• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN:

POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939) Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Flavianus Setyawan Anggoro NIM: 054314005

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv MOTTO

“Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup”

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini Aku Persembahkan untuk:

Yang Maha Penyayang

Kedua Orangtua Ku

Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto

(6)
(7)

vii ABSTRAK (Indonesia)

Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika wacana kebudayaan yang tersaji dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, dan 3) wacana kebudayaan Indonesia yang muncul setelah Polemik Kebudayaan hingga tahun 1945.

Landasan teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori dialektika dari G. W. F. Hegel dan teori ruang publik yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Sedangkan metode penelitiannya adalah Studi Pustaka, Analisis Data, dan Historiografi. Langkah terakhir dari penelitian ini, yakni historiografi, akan disajikan dengan metode historis kronologis, peristiwa-peristiwa sejarah yang dibahas akan disusun sesuai dengan urutan waktu terjadinya.

(8)

viii

Abstract

(Inggris)

Thesis titled "Cultural Discourse Indonesia At The Independence Movement: Polemic Culture (1935 - 1939)" This is a study of Science History of pewacanaan culture that has ever happened in Indonesia. Writing this thesis aims to describe and analyze: 1) background of the emergence of the Cultural Polemics events, 2) the dynamics of cultural discourse presented in the Cultural Polemics events, and 3) the discourse of Indonesian culture that emerged after the Cultural Polemics until 1945.

Theoretical basis used in this paper is a dialectical theory G. W. F. Hegel and

the “Public Sphere” theory propounded by Jurgen Habermas. While the research is to

study methods References, Analisis Data, and Historiography. The final step of this research will be presented with a chronological historical method, historical events discussed will be arranged in order of time occurrence.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kasih atas berkat dan bimbingan tangannya kasih-Nya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)”.

Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua bantuannya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Pada kesempatan ini penulis dengan penuh ketulusan hati mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah.

2. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan perhatian dan meluangkan waktunya, serta dengan sabar membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Dr. I. Praptomo Bayardi, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Sastra.

(10)

x

membimbing kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi mahasiswa di Universitas Sanata Dharma.

5. Karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, atas kerja sama yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada semua keluargaku

7. Rekan-rekan angkatan 2005: Dominikus Bondan Pamungkas, Agung Eko Ariestiya, Sr. Magdalena Nimat, Yohana, Hafen Hafidzulah, dan Tom.

8. Rekan-rekan mahasiswa di Jurusan Ilmu Sejarah (Wilhelmus Ruperno, dkk). 9. Teman-teman kos: Yus, Lipen, Lazarus, Valentinus Ola Beding, Triantoro,

Aci, Iber, Budi, Odon, Siweng (Boss), Hanu, Somat, I’ut, Ino (Cen), dan Jack. 10.Teman-teman di Forum Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sekadau dan masih banyak lagi teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu

namanya di sini (ma’af ya..?).

(11)
(12)

xii

BAB II: DINAMIKA MUNCULNYA CITA-CITA KE-INDONESIAAN……. .. 16

A. Masyarakat Intelektual Indonesia………. 16

B. Munculnya Cita-cita ke-Indonesiaan ……… 23

B.1. Organisasi Budi Utomo ……… 23

B.2. Perguruan Taman Siswa……… 29

B.3. Sumpah Pemuda ………... 33

BAB II: DINAMIKA PERDEBATAN KEBUDAYAAN INDONESIA TAHUN 1935 –1939……… 37

A. Ruang Perdebatan Kebudayaan ………... 37

A.1. Majalah Pujangga Baru ………. 37

A.2. Surat Kabar Pewarta Deli ………. 42

A.3. Harian Suara Umum …………..………... 44

A.4. Majalah Wasita ………. 45

B. Aktor-aktor dibalik Perdebatan Kebudayaan Tahun 1935 – 1939……….. 47

B.1. Sutan Takdir Alisjahbana ……….. 47

(13)

xiii

B.3. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka ……… 51

B.4. dr. Soetomo ……….. 54

B.5. Tjindarboemi ………. 55

B.6. Djamaluddin Adinegoro ………... 56

B.7. Ki Hadjar Dewantara ………….………... 58

B.8. dr. Mohammad Amir ……… 61

C. Perdebatan Kebudayaan Indonesia Tahun 1935 –1939 ………... 63

C.1. Perdebatan Tahap Pertama….. ………... 63

C.2. Perdebatan Tahap Kedua……… 70

C.3. Perdebatan Tahap Ketiga ……….. 82

D. Memaknai Polemik Kebudayaan ……….. 85

D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur ……….. 85

D.2. Kebudayaan, Pendidikan, dan Kebangsaan ……….. 88

BAB IV: DINAMIKA PERUMUSAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA ………... 91

A. Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia ……… 91

B. Perumusan Kebudayaan Nasional ……… 93

C. Kebudayaan Nasional Indonesia ……….. 99

BAB V: PENUTUP………. 101

A. Kesimpulan ……….. 101

B. Saran ………. 103

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sekitar tahun 1935 – 1939, ranah kebudayaan Indonesia mengalami gejolak. Pada saat itu terjadi perdebatan tertulis di beberapa media cetak, seperti Majalah

Poedjangga Baroe, Majalah Wasita, Surat Kabar Pewarta Deli, dan Harian Soeara Oemoem. Perdebatan yang terjadi melibatkan beberapa intelektual pribumi Indnesia, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, dr. Soetomo, Tjindarboemi, Adinegoro, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir.

Perdebatan di tahun 1930-an itu diawali oleh sebuah tulisan Sutan Takdir

Alisjahbana berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, Indonesia –

Prae-Indonesia” yang dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe.1 Dalam tulisannya itu,

Takdir membagi sejarah Indonesia ke dalam dua periode, yakni Jaman Prae-Indonesia: jaman sebelum abad ke-20, jaman yang hanya mengenal sejarah VOC, sejarah Mataram dan sejarah Banjarmasin. Sementara jaman setelahnya disebut oleh Takdir sebagai jaman Indonesia: jaman yang dimulai pada abad ke-20.

Bertolak dari pandangannya itu, Takdir kemudian menegaskan bahwa jaman Indonesia adalah jaman baru, bukan sambungan dari jaman sebelumnya. Oleh sebab

1 Alisjahbana, Sutan Takdir, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan B

(15)

itu, dalam tulisannya, Ia menyatakan bahwa pada saat itu perkataan Indonesia telah mengalami kekacauan makna karena setiap peristiwa yang pernah terjadi di kepulauan Indonesia disebutkan oleh sebagian besar orang sebagai sejarah Indonesia.

Takdir selanjutnya menyatakan bahwa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia saat itu adalah berusaha menjadi sebuah bangsa yang mampu dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. “Untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut, maka bangsa Indonesia harus belajar pada bangsa

Barat”, dengan meniru kebudayaan Barat yang telah maju, maka bangsa Indonesia

akan maju pula, tegasnya.2

Beberapa hari setelah dimuat, tulisan Takdir mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. Ketiga intelektual itu pun saling beradu pendapat tentang kebudayaan Indonesia. Perdebatan kemudian meluas dan melibatkan intelektual lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu dr. Soetomo, Adinegoro, Tjindarboemi, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir. Tulisan-tulisan dari para intelektual yang terlibat perdebatan di tahun 1930-an itu kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja, seorang sastrawan, pada tahun 1948. Ia kemudian menerbitkannya menjadi buku dan memberikan judul

“Polemik Kebudayaan”. Demikianlah sampai saat ini perdebatan itu dikenal.

Dikenal dengan nama “Polemik Kebudayaan”, silang pendapat yang terjadi di

kalangan pemikir kebudayaan pada saat itu seringkali dipahami sebagai debat antara

2

(16)

kubu modernis dan tradisionalis, atau kubu Pro- Barat dan Pro-Timur.3 Selain itu, adapula yang menyatakannya sebagai debat Sutan Takdir Alisjahbana versus4Sanusi Pane, Dr. Raden Mas Ngabehi Peorbatjaraka, dr. Soetomo, Adinegoro, Tjindarboemi, Ki hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir.5 Dengan lain perkataan, peristiwa yang terjadi pada saat itu adalah penentangan terhadap pemikiran kebudayaan dari Sutan Takdir Alisjahbana oleh intelektual lainnya.

Perdebatan yang terjadi di tahun 1930-an tersebut, tidak berlangsung secara terus-menerus dari tahun 1935 – 1939, melainkan secara bertahap. Ada tiga tahapan perdebatan, sebagaimana disusun oleh Achdiat Karta Mihardja dalam bukunya.6 Pada tahap pertama perdebatan terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. Perdebatan berlangsung dalam bulan Agustus

– September 1935 dan dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe dan Harian Soeara

Oemoem. Perdebatan tahap pertama ini membahas tentang kebudayaan sebagai haluan bagi Bangsa Indonesia melangkah ke depan, ke masa yang akan datang.

Perdebatan tahap kedua terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana, dr. Soetomo, Tjindarboemi, Adinegoro, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir.

3 Alexander Supartono, “Lekra VS Manikebu: Perdebatan Kebudayaan

Indonesia 1950 – 1965”, (Skripsi Sarjana, STF Driyarkara, Jakarta, 2000), Hlm. 109

– 110.

4Versus: melawan

5

http://www.psp.ugm.ac.id/publikasi/artikel/101-menuju-politik-kebudayaan-nasional.html (data diakses dalam bulan April 2011)

6

(17)

Perdebatan berlangsung dalam bulan Oktober 1935 – bulan April 1936. Tulisan dari para intelektual yang terlibat perdebatan tahap kedua itu dimuat dalam Majalah

Poedjangga Baroe, Harian Soeara Oemoem, Surat Kabar Pewarta Deli, dan Majalah

Wasita. Perdebatan tahap kedua itu membahas tentang persoalan pendidikan bagi Bangsa Indonesia. Sedangkan perdebatan tahap ketiga terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana dan dr. Mohammad Amir. Perdebatan berlangsung dalam bulan Juni 1939. Tulisan dari kedua intelektual itu dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe dan Surat Kabar Pewarta Deli. Perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan dr. Mohammad Amir membahas tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia.

Dalam penulisan Sejarah Indonesia, Polemik Kebudayaan yang terjadi dalam tahun 1930-an itu masuk ke dalam wilayah periodesasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Masuknya peristiwa Polemik Kebudayaan ke dalam wilayah periodesasi sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia karena peristiwa itu terjadi dalam lingkup waktu dan ruang (temporal dan spasial) jalannya sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Periodesasi untuk telaah sejarah ini seringkali dimulai dari tahun 1908 – 1945, yakni dari berdirinya organisasi Budi Utomo sampai pada diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, maka munculnya perdebatan di kalangan intelektual dalam tahun 1930-an itu tidak dapat dilepaskan dari gencarnya semangat pergerakan kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia pada saat itu.

(18)

pergerakan kemerdekaan Indonesia, juga sekaligus membuka babak baru dalam strategi pergerakan kemerdekaan. Pergerakan yang biasanya terjadi di ranah politik bergeser ke ranah kebudayaan. Salah satu faktor terjadinya pergeseran pergerakan tersebut dilatarbelakangi oleh tindakan refresif dari pihak pemerintah Hindia-Belanda terhadap aktivitas politik golongan nasionalis Indonesia.7

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari uraian latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa Polemik Kebudayaan merupakan perdebatan tentang Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur. Kedua kebudayaan ini yang akan dijadikan sebagai haluan bagi bangsa Indonesia untuk melangkah ke depan, menjadi sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar dan bersaing dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Dengan demikian, maka perdebatan yang terjadi dalam tahun 1930-an itu dapat dinyatakan sebagai

usaha mencari jalan untuk merealisasikan “cita-cita ke- Indonesiaan”, yakni cita-cita

bahwa di kemudian hari Indonesia adalah sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar dan bersaing dengan bangsa maju lainnya di dunia. Selain itu, Polemik Kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai sebuah usaha pergerakan kemerdekaan yang terjadi di ranah kebudayaan Indonesia, sebuah pemikiran tentang cara mencari haluan bagi jalannya sebuah bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka peristiwa ini penting

7

(19)

untuk diketahui dan dipelajari. Akan tetapi, sampai saat ini peristiwa tersebut belum mendapatkan banyak penjelasan atau dengan kata lain kurang mendapatkan perhatian baik dari kalangan sejarawan maupun akademis lainnya. Kurangnya penjelasan tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini terutama mengenai latar belakang kemunculannya.

Selain akan mengaitkan munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan dengan

munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan”, dalam skripsi ini juga akan diungkapkan

bagaimana perdebatan kebudayaan yang terjadi pada saat itu akan mendapatkan sintesanya pada rumusan kebudayaan nasional Indonesia dalam Undang-Undang Dasar tahun1945.

C. Rumusan Masalah

Dari uraian identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan tiga permasalahan pokok yang menjadi fokus penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana latar belakang munculnya Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an? 2. Bagaimana dinamika wacana yang tersaji dalam Polemik Kebudayaan?

(20)

D. Hipotesa

Berdasarkan uraian latar belakang di muka, maka dapat diajukan jawaban sementara atas rumusan masalah yang telah ditetapkan dalam penulisan skripsi ini: pertama, munculnya Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930-an dilatarbelakangi oleh

munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan” di alam pikiran rakyat Indonesia pada abad

ke-20.

Kedua, dinamika wacana kebudayaan yang tersaji dalam Polemik Kebudayaan adalah pertentangan pemikiran mengenai kebudayaan Barat dan

kebudayaan Timur yang akan digunakan sebagai jalan merealisasikan “cita-cita

ke-Indonesiaan”.

Ketiga, dinamika wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik Kebudayaan adalah perumusan kebudayaan nasional yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam usaha merumuskan Undang-Undang Dasar negara Indonesia pada tahun 1945.

E. Tujuan Penelitian

1. Akademis

(21)

2. Teoretis

Secara teoretis, penulisan ini dimaksudkan untuk melakukan pengkajian sebuah wacana tentang kebudayaan melalui sudut pandang Ilmu Sejarah. Selain itu, tulisan ini juga berusaha memaparkan terjadinya suatu peristiwa sejarah yang berbasiskan kontinuitas.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Secara Akademis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan penulisan sejarah di Indonesia pada umumnya, dimana penulisan sejarah semakin marak diusahakan, baik oleh kaum akademis dari berbagai universitas maupun dari kalangan sejarawan profesional.

2. Manfaat Praktis

Secara Praktis, tulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman baru tentang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930-an. Disamping itu, tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang strategi kebudayaan Indonesia, demi mencapai keadaaan bangsa Indonesia yang telah lama dicita-citakan kemandirian dan kesejahteraan dalam perjalanan sejarahnya.

G. Tinjauan Pustaka

(22)

Buku karya Achdiat Karta Mihardja, dengan judul “Polemik Kebudayaan”,

Pustaka Jaya, Jakarta 1977, cetakan ke-4. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari masing-masing tokoh yang terlibat dalam perdebatan di tahun 1930-an. Di sini Achdiat Karta Mihardja bertindak sebagai pengumpul, sebab dalam bukunya ini Ia tidak menjelaskan bagaimana peristiwa Polemik Kebudayaan dapat muncul pada ranah kebudayaan Indonesia. Achdiat Karta Mihardja tidak menjelaskan bagaimana latar belakang munculnya peristiwa tersebut, maupun latar belakang perbedaan pemikiran dari masing-masing tokoh yang terlibat perdebatan.

Skripsi karya Alexander Supartono, Lekra VS Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965. Skripsi STF Driyarkara. Jakarta 2000. Sesuai dengan judulnya, skripsi ini membahas tentang perdebatan yang terjadi antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dalam tahun 1950 – 1965. Sementara “Polemik Kebudayaan” dalam skripsi ini dijelaskan sebagai sejarah perdebatan kebudayaan di Indonesia. Selain itu, Polemik Kebudayaan dinyatakan oleh Alexander Supartono sebagai perdebatan yang muncul dalam semangat Sumpah Pemuda dan sebagai peristiwa yang muncul dalam semangat menyongsong masyarakat baru, Indonesia. Akan tetapi, skripsi ini tidak membahas secara rinci mengenai latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan.

(23)

selama hidupnya, termasuk pemikiran kebudayaannya yang muncul pada saat terjadinya Polemik Kebudayaan. Buku ini juga tidak menyajikan tentang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan.

Ketiga tulisan yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka tersebut, baik yang berupa buku maupun skripsi, semuanya tidak membahas secara khusus bagaimana latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan. Terutama dengan melihat situasi dan kondisi wacana tentang kebudayaan yang ada pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, maupun mengaitkannya dengan munculnya “cita-cita

ke-Indonesiaan” di kalangan rakyat Indonesia pada abad ke- 20. Beberapa hal inilah

yang akan dibahas khusus dalam skripsi ini.

H. Landasan Teori

Sebelum menguraiakan landasan teori untuk penulisan tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa istilah penting yang berkaitan dengannya, yaitu:

1. Polemik adalah perang pena, perdebatan lewat tulisan (dalam media cetak atau surat kabar).8

2. Kebudayaan, dalam penulisan ini mengacu pada definisi menurut E. B. Taylor yaitu: kompleks keseluruhan yang mencakup pengetahuan,

8 Dendy Sugono (Pimpinan Redaksi), Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:

(24)

keyakinan, seni, moral, hukum, adat, serta segala macam kemungkinan dan kebiasaan yang dicapai oleh manusia sebagai anggota masyarakat.9 3. Wacana adalah a) ucapan, percakapan, tutur, b) keseluruhan perkataan

atau ucapan yang merupakan suatu kesatuan, c) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel pada pidato atau kotbah, d) pertukaran ide secara verbal.10 Wacana juga dapat diartikan sebagai diskusi dan dialog.11

4. Dinamika adalah gairah, gelora, gerak, dan semangat.12 5. Cita-Cita13

Ke-Indonesiaan adalah suatu keinginan akan keadaan bahwa bangsa Indonesia di kemudian hari adalah sebuah bangsa yang sama seperti bangsa maju lainnya di dunia, bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa maju.

Polemik Kebudayaan merupakan sebuah perdebatan tentang kebudayaan yang terjadi di antara beberapa intelektual pribumi Indonesia pada tahun 1930-an. Dalam

9 Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Kanisius, Yogyakarta,

2001), Hlm. 24.

10 Dendy Sugono, Op.Cit.,Hlm. 1804.

11 Dendy Sugono, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional, Jakarta 2008),Hlm. 553.

12Ibid., Hlm. 134.

13 Cita-cita, secara umum dapat diartikan sebagai keinginan yang selalu ada di

(25)

perdebatan tersebut terjadi pertentangan pendapat mengenai cara merealisasikan

“cita-cita ke-Indonesiaan”, yakni cita-cita agar bangsa Indonesia di kemudian hari

adalah bangsa yang mampu berdiri sejajar dan beraing dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Untuk menjelaskan mengenai pertentangan yang terjadi dalam peristiwa Polemik Kebudayaan ini digunakan teori dialektika yang dikemukakan oleh G. W. F. Hegel.14

Menurut teori dialektika, sebuah perkembangan pemikiran berlangsung secara dialektik dengan ritme tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam dialektik itu, pemikiran

tesis berseberangan dengan pemikiran antitesis, selanjutnya kedua pemikiran yang saling bertentangan tersebut akan didamaikan dalam pemikiran sintesis. Pemikiran-pemikiran yang berharga, baik pada tesis maupun pada antitesis kemudian dirawat dalam sintesis.

Penerapan teori dialektika tersebut ke dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: pemikiran tesis dalam peristiwa Polemik Kebudayaan diwakili oleh pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, yakni pemikirannya tentang mempelajari kebudayaan Barat sebagai haluan untuk bangsa Indonesia merealisasikan “cita-cita ke-Indonesiaan”. Pemikiran antitesis akan diwakili oleh pemikiran dari para intelektual yang menginginkan mempelajari kebudayaan Timur sebagai haluan untuk

merealisasikan “cita-cita ke-Indonesiaan”. Salah satu intelektual yang menganjurkan

mempelajari kebudayaan Timur dalam Polemik Kebudayaan adalah dr. Soetomo.

(26)

Pemikiran sintesis yang muncul dari pertentangan pemikiran di antara para intelektual dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an tersebut akan dikemukakan sendiri oleh penulis. Pemikiran sintesis dari pertentangan pemikiran itu akan dikaitkan dengan wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik Kebudayaan, yakni usaha perumusan Undang-Undang Dasar negara Indonesia pada tahun 1945.

Sementara untuk melihat secara keseluruhan jalannya peristiwa Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930-an itu, penulisan ini menggunakan konsep “Ruang

Publik” yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Menurut Habermas, suatu

diskursus atau perdebatan15 terbuka dapat terjadi apabila tersedia suatu tempat atau

ruang yang dinamakan “Ruang Publik” atau “Public Sphere”. Ruang Publik dapat

berupa berbentuk media masa seperti media cetak. Ruang Publik berupaya menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda itu sehingga mampu dipertemukan dan berdiskursus untuk mencapai konsensus bersama.16 Dengan demikian, maka munculnya perdebatan kebudayaan pada tahun 1930-an antara beberapa intelektual pribumi Indonesia itu tidak dapat dilepaskan dari pentingnya

“Ruang Publik”. Dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, Ruang Publik yang menjadi

tempat bagi perdebatan pada saat itu adalah media cetak, yakni Majalah Poedjangga Baroe, Surat Kabar Pewarta Deli, Harian Soeara Oemoem, dan Surat Kabar Pewarta

15 Untuk seterusnya istilah diskursus yang dikemukakan oleh Jurgen

Habermas dalam teorinya, dalam penulisan ini akan diganti dengan istilah perdebatan.

16 Reza A. A. Watimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Penerbit

(27)

Deli. Selain itu, Habermas juga menyatakan bahwa sebuah perdebatan tertentu, khususnya yang terjadi secara terbuka seperti di media masa, akan mencerminkan demokrasi apabila terjadi tanpa adanya tekanan dari pihak luar terhadap para aktor yang terlibat di dalamnya.

I. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan untuk melakukan penulisan tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini adalah Studi Pustaka, Analisis Data, dan Historiografi. Studi Pustaka dalam peneleitian ini digunakan untuk mendapatkan sumber-sumber atau bahan-bahan yang dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan ini. Adapun pustaka-pustaka yang dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan lainnya, baik yang berupa Koran atau Surat Kabar, maupun jurnal-jurnal penelitian, yang memiliki keterkaitan dengan topik penulisan ini. Selainitu, sumber-sumber yang dijadikan sebagai data dalam penulisan skripsi ini juga diperoleh dari situs-situs di internet (website).

(28)

interpretasi.17

Data-data yang telah diinterpretasikan kemudian dijadikan sebagai bahan historiografi dalam penelitian ini. Penyajian historiografi dalam penulisan ini dilakukan dengan cara historis kronologis, yaitu penyajiannya akan disusun secara berurutan sesuai urutan kurun waktu dari munculnya atau terjadinya peristiwa-peristiwa sejarah. Historiografi dalam penelitian ini penyajiannya seperti dijelaskan dalam bagian Sistematika Penulisan.

J. Sistematika Penulisan

Bab I dalam tulisan ini berisikan: Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Hipotesa, Tujuan Penelitian (Akademis dan Teoretis), Manfaat Penelitian (Akademis dan Praktis), Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Landasan Teori, dan Sistematika Penulisan.

Bab II dalam tulisan ini membahas tentang munculnya “cita-cita

ke-Indonesiaan, dengan sub bab sebagai berikut: A. Lahirnya Masyarakat Intelektual Indonesia, B. Munculnya Cita-Cita Ke-Indonesiaan: 1) Organisasi Budi utomo, 2) Perguruan Taman Siswa, 3) Sumpah Pemuda, dan C. Cita-Cita Ke-Indonesiaan.

Bab III dalam tulisan ini berisikan tentang dinamika perdebatan kebudayaan Indonesia pada tahun 1935 – 1939, dengan sub bab sebagai berikut: A. Ruang Perdebatan Kebudayaan, B. Aktor-Aktor Dibalik Perdebatan Kebudayaan, C. Jalannya Perdebatan Kebudayaan, D. Memaknai Polemik Kebudayaan tahun 1935 –

17 Langkah-langkah metodologi penelitian sejarah dapat dilihat dalam

(29)

1939; D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur; D.2. Kebudayaan, Pendidikan, dan Kebangsaan.

Bab IV dalam tulisan ini berisikan tentang wacana kebudayaan Indonesia setelah Polemik Kebudayaan hingga tahun 1945, dengan sub bab sebagai berikut: A. Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia, B. Perumusan Kebudayaan Nasional Indonesia, C. Rumusan Kebudayaan Nasional Indonesia.

(30)

17 BAB II

DINAMIKA MUNCULNYA CITA-CITA KE-INDONESIAAN

A. Masyarakat Intelektual Indonesia

Lahirnya masyarakat intelektual Indonesia pada abad ke-20, tidak dapat dilepaskan dari munculnya pemikiran simpatik terhadap kehidupan masyarakat pribumi oleh pemerintahan di negeri Belanda. Pemikiran simpatik terhadap kesejahteraan kehidupan pribumi Indonesia tersebut kemudian dirumuskan ke dalam

sebuah program yang dikenal dengan sebutan “Etische Politiek” atau “Politik Etis”.18

Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia-Belanda mengalami kebangkrutan akibat peperangan besar di Pulau Jawa yang dikenal dengan Perang Diponegoro (1825 – 1830). Selain itu, Negeri Belanda juga menghadapi perang kemerdekaan Belgia (1830 – 1839) yang menelan biaya cukup besar. Kedua perang besar yang dihadapi oleh Negeri Belanda tersebut pada akhirnya memicu permasalahan ekonomi yang sangat berat. Oleh sebab itu, maka pemerintahan di Negeri Belanda mengirimkan seorang bernama Van Den Bosch untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda dan ditugaskan melakukan tindakan eksploitasi baru untuk memulihkan perekonomian Negeri Belanda. Gubernur Jenderal Van Den Bosch kemudian menerapkan kebijakan Tanam Paksa di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan

18 Tentang situasi dan kondisi yang melahirkan “Politik Etis” dapat dilihat

(31)

untuk meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia, yang komoditinya laku di pasaran internasional, seperti kopi, teh, tembakau, dan tebu. Dalam pelaksanaannya, kebijakan Tanam Paksa ini mewajibkan setiap petani Indonesia menyerahkan seperlima dari lahan pertaniannya, untuk ditanami komoditas pasaran internasional tersebut. Dalam peraturan lain disebutkan juga bahwa kegagalan panen yang disebabkan oleh bencana alam ditanggung oleh pihak pemerintah, tanah yang diserahkan kepada pemerintah dibebaskan dari pajak, kelebihan hasil panen yang telah ditentukan diserahkan kepada petani, jangka waktu untuk mengerjakan lahan pertanian tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi, dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian diwajibkan bekerja selama 66 hari dalam setahun pada pemerintah. Kebijakan ini memberikan dampak yang luar biasa bagi Negeri Belanda. Sekitar tahun 1860-an, kas Negeri Belanda mengalami surplus dan berhasil menutup segala kerugian perang yang salah-satunya disebabkan oleh Perang Diponegoro (1825

– 1830).

(32)

di perkebunan pemerintah, dengan upah yang sangat rendah. Oleh sebab itu, maka pada tahun 1870, kebijakan Tanam Paksa secara berangsur-angsur dihapuskan dan diganti dengan sistem perekonomian terbuka. Dalam tahun yang sama, Pemerintah Hindia-Belanda membuat Undang-Undang Agraria yang bertujuan untuk melindungi tanah petani dari pihak penguasa dan pemodal asing. Selain itu, Undang-Undang Agraria juga ditujukan untuk memberi kesempatan pemodal asing agar dapat menyewa lahan pertanian masyarakat Indonesia.

Dihapuskannya kebijakan Tanam Paksa oleh Pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia itu, tidak dapat dilepaskan dari masuknya paham liberalisme ke Negeri Belanda. Paham liberalisme menekankan pentingnya perhatian moral kepada manusia, terutama menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak dasar seperti hak untuk kesejahteraan hidup.19 Paham liberalisme ini mengalami perkembangannya di Eropa pada abad ke-19, berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, kemudian menyebar hingga ke Negeri Belanda.

Pada tahun 1899, C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia (dari tahun 1880 – 1890), menerbitkan sebuah artikel berjudul

Een Ereschuld”, “Suatu Hutang Kehormatan”, di dalam jurnal Belanda De Gids.20

Dalam tulisannya itu, Ia menjelaskan bahwa kekosongan kas Negara Belanda akibat

19 Lihat misalnya Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, (Penerbit Buku Kompas, Jakarta April 2010), Hlm. 99 – 100.

20 Mc. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 2004, (Sebelas Maret

(33)

Perang Diponegoro dan Perang Kemerdekaan Belgia telah diisi oleh orang Indonesia.21 Oleh karena itu, menurutnya, “hutang budi” tersebut harus dibayar dengan meningkatkan kesejahteraan pribumi Indonesia, yakni melalui program irigasi, edukasi, dan emigrasi.22 Program irigasi ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Program edukasi ditujukan untuk menghapus buta huruf di kalangan pribumi Indonesia. Sementara program emigrasi ditujukan untuk menaggulangi peningkatan kepadatan penduduk Indonesia, terutama di kawasan Pulau Jawa.

Selain dari C. Th. Van Deventer, pemikiran simpatik akan kesejahteraan hidup pribumi Indonesia juga terdengar dari parlemen Negara Belanda. Dalam sidang Pembukaan Parlemen pada tanggal 17 September 1901, Ratu Belanda, Wilhelmina Helena Pauline Maria, menyampaikan bahwa Pemerintah Belanda berhutang moral kepada rakyat pribumi Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia merupakan wilayah koloni yang telah mengisi kas Negara Belanda. Oleh sebab itu, Ratu Belanda tersebut menyatakan bahwa perlunya diadakan program Trias Politika, yakni irigasi, edukasi, dan emigrasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi Indonesia.

Pada saat dirumuskan dalam sidang Pembukaan Parlemen, progam Trias Politika yang disampaikan oleh Ratu Belanda tersebut menimbulkan sikap pro dan kontra, baik dari kalangan intelektual, politisi, maupun rohaniwan di Negeri Belanda.

21 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional, dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 – 1945, (Pustaka Pelajar) Hlm. 16.

22

(34)

Sikap yang menentang program Trias Politika ini sebagian datang dari Parlemen Belanda. Sementara yang setuju menganggapnya sebagai kewajiban moral atas negeri jajahan. Meskipun mendapatkan banyak tantangan, program Ratu Belanda tersebut tetap dilaksanakan dan dikenal dengan nama Politik Etis.

Adanya kemiripan antara pemikiran C. Th. Van Deventer tentang “Hutang

Kehormatan” dan pemikiran Ratu Wilhelmina Helena Pauline Maria tentang “Hutang

Moral” yang harus dibayarkan kepada rakyat pribumi Indonesia, kemudian

menimbulkan banyak pendapat. Selain dianggap sebagai orang yang pertama kalinya mencentuskan tentang pemikiran simpatik terhadap kesejahteraan kehidupan pribumi Indonesia, C. Th. Van Deventer juga dianggap sebagai pelopor lahirnya Politik Etis.

Dijalankannya Politik Etis oleh Pemerintah Belanda di Indonesia, berhasil mengubah tatanan masyarakat Indonesia. Program Politik Etis kemudian melahirkan golongan masyarakat baru, yakni golongan masyarakat terpelajar atau sering disebut dengan kaum intelektual. Pada awalnya tatanan masyarakat Indonesia cenderung terdiri dari golongan bangsawan, golongan pedagang, dan golongan rakyat biasa.

(35)

pendidikan. Selain kedua bidang tersebut, bidang politik pun diusahakan untuk dikembangkan, sebab terdapat pemikiran bahwa politik merupakan jalan yang tepat untuk mencapai kemerdekaan. Munculnya pemikiran di kalangan intelektual untuk melepaskan rakyat pribumi Indonesia dari tangan penjajahan itu dapat disebut dengan

munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan”.

Cita-cita ke-Indonesiaan yang dilahirkan oleh kaum intelektual semakin terlihat ketika di tahun 1908 berdiri Organisasi Budi Utomo. Organisasi ini menginginkan kemajuan taraf hidup masyarakat pribumi di Pulau Jawa dan Madura, terutama dalam bidang pendidikan. Selain itu, oraganisasi ini juga menginginkan kemajuan dalam bidang kebudayaan.

Setelah beberapa tahun organisasi Budi Utomo berdiri, “cita-cita

ke-Indonesiaan” yang dikumandangkan olehnya semakin mendapatkan penekanan ketika

(36)

Pada tahun 1928, para pemuda Indonesia mengumandangkan sebuah sumpah yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Dalam sumpah tersebut, para pemuda mengikatkan diri dengan menyebutkan bahwa semua pemuda yang ada di Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yakni Indonesia. Dengan demikian, maka sumpah tersebut mencerminkan bahwa di Indonesia pada saat itu telah muncul suatu kesadaran kolektif di kalangan rakyat pribumi Indonesia, menuju ke arah kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, Sumpah Pemuda ini semakin memperkuat

gema “cita-cita ke-Indonesiaan” yang telah dikumandangkan oleh organisasi Budi

Utomo dan Perguruan Taman Siswa.

B. Munculnya Cita-Cita Ke-Indonesiaan

Terbentuknya “cita-cita ke-Indonesiaan” di alam pikiran masyarakat pribumi

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari terciptanya masyarakat intelektual pada awal abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat intelektual merupakan faktor terpenting bagi lahirnya pemikiran-pemikiran tentang perubahan kehidupan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik, terlebih lagi ke arah mencapai

kemerdekaan. Berikut ini akan diuraikan proses terbentuknya “cita-cita

ke-Indonesiaan” yang diwakili oleh berdirinya organisasi Budi Utomo, Perguruan

(37)

B.1. Organisasi Budi Utomo

Pada awal abad ke-20, setelah diterapkannya Politik Etis, pihak pemerintah kolonial Belanda semakin giat memperhatikan bidang pendidikan bagi masyarakat pribumi Indonesia. Akan tetapi perhatian tersebut belum mampu menggapai seluruh masyarakat pribumi Indonesia. Pendidikan pada saat itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian golongan masyarakat, yakni golongan masyarakat menengah ke atas atau golongan masyarakat yang tergolong mampu dalam segi ekonominya. Faktor utama yang menyebabkan keadaan tersebut adalah tingginya biaya pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Keadaan seperti ini kemudian berakibat pada rendahnya tingkat kesadaran akan pendidikan dari masyarakat pribumi Indonesia. Banyak pemuda Indonesia pun tidak dapat mengenyam bangku pendidikan, baik di jenjang pendidikan rendah maupun pendidikan tinggi.

Melihat keadaan tersebut, seorang dokter Jawa bernama Wahidin tergerak hatinya untuk mencari beasiswa pendidikan. Antara tahun 1906 – 1907, Wahidin melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa untuk mempropagandakan pentingnya beasiswa pendidikan bagi pemuda pribumi Indonesia yang kurang mampu dalam kehidupan ekonominya. Perjalanan propaganda yang dilakukan oleh Wahidin tersebut ditujukan untuk membiayai pendidikan pemuda pribumi Indonesia agar dapat mengenyam bangku pendidikan.

(38)

“Wahidin mendekati para priyayi yang lebih tua dan lebih tinggi, khususnya

para bupati yang kaya dan berpengaruh, tetapi tidak banyak di antara mereka itu yang menaruh minat pada usahanya, walaupun juga tidak keberatan terhadap diperluasnya pendidikan Barat. Di sana-sini terkadang Wahidin harus menghadapi tantangan keras dari kalangan bupati, yang memandangnya hendak mengguncang ketenteraman dan ketertiban sistem yang berlaku; setengahnya lagi berpaling muka semata-mata oleh karena kedudukan rendah Wahidin sebagai dokter Jawa, yang berpangkat sejajar dengan asisten wedana senior saja; dan golongan lain pun karena memang tidak senang terhadap

perubahan apapun”.23

Meskipun banyak mendapatkan tantangan yang berat, Wahidin tidak berhenti melakukan usaha propagandanya. Ketika pertama kali dilakukan, usaha propaganda beasiswa pendidikan yang dilakukan oleh Wahidin telah mendapatkan dukungan dari beberapa petinggi rakyat, salah satunya adalah Pangeran Ario Noto Dirojo24.

Pada tahun 1908, Wahidin melanjutkan propagandanya ke School Tot Opleiding Van Inlandsche Arsten (STOVIA).25 Pidato propaganda Wahidin di STOVIA berhasil memukau beberapa murid sekolah tersebut, diantaranya adalah Soetomo dan Suraji, dua calon dokter yang pada saat itu berusia sekitar 20-an tahun.

Soetomo dan Suraji yang tertarik mendengar pidato propaganda Wahidin di sekolah mereka, kemudian tertarik untuk melakukan kegiatan di bidang pendidikan. Pada tahun 1908, bersama rekan-rekannya di STOVIA, Soetomo dan Suraji mendirikan organisasi bernama Budi Utomo. Pada tanggal 20 Mei 1908, organisasi

23

Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 – 1918, (Grafiti Pers, Jakarta, 1989), Hlm. 52.

24 Pangeran Ario Noto Dirojo adalah seorang putera dari Kanjeng Gusti

Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo atau Pakualam V (1878 – 1900).

25 STOVIA adalah sekolah didirikan oleh pemerintah Belanda untuk mendidik

(39)

Budi Utomo dinyatakan telah resmi berdiri, meskipun belum mendapatkan pengakuan dari pihak pemerintah Hindia-Belanda. Tujuan utama didirikannya organisasi Budi Utomo adalah untuk mengusahakan perubahan hidup bagi masyrakat pribumi di Pulau Jawa dan Madura ke arah yang lebih baik.

Pada tanggal 2 – 5 Oktober 1908, organisasi Budi Utomo menyelenggarakan kongres pertamanya. Kongres diadakan di gedung Pendidikan Guru di kota Yogyakarta. Dalam kongres tersebut terjadi pertentangan pendapat mengenai arah dan bentuk organisasi Budi Utomo. Di satu sisi, sebagian anggotanya menginginkan agar organisasi Budi Utomo berjalan beriringan atau berkerjasama dengan Pemerintahan Hindia-Belanda. Organisasi Budi Utomo diharapkan dapat melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan dan bidang perekonomian bersama pemerintah. Sementara di sisi lain, ada beberapa anggota yang menginginkan agar organisasi Budi Utomo menjadi organisasi politik. Salah satu penganjur terkuat yang menginginkan organisasi Budi Utomo menjadi organisasi politik adalah Tjipto Mangunkusumo.

(40)

masyarakat Jawa. Dari pernyataannya tersebut, Tjipto Mangunkusumo sangat jelas menginginkan perkembangan masyarakat Jawa ke arah modern.

Dalam kongres pertama organisasi Budi Utomo tersebut, dr. Radjiman juga mendapatkan kesempatan untuk berbicara di depan umum. Dalam pidatonya, Ia menyanggah pernyataan Tjipto Mangunkusumo soal pendidikan Barat. Menurut dr. Radjiman, untuk mengembangkan masyarakat Jawa yang dibutuhkan adalah keseimbangan pengetahuan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Memperingatkan kemungkinan yang timbul dari pemujaan terlalu besar terhadap kebudayaan Barat, yang mungkin mengakibatkan disintegrasi kebudayaan Jawa lebih jauh, sikap dr. Radjiman sama seperti sikap tradisional para priyayi dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing.26 Sikap yang ditunjukkan oleh dr. Radjiman ini menunjukkan bahwa Ia tidak mau bangsanya menjadi seperti bangsa Barat, dengan tingkat kemajuannya yang pesat bangsa Barat telah melahirkan kolonialisme.

Pada akhir tahun 1908 diumumkan susunan program organisasi Budi Utomo. Terdapat dua versi tentang program organisasi, yaitu: pertama, berupa laporan tangan oleh penulis tak dikenal berinisial AK tertanggal 17 Desember 1908, dan dikirim bersama kliping-kliping surat kabar kepada Menteri Tanah Jajahan; dan kedua,

26

(41)

berupa sebuah daftar termasuk di dalam ceramah Eyken bulan Maret 1909.27 Laporan itu meliputi:28

1. Permohonan kepada pemerintah:

a. Menyempurnakan pendidikan di Kweekschool dan OSVIA. b. Mempertahankan mutu pendidikan di STOVIA.

c. Mendirikan sekolah-sekolah Frobel untuk anak pribumi laki-laki dan perempuan, dan membuka pinti-pintu sekolah-sekolah dasar Eropa bagi anak-anak pribumi, walaupun mereka tidak memahami bahasa Belanda, atau jika tidak, mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi serupa dengan sekolah-sekolah Belanda-Cina.

d. Mendirikan sekolah-sekolah dagang untuk pribumi, termasuk untuk kaum perempuan.

e. Menyediakan lebih banyak tanah untuk sekolah-sekolah pertanian. f. Memberikan beasiswa kepada murid-murid pribumi.

g. Member ijin penyelenggaraan undian (dengan tujuan mengumpulkan dana beasiswa, dan lain-lain).

h. Memberi ijin Budi Utomo mendirikan sekolah-sekolah desa.

2. Langkah-langkah yang diambil Budi utomo:

a. Mendirikan sekolah-sekolah perempuan sebanyak-banyaknya.

27Ibid., Hlm. 87. 28

(42)

b. Mendirikan yayasan untuk peminta-minta tua dan muda. c. Berjuang melawan riba.

d. Membuka perpustakaan rakyat.

e. Menggunakan sebagian anggaran untuk beasiswa pribumi.

f. Akhirnya ditambahkan agar sebuah program dicantumkan untuk memulihkan ujian masuk ke STOVIA, sehingga tidak lagi diserahkan pada kebijakan residen (Verbaal 3 November 1909, no. 53).

Beberapa tahun kemudian tersusunlah anggaran dasar organisasi Budi Utomo, yakni sebagai berikut:

Secara khusus organisasi akan akan mencurahkan perhatian pada:29 1. Kepentingan pendidikan dalam arti seluas-luasnya.

2. Perbaikan pertanian, peternakan, dan perdagangan. 3. Perkembangan tehknik dan industry.

4. Menumbuhkan kembali kesenian dan tradisi pribumi. 5. Menjunjung tinggi cita-cita umat manusia pada umumnya.

6. Hal-hal lain yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan bangsa (Lampiran IV, Pas 3).

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1916 – 1917, organisasi Budi Utomo turut membantu dalam usaha membentuk Dewan Perwakilan Rakyat bagi pribumi Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat pribumi tersebut ditujukan sebagai

29

(43)

wadah untuk menyampaikan berbagai kepentingan pribumi kepada pemerintahan Hidia-Belanda. Salah satu perwakilan dari organisasi Budi Utomo yang duduk dalam dewan perwakilan tersebut Dwijosewojo.

Pada awalnya organisasi Budi Utomo mengkhususkan kegiatannya di Pulau Jawa dan Madura. Dengan tujuan mengembangkan bidang pendidikan dan kebudayaan bagi masyarakat pribumi di dua wilayah tersebut. Meskipun demikian, berdirinya organisasi Budi Utomo ini telah mencerminkan bahwa di Indonesia telah tercipta suatu kesadaran akan kesejahteraan kehidupan bangsa. Selain itu, berdirinya organisasi Budi Utomo juga mencerminkan kesadaran ke arah kemerdekaan dari penjajahan. Hal ini tercermin dari pemikiran-pemikiran tentang perlunya menghindari kerusakan kebudayaan jawa akibat penetrasi kebudayaan asing.

B.2. Perguruan Taman Siswa

Pada tahun 1920-an, kehidupan masyarakat pribumi Indonesia semakin terpuruk. Hal ini diperparah lagi dengan semakin gencarnya pihak pemerintah Hindia-Belanda melakukan tindakan eksploitasi, terutama di bidang ekonomi. Melalui sektor pertanian, masyarakat pribumi Indonesia diperkerjakan dengan upah yang sangat rendah, dengan alasan bahwa tingkat pendidikan masyarakat pribumi Indonesia masih rendah.

(44)

keaktifannya dalam sebuah organisasi politik bernama Indische Partij30, bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Setelah pulang dari pengasingannya, pada tahun 1922 Raden Mas Suwardi Suryaningrat mendirikan sebuah perguruan yang diberikan nama Taman Siswa. Nama lengkap perguruan ini adalah National Onderwijs Instituut Taman Siswa.31 Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu sistem pendidikan yang berdasar pada suatu sintesa realistis dari kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Barat yang kelak bias mendidik pemuda Indonesia untuk berdikari dan mengembangkan dalam diri mereka suatu tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis yang mereka hadapi.32 Prinsipnya ialah

bahwa pendidikan harus bertujuan “konstruksi suatu peradaban dari bawah,

mula-mula dari Jawa, kemudian Indonesia” bukan “tiruan budaya Barat”.33

Dengan demikian, maka yang diinginkan oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat adalah

30 Indische Partij adalah sebuah organisasi politik yang didirikan oleh E.F.E.

Douwes Dekker, yang kemudian lebih dikenal dengan nama dr. Setiabudi, pada tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini keanggotaannya terdiri dari campuran orang indo dan pribumi Indonesia. Organiasi Indische Partij merupakan kelanjutan dari organisasi bernama Indische Bond yang didirikan pada tahun 1898. Douwes Dekker selanjutnya melakukan kerjasama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ketiga tokoh ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan

“Tiga Serangkai”. Lihat misalnya, Suhartono, Op.Cit., Hlm. 38.

31 Lihat misalnya, H. M. Nasaruddin Anshory, Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme, (LKiS, Yogyakarta, 2008), Hlm. 69.

32 G. Mc. T. Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Sebelas Maret University Press berkerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995), Cetakan I. Hlm. 133.

33 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia. PT Gramedia.

(45)

menciptakan generasi baru masyarakat pribumi Indonesia yang memiliki cirri-ciri Indonesia sendiri, berbeda dari bangsa-bangsa lain, bukan bangsa Barat atau pun bangsa lainnya. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Raden Mas Suwadi Suryaningrat tersebut dipelajarinya dari sistem pendidikan di negeri India yang pelopori oleh Rabindranath Tagor. Raden Mas Suwardi Suryaningrat memepelajari sistem pendidikan dari Rabindranath Tagor ini ketika sedang berada di pengasingannya di negeri Belanda.

Dalam kurun waktu yang sama, Raden Mas Suwardi Suryaningrat kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dilakukannya supaya dapat memasuki atau berinteraksi dengan masyarakat pribumi biasa, bukan semata-mata berinteraksi dengan kalangan kerajaan. Dengan demikian, Ki Hadjar Dewantara mengharapkan bahwa pendidikan dapat dirasakan oleh masyarakat pribumi Indonesia dari kalangan yang kurang mampu.

Didirikannya perguruan Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara pada saat itu, menimbulkan berbagai macam sikap dari orang-orang di sekitarnya. Menurut Nasaruddin Anshory, sikap-sikap tersebut ada tiga macam:341) ada yang tertarik, lalu menjadi keluarga Taman Siswa, 2) ada yang tidak cocok, sebagian besar Guru Pemerintah. Mereka marah-marah mengatakan Ki Hadjar Dewantara memundurkan kemajuan Oderwijs, 3) sebagian besar orang Pemerintah menamakan Taman Siswa sekolah Komunis. Meskipun mendapatkan berbagai macam reaksi, perguruan Taman

34 H. M. Nasaruddin Anshory,

(46)

Siswa tetap berjalan dan semakin dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi bentuk pendidikan nasional.

Perguruan Taman Siswa mengetahui dengan jelas bahwa pendidikan nasional merupakan alat untuk membuat persemaian golongan nasionalis.35 Dengan demikian, maka perguruan ini diharapkan mampu menghasilkan golongan nasionalis baru bersama dengan sekolah-sekolah swasta lain. Selain mengembangkan bidang pendidikan, perguruan Taman Siswa juga berusaha membangkitkan dan mengembangkan kebudayaan daerah di tempat perguruan ini didirikan. Apabila perguruan Taman Siswa didirikan di Pulau Jawa, maka kebudayaan Jawa akan dibangkitkan dan kembangkan, serta diajarkan kepada murid-muridnya. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan Taman Siswa tidak semata-mata ingin menciptakan golongan nasionalis yang mengerti tentang ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus menciptakan golongan nasionalis yang mengetahui tentang kebudayaan asalnya.

Dalam perjalanannya, perguruan Taman Siswa dibekali semboyan pendidikan yang tegas dari pendirinya, Ki Hadjar Dewantara. Seboyan tegas tersebut terdiri dari tiga pokok pemikiran, yaitu: tut wuri handayani, ing madya mangunkarsa, dan ing ngarsa sung tulada.36 Salah satu dari tiga semboyan tegas perguruan Taman Siswa

35 G. Mc. T. Kahin . Op.Cit.,Hal. 66.

36 Secara lengkap tentang asas perguruan Taman Siswa diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam tulisannya berjudul ”Pangkal-pangkal Roch Taman Siswa

dalam buku Peringatan 30 Tahun Taman Siswa tahun 1922 – 1952”, Percetakan

(47)

tersebut, yakni tut wuri handayani, sampai ini masih digunakan sebagai semboyan Pendidikan Nasional Indonesia.

Perguruan Taman Siswa mengalami perkembangan yang sangat pesat, pada tahun 1940 tercatat bahwa telah berdiri 250 sekolah di seluruh Kepulauan Indonesia.37 Keadaan seperti ini dikhawatirkan oleh pemerintah karena dengan dibiarkannya sekolah swasta berarti member peluang kepada perluasan nasionalisme Indonesia yang secara tidak langsung akan menghancurkan kolonialisme dari Indonesia.38 Pada tahun 1932, Pemerintahan Hindia-Belanda mengeluarkan Undang-Undang Sekolah Liar (Wilde Schoolen Ordonantie) untuk menjerat laju perkembangan perguruan Taman Siswa. Akan tetapi setahun Undang-Undang tersebut segera dicabut oleh pemerintah karena banyak perguruan yang menentangnya. Meskipun tidak mendapatkan dana pendidikan dari pemerintah, perguruan Taman Siswa tetap dijalankan dan dikembangkan dengan anggaran dari para pendirinya.

Dari usaha-usaha yang dilakukan oleh perguruan Taman Siswa, seperti mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan tidak lupa mengajarkan tentang kebudayaan di tempat sekolahnya didirikan, perguruan ini telah berusaha menciptakan sebuah masyarakat Indonesia dengan cirri-ciri sendiri, yakni Indonesia. Selain itu, perguruan Taman Siswa juga telah

37 Bernard H. M. Vlekke, Op.Cit., Hlm. 428.

38 Akira Nagazumi, Op.Cit., Hlm. 188 210. Lihat juga, Suhartono, Op.Cit.,

(48)

menciptakan “cita-cita ke-Indonesiaan”, yaitu sebuah bangsa dengan masyarakat

Indonesia yang memiliki keterampilan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Dari hal ini kemudian dapat dimengerti bahwa perguruan Taman Siswa ingin menciptakan bangsa Indonesia, dengan lain perkataan lepas dari tangan penjajahan.

B.3. Sumpah Pemuda

Cita-Cita Ke-Indonesiaan yang telah dikumandangkan oleh organisasi Budi Utomo dan perguruan Taman Siswa, pada decade pertama abad ke-20 juga merasuki kalangan muda Indonesia. Setelah berdiri organisasi Budi Utomo dan perguruan Taman Siswa, para pemuda Indonesia pun seperti tidak ingin tertinggal dalam hal mendirikan organisasi. Pada mulanya bentuk organisasi-organisasi pemuda bersifat kesukuan atau kedaerahan, yang mengutamakan ikatan antara sesama pelajar sedaerah serta membangkitkan perhatian terhadap kebudayaan daerah masing-masing.39 Beberapa diantara organisasi pemuda yang didirikan pada saat itu adalah Jong Bataks Bond (1916), Jong Sumatera (1917), dan Jong Java.

Organisasi-organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan tidak berjalan lama, sebab dalam masing-masing organisasi mucul pemikiran bahwa perlunya diadakan persatuan untuk dapat mendirikan sebuah bangsa yang kuat. Hal ini juga berarti

39 R. Z. Leirissa, at all., Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda,

(49)

bahwa organisasi-organisasi pemuda pada saat itu telah memikirkan tujuan yang ingin dicapai oleh segenap pemuda Indonesia adalah satu, yakni Indonesia merdeka.

Pada tahun 1926, para pelajar dan mahasiswa dari berbagai organisasi pemuda yang ada pada saat itu mulai bergabung dalam satu wadah bersama bernama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).40 Dalam tahun yang sama, perhimpunan pemuda tersebut pun meyelenggarakan kongres pertamanya, dengan tujuan mempererat tali persatuan dari segenap pemuda yang ada di kepulauan Indonesia. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1928, perhimpunan pemuda tersebut kembali meyelenggarakan kongres yang kedua. Dalam kongres kedua ini hadir beberapa tokoh politik pada saat itu, seperti Soekarno, Sartono, dan Soenarjo.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, kongres pemuda kedua tersebut mengumandangkan sebuah sumpah yang dikenal dengan Sumapah Pemuda, selengkapnya sumpah itu berbunyi sebagai berikut:41

1. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.

2. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia

3. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbahasa yang satu, Bahasa Indonesia.

40 Lihat misalnya Suhartono, Op.Cit., Hlm. 78. 41

(50)

Dalam kongres pemuda kedua tersebut, selain mengumandangkan Sumpah Pemudan, juga diperkenalkan lagu kebangsaan, yakni lagu dengan judul “Indonesia

Raya”. Lagu ini diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman. Meskipun pada saat itu

lagu ini tidak dinyanyikan, melainkan diperdengarkan dengan instrument biola, hal ini sangat mengharukan bagi peserta kongres. Pada saat yang sama juga dipertunjukkan bendera kebangsaan Indonesia dengan dua warna, yakni merah pada bagian atas dan putih pada bagian bawahnya.

Peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 mencerminkan suatu kesadaran kolektif dari pemuda-pemuda pribumi Indonesia saat itu. Kesadaran kolektif tersebut dapat diartikan ke dalam berbagai bidang kehidupan, baik kebudayaan maupun bidang-bidang lainnya. Terjadinya Sumpah Pemuda juga

menunjukkan bahwa pada saat itu telah muncul “cita-cita ke-Indonesiaan” yakni cita

(51)

38 BAB III

DINAMIKA PERDEBATAN KEBUDAYAAN INDONESIA TAHUN 1935 – 1939

A. Ruang Perdebatan Kebudayaan

Perdebatan yang terjadi secara terbuka dan tertulis di hadapan sekian banyak sidang pembaca, tidak akan terlaksana tanpa adanya ketersediaan suatu wadah, tempat, atau ruang yang bernama “Ruang Publik”. Ruang tersebut akan menjadi tempat yang mempertemukan berbagai kepentingan yang saling berbeda untuk dapat merumuskan sebuah consensus atau kesepakatan bersama. Ruang Publik yang menjadi tempat perdebatan kebudayaan Indonesia pada tahun 1935 – 1939 adalah media cetak, yaitu Majalah Poedjangga Baroe, Majalah Wasita Surat Kabar Pewarta Deli, dan Harian Soeara Oemoem. Selanjutnya akan dibahas secara mendasar mengenai keempat media cetak tersebut, yakni sebagai berikut:

A.1. Majalah Poedjangga Baroe

(52)

kesusasteraan sudah muncul pada tahun-tahun 1921, 1925, dan 1929, tetapi selalu gagal.42

Diterbitkannya Majalah Poedjangga Baroe oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan kedua rekannya itu, dimaksudkan sebagai reaksi atas terlalu banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis para sastrawan pribumi saat itu. Melalui Balai Pustaka, pemerintah Hindia-Belanda melakukan sensor terhadap karya sastra yang mempropagandakan semangat nasionalisme, atau kesadaran kebangsaan di kalangan pribumi Indonesia. Pemerintah beralasan bahwa hal tersebut dapat mengancam kolonialisme di Indonesia.

Reaksi keras atas tindakan yang dilakukan oleh Balai Pustaka tersebut tercermin dalam semboyan penerbitan Majalah Poedjangga Baroe. Tahun 1933, Majalah Poedjangga Baroe bersemboyan “sebagai wadah kesusasteraan dan bahasa serta kebudayaan umum”.43 Semboyan “sebagai wadah kesusasteraan” secara j

elas memperlihatkan bahwa Majalah Poedjangga Baroe ingin mewadahi karya tulis-karya tulis sastrawan Indonesia pada saat itu, tanpa memandang kepentingan-kepentingan atau tujuan dari karya sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan pribumi yang dianggap oleh Pemerintah Hindia-Belanda sebagai karya sastra yang

mempropaggandakan nasionalisme. Sedangkan semboyan “sebagai wadah bahasa

serta kebudayaan umum” menunjukkan bahwa Majalah Poedjangga Baroe

42 Yudiono. K. S, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Penerbit Grasinsdo,

Jakarta, 2007), Hlm. 78.

43 Mudji Sutrisno, Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketsa, (Penerbit

(53)

mencerminkan kesadaran persatuan bagi bangsa Indonesia, tanpa memandang perbedaan kebudayaan yang ada di Indonesia saat itu.

Pada tahun 1935, Majalah Poedjangga Baroe mengubah semboyan

penerbitannya menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusasteraan, seni

kebudayaan, dan soal masyarakat umum”.44

Perubahan semboyan penerbitan yang kedua ini secara jelas memperlihatkan bahwa Majalah Poedjangga Baroe ingin membawa dan membuat suatu perubahan besar dalam penulisan karya sastra Indonesia pada saat itu. Pada saat itu, semangat modernisasi sangat jelas diperlihatkan, Sutan Takdir Alisjahbana menyerukan agar gaya penulisan sastrawan Indonesia lebih banyak belajar kepada gaya penulisan sastrawan asing, terutama pada gaya penulisan sastrawan Barat. Pada saat itu, Takdir seringkali memuat tulisan-tulisannya yang berhubungan dengan dunia sastra, diantaranya seperti: Puisi Indonesia Zaman Baru; Djiwa Bernyanyi (Poedjangga Baroe, Th. II, no. 3, September 1934), Puisi Indonesia Zaman Baru; Bahasa Baru (Poedjangga Baroe Th. II, no. 5, November 1934), dan Puisi Indonesia Baru; Irama Baru (Poedjangga Baroe, Th. II, no. 4, Oktober 1934).45

Dalam tahun yang sama, tahun 1935, bertepatan dengan peristiwa Polemik Kebudayaan, semboyan penerbitan yang dilontarkan oleh Majalah Poedjangga Baroe semakin bernada tegas, yakni “sebagai pembimbing menuju masyarakat dan

44Ibid.

45 Daftar karya tulis Sutan Takdir Alisjahbana dapat dilihat dalam

(54)

kebudayaan baru”. Dari semboyan tersebut sangat jelas bahwa Malajah Poedjangga

Baroe ingin melakukan perubahan-perubahan besar dalam gaya penulisan sastrawan dan kebudayaan Indonesia. Perubahan-perubahan yang ingin dilakukan oleh Majalah

Poedjangga Baroe tersebut juga diperlihatkan dengan jelas oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam tulisan yang memicu perdebatan pada saat itu, yakni tulisannya

yang berjudul “menuju masyarakat dan kebudayaan baru, Indonesia –

prae-Indonesia”.46

Dalam tulisannya tersebut, Sutan Takdir Alisjahbana mengajak masyarakat Indonesia untuk belajar pada bangsa Barat, agar bangsa Indonesia mampu seperti bangsa Barat yang dianggapnya telah maju dalam segi kehidupannya.

Selain semboyan-semboyan penerbitan yang telah diuraikan di atas, penerbitan Majalah Poedjangga Baroe juga disertai dengan manifestonya, yakni sebagai berikut:47

“Kami jakin sejakin2-nja, semangat kebangoenan inilah jang kelak akan menjelmakan masjarakat Indonesia jang sampoerna, jang akan dapat disandingkan di sisi negeri jang lain dimoeka boemi ini. Dan dalam masjarakat Indonesia jang sampoerna, jang sekarang telah melambai2 itoe, pastilah segala bahagiannja baroe sampoerna poela. Demikian masing2 ra’jat Indonesia, jang telah insyaf akan peroebahan jang mahabesar jang terjadi setiap saat disekelilingnja itoe, haroes beroesaha, bahkan membanting tulang oentoek menjempoernakan jang berdasar sosial, menjempoernakan bahagian sosial, mereka jang berdarah politik menjelenggarakan bahagian politik, mereka jang berdarah seni membimbing bahagian seni dan seteroesnja.

46 Alisjahbana, Sutan Takdir, Op.Cit., Lihat juga, Achdiat Karta Mihardja, Op.Cit.

47

(55)

Seni jang sejati mengoejoedkan cita-cita, perjoeangan, penderitaan masjarakat tempat timboelnja, dan sebagainja. sejarah dan ilmoe masjarakat menoendjoekkan poela, bahwa seni itoelah penggerak masjarakat baroe, pembangoen sesoeatoe bangsa dalam perjalanannja ke arah kebesaran dan kemoeliaan.

Di tengah2 kebangoenan bangsa kita seoemoemnja dan semangat kebangoenan seni bangsa kita pada choesoesnja, semakin hari setara kedoedoekan kesoesasteraan. Satoe-persatoe timboel pengarang dan penjanji menjanjikan lagoenya, selaras dengan getar semangat disekelilingnja: roman, koempoelan sadjak, koepasan, pemandangan kesoesasteraan makin sehari makin banjak memperlihatkan dirinja. Dan benarlah kata dr. Soetomo pada kongres Indonesia Raja kira2 setahoen jang soedah: kesoesasteraan Indonesia jang baroe soedah timboel”.

Dari manifesto Majalah Poedjangga Baroe tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentangnya, yakni: Majalah Poedjangga Baroe diterbitkan untuk membuat suatu perubahan ke arah modernisasi, baik dalam bidang kesusasteraan maupun dalam bidang kebudayaan. Majalah ini juga dimaksudkan sebagai tempat bagi para pengarang atau sastrawan pribumi Indonesia untuk menyalurkan berbagai karya sastra mereka, dan sekaligus sebagai tempat belajar berbagai jenis karya sastra asing. Selain itu, Majalah Poedjangga Baroe juga diterbitkan sebagai sarana pembawa semangat nasionalisme di Indonesia pada saat itu.

(56)

Selasih, Soemanang, Soetan Sjahrir, dan W. J. S. Poerwadarminta.48 Namun, penerbitan Majalah Poedjangga Baroe mendapatkan kritikan keras dari kalangan bangsawan Melayu yang setia kepada Pemerintah kolonial Belanda.49 Kalangan bangsawan Melayu berdalih dengan mengatakan bahwa majalah tersebut akan merusak kasanah bahasa Melayu dengan memasukan bahasa daerah dan bahasa asing. Pada masa pendudukkan Jepang di Indonesia, yakni pada tahun 1942 – 1945, Majalah Poedjangga Baroe dilarang terbit. Pemerintah Jepang beralasan bahwa majalah tersebut mempropagandakan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat pribumi Indonesia. Selain itu, pemerintah Jepang juga mengatakan bahwa majalah tersebut terlalu progresif dan ke-Barat-baratan. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949 – 1953 di bawah kendali Sutan Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat Karta Mihardja, Asrul Sani, Chairil Anwar, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardojo, dan Rivai Avin.50

Ketika diterbitkan kembali pada tahun-tahun pertama setelah Indonesia merdeka, Majalah Poedjangga Baroe telah mengusung semangat yang sangat berbeda dari saat pertama kali diterbitkan. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial, politik, dan kebudayaan yang sudah sangat berbeda.

48 Yudiono. K. S, Op.Cit., Hlm. 79. 49Ibid.

(57)

A.2. Surat Kabar Pewarta Deli

Diterbitkan pertama kali di Kota Medan pada tahun 1920, Surat Kabar

Pewarta Deli dipimpin oleh Dja Endar Muda. Surat kabar ini diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan pribumi bernama Sjarikat Tapanuli. Pada tahun 1911, kepemimpinan redaksi Surat Kabar Pewarta Deli diserahkan kepada Adinegoro (Jamalludin) karena Dja Endar Muda keluar dan menerbitkan Surat Kabar Bintang Atjeh.

Pada tahun-tahun pertama diterbitkan, Surat Kabar Pewarta Deli lebih banyak memuat tulisan yang berisikan kritik terhadap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda di Sumatera. Ketika diberlakukannya kebijakan Poenale Sanctie, sebuah tulisan

berjudul “Nasibnya Koeli Contract di Soematra Timoer” dari seorang bernama

Omega dimuat dalam Surat Kabar Pewarta Deli edisi 18 Desember 1912. Tulisan tersebut mengkritik soal eksploitasi terhadap para kuli (buruh) yang didatangkan oleh pemerintah dari Cina, India, dan Pulau Jawa. Para kuli tersebut diperkerjakan di kebun-kebun milik pemerintah dengan upah yang sangat rendah.

Pada tahun 1916, Surat Kabar Pewarta Deli memuat kembali sebuah tulisan yang merupakan kritik atas tingkah-laku seorang pejabat pemerintah Hindia-Belanda

berjudul “Seorang Ambtenaar Jang Pemaboek”, dalam edisi tanggal 22 Nopember.

Referensi

Dokumen terkait

Denagan aneka makanan dan minuman yang enak dan segar dengan harga yang bias dicapai oleh semua golongan masyarakat sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan ketertarikan saya

Fasilitas yang disediakan oleh penulis dalam perancangan ini adalah kapel sebagai tempat berdoa baik bagi komunitas maupun masyarakat sekitar, biara dengan desain interior

Kata hasud berasal dari berasal dari bahasa arab ‘’hasadun’’,yang berarti dengki,benci.dengki adalah suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan

[r]

“ STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SUBJECTIVE WELLBEING PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT KRONIS YANG MENGIKUTI PROLANIS DI PUSKESMAS ‘X’ KOTA BANDUNG “. Universitas Kristen

[r]

Konselor :”Sebagai kesimpulan akhir dari pembicaraan kita dapat Bapak simpulkan bahwa Anda mempunyai kesulitan untuk berkomunikasi dalam belajar oleh karena itu mulai besok anda

Asian Institut for Teacher Education, menjelaskan kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan peserta didik