• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 29-104)

BAB II: DINAMIKA PERDEBATAN KEBUDAYAAN INDONESIA

D. Memaknai Polemik Kebudayaan

D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur

Bab IV dalam tulisan ini berisikan tentang wacana kebudayaan Indonesia setelah Polemik Kebudayaan hingga tahun 1945, dengan sub bab sebagai berikut: A. Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia, B. Perumusan Kebudayaan Nasional Indonesia, C. Rumusan Kebudayaan Nasional Indonesia.

Bab V dalam tulisan ini merupakan bagian penutup yang berisikan: Kesimpulan dan Saran.

17 BAB II

DINAMIKA MUNCULNYA CITA-CITA KE-INDONESIAAN

A. Masyarakat Intelektual Indonesia

Lahirnya masyarakat intelektual Indonesia pada abad ke-20, tidak dapat dilepaskan dari munculnya pemikiran simpatik terhadap kehidupan masyarakat pribumi oleh pemerintahan di negeri Belanda. Pemikiran simpatik terhadap kesejahteraan kehidupan pribumi Indonesia tersebut kemudian dirumuskan ke dalam

sebuah program yang dikenal dengan sebutan “Etische Politiek” atau “Politik Etis”.18 Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia-Belanda mengalami kebangkrutan akibat peperangan besar di Pulau Jawa yang dikenal dengan Perang Diponegoro (1825 – 1830). Selain itu, Negeri Belanda juga menghadapi perang kemerdekaan Belgia (1830 – 1839) yang menelan biaya cukup besar. Kedua perang besar yang dihadapi oleh Negeri Belanda tersebut pada akhirnya memicu permasalahan ekonomi yang sangat berat. Oleh sebab itu, maka pemerintahan di Negeri Belanda mengirimkan seorang bernama Van Den Bosch untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda dan ditugaskan melakukan tindakan eksploitasi baru untuk memulihkan perekonomian Negeri Belanda. Gubernur Jenderal Van Den Bosch kemudian menerapkan kebijakan Tanam Paksa di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan

18 Tentang situasi dan kondisi yang melahirkan “Politik Etis” dapat dilihat

dalam Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jilid 2; PT Gramedia, Jakarta, 1990), Hlm. 30 – 33, dan, Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan, (LKiS, Yogyakarta, 2008) Hlm. 97 – 106.

untuk meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia, yang komoditinya laku di pasaran internasional, seperti kopi, teh, tembakau, dan tebu. Dalam pelaksanaannya, kebijakan Tanam Paksa ini mewajibkan setiap petani Indonesia menyerahkan seperlima dari lahan pertaniannya, untuk ditanami komoditas pasaran internasional tersebut. Dalam peraturan lain disebutkan juga bahwa kegagalan panen yang disebabkan oleh bencana alam ditanggung oleh pihak pemerintah, tanah yang diserahkan kepada pemerintah dibebaskan dari pajak, kelebihan hasil panen yang telah ditentukan diserahkan kepada petani, jangka waktu untuk mengerjakan lahan pertanian tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi, dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian diwajibkan bekerja selama 66 hari dalam setahun pada pemerintah. Kebijakan ini memberikan dampak yang luar biasa bagi Negeri Belanda. Sekitar tahun 1860-an, kas Negeri Belanda mengalami surplus dan berhasil menutup segala kerugian perang yang salah-satunya disebabkan oleh Perang Diponegoro (1825

– 1830).

Dalam pelaksanaan kebijakan Tanam Paksa tersebut, terjadi berbagai penyimpangan yang menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat pribumi Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan itu diantaranya seperti irigasi yang hanya diterapkan untuk perkebunan pemerintah, akibatnya lahan pertanian milik petani Indonesia mengalami kekeringan dan gagal panen. Selanjutnya, penerapan transmigrasi, terutama pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain, seperti ke Pulau Sumatera. Penerapan transmigrasi ini berhasil menanggulangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, akan tetapi penduduk yang dipindahkan itu diperkerjakan sebagai buruh

di perkebunan pemerintah, dengan upah yang sangat rendah. Oleh sebab itu, maka pada tahun 1870, kebijakan Tanam Paksa secara berangsur-angsur dihapuskan dan diganti dengan sistem perekonomian terbuka. Dalam tahun yang sama, Pemerintah Hindia-Belanda membuat Undang-Undang Agraria yang bertujuan untuk melindungi tanah petani dari pihak penguasa dan pemodal asing. Selain itu, Undang-Undang Agraria juga ditujukan untuk memberi kesempatan pemodal asing agar dapat menyewa lahan pertanian masyarakat Indonesia.

Dihapuskannya kebijakan Tanam Paksa oleh Pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia itu, tidak dapat dilepaskan dari masuknya paham liberalisme ke Negeri Belanda. Paham liberalisme menekankan pentingnya perhatian moral kepada manusia, terutama menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak dasar seperti hak untuk kesejahteraan hidup.19 Paham liberalisme ini mengalami perkembangannya di Eropa pada abad ke-19, berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, kemudian menyebar hingga ke Negeri Belanda.

Pada tahun 1899, C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia (dari tahun 1880 – 1890), menerbitkan sebuah artikel berjudul

Een Ereschuld”, “Suatu Hutang Kehormatan”, di dalam jurnal Belanda De Gids.20 Dalam tulisannya itu, Ia menjelaskan bahwa kekosongan kas Negara Belanda akibat

19 Lihat misalnya Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, (Penerbit Buku Kompas, Jakarta April 2010), Hlm. 99 – 100.

20 Mc. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, (Sebelas Maret University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995) Cetakan I. Hlm. 230.

Perang Diponegoro dan Perang Kemerdekaan Belgia telah diisi oleh orang Indonesia.21 Oleh karena itu, menurutnya, “hutang budi” tersebut harus dibayar

dengan meningkatkan kesejahteraan pribumi Indonesia, yakni melalui program irigasi, edukasi, dan emigrasi.22 Program irigasi ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Program edukasi ditujukan untuk menghapus buta huruf di kalangan pribumi Indonesia. Sementara program emigrasi ditujukan untuk menaggulangi peningkatan kepadatan penduduk Indonesia, terutama di kawasan Pulau Jawa.

Selain dari C. Th. Van Deventer, pemikiran simpatik akan kesejahteraan hidup pribumi Indonesia juga terdengar dari parlemen Negara Belanda. Dalam sidang Pembukaan Parlemen pada tanggal 17 September 1901, Ratu Belanda, Wilhelmina Helena Pauline Maria, menyampaikan bahwa Pemerintah Belanda berhutang moral kepada rakyat pribumi Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia merupakan wilayah koloni yang telah mengisi kas Negara Belanda. Oleh sebab itu, Ratu Belanda tersebut menyatakan bahwa perlunya diadakan program Trias Politika, yakni irigasi, edukasi, dan emigrasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi Indonesia.

Pada saat dirumuskan dalam sidang Pembukaan Parlemen, progam Trias Politika yang disampaikan oleh Ratu Belanda tersebut menimbulkan sikap pro dan kontra, baik dari kalangan intelektual, politisi, maupun rohaniwan di Negeri Belanda.

21 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 – 1945, (Pustaka Pelajar) Hlm. 16.

22

Sikap yang menentang program Trias Politika ini sebagian datang dari Parlemen Belanda. Sementara yang setuju menganggapnya sebagai kewajiban moral atas negeri jajahan. Meskipun mendapatkan banyak tantangan, program Ratu Belanda tersebut tetap dilaksanakan dan dikenal dengan nama Politik Etis.

Adanya kemiripan antara pemikiran C. Th. Van Deventer tentang “Hutang Kehormatan” dan pemikiran Ratu Wilhelmina Helena Pauline Maria tentang “Hutang Moral” yang harus dibayarkan kepada rakyat pribumi Indonesia, kemudian menimbulkan banyak pendapat. Selain dianggap sebagai orang yang pertama kalinya mencentuskan tentang pemikiran simpatik terhadap kesejahteraan kehidupan pribumi Indonesia, C. Th. Van Deventer juga dianggap sebagai pelopor lahirnya Politik Etis.

Dijalankannya Politik Etis oleh Pemerintah Belanda di Indonesia, berhasil mengubah tatanan masyarakat Indonesia. Program Politik Etis kemudian melahirkan golongan masyarakat baru, yakni golongan masyarakat terpelajar atau sering disebut dengan kaum intelektual. Pada awalnya tatanan masyarakat Indonesia cenderung terdiri dari golongan bangsawan, golongan pedagang, dan golongan rakyat biasa.

Pada dekade pertama abad ke-20, ketika di Indonesia mulai tercipta kaum intelektual, maka muncul pula pemikiran-pemikiran penting mengenai perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, maka munculnya pemikiran untuk melepaskan bangsa Indonesia dari tangan penjajahan tidak dapat dihindarkan lagi. Intelektual pribumi pun mulai melakukan berbagai cara untuk memajukan kehidupan masyarakat di tempat mereka berada, misalnya dengan mendirikan organisasi yang ditujukan untuk memajukan bidang ekonomi dan

pendidikan. Selain kedua bidang tersebut, bidang politik pun diusahakan untuk dikembangkan, sebab terdapat pemikiran bahwa politik merupakan jalan yang tepat untuk mencapai kemerdekaan. Munculnya pemikiran di kalangan intelektual untuk melepaskan rakyat pribumi Indonesia dari tangan penjajahan itu dapat disebut dengan

munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan”.

Cita-cita ke-Indonesiaan yang dilahirkan oleh kaum intelektual semakin terlihat ketika di tahun 1908 berdiri Organisasi Budi Utomo. Organisasi ini menginginkan kemajuan taraf hidup masyarakat pribumi di Pulau Jawa dan Madura, terutama dalam bidang pendidikan. Selain itu, oraganisasi ini juga menginginkan kemajuan dalam bidang kebudayaan.

Setelah beberapa tahun organisasi Budi Utomo berdiri, “cita-cita

ke-Indonesiaan” yang dikumandangkan olehnya semakin mendapatkan penekanan ketika Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922. Melalui perguruannya itu Ki Hadjar Dewantara menginginkan peningkatan taraf hidup pribumi Indonesia melalui bidang pendidikan. Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga mengharapkan bahwa Perguruan Taman Siswa dapat dijadikan sebagai persemaian atau regenerasi bagi golongan nasionalis Indonesia. Dalam perguruannya tersebut Ki Hadjar Dewantara memasukan bidang kebudayaan sebagai salah satu pelajaran penting kepada anak didiknya. Dengan demikian, Ia mengharapkan bahwa golongan nasionalis yang diciptakan oleh Perguruan Taman Siswa adalah golongan nasionalis menguasai ilmu pengetahuan dan mengerti tentang kebudayaan.

Pada tahun 1928, para pemuda Indonesia mengumandangkan sebuah sumpah yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Dalam sumpah tersebut, para pemuda mengikatkan diri dengan menyebutkan bahwa semua pemuda yang ada di Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yakni Indonesia. Dengan demikian, maka sumpah tersebut mencerminkan bahwa di Indonesia pada saat itu telah muncul suatu kesadaran kolektif di kalangan rakyat pribumi Indonesia, menuju ke arah kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, Sumpah Pemuda ini semakin memperkuat

gema “cita-cita ke-Indonesiaan” yang telah dikumandangkan oleh organisasi Budi

Utomo dan Perguruan Taman Siswa.

B. Munculnya Cita-Cita Ke-Indonesiaan

Terbentuknya “cita-cita ke-Indonesiaan” di alam pikiran masyarakat pribumi

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari terciptanya masyarakat intelektual pada awal abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat intelektual merupakan faktor terpenting bagi lahirnya pemikiran-pemikiran tentang perubahan kehidupan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik, terlebih lagi ke arah mencapai

kemerdekaan. Berikut ini akan diuraikan proses terbentuknya “cita-cita

ke-Indonesiaan” yang diwakili oleh berdirinya organisasi Budi Utomo, Perguruan

B.1. Organisasi Budi Utomo

Pada awal abad ke-20, setelah diterapkannya Politik Etis, pihak pemerintah kolonial Belanda semakin giat memperhatikan bidang pendidikan bagi masyarakat pribumi Indonesia. Akan tetapi perhatian tersebut belum mampu menggapai seluruh masyarakat pribumi Indonesia. Pendidikan pada saat itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian golongan masyarakat, yakni golongan masyarakat menengah ke atas atau golongan masyarakat yang tergolong mampu dalam segi ekonominya. Faktor utama yang menyebabkan keadaan tersebut adalah tingginya biaya pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Keadaan seperti ini kemudian berakibat pada rendahnya tingkat kesadaran akan pendidikan dari masyarakat pribumi Indonesia. Banyak pemuda Indonesia pun tidak dapat mengenyam bangku pendidikan, baik di jenjang pendidikan rendah maupun pendidikan tinggi.

Melihat keadaan tersebut, seorang dokter Jawa bernama Wahidin tergerak hatinya untuk mencari beasiswa pendidikan. Antara tahun 1906 – 1907, Wahidin melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa untuk mempropagandakan pentingnya beasiswa pendidikan bagi pemuda pribumi Indonesia yang kurang mampu dalam kehidupan ekonominya. Perjalanan propaganda yang dilakukan oleh Wahidin tersebut ditujukan untuk membiayai pendidikan pemuda pribumi Indonesia agar dapat mengenyam bangku pendidikan.

Pada awalnya, perjalanan propaganda yang dilakukan oleh Wahidin tidak berjalan lancar, seperti yang diharapkannya. Berikut ini gambaran perjalanan Wahidin oleh Nagazumi, seorang sejarawan dari negeri Jepang:

“Wahidin mendekati para priyayi yang lebih tua dan lebih tinggi, khususnya

para bupati yang kaya dan berpengaruh, tetapi tidak banyak di antara mereka itu yang menaruh minat pada usahanya, walaupun juga tidak keberatan terhadap diperluasnya pendidikan Barat. Di sana-sini terkadang Wahidin harus menghadapi tantangan keras dari kalangan bupati, yang memandangnya hendak mengguncang ketenteraman dan ketertiban sistem yang berlaku; setengahnya lagi berpaling muka semata-mata oleh karena kedudukan rendah Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan asisten wedana senior saja; dan golongan lain pun karena memang tidak senang terhadap

perubahan apapun”.23

Meskipun banyak mendapatkan tantangan yang berat, Wahidin tidak berhenti melakukan usaha propagandanya. Ketika pertama kali dilakukan, usaha propaganda beasiswa pendidikan yang dilakukan oleh Wahidin telah mendapatkan dukungan dari beberapa petinggi rakyat, salah satunya adalah Pangeran Ario Noto Dirojo24.

Pada tahun 1908, Wahidin melanjutkan propagandanya ke School Tot Opleiding Van Inlandsche Arsten (STOVIA).25 Pidato propaganda Wahidin di STOVIA berhasil memukau beberapa murid sekolah tersebut, diantaranya adalah Soetomo dan Suraji, dua calon dokter yang pada saat itu berusia sekitar 20-an tahun.

Soetomo dan Suraji yang tertarik mendengar pidato propaganda Wahidin di sekolah mereka, kemudian tertarik untuk melakukan kegiatan di bidang pendidikan. Pada tahun 1908, bersama rekan-rekannya di STOVIA, Soetomo dan Suraji mendirikan organisasi bernama Budi Utomo. Pada tanggal 20 Mei 1908, organisasi

23

Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 –

1918, (Grafiti Pers, Jakarta, 1989), Hlm. 52.

24 Pangeran Ario Noto Dirojo adalah seorang putera dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo atau Pakualam V (1878 – 1900).

25 STOVIA adalah sekolah didirikan oleh pemerintah Belanda untuk mendidik anak-anak pribumi Indonesia menjadi dokter.

Budi Utomo dinyatakan telah resmi berdiri, meskipun belum mendapatkan pengakuan dari pihak pemerintah Hindia-Belanda. Tujuan utama didirikannya organisasi Budi Utomo adalah untuk mengusahakan perubahan hidup bagi masyrakat pribumi di Pulau Jawa dan Madura ke arah yang lebih baik.

Pada tanggal 2 – 5 Oktober 1908, organisasi Budi Utomo menyelenggarakan kongres pertamanya. Kongres diadakan di gedung Pendidikan Guru di kota Yogyakarta. Dalam kongres tersebut terjadi pertentangan pendapat mengenai arah dan bentuk organisasi Budi Utomo. Di satu sisi, sebagian anggotanya menginginkan agar organisasi Budi Utomo berjalan beriringan atau berkerjasama dengan Pemerintahan Hindia-Belanda. Organisasi Budi Utomo diharapkan dapat melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan dan bidang perekonomian bersama pemerintah. Sementara di sisi lain, ada beberapa anggota yang menginginkan agar organisasi Budi Utomo menjadi organisasi politik. Salah satu penganjur terkuat yang menginginkan organisasi Budi Utomo menjadi organisasi politik adalah Tjipto Mangunkusumo.

Ketika kongres pertama organisasi Budi Utomo diselenggarakan, Tjipto Mangunkusumo mendapatkan kesempatan untuk berpidato di muka umum. Pada saat berpidato, Tjipto Mangunkusumo menyampaikan tentang perlunya ditekankan pendidikan bagi seluruh masyarakat di Hindia Timur Belanda. Menurutnya, pendidikan Barat merupakan alat yang tepat untuk menghapus sistem hierarki tradisional yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Hal itu dikemukakannya dengan alasan bahwa hierarki tradisional telah menghambat perkembangan kehidupan

masyarakat Jawa. Dari pernyataannya tersebut, Tjipto Mangunkusumo sangat jelas menginginkan perkembangan masyarakat Jawa ke arah modern.

Dalam kongres pertama organisasi Budi Utomo tersebut, dr. Radjiman juga mendapatkan kesempatan untuk berbicara di depan umum. Dalam pidatonya, Ia menyanggah pernyataan Tjipto Mangunkusumo soal pendidikan Barat. Menurut dr. Radjiman, untuk mengembangkan masyarakat Jawa yang dibutuhkan adalah keseimbangan pengetahuan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Memperingatkan kemungkinan yang timbul dari pemujaan terlalu besar terhadap kebudayaan Barat, yang mungkin mengakibatkan disintegrasi kebudayaan Jawa lebih jauh, sikap dr. Radjiman sama seperti sikap tradisional para priyayi dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing.26 Sikap yang ditunjukkan oleh dr. Radjiman ini menunjukkan bahwa Ia tidak mau bangsanya menjadi seperti bangsa Barat, dengan tingkat kemajuannya yang pesat bangsa Barat telah melahirkan kolonialisme.

Pada akhir tahun 1908 diumumkan susunan program organisasi Budi Utomo. Terdapat dua versi tentang program organisasi, yaitu: pertama, berupa laporan tangan oleh penulis tak dikenal berinisial AK tertanggal 17 Desember 1908, dan dikirim bersama kliping-kliping surat kabar kepada Menteri Tanah Jajahan; dan kedua,

26

berupa sebuah daftar termasuk di dalam ceramah Eyken bulan Maret 1909.27 Laporan itu meliputi:28

1. Permohonan kepada pemerintah:

a. Menyempurnakan pendidikan di Kweekschool dan OSVIA. b. Mempertahankan mutu pendidikan di STOVIA.

c. Mendirikan sekolah-sekolah Frobel untuk anak pribumi laki-laki dan perempuan, dan membuka pinti-pintu sekolah-sekolah dasar Eropa bagi anak-anak pribumi, walaupun mereka tidak memahami bahasa Belanda, atau jika tidak, mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi serupa dengan sekolah-sekolah Belanda-Cina.

d. Mendirikan sekolah-sekolah dagang untuk pribumi, termasuk untuk kaum perempuan.

e. Menyediakan lebih banyak tanah untuk sekolah-sekolah pertanian. f. Memberikan beasiswa kepada murid-murid pribumi.

g. Member ijin penyelenggaraan undian (dengan tujuan mengumpulkan dana beasiswa, dan lain-lain).

h. Memberi ijin Budi Utomo mendirikan sekolah-sekolah desa.

2. Langkah-langkah yang diambil Budi utomo:

a. Mendirikan sekolah-sekolah perempuan sebanyak-banyaknya.

27Ibid., Hlm. 87.

28 Ibid.

b. Mendirikan yayasan untuk peminta-minta tua dan muda. c. Berjuang melawan riba.

d. Membuka perpustakaan rakyat.

e. Menggunakan sebagian anggaran untuk beasiswa pribumi.

f. Akhirnya ditambahkan agar sebuah program dicantumkan untuk memulihkan ujian masuk ke STOVIA, sehingga tidak lagi diserahkan pada kebijakan residen (Verbaal 3 November 1909, no. 53).

Beberapa tahun kemudian tersusunlah anggaran dasar organisasi Budi Utomo, yakni sebagai berikut:

Secara khusus organisasi akan akan mencurahkan perhatian pada:29 1. Kepentingan pendidikan dalam arti seluas-luasnya.

2. Perbaikan pertanian, peternakan, dan perdagangan. 3. Perkembangan tehknik dan industry.

4. Menumbuhkan kembali kesenian dan tradisi pribumi. 5. Menjunjung tinggi cita-cita umat manusia pada umumnya.

6. Hal-hal lain yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa (Lampiran IV, Pas 3).

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1916 – 1917, organisasi Budi Utomo turut membantu dalam usaha membentuk Dewan Perwakilan Rakyat bagi pribumi Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat pribumi tersebut ditujukan sebagai

29

wadah untuk menyampaikan berbagai kepentingan pribumi kepada pemerintahan Hidia-Belanda. Salah satu perwakilan dari organisasi Budi Utomo yang duduk dalam dewan perwakilan tersebut Dwijosewojo.

Pada awalnya organisasi Budi Utomo mengkhususkan kegiatannya di Pulau Jawa dan Madura. Dengan tujuan mengembangkan bidang pendidikan dan kebudayaan bagi masyarakat pribumi di dua wilayah tersebut. Meskipun demikian, berdirinya organisasi Budi Utomo ini telah mencerminkan bahwa di Indonesia telah tercipta suatu kesadaran akan kesejahteraan kehidupan bangsa. Selain itu, berdirinya organisasi Budi Utomo juga mencerminkan kesadaran ke arah kemerdekaan dari penjajahan. Hal ini tercermin dari pemikiran-pemikiran tentang perlunya menghindari kerusakan kebudayaan jawa akibat penetrasi kebudayaan asing.

B.2. Perguruan Taman Siswa

Pada tahun 1920-an, kehidupan masyarakat pribumi Indonesia semakin terpuruk. Hal ini diperparah lagi dengan semakin gencarnya pihak pemerintah Hindia-Belanda melakukan tindakan eksploitasi, terutama di bidang ekonomi. Melalui sektor pertanian, masyarakat pribumi Indonesia diperkerjakan dengan upah yang sangat rendah, dengan alasan bahwa tingkat pendidikan masyarakat pribumi Indonesia masih rendah.

Situasi dan kondisi masyarakat yang demikian itu, menggugah pemikiran seorang kerabat istana Paku Alam bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Pada saat itu, Ia sedang berada di negeri Belanda, menjalani masa pengasingan akibat

keaktifannya dalam sebuah organisasi politik bernama Indische Partij30, bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Setelah pulang dari pengasingannya, pada tahun 1922 Raden Mas Suwardi Suryaningrat mendirikan sebuah perguruan yang diberikan nama Taman Siswa. Nama lengkap perguruan ini adalah National Onderwijs Instituut Taman Siswa.31 Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu sistem pendidikan yang berdasar pada suatu sintesa realistis dari kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Barat yang kelak bias mendidik pemuda Indonesia untuk berdikari dan mengembangkan dalam diri mereka suatu tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis yang mereka hadapi.32 Prinsipnya ialah

bahwa pendidikan harus bertujuan “konstruksi suatu peradaban dari bawah,

mula-mula dari Jawa, kemudian Indonesia” bukan “tiruan budaya Barat”.33

Dengan demikian, maka yang diinginkan oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat adalah

30 Indische Partij adalah sebuah organisasi politik yang didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker, yang kemudian lebih dikenal dengan nama dr. Setiabudi, pada tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini keanggotaannya terdiri dari campuran orang indo dan pribumi Indonesia. Organiasi Indische Partij merupakan kelanjutan dari organisasi bernama Indische Bond yang didirikan pada tahun 1898. Douwes Dekker selanjutnya melakukan kerjasama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ketiga tokoh ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan

“Tiga Serangkai”. Lihat misalnya, Suhartono, Op.Cit., Hlm. 38.

31 Lihat misalnya, H. M. Nasaruddin Anshory, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme, (LKiS, Yogyakarta, 2008), Hlm. 69.

32 G. Mc. T. Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Sebelas Maret University Press berkerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995), Cetakan I. Hlm. 133.

33 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia. PT Gramedia. Jakarta. Cetakan II, edisi terjemahan. Hal. 427.

menciptakan generasi baru masyarakat pribumi Indonesia yang memiliki cirri-ciri Indonesia sendiri, berbeda dari bangsa-bangsa lain, bukan bangsa Barat atau pun bangsa lainnya. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Mas Suwadi Suryaningrat tersebut dipelajarinya dari sistem pendidikan di negeri India yang pelopori oleh Rabindranath Tagor. Raden Mas Suwardi Suryaningrat memepelajari sistem pendidikan dari Rabindranath Tagor ini ketika sedang berada di pengasingannya di negeri Belanda.

Dalam kurun waktu yang sama, Raden Mas Suwardi Suryaningrat kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dilakukannya supaya dapat memasuki atau berinteraksi dengan masyarakat pribumi biasa, bukan semata-mata berinteraksi dengan kalangan kerajaan. Dengan demikian, Ki Hadjar Dewantara

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 29-104)

Dokumen terkait