• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola bersikap (wujud idiil)

Pola bersikap merupakan wujud idiil dari kebudayaan, dalam penelitian ini dapat dilihat dari penerimaan masyarakat terhadap adat dan tradisi Tengger. Hingga saat ini masyarakat Tengger Ngadisari masih memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap adat budaya mereka, seperti masih tetap dilaksanakannya upacara Entas -Entas, upacara perkawinan maupun pujan oleh semua warga desanya. Meskipun masyarakat Ngadisari ada yang non Hindu namun ketaatan dan rasa memiliki terhadap budaya masih tinggi. Menurut pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, budaya paternalistik dari masyarakatnya masih melekat kuat. Tidak semua masyarakat Ngadisari mengerti dan memahami makna hakiki dari berbaga i ritual adat mereka, namun karena rasa kecintaan dan kepatuhannya tinggi, sehingga apapun yang dikatakan oleh pemimpin mereka (Kepala Desa ataupun Dukun Adat) tentang hal-hal yang terkait dengan adat, mereka terima dengan lapang dada, seperti kewajiban da lam hal penggunaan pakaian adat. Kebanggaan mereka sebagai masyarakat Tengger sangat besar, demikian juga pada generasi mudanya. Hal ini agak berbeda dengan generasi muda masyarakat Samin yang sudah sedikit malu mengakui sebagai orang Samin. Peranan Kepala Desa dan Tokoh Adat cukup kuat dalam membentuk sikap penerimaan masyarakat Tengger Ngadisari terhadap tradisi mereka. Hal ini terkait juga dengan tingkat pendidikan masyarakat yang mayoritas masih rendah, sehingga inisiatif mereka juga masih rendah. Kecenderungan untuk patuh dan tergantung pada kebijakan pemimpin ini ada sisi positif maupun negatifnya. Sisi positifnya menimbulkan tingkat solidaritas sosial yang tinggi diantara warga masyarakat. Namun di sisi lain, jika Kepala Desa yang memimpin tidak memiliki jiwa-jiwa kecintaan pada budaya yang tinggi, akan menyebabkan tingkat kesadaran budaya yang rendah atau bahkan hilang. Kondisi ini diakui oleh Kepala Desa Ngadisari yang cukup prihatin dengan kondisi masyarakatnya. Pada dasarnya peran pemimpin yang me mberi pengaruh sikap penerimaan masyarakat

terhadap budaya lebih pada personal pemimpin. Sedangkan peranan kelembagaan (dalam hal ini pemerintah desa) hanya sebagai alat untuk menjalankan dan melegitimasi kebijakan atas inisiatif seorang Kepala Desa.

Kondisi masyarakat Tengger di desa Ngadisari ini agak berbeda dengan yang terjadi di salah satu desa masyarakat Tengger yang lain. Menurut keterangan Dukun desa tersebut yang kebetulan merupakan Koordinator Dukun sekawasan Tengger yang sempat diwawancarai oleh penulis menyatakan bahwa kepatuhan terhadap pelaksanaan Entas-Entas di desanya sudah ada sedikit pergeseran. Hal ini terkait dengan kepercayaan warganya yang bermacam-macam, sehingga jika dalam suatu keluarga murni non Hindu semua, biasanya sudah tidak melaksanakan upacara Entas-Entas. Namun jika dalam suatu keluarga masih ada yang Hindu, biasanya Entas-Entas masih tetap dilakukan. Analisis dari penulis bahwa keyakinan masyarakat Tengger dalam suatu desa akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tradisi Entas -Entas. Namun untuk analisis yang lebih mendalam dibutuhkan suatu riset tersendiri yang lebih detail mengenai hal tersebut.

Masyarakat Tengger Desa Ngadisari saat ini telah bercampur dengan masyarakat luar desa, baik yang sesama Tengger maupun dari lua r komunitas Tengger. Percampuran terjadi karena perkawinan maupun karena pekerjaan, sehingga komunikasi yang intensif terjalin diantara mereka. Warga yang berasal dari percampuran cenderung memiliki sikap yang homogen (sama dengan masyarakat asli) dalam penerimaannya terhadap tradisi mereka. Pada masyarakat pendatang memiliki kecenderungan sifat yang berbeda, hal ini lebih terkait dengan keyakinan yang mereka anut. Pendatang ini biasanya memiliki keyakinan yang berbeda sehingga memiliki sikap yang berbeda pula. Sikap mereka lebih karena menghargai lingkungan sekitarnya saja.

Interaksi dengan wisatawan juga telah memberikan pengaruh perubahan pada pola sikap dari masyarakat Tengger. Adanya kontribusi secara ekonomi dari kehadiran wisatawan menumbuhkan sikap komersialisasi pada masyarakat Tengger. Mulai muncul sikap untuk menjadikan budaya bernilai profit, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dengan wisata budaya.

Pola kelakuan (wujud aktifitas)

Sampai saat ini segala aktifitas yang berkaitan dengan adat dan budaya Tengger tetap dilaksanakan oleh masyarakat Tengger Desa Ngadisari. Hal-hal yang masih tampak adalah masih kentalnya ritual adat dalam tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat yang diikuti penulis selama melakukan penelitian di daerah tersebut. Namun dalam prosesi Entas -Entas ada hal-hal yang saat ini tidak dilaksanakan, yaitu penggunaan gamelan untuk mengiringi prosesi yang biasa disebut dengan gending ketawang pangentas. Gending ini memiliki fungsi yang sama dengan penggunaan genta, yaitu mengalihkan perhatian roh jahat agar tidak mengganggu pelaksanaan upacara. Dahulu gending ini masih dimainkan, namun saat ini di Desa Ngadisari tidak lagi dimainkan dengan alasan tidak adanya nayaga (penabuh gamelan) yang sesuai. Sebab menur ut Dukun Ngadisari seorang nayaga yang memainkan gending ketawang pangentas harus memiliki syarat-syarat tertentu dan melalui ritual tertentu, sehingga tidak semua orang dapat menjadi nayaga. Oleh karena itu saat ini setiap upacara Entas-Entas di Desa Ngadisari tanpa diiringi gending ini, namun menurut mereka tidak mengurangi makna hakiki acara untuk menyucikan atman, karena fungsinya sama dengan penggunaan genta. Sebagaimana yang diceritakan oleh Dukun Desa Ngadisari kepada penulis sebagai berikut:

“Gending sing ngiringi Entas-Entas iku diarani gending ketawang pangentas, nayagane yo wong khusus, gak sembarang wong iso nabuh gending iki. Saiki wong sing kaya ngono gak ono, tapi besok yen wis ono, yo ning Ngadisari iki dianakno”.

“(Gending/gamelan yang mengiringi Entas-Entas itu dinamakan gending ketawang pangentas, nayaganya ya orang khusus, tidak semua orang bisa memainkan gending ini. Sekarang orang yang seperti itu tidak ada, tapi nanti kalau sudah ada, ya di Ngadisari ini diadakan)”.

Sumber: Wawancara Januari, 2006.

Hal yang masih tetap dilakukan dari dahulu sampai sekarang adalah kegiatan uwar/mupu setiap kali sebelum acara pujan masyarakat Tengger yang dilakukan oleh Legen dengan mengunjungi setiap rumah di Desa Ngadisari untuk memberitahukan acara pujan, baik itu Pujan Kapat, Pujan Kapitu, Pujan Kawolu,

Pujan Kesanga, maupun Pujan Kasada. Sebagaimana yang disampaikan salah satu Legen saat melakukan uwar Pujan Kapat sebagai berikut:

“Yo uwar iku mesti mbak, masio wis ana ning kalender Tengger tapi tetep dikandhani tiap umah. Lekne durung diparani trus dikandhani Legene langsung kurang sreg jarene”.

“(Ya uwar itu selalu dilakukan mbak, meskipun di kalender Tengger sudah ada tapi tetap diberitahu tiap rumah. Kalau belum didatangi dan dikasih tahu sendiri oleh Legennya secara langsung kurang sreg/ pas katanya)”.

Sumber: Wawancara Desember, 2005.

Selain itu pada hari Kamis malam Jum’at legi penulis juga menyaksikan dan mengikuti kegiatan nlasih yang dilakukan warga masyarakat di makam para keluarga mereka. Kemudian di rumah-rumah penduduk juga dapat ditemui berbagai tamping/ sesajen berupa makanan yang menurut keyakinan mereka untuk menyambut roh leluhur yang datang untuk berkunjung.

Dalam kehidupan masyarakat Tengger pemberian tamping tampaknya masih merupakan hal yang perlu dan wajib dilakukan. Hal ini tampak ketika pertama kali datang di tempat penelitian, penulis menempati sebuah kamar baru, maka pemilik rumah segera memberikan tamping di depan kamar dan di dalam kamar mandi. Beberapa hari kemudian saat ada orang yang memiliki kendaraan baru, maka tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat berhenti, yang kebetulan salah satunya di depan tempat penulis menginap juga diberi tamping untuk menghindari bencana. Masyarakat setempat ternyata masih meyakini bahwa para penghuni alam lain yang berdampingan dengan manusia harus diberi makan agar tidak mengganggu manusia. Kemudian saat mengobservasi daerah sekitar, penulis juga menemukan tamping di pinggir jalan, saat berjalan di sekitar kawasan Bromo tampak seekor lalat hijau terbang di dekat kami, kemudian pemandu penulis segera memberikan sedikit makanan yang kami bawa untuk diletakkan di pinggir jalan. Alasannya agar yang mbaurekso (penjaga) daerah tersebut makan dan tidak mengganggu kami. Pemberian tamping juga disaksikan penulis di atap rumah penduduk saat musim hujan angin dengan alasan agar yang lewat tidak mengganggu dan tidak menyebabkan rusaknya rumah, seperti genting berjatuhan atau bahkan ambruk. Tamping tersebut sebenarnya sangat sederhana, yaitu berupa

makanan atau minuman apa saja yang mereka punya diniatkan untuk yang mbaurekso.

Mantra-mantra dalam upacara masyarakat Tengger menggunakan bahasa Jawa, yaitu perpaduan Jawa kuno (sansekerta) dan Jawa baru. Pada mulanya mantra tersebut ditulis dengan huruf Jawa, sehingga tidak semua orang dapat membacanya. Sekitar sepuluh tahun terakhir mulai ditulis dengan tulisan latin agar lebih mudah untuk membaca dan menghafalnya, yang dipelopori oleh Dukun sebelumnya yang kebetulan adalah ayah dari Dukun sekarang.

Masyarakat dan budayanya akan selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai sebuah dimensi perubahan, waktu memiliki peran yang cukup penting, sehingga budaya yang terjadi pada masa sekarang bisa berubah di masa yang akan datang ataupun berbeda dengan masa sebelumnya, begitu pula dengan masyarakat Tengger. Ada hal-hal terkait dengan upacara yang berbeda antara dahulu dengan sekarang. Pada upacara Entas-Entas pembakaran petra yang dilaksanakan di pedanyangan, dahulu selalu dibawa sendiri oleh keluarga yang dientas, dengan cara digendhong (memakai selendang). Seiring dengan meluasnya pemukiman penduduk, ada yang rumahnya jauh dari pedanyangan, sehingga petra dibawa secara kolektif oleh Wong Sepuh, sebagaimana yang dialami oleh penduduk yang tinggal di Dusun Cemoro Lawang. Hal ini dilakukan dengan alasan efisiensi waktu dan tenaga.

Terdapat perubahan pemakaian tali banten dan memakan beras pada upacara Praswala Gara antara yang dulu dengan sekarang. Tali banten dahulu tidak boleh dipotong sebelum putus sendiri, namun sekarang setelah 44 hari sudah boleh diputus. Terkadang mereka melakukan aktifitas yang secara tidak langsung membuat tali cepat putus, seperti digosok-gosok saat mencuci, sebab tali ini bisa bertahan lama sampai lebih dari tujuh bulan, sebagaimana yang dibuktikan sendiri oleh penulis. Sedangkan beras yang dimakan saat upacara Banten Kayopan Agung, dahulu selalu dihabiskan, namun sekarang sudah ada masyarakat yang tidak memakannya sampai habis, karena mereka anggap biasa saja (hanya sebagai ritual).

Upacara adat masyarakat Tengger dalam pelaksanaannya selalu membutuhkan banyak biaya, namun karena terkait dengan keyakinan masyarakat

Hindu Tengger, akan senantiasa dijalankan. Saat ini seringkali diadakan upacara yang dilakukan bersamaan (dijadikan dalam satu hari), khususnya untuk upacara lingkup keluarga. Upacara Entas-Entas biasa digabung dengan upacara Praswala Gara atau juga dengan upacara Khitanan dan lain sebagainya. Selain itu pengambilan air dari sumber Semanik juga ada sedikit perubahan. Dahulu air langsung diambil di sumbernya, sekarang dapat diambil dari air sumber Semanik yang telah dialirkan ke desa, sehingga memudahkan keluarga yang punya hajat.

Pola sarana/ kebendaan (wujud fisik)

Dalam kehidupan sehari-hari banyak benda-benda atau tempat khusus yang masih dilestarikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari. Sarana -sarana kebendaan tersebut adalah: peralatan upacara, tanaman yang dipakai untuk upacara dan tempat-tempat yang disakralkan.

Peralatan Upacara

Peralatan upacara yang digunakan dalam upacara adat masyarakat Tengger, yaitu:

1. Jumput/ Kain Cinde Panca Warna, merupakan kain cinde yang berasal dari sutra kuno dengan lima warna, yaitu: merah, putih, hijau, hitam dan kuning. Kain cinde ini hanya dipakai oleh Dukun setiap kali memimpin upacara Entas -Entas. Saat ini tidak semua Dukun Tengger memiliki kain cinde ini, sebab untuk memperolehnya sangat sulit. Meskipun demikian jika Dukun yang bersangkutan tidak memiliki kain cinde ini, masih diperbolehkan memimpin upacara Entas-Entas.

2. Prasen, merupakan tempat air suci yang dipakai setiap kali memimpin upacara adat Tengger. Prasen ini berasal dari jaman kerajaan Majapahit yang berangka tahun 1226 tahun saka. Di sekeliling prasen terdapat gambar yang merupakan lambang zodiak/ bintang pada masyarakat Hindu saat itu. Diperkirakan prasen ini berasal dari jaman Raja Hayam Wuruk, sebab tahun tersebut merupakan tahun berkuasanya raja tersebut dan ditengah-tengah gambar zodiak tersebut terdapat gambar ”ayam jago” yang diyakini sebagai lambang dari Raja Hayam Wuruk. Tidak semua Dukun Tengger memiliki prasen yang berangka tahun saka, sebab barang tersebut biasanya diwariskan

secara turun-temurun dari suatu keluarga. Maka jika pendahulunya bukan seorang dukun maka dia tidak memiliki prasen berangka tahun saka tersebut. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Dukun yang memiliki prasen yang berangka tahun saka, maka pendahulunya juga merupakan Dukun Tengger di masanya.

3. Berbagai peralatan yang dipakai dalam upacara Entas-Entas, Praswala Gara, maupun Pujan Kapat.

Dahulu dalam rangkaian dandanan mereka, seperti tuwuhan menggunakan tali rafia (dari bahan sintetik), kemudian tamping memakai wadah plastik dengan alasan lebih mudah mendapatkannya. Namun sekarang sudah mulai dirintis kembali untuk menge mbalikan berbagai alat dan bahan-bahan tersebut dari bahan alam, seperti penggunaan tali dari bambu (tali branding) dalam setiap hal yang membutuhkan tali . Penggunaan wadah dari anyaman bambu, saat ini terus diupayakan oleh salah seorang Legen yang kebetulan pandai menganyam untuk membuat sendiri semua wadah-wadah untuk upacara agar tidak sampai me nggunakan bahan dari plastik. Hal ini dirasa perlu dilakukan untuk menjaga keutuhan budaya Tengger, sebab jika dibiarkan saja maka semakin lama adat tradisi mereka akan berubah.

Tanaman yang Berkaitan dengan Upacara

Gambar 13 Peralatan yang digunakan Dukun dalam upacara adat Tengger, berupa: A. Tempat sesaji dan B. Kain cinde panca warna (biasa dipakai dalam upacara Entas-Entas).

Penanaman tanaman tertentu yang berkaitan dengan upacara masyarakat Tengger, khususnya upacara Entas-Entas seperti daun nyangkuh, pohon jarak dan bunga kenikir terus dilakukan. Tanaman nyangkuh dapat kita temui di beberapa tegalan penduduk, begitu pula dengan pohon jarak, sedangkan bunga kenikir banyak ditanam sebagai tanaman hias. Bunga tanalayu (edelweys) karena merupakan tanaman hutan yang banyak tumbuh dan tahan lama, maka tidak membut uhkan penanaman khusus karena banyak terdapat di hutan, jika butuh tinggal memetik di hutan. Penulis pernah menjumpai padang alang-alang di sekitar gaga (tegalan) penduduk, ternyata alang-alang tersebut selain dipakai untuk makanan ternak juga digunakan da lam pembuatan petra. Untuk tanaman yang sulit tumbuh di daerah penelitian, namun digunakan dalam upacara masyarakat Tengger seperti beringin, pohon pisang, kelapa muda (degan) dan janur yang dipakai dalam upacara Praswala Gara biasanya didapatkan dari desa lain atau dipesan di pasar.

Saat melakukan observasi secara partisipatif pada upacara Praswala Gara, penulis menanyakan kenapa tidak diganti saja bahan-bahan yang sulit

C B

D E

A

Gambar 14 Tanaman pembuat Petra, antara lain: A. Alang-alang; B. Bunga Tanalayu/

didapatkan dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh di daerah tersebut yang penting memiliki makna yang sama, seperti beringin yang diganti dengan pohon cemara. Namun menurut mereka hal itu sudah dari dulu dilakukan para pendahulunya sehingga mereka tidak berani dan tidak mau merubah, meskipun bahan yang dibutuhkan harus dicari di tempat yang jauh harus tetap dilaksanakan. Sebab nantinya akan mengurangi makna yang sebenarnya. Sehingga sudah menjadi tugas para Legen dan Wong Sepuh untuk selalu siap dengan berbagai ubo rampe tersebut. Dari sini penulis melihat adanya kepatuha n mereka terhadap apa yang diwariskan secara turun-temurun. Doktrinasi yang diberikan oleh para pendahulu mereka begitu kuat.

Tempat -tempat Sakral

Masih banyak tempat-tempat keramat yang kesakralannya tetap diyakini sampai sekarang. Masyarakat masih ser ing meminta sesuatu ke tempat-tempat tersebut, seperti meminta lancar rejeki ataupun meminta agar dapat cepat memperoleh keturunan. Tempat-tempat yang disakralkan dan berhubungan dengan upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat antara lain: 1. Pedanyangan

Pedanyangan dianggap sebagai tempat bagi danyang yang mbaurekso daerah tersebut. Di desa Ngadisari terdapat dua tempat pedanyangan, yaitu pedanyangan Ngadisari dan pedanyangan Wonosari. Danyang Wonosari menguasai dan menjaga dusun Wonosari, sedangkan danyang Ngadisari menguasai dan menjaga dusun krajan Ngadisari dan Cemoro Lawang. Masih sering ditemui tamping di kedua pedanyangan ini, terlebih lagi jika ada orang yang punya hajat atau sengaja meminta sesuatu di tempat tersebut biasanya membawa tamping. Pembakaran petra setelah upacara Entas -Entas atau upacara yang lain juga dilakukan di tempat tersebut.

Pedanyangan sebagai tempat yang disakralkan cukup terawat dengan baik, bahkan mengalami perbaikan. Jika dahulu hanya berupa tempat yang kecil saja, sekarang sudah dibangun secara permanen berbentuk seperti rumah kecil dengan satu ruangan, ditambah dengan pagar masuk yang mudah dikenali. Bunga kenikir yang dipakai dalam upacara sebenarnya berwarna

merah, yang merupakan tanaman kenikir asli Tengger. Namun karena kesulitan seringkali digunakan bunga kenikir dengan warna seadanya (bisa merah, bisa juga kuning). Saat ini mulai dirintis kembali perbanyakan penanaman bunga kenikir merah untuk upacara adat. Bunga ini biasa ditanam di halaman rumah sebagai tanaman hias.

2. Kutugan

Kutugan merupakan suatu tempat yang oleh masyarakat Tengger diyakini sebagai tempat berkumpulnya para roh sebelum dientas dalam upacara Entas -Entas. Letak kutugan ini termasuk dalam Dusun Cemoro Lawang dekat pintu masuk kawasan wisata Bromo dan Laut Pasir. Kutugan ini sampai sekarang masih tetap terawat. Sebagaimana tempat-tempat sakral pada umumnya, di tempat ini juga selalu terdapat tamping. Warga masyarakat yang berharap keinginannya terkabul ada juga yang berdo’a di tempat ini. Sudah menjadi keyakinan dan kebiasaan masyarakat Tengger untuk pergi ke tempat- tempat sakral jika memiliki hajat agar cepat terkabul.

3. Sumber Semanik

Sumber ini merupakan sumber air yang disucikan oleh masyarakat Tengger Ngadisari dan sekitarnya. Sumber ini dianggap sumber pertama (sumber air yang pertama ada di daerah tersebut), sekaligus diyakini masyarakat Tengger sebagai tempat moksa anak Rara Anteng dan Jaka Seger yang bernama Ni Rawit. Biasanya jika ada suatu upacara, seperti Entas-Entas ataupun Praswala Gara, maka air suci yang dipakai dalam upacara diambil dari sumber ini. Bagi yang akan mengambil sumber air di sini dilarang berbicara dengan siapapun yang ditemui di sepanjang perjalanan, meskipun disapa tetap tidak boleh menyahut. Masyarakat masih meyakini jika menyahut dikhawatirkan apa yang ingin dicapai tidak berhasil/ mengalami kegagalan atau bisa juga terjadi musibah.

Sebagian besar tempat-tempat sakral masyarakat Tengger yang berkaitan dengan cerita Rara Anteng dan Jaka Seger berada di wilayah Desa Ngadisari, sehingga banyak tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tengger di daerah ini. Tempat-tempat tersebut rata-rata berhubungan dengan moksanya

anak-anak Rara Anteng dan Jaka Seger yang secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 11.

Ikhtisar

Pola bersikap dari masyarakat Tengger Desa Ngadisari dalam pelestarian tradisi Entas-Entas, Praswala Gara, dan Pujan Kapat dapat dilihat dari sikap patuh dan penerimaan mereka terhadap tradisi tersebut. Faktor penting yang mempengaruhi sikap patuh tersebut adalah masih kuatnya budaya paternalistik yang berkembang di masyarakat. Dimana peranan Kepala Desa dan Tokoh Adat cukup kuat dalam membentuk sikap penerimaan masyarakat Tengger Ngadisari terhadap tradisi mereka. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengikuti dan meneladani pemimpin mereka. Tingkat pendidikan yang masih rendah ikut menjadi faktor penyebab kepatuhan yang tinggi terhadap pemimpin. Selain itu pengaruh faktor keyakinan juga cukup dominan membentuk sikap mereka terhadap penerimaan pada tradisi tersebut. Seiring dengan interaksi yang cukup tinggi dengan wisatawan, mulai membentuk sikap komersialisasi pada warga masyarakat, dengan harapan akan menambah pendapatan dari perkembangan wisata budaya.

Pola kelakuan dapat dilihat dari masih tingginya intensitas pelaksanaan upacara Entas-Entas, Praswala Gara, dan masih selalu dilaksanakannya upacara Pujan Kapat oleh masyarakat Tengger Ngadisari. Seiring dengan berjalannya waktu terdapat sedikit pergeseran pola kelakuan dalam pelaksanaan upacara tersebut antara yang dulu dengan sekarang. Pergeseran tersebut antara lain, pada upacara Entas-Entas adalah dibawanya petra secara kolektif ke tempat pedanyangan, pengambilan air sumber Semanik tidak langsung dari sumbernya, dan tidak digunakannya gamelan pengiring pada saat upacara. Pada upacara Praswala Gara adalah tidak dihabiskannya lagi beras dalam pelaksanaan Banten Kayopan Agung serta dapat diputuskannya tali banten setelah 44 hari. Pada upacara Pujan Kapat pelaksanaan uwar tidak harus diulangi jik a ada keluarga yang tidak ketemu. Setiap upacara penyajian makanan dan minuman pun juga terjadi pergeseran. Saat ini di setiap upacara selalu disuguhkan minuman ringan bersoda (soft drink). Pergeseran pola kelakuan ini juga tidak terlepas dari budaya

masyarakat yang paternalistik, dimana pemimpin masih dijadikan fokus sentral untuk dipatuhi dan dijadikan teladan dalam tingkah laku sehari-hari.

Pola sarana/ kebendaan masyarakat Tengger dalam upaya sosialisasi ketiga tradisi di atas dapat dilihat dari berbaga i hal yang berkaitan peralatan, tempat-tempat sakral dan tanaman yang berhubungan dengan upacara serta masih