AYO MENDALAMI
D. Aliran Jabariyah
2. Pokok ajaran Mu’tazilah
Ajaran Mu’tazilah dituangkan dalam al-Ushul al Khamsah (lima dasar ajaran), yaitu:
(1) al-Tauhīd (keesaan Allah), (2) al-‘adlu (keadilan Allah), (3) al-wa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman), (4) al-manzilah baina al-manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan (5) amar ma’ruf nahi munka (memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar).
a. Tauhīd (Ke-Esaan Allah Swt.)
1) Mengingkari sifat-sifat Allah Swt., menurut Kaum Mu’tazilah apa yang dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
2) Al-Qur’an menurutnya adalah makhluk (baru);
3) Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indera manusia, karena Allah tidak akan terjangkau oleh indera mata.
b. Keadilan Allah Swt.
Doktrin teologi Mu’tazilah yang berkaitan dengan keadilan adalah:
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia.
Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan kekuasaan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya.
Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia. Apabila berbuat baik maka akan diberi balasan pahala dan sebaliknya apabila berbuat buruk maka akan mendapatkan dosa dan siksa. Itulah yang dianggap adil oleh Mu’tazilah, karena manusia mempunyai akal untuk mempertimbangkan sesuatu sebelum berbuat. Dan perbuatan manusia itu murni dari manusia itu sendiri, karena Allah tidak campur tangan dalam perbuatan manusia.
c. Janji dan ancaman
UJI PUBLIK
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah Swt. tidak akan mengingkari janji-Nya, memberi pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa. Manusia dengan kemampuan akalnya dapat memilih berbuat baik atau buruk. Apabila berbuat baik maka akan dimasukkan surga, dan sebaliknya yang berbuat buruk akan di siksa di neraka selama-lamanya.
d. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Waṣil bin Aṭo’ memisahkan diri dari majlis Hasan al-Baṣri. Menurut pendapatnya, seseorang muslim yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin, tetapi juga tidak kafir, melainkan menjadi orang fasik.
Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin dan diatas orang kafir. Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati atas dosanya maka tidak dihukumi mukmin, juga bukan kafir, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya, tetapi hukumannya diringankan, nerakanya tidak sepanas neraka yang dihuni oleh orang-orang kafir.
e. Amar makruf dan nahi mungkar
Doktrin Mu’tazilah tentang amar makruf dan nahi mungkar pada awalnya mempunyai kesamaan dengan doktrin Ahlussunnah, yaitu bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran.
Namun, dalam perkembangannya digunakan untuk memaksa kepada pihak yang tidak sepaham dengan teologi Mu’tazilah untuk menerimanya. Para ulama yang dicurigai tidak sependapat dengan Mu’tazilah dinterogasi dan dipaksa untuk menerima pandangan teologinya, khususnya tentang kemakhlukan Kalamullah (al-Qur’an). Inilah yang dinamakan mihnah.
Para pejabat dan ulama yang tidak mau mengakui kemakhlukan al-Qur’an akan dipenjarakan dan disiksa, bahkan ada yang meninggal. Alasannya adalah bahwa orang yang tidak mengakui Kalamullah itu makhluk, maka dihukumi musyrik. Diantara Ulama yang menjadi korban mihnah adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang disiksa di penjara karena tidak mengakui kemakhlukan al-Qur’an.
G. Aliran Asy’ariyah 1. Sejarah Asy’ariyah
Dinamakan aliran Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M.
Al-Asy’ari mengawali belajar ilmu kalam dari ayah tirinya yang bernama Ali al-Jubbai yang beraqidah Mu’tazilah. Dengan demikian maka al-Asy’ari mempunyai paham yang sama dengan gurunya, yaitu Mu’tazilah. Aliran ini diyakininya sampai berusia 40 tahun. Beliau mempelajari aliran Mu’tazilah dengan serius dan
UJI PUBLIK
mendalaminya, hingga sampai suatu saat terjadilah dialog/debat yang serius antara al-Asy’ari dengan al-Jubba’i. Al-al-Asy’ari mengajukan pertanyaan kepada gurunya tentang kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil. Berikut dialognya:
Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat nanti?
Al-Jubba’i : Yang mukmin mendapat tempat yang baik di surge, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terbebas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surge, mungkinkan itu?
Al-Jubba’i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan, sedangkan anak kecil belum melaksanakan kepatuhan itu.
Al-Asy’ari : Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah salahku.
Jika sekiranya Engkau beri kesempatan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “Aku tahu, bahwa jika engkau terus hidup maka akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hokum. Maka untuk kebaikanmu/kepentinganmu, Aku mencabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab/baligh.
Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya anak kecil, apa Sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?
Sampai pada akhir dialog tersebut, al-Jubba’i terdiam dan tidak dapat menjawab pertanyaan al-Asy’ari, sehingga al-Asy’ari merasa tidak puas dan mulai meragukan doktrin ajaran Mu’tazilah.
Dari keraguan itulah, maka al-Asy’ari munajat untuk memohon petunjuk kepada Allah Swt. dan tidak keluar dari rumah selama 15 hari. Setelah hari ke-15 kemudian ia pergi ke masjid Bashrah untuk mengumumkan keteguhannya dalam meninggalkan aliran Mu’tazilah. Di samping alasan tersebut. al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena sikap Mu’tazilah yang lebih mementingkan pendekatan akal dari pada menggunakan al-Qur’an dan hadiś. Untuk itu, al-Asy’ari mulai mengembangkan ajaran teologinya dengan mendahulukan dalil naqli (al-Qur’an dan al-hadiś) dan membatasi penggunaan logika filsafat.
Corak pemikiran kalam Abu Hasan al-Asy’ari yang demikian itu menjadi mudah dipahami oleh kebanyakan orang, sehingga memperoleh pengikut serta pendukung yang banyak. Imam Abu Hasan al-Asy’ari berjuang melawan kaum Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum
UJI PUBLIK
Mu’tazilah di mana-mana, sehingga nama beliau masyhur sebagai Ulama Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan paham Mu’tazilah.
Aliran teologinya disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah karena lebih banyak menggunakan al-Sunnah dalam merumuskan doktrin kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal-jama’ah) dari kalangan masyarakat, karena kesulitan mengikuti pemikiran kalam aliran Mu’tazilah yang menggunakan corak pemikiran filsafat yang rumit. Pemikiran aliran Asy’ariyah kemudian dikembangkan oleh generasi penerusnya, yaitu Imam al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111 M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210 M), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H/1027 M), Abu Bakar al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M).
2. Pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah a. Sifat Tuhan
Pandangan al-Asy’ari tentang sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara Mu’tazilah dan Mujassimah. Mu’tazilah tidak mengakui sifat wujud, qidam, baqa’ dan wahdaniah (ke-Esaan) dan sifat-sifat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain. Golongan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat Allah sesuai dengan Zat Allah sendiri namun sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar, Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
b. Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat al-Asy’ari dalam soal ini juga di tengah-tengah antara Jabariyah dan Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, bahwa manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut aliran Jabariyah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa karena memperoleh (kasb) dari Allah.
c. Keadilan Tuhan
Menurut Al-Asy’ari, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
d. Melihat Tuhan di akhirat
Menurut Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti, walaupun di surga. Paham ini berlawanan dengan paham Asy’ariyah yang berpendapat bahwa Tuhan akan dilihat oleh penduduk surga oleh
hamba-UJI PUBLIK
hambanya yang saleh yang banyak mengenal Tuhan ketika hidup di dunia, Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Qiyāmah (75) : 22-23 sebagai berikut:َ
َي ٞهوُج ُو ة َر ِضاَن ٖذِئَم ۡو .
ٞة َرِظاَن اَهِ ب َر َٰىَلِإ .
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS. Al-Qiyāmah [75] : 22-23)
Berdasarkan ayat tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa ketika orang mukmin dimasukkan ke surga, maka wajah mereka berseri-seri karena kegembiraannya. Dan kegembiraan yang paling tinggi adalah ketika mereka melihat Tuhan. Secara akliyah, setiap yang ada/wujud dapat dilihat, Tuhan itu ada maka bisa dilihat. Adapun tentang bagaimana cara-caranya penghuni surga melihat Tuhan, maka diserahkan kepada Tuhan.
e. Dosa besar
Aliran Asy’ariyah mengatakan, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dihukumi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya, dan kemudian baru dimasukkan surga, semuanya itu terserah tuhan.