang mayoritas miskin. Dalam Gereja, ensiklik-ensiklik Paus menunjukkan perhatian besar kepada kaum miskin dengan semangat prefentialoption for the poor. Kepada kaum miskin, Gereja memberikan perhatian kepada orang-orang dengan masalah pengangguran, kelaparan, bertambahnya gelandangan, dan juga pada masalah sosial ekonomi lainnya.

Gereja Keuskupan Agung Semarang menghidupkan kembali jati dirinya sebagai Gereja Papa Miskin. Pengartian Gereja Papa Miskin dinilai sebagai Gereja yang memiliki kaum papa miskin dan juga dekat dengan kaum papa miskin. Dengan kedekatannya dengan kaum papa miskin, diharapkan Gereja dapat menghidupi semangat kemiskinannya. Gereja menyatakan partisipasi aktif berupa tindakan nyata bagi mereka. Bukan hanya sebatas simpati (peduli) dan empati (ikut merasakan) namun juga melakukan aksi (berbuat/bertindak sesuatu).

(48)

Pujasumarta dalam Dewan Karya Pastoral KAS (2015: 21) menegaskan bahwa “perwujudan Gereja Papa Miskin bisa dikembangkan melalui tiga pintu utama, yaitu hidup sejahtera, hidup bermartabat, dan hidup beriman”. Mengusahakan hidup sejahtera bagi masyarakat sudah diwujudkan dengan pembentukan Delsos atau Delegatus Sosial yang sekarang ini disebut sebagai komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE).

PSE sebagai suatu perwujudan karya Gereja Papa Miskin menujukkan wajah dan tanggung jawab sosialnya di tengah keluarga manusia. PSE bekerja sama dengan lembaga layanan sosial bergerak dan berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan. Pelayanan itu bukan hanya untuk “memberi pelayanan/kebutuhan” KLMTD saja, namun juga mengajak mereka untuk berkembang secara mandiri sehingga dapat berdaya ubah demi hidup yang sejahtera.

Untuk mencapai hidup sejahtera itu, gerakan-gerakan yang dikembangkan antara lain: gerakan karitatif, gerakan pemberdayaan, dan pendampingan kemandirian ekonomi. PSE sendiri merupakan suatu gerakan pemberdayaan. Menurut Dewan Karya Pastoral KAS (2015: 24)“gerakan pemberdayaan adalah gerakan kasih yang mendorong seseorang menjadi lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas yang mempengaruhi kualitas hidup mereka.” Setiap orang diyakini mempunyai martabat yang baik, maka setiap orang dapat berkembang untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. PSE sebagai suatu gerakan pemberdayaan, membantu umat untuk menyadari kemampuan diri sehingga terdorong untuk berkembang dan berubah. Perubahan yang terjadi dalam proses pemberdayaan ini

(49)

bukan hanya sekedar perubahan secara materi atau finansial. Bukan berarti PSE membantu orang untuk menjadi kaya. PSE membantu setiap pribadi mengalami perubahan finansial, mental, dan spiritual:

a. Perubahan finansial atau materi diartikan sebagai kemandirian seseorang untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga mereka tidak lagi bergantung pada pihak-pihak sebagai pemberi. PSE memberikan pemberdayaan kewirausahaan misalnya dengan pelatihan ketrampilan (memasak, berkreasi, otomotif), pemasaran produk, dan penggunaan teknologi.

b. Perubahan mental diartikan sebagai perubahan mentalitas baru. Mentalitas yangpesimis menjadi lebih optimis, mentalitas kecurangan menjadi kejujuran. PSE juga menekankan pada mentalitas solidaritas yang akan membantu dalam partisipasi pemberdayaan bagi sesama.

c. Perubahan spiritual diartikan sebagai proses umat semakin mendalami iman mereka. PSE membantu Gereja menyadari kehadiran Allah melalui para papa miskin. Gereja menjadi tanda dan sarana keselamatan bagi orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam gerakan pemberdayaan ini.

Gerakan pemberdayaan yang dilakukan juga harus menjadi bagian dari

diakonia yang bertanggungjawab. Bila pemberdayaan telah dilakukan, komitmen terhadap pengharapan akan adanya perubahan harus dijalankan. Diakonia harus bertanggungjawab untuk mengembangkan pengharapan Gereja dan masyarakat. Menurut Widyaatmaja (2009: 42)

diakonia yang bertanggungjawab adalah diakonia yang menjadikan kita rela menderita demi pengharapan akan keadilan sosial itu. Bila dalam situasi berkelimpahan kita melakukan diakonia dan tetap berkomitmen dalam pelayanan terhadap orang miskin, maka aksi semacam itu

(50)

merupakan sesuatu yang biasa dan wajar. Kini saatnya bagi Gereja di seluruh dunia untuk menghadapi tantangan, apakah di dalam kekurangan dan penderitaannya, ia bersedia menyatakan solidartas terhadap orang miskin? Apakah Gereja bersedia berkorban untuk pembaharuan tata-ekonomi sosial politik seantero dunia dalam rangka mewujudkan masyarakat partisipatif yang adil sejahtera dan berkesinambungan? PSE menjadi bentuk komitmen Gereja untuk hadir bagi manusia. PSE sebagai gerakan pemberdayaan menuntut kesetiaan untuk terus mendampingi umat dan masyarakat menuju perubahan. PSE tidak bisa hanya dilakukan selama satu dua hari atau dalam jangka waktu yang singkat. PSE dilakukan dalam jangka waktu yang panjang dan keberlanjutan.

(51)

BAB III

PERANAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI (PSE) TERHADAP EFEKTIVITAS DIAKONIA GEREJA

A. Pewartaan Gereja: Terwujudnya Kerajaan Allah 1. Yesus, diakonia, dan Kerajaan Allah

Diakonia merupakan salah satu cara Gereja untuk mewujudkan hadirnya Kerajaan Allah di dunia. Menurut Abdipranata (1993: 225) Kerajaan Allah adalah saat-saat di mana Allah hidup dengan karya-Nya yang bersarikan kasih menyelamatkan, meraja, berkuasa, dan ‘merambah rasuk’. Allah dipercaya sebagai satu-satunya sumber keselamatan umat manusia. Keselamatan dari-Nya menganugerahkan kesejahteraan dalam hidup konkret manusia. Kesejahteraan itu tidak secara langsung dirasakan secara fisik. Perubahan juga terjadi pada sikap batin (tergantung pada peran Roh Kudus, keterbukaan, dan kemampuan) yang akan mengatasi dan memperbaharui fisiknya. Perubahan yang terjadi dalam diakonia

Gereja diharapkan dapat terjadi (bukan hanya pada setiap pribadi tetapi juga) pada seluruh keluarga manusia.

Kerajaan Allah diwartakan Yesus pada zaman kekuasaan Romawi yang memberikan penindasan. Penindasan itu berakibat kelaparan, kemiskinan, bahkan kematian bagi bangsa Yahudi. Bahkan dalam masyarakat terjadi sistem yang terkotak-kotak yaitu kaum kaya dan miskin. Allah tidak menghendaki hal itu terjadi. Dalam pewartaan Yesus itulah muncul suatu harapan akan adanya “Israel

(52)

baru.” Israel baru maksudnya adalah terbangunnya suatu masyarakat yang hidup penuh dengan kesejahteraan dan persaudaraan (Putranta, 2012: 7). Maka Yesus diharapkan dapat menjadi teladan untuk melakukan keterlibatan sosial, maksudnya bukan hanya sekedar hidup di tengah masyarakat namun juga secara aktif memperjuangkan nilai-nilai pembebasan dan keadilan.

Yesus dipandang sebagai utusan Allah yang memulihkan keadilan dan memihak kaum KLMTD. Kaum KLMTD menjadi pusat perhatian pewartaan Yesus. Kabar keselamatan akan kedatangan Kerajaan Allah itu sungguh diwartakan bagi mereka. Pewartaan Yesus sungguh tampak pada sikap dan cara hidup-Nya. Yesus lahir, hidup, dan wafat dalam kemiskinan. Ia sendiri menghayati kemiskinan akibat sistem dalam masyarakat Palestina waktu itu. Justru dalam kemiskinan dan kesederhanaan itulah Ia menemukan pola pewartaan-Nya. Pola Yesus yang kurang strategis ini justru menampakkan ciri pewartaan yang sederhana/tidak mencolok dan tidak terkait dengan prosedur atau peraturan (Tisera, 2001:74-75).

Kerajaan Allah bukan hanya disampaikan dengan teori namun terutama dalam tindakan Yesus. Yesus mengusir setan, menyembuhkan yang sakit, dan memberi makan dengan tujuan untuk meringankan penderitaan dan mengatasi kemelaratan umat manusia. Dalam Kitab Suci, yang diceritakan adalah perubahan secara fisik atau kesejahteraan lahiriah. Sikap batin yang dirasakan mereka tidak diungkapkan oleh penulis namun yang perlu ditekankan bahwa kesejateraan lahiriah memang harus menjadi tanda komprehensif dalam Yesus (Tisera, 2001:79). Karenanya, perubahan yang terjadi akibat menerima pewartaan Kerajaan

(53)

Allah itu bukan semata-mata perubahan batiniah saja atau lahiriah saja. Keduanya dirasakan benar-benar sehingga dapat merubah keseluruhan hidup mereka.

Mewartakan Kerajaan Allah merupakan perutusan Yesus yang dilanjutkan oleh murid-murid-Nya. Yesus menuntut para murid untuk menghayati kemiskinan dalam tugas pewartaannya. Tuntutan itu membuat para murid harus menghadirkan diri dalam kemiskinan. Para murid hidup bersama mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel sebagai saudara. Para murid belajar hidup dengan sikap solider dan mengidentikkan diri sebagai bagian dari mereka yang dipandang hina.

Gereja sebagai komunitas para murid Yesus perlu menegakkan prinsip bahwa apa yang diterima adalah cuma maka harus diberikan dengan cuma-cuma pula. Tisera (2008: 79) mengatakan bahwa “Kerajaan Allah adalah hadiah, tetapi juga menuntut perbuatan untuk orang kecil.” Demi solidaritas, harta milik kita menjadi harta milik bersama. Sudah menjadi suatu kewajiban kita untuk membantu sesama manusia.

2. Tanda hadirnya Kerajaan Allah

Yesus tidak pernah menjelaskan definisi Kerajaan Allah dalam pewartaan-Nya. Ia menggunakan perumpamaan dan tindakan-Nya berupa mukjizat bagi banyak orang. Justru dari cara pewartaan itulah, Kerajaan Allah terwujud nyata. Menurut Fuellenbach (2006: 219) penjelasan Paulus mengenai Kerajaan Allah digambarkan bukan tentang makanan dan minuman tetapi mengenai adanya

(54)

kebenaran/keadilan, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus (Rm. 14:17). Ketiga nilai itu menjadi tanda bahwa Allah telah meraja di hati manusia.

a. Keadilan

Secara biblis, keadilan diartikan sebagai hubungan yang benar. Keadilan dapat diartikan pula sebagai rasa saling menghargai hubungan satu dengan yang lainnya. Bila seseorang dapat membangun hubungan yang benar dengan Yahwe maka haruslah ia dapat membangun hubungan yang benar pula dengan dirinya sendiri, sesama dan alam ciptaan. Sama halnya dengan yang ditulis oleh Yeremia (Yer. 22: 16) “Barangsiapa mengenal Aku, berarti menjalankan keadilan” (Fuellenbach, 2016: 223-224). Menurut Brueggemann (dalam Fuellenbach, 2016: 223) “keadilan adalah menentukan apa yang menjadi hak seseorang dan memberikannya kepada orang itu.”

Keadilan juga dapat dipahami sebagai kehendak yang tetap dan teguh untuk memberikan kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka (KGK 1807). Nilai keadilan merupakan nilai yang diperjuangkan sampai saat ini. Keadilan menjadi satu dari lima nilai dalam dasar negara Indonesia. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia menyangkut seluruh aspek kehidupan. Gaudium et Spes art. 29 menuliskan bahwa keadilan dalam aspek ekonomi berarti orang tidak boleh direndahkan karena fungsi dan apa yang tidak mereka miliki. Kebijakan pemerintah harus memperjuangkan keadilan, khususnya bagi pemerataan kesejahteraan (YOUCAT Foundation gemeinnützige GmbH, 2016: 106). Maka kita sebagai orang Kristianimendapatkan perutusan untuk membantu memeratakan kesejahteraan. Misalnya bagi pemilik perusahaan yang membutuhkan karyawan dapat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kondisi ketersediaan beras di Kabupaten Trenggalek masih kurang dibandingkan dengan konsumsi beras masyarakat Trenggalek,

piutang, tertagih atau tidak tertagihnya piutang tergantung dari system apakah berjalan sesuai standar atau tidak, disini juga diatur mengenai pengelolaan piutang yang baik

Skripsi berjudul: Analisis Peran Lembaga Ekonomi Terhadap Kehidupan dan Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan di Pantai Kilensari Kabupaten Situbondo, telah diuji dan