• Tidak ada hasil yang ditemukan

Plasminogen Activator Inhibitor – 1 (PAI-1) a Struktur protein PAI-

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1 Diabetes melitus

3. Plasminogen Activator Inhibitor – 1 (PAI-1) a Struktur protein PAI-

Plasminogen activator inhibitor-1 adalah glikoprotein rantai tunggal dengan berat molekul ± 50 kDa yang merupakan anggota famili serpin (serine proteinase inhibitor) (Aso, 2007). Bentuk matur yang disekresi terdiri dari 379 asam amino dan mengandung ± 13% karbohidrat. Pusat reaksi inhibisi PAI-1 terletak pada reactive centere loop (RCL) yang mengandung Arg346 –Met 347 pada carboxy terminus sebagai pseudosubstrat target protease serin (Binder et al., 2002; Hajjar, 2010). Serpin ini aktivitasnya tidak stabil, supaya aktivitasnya stabil maka akan membentuk komplek dengan vitronectin yang merupakan komponen plasma dan matrik periseluler (Hajjar, 2010).

Gen PAI-1 terletak pada lengan panjang kromosom 7 (q21,3 – q22) terdiri dari sembilan ekson dengan panjang 12,2 kb (kilo basa) (Aso, 2007; Hajjar, 2010). Terdapat dua jenis mRNA PAI-1 pada manusia dengan panjang yang berbeda, yaitu 2,3 kb dan 3,3 kb. mRNA yang panjang dengan akhiran γ’ mengandung AT-rich

sequence, bertanggung jawab untuk stabilitas mRNA. Urutan dengan akhiran 5’ yang lebih pendek, mengandung TATA box (transcription initiation site) dan regulatory element, sehingga bagian ini disebut bagian promoter (Binder et al., 2002; Aso, 2007).

b. Ekspresi PAI-1

Ekspresi PAI-1 dapat ditingkatkan pada tingkat transkripsi oleh banyak faktor seperti growth factor dan sitokin (TGF-β1, IL-1, FGF, VEGF), hormon (glukokortikoid, insulin), mediator inflamasi (TNF-α, LPS), metabolit glukosa dan lipid (glukosa, FFA, triglycerol, VLDL), faktor yang mengatur tonus vaskuler (angiotensin II), bahan kimia (phorbol ester), dan faktor lingkungan/fisik (ROS, hipoksia, stres, luka) (Huang dan Lee, 2005). Ekspresi PAI-1 ditekan oleh forskolin dan endothelial growth factor ketika ada heparin (Hajjar, 2010).

Sejumlah elemen pengatur ekspresi gen PAI-1 telah ditemukan pada bagian promoter, diantaranya dua elemen Sp1 (pada -42 dan -73) yang memperantarai respon terhadap glukosa, HIF (hypoxia responsive element, pada -194), VLDL elemen (pada -672/-657), SMAD 3 dan 4 (pada -280, -580, -730) yang memperantarai respon terhadap TGF-β. CCAAT enhancer (pada -226) yang memperantarai upregulasi oleh IL-1 dan IL-6. TNF-α meningkatkan PAI-1 melalui NF-ĸ binding site yang terletak pada -14,7 kb. Polimorfisme 4G/5G (pada -653 ) juga berperan pada ekspresi PAI-1 meskipun masih diperdebatkan (Kruithof, 2008).

Jalur sinyal transduksi yang berperan dalam respon PAI-1 terhadap inflamasi telah diketahui, yaitu MAPK pathway dan NFĸβ. Stimulus ekstraseluler seperti sitokin proinflamasi, growth factor, TLR (toll like receptor) ligand dan ligand dari G- protein receptor akan mengaktivasi kaskade fosforilasi, yaitu MAP3K akan mengaktivasi MAP2K yang selanjutnya mengaktivasi MAP kinase melalui MAPK p38, ERK dan c-jun-N-terminal kinase (JNK), yang akan mengaktivasi faktor transkripsi. IL-1 dan LPS mengaktivasi melalui NFĸβ, aktivasi Iĸ-kinase akan memfosforilasi Iĸβ, selanjutnya terjadi pelepasan NFĸβ ke nukleus dibagian promoter. MAPK dan NFĸβ saling berinteraksi pada beberapa titik seperti MAP3K2, MAPγKγ dan MAPγK7 (TAK1) sehingga mampu memfosforilasi Iĸβ dan menginduksi pelepasan NFĸβ (Kruithof, 2008).

Plasminogen activator inhibitor-1 plasma berada tiga bentuk molekul yang berbeda, yaitu aktif, inaktif (cleaved) dan laten. Bentuk aktif berada dalam sirkulasi dengan half life 10 menit, untuk segera dirubah menjadi bentuk laten. PAI-1 menunjukkan variasi mengikuti irama sirkadian dengan konsentrasi puncak pada pagi hari dan segera menurun kadarnya pada siang hari (Aso, 2007). Bentuk aktif mampu berikatan dengan plasminogen activator (PA), baik itu t-PA (tissue type plasminogen activator) ataupun u-PA (urokinase type plasminogen activator) sehingga menjadi bentuk inaktif (cleaved) yang stabil dan segera dibuang melalui liver (Aso, 2007). Bentuk laten mempunyai stabilitas yang baik akan tetapi tidak mempunyai aktivitas inhibitor karena tidak mempunyai reactive center loop (Binder et al., 2002).

4. Statin

a. Struktur, sumber dan sifat statin

Statin adalah obat yang paling efektif dan paling dapat ditoleransi dengan baik untuk mengatasi peningkatan LDL-C (low-density lipoprotein cholesterol). Obat ini merupakan kompetitif inhibitor HMG-CoA (3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzim A) reduktase, enzim yang bertanggung jawab merubah HMG-CoA menjadi mevalonat yang merupakan langkah penentu kecepatan biosintesis kolesterol (Tamargo et al., 2007; Goodman dan Gillman, 2008; Sadowitz et al., 2010). Statin mempunyai struktur mirip HMG-CoA yang dapat menghambat HMG-CoA reduktase dengan cara mengikat sisi aktif enzim tersebut sehingga tidak dapat berikatan dengan substrat aslinya (Tamargo et al., 2007; Yanez et al., 2008). Hal ini akan berakibat HMG-CoA tidak dapat dirubah menjadi mevalonat dan akan terjadi penurunan sintesis kolesterol terutama di hepatosit (Yanez et al., 2008).

Statin berdasarkan sumbernya dibagi menjadi dua, yaitu statin produk alamiah yang berasal dari metabolit jamur, dan produk sintetik. Produk alamiah disebut juga statin generasi pertama memiliki decaline ring/hexahydronaphtalene ring, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin, sedangkan produk sintetik disebut juga generasi kedua memiliki fluorophenyl group, seperti fluvastatin, atorvastatin dan rosuvastatin (Beltowski, 2005; Tamargo et al., 2007). Produk sintetik mempunyai efek yang lebih kuat, tetapi juga memiliki efek samping yang lebih buruk yaitu rhabdomyolysis (Fenton et al., 2005). Statin generasi ketiga yang merupakan produk sintetik, yaitu cerivastatin, telah ditarik dari pasaran sejak tahun 2001 karena

menyebabkan rhabdomyolysis yang fatal (Beltowski, 2005; Fenton et al., 2005), dilaporkan 31 pasien meninggal karena penyakit ginjal akut akibat rhabdomyolysis (Stancu dan Sima, 2001).

Struktur statin dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu analog HMG-CoA, struktur hydrophobic ring yang berikatan dengan HMG-CoA redukatase dan side ring group yang menentukan solubilitas statin (Sadowitz et al., 2010). Atorvastatin, fluvastatin, lovastatin, pitavastatin, cerivastatin dan simvastatin adalah lipofilik statin, sedangkan pravastatin dan rosuvastatin adalah hidrofilik statin (Tamargo et al., 2007; Sadowitz et al., 2010). Lipofilik statin dapat dengan mudah menembus membran sel di semua organ, akumulasinya di hepatosit karena difusi pasif, sedangkan akumulasi hidrofilik statin di liver melalui carrier-mediated uptake. Distribusi lipofilik statin jauh lebih luas dibandingkan hidrofilik statin sehingga efek pleiotrofik lipofilik statin lebih banyak dibandingkan hidrofilik statin (Sadowitz et al., 2010).

b. Farmakokinetik dan farmakodinamik statin

Absorbsi intestinal statin bervariasi antara 30-50% (Goodman dan Gillman, 2008). Absorbsi lovastatin meningkat bila disertai makan, sedangkan pravastatin, absorbsinya menurun bila disertai makanan. Statin yang lain, absorbsinya tidak dipengaruhi makanan. Pemberian statin sebaiknya pada malam hari karena sintesis kolesterol endogen paling tinggi saat malam (Knopp, 1999). Semua statin diberikan sudah dalam bentuk active -hydroxy acid, kecuali simvastatin dan lovastatin yang

masih dalam bentuk inactive lactone sehingga perlu dirubah menjadi bentuk active - hydroxy acid di liver (Goodman dan Gillman, 2008; Stancu dan Sima, 2001).

Seluruh statin yang diserap akan melalui metabolisme pertama di liver, tetapi mekanisme masuk ke liver berbeda-beda. Atorvastatin, pravastatin dan rosuvastatin melalui OATP-2 (organic anion transporter-2), sedangkan bentuk lipofilik lactone dari simvastatin dan lovastatin dengan cara difusi (Goodman dan Gillman, 2008). Liver merupakan organ target statin, persentase dosis statin yang berada di liver sebagai berikut; fluvastatin dan lovastatin > 70%, simvastatin > 80%, pravastatin > 46%, sedangkan atorvastatin dan cerivastatin belum ada data (Stancu dan Sima, 2001). Akibat dari metabolisme pertama di liver menyebabkan bioavailabilitas statin bervariasi antara 5-30% dari dosis yang diberikan. Di plasma, semua statin dan metabolitnya berikatan dengan protein > 95%, kecuali pravastatin dan metabolitnya yang hanya 50% berikatan denga protein plasma (Goodman dan Gillman, 2008).

Konsentrasi statin di plasma setelah pemberian oral mencapai puncak setelah 1-4 jam. Waktu paruh komponen induk 1-4 jam, kecuali atorvastatin dan rosuvastatin yang mencapai 20 jam, yang berperan semakin kuat efek menurunkan kolesterolnya. Biotransformasi statin terjadi di liver dan lebih dari 70% diekskresi melalui liver yang selanjutnya dibuang melalui feses (Goodman dan Gillman, 2008). Rute ekskresi utama melalui empedu setelah mengalami biotransformasi di liver, sebagian kecil di ekskresi melalui ginjal sehingga konsentrasinya akan lebih tinggi pada pasien penyakit ginjal dan perlu dosis yang lebih kecil pada pasien dengan penyakit liver. Kontraindikasi semua statin untuk diberikan pada wanita hamil karena bersifat

teratogenik, tetapi statin tidak mempengaruhi steroidogenesis di adrenal dan gonadal (Knopp, 1999). Karakteristik statin disajikan pada tabel 2.4 berikut ini.

Tabel 2.1. Karakteristik Statin (Knopp, 1999)

Karakteristik Lovastatin Pravastatin Simvastatin Atorvastatin Fluvastatin Dosis Max (mg/hari) 80 40 80 80 40 Penurunan LDL 34 34 41 50 24 Penurunan TG 16 24 18 29 10 Peningkatan HDL 8,6 12 12 6 8 Waktu paruh (jam) 2 1-2 1-2 14 1,2 Efek makanan thd absorbsi

meningkat menurun tidak berpengaruh tidak berpengaruh dpt diabaikan Waktu pemberian

pagi/malam sbl tidur malam malam sbl tidur

Tembus SSP ya tidak ya tidak Tidak

Ekskresi renal (%) 10 20 13 2 < 6 Metabolisme hepar sitokrom P- 450 3A4 sulfation sitokrom P- 450 3A4 sitokrom P- 450 3A4 sitokrom P- 450 2C9

Statin menghambat biosintesis kolesterol, yaitu pada jalur konversi HMG- CoA menjadi mevalonat. Ketika sintesis kolesterol dihambat maka hepatosit akan merespon dengan meningkatkan sintesis HMG-CoA dan meningkatkan reseptor LDL pada permukaan hepatosit, sehingga ambilan LDL meningkat (Goodman dan Gillman, 2008; Yanez et al., 2008). Hal ini akan menurunkan kadar LDL kolesterol dari 55% menjadi 22%. Oleh karena itu, efek statin terutama meningkatkan ambilan LDL kolesterol plasma dibandingkan penurunan sintesis kolesterol (Yanez et al.,

2008). Statin juga dapat menurunkan kadar LDL dengan cara menurunkan produksi VLDL di hepar sehingga prekursor LDL (VLDL dan IDL) akan menurun. Mekanisme ini merupakan penyebab penurunan trigliseride akibat statin dan bertanggung jawab pada penurunan sekitar 25% LDL kolesterol pada pasien familial hiperkolesterolemia homozigot yang diterapi dengan 80 mg atorvastatin atau simvastatin (Goodman dan Gillman, 2008).

c. Efek pleiotrofik statin

Statin, selain mempunyai kemampuan menurunkan kadar LDL kolesterol tetapi juga mempunyai efek-efek yang lain. Efek statin selain menurunkan kadar kolesterol seringkali disebut sebagai efek pleiotrofik, yang diambil dari bahasa Yunani; pleio berarti banyak, dan tropos berarti sifat (Kotyla, 2010; Yanez et al., 2008). Efek ini terjadi segera setelah dimulai terapi dan seringkali mendahului efek penurunan kolesterol (Kotyla, 2010).

Mekanisme efek pleiotrofik statin berhubungan dengan inhibisi sintesis

isoprenoid intermediates jalur mevalonat seperti isopentenyl adenosine,

farnesylpyrophosphate dan geranyl-geranyl pyrophosphate. Intermediate ini

berfungsi sebagai pengait protein ke lipid di membran sel (lipid anchors) untuk modifikasi paska translasi sejumlah protein yang terlibat dalam jalur transduksi sinyal intraseluler termasuk heterotrimeric G proteins dan small guanosine-triphosphate (GTP)-binding protein, seperti Ras, Rho dan Rac1 (Tamargo et al., 2007). Small

molecular weight G-protein tersebut terlibat dalam proliferasi sel, diferensiasi, apoptosis, migrasi, kontraksi dan pengaturan trankripsi gen (McFarlane et al., 2002).

Pengaitan (anchoring) small G-protein ke membran sel membutuhkan

phrenylation; Ras membutuhkan farnesylation sedangkan Rho membutuhkan

geranylgeranylation. Small G-protein berada di sitoplasma dalam bentuk inaktif berikatan dengan GDP (guanosine diphosphate), untuk menjadi aktif membutuhkan phrenylation sehingga GDP menjadi GTP (guanosine triphosphate), kemudian terjadi translokasi ke membran sel yang akan menimbulkan aktivitas biologisnya (McFarlane et al., 2002). Statin akan menghambat proses phrenylation dengan menghambat pembentukan farnesylation dan geranylgeranylation small G-protein dengan cara menghambat konversi HMG-CoA menjadi mevalonat sehingga tidak terbentuk substrat untuk proses phrenylation seperti tampak pada gambar 2.11 (McFarlane et al., 2002; Paul dan Gahtan, 2003, Wolfrum et al., 2003; Tamargo et al., 2007; Yanez et al., 2008; Kotyla, 2010; Sadowitz et al., 2010).

Isoprenoids penting untuk mempertahankan fluiditas membran, pertumbuhan dan proliferasi sel, ekspresi gen, assembly cytoskeletal dan motilitas sel, pengambilan lipid dan protein, nuclear transport dan pertahanan host. Efek pleiotrofik statin meliputi memperbaiki disfungsi endotel, modulasi fungsi autonom, stabilisasi plak, antioksidan, antiinflamasi, antitrombotik dan kardioprotektif (Tamargo et al., 2007).

Ras berhubungan dengan migrasi dan proliferasi VSMC serta penumpukan fatty streaks. Berbagai penelitian membuktikan, inhibisi aktivasi Ras akan menurunkan progresi aterosklerosis dan hiperplasi neointima (Sadowitz et al., 2010).

Ras terletak diatas (upstream) jalur MAPK sehingga inhibisi Ras maka akan terjadi inhibisi MAPK (Paul dan Gahtan, 2003).

Gambar 2.11. Efek statin terhadap aktivitas small G-protein. (dikutip dari McFarlane et al., 2002).

Rho mempunyai aktivitas biologis yang sangat luas, meliputi pengaturan actin cytoskeleton, migrasi seluler, perkembangan neuronal, morfogenesis, transkripsi gen dan stabilitas mRNA serta divisi dan adhesi sel. Juga berperan pada struktur dan fungsi vaskuler. Secara singkat, efek Rho terhadap VSMC dan sel endotel adalah proaterogenik (Sadowitz et al., 2010).

Rac mengaktifkan NADPH oksidase pada SMC dan endotel, merupakan sumber utama ROS pada dinding vaskuler. Peningkatan produksi ROS akan berakibat terjadinya disfungsi endotel dan perkembangan aterosklerosis. Wassmann et al melaporkan bahwa atorvastatin menurunkan produksi ROS yang dipicu oleh angiotensin II dan EGF (endothelial growth factor). Lebih lanjut dijelaskan bahwa atorvastatin tersebut menurunkan Rac di membran dan meningkatkan Rac di

sitoplasmik sehingga terjadi penurunan aktivitas NADPH oksidase (Paul dan Gahtan, 2003).

Kureishi et al melaporkan bahwa statin dapat mengaktivasi Akt yang penting dalam metabolisme dan apoptosis. Akt merupakan bagian jalur PI-3K, aktivasi Akt oleh statin akan menghambat apoptosis dan meningkatkan produksi eNOS pada sel endotel (Wolfrum et al., 2003). Aktivasi PI-3K akan merubah keseimbangan kearah antiapoptosis (Bcl-2) sehingga tidak terjadi aktivasi caspase-9 (Wolfrum et al., 2003). Aktivasi Akt mengakibatkan peningkatan ekspresi GLUT-4 (glucose transporter-4) yang akan mengatasi resistensi insulin dan peningkatan produksi eNOS dengan cara melepas ikatan eNOS-caveolin dan mengikatkan eNOS dengan calmodulin (McFarlane et al., 2002). Efek pleiotrofik tersebut dapat dilihat pada gambar 2.12.

Gambar 2.12. Efek pleiotrofik statin. (Tamargo et al., 2007).

Statin mempunyai kemampuan antioksidan sehingga mampu menghambat aktivitas IKK (inhibitor ĸ kinase) dan NF-ĸβ. Akibatnya NF-ĸβ tetap akan terikat dengan IKβ (inhibitor ĸ ) sehingga tidak bisa mengaktivasi target gen dan tidak terjadi produksi sitokin seperti tampak pada gambar 2.13 (Guntur, 2008).

Gambar 2.13. Sifat antioksidan statin. (dikutip dari Guntur, 2008).

d. Efek samping statin

Statin secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling penting adalah toksisitas ke liver dan otot. Miopati dapat terjadi bila inhibitor sitokrom P-450 atau inhibitor metabolisme statin yang lain diberikan bersamaan dengan statin sehingga terjadi peningkatan kadar statin dalam darah (Stancu dan Sima, 2001). Lovastatin, simvastatin, atorvastatin, dimetabolisme oleh sitokrom P- 450 3A4; fluvastatin oleh sitokrom P-450 2C9; sedangkan pravastatin tidak melalui sitokrom P-450 tatapi melalui proses sulfation. Obat yang menghambat sitokrom P- 450 akan meningkatkan kadar statin sehingga efek samping juga akan meningkat,

sedangkan obat yang menginduksi sitokrom P-450 akan menurunkan kadarnya sehingga menurunkan aktivitas biologisnya (Knopp, 1999).

Hepatotoksisitas terjadi kurang dari 1% pasien yang diberikan statin dosis tinggi dan lebih jarang lagi pada dosis rendah (Knopp, 1999). Hepatotoksisitas berat sangat jarang terjadi, hanya satu kasus persejuta orang pemakai statin pertahun (Goodman dan Gillman, 2008). Bahkan kebanyakan hepatologis sudah tidak menganggap statin menyebabkan hepatotoksis yang signifikan. Para ahli tersebut menyimpulkan peningkatan aminotransferase sehubungan terapi statin bukan merupakan bukti kerusakan liver (Bader, 2010).

Efek samping yang paling signifikan terkait pemakaian statin adalah miopati. Insiden miopati sangat rendah (0,01%) tetapi resiko miopati dan rhabdomyolysis meningkat sesuai dengan peningkatan kadar statin di plasma. Faktor yang menghambat katabolisme statin seperti usia lanjut (>80 tahun), gangguan hepar dan renal, periode perioperatif dan hipotiroidisme akan meningkatkan resiko tersebut. Obat-obat seperti fibrat terutama gemfibrozil, siklosporin, digoxin, warfarin, antibiotik golongan makrolide, mibefradil dan antijamur golongan azole juga meningkatkan resiko miopati (Goodman dan Gillman, 2008).

Meta-analisis terhadap tujuh penelitian RCT (randomized control trial) yang melibatkan 29.395 pasien dengan terapi intensif dan kurang intensif statin, diikuti selama minimal satu tahun, didapatkan efek samping peningkatan aminotransferase hanya 1% dan miopati hanya 0,05%. Dan disimpulkan terapi statin aman dan ditoleransi baik (Josan et al., 2008). Pemakaian statin pada wanita hamil dan

menyusui sebaiknya dihindari karena keamanannya belum jelas (Goodman dan Gillman, 2008).

Dokumen terkait