• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polarisasi dan Kovalensi

Dalam dokumen eBook Kimia Anorganik Logam, Sugiyarto (Halaman 59-62)

1.2 IKATAN IONIK

1.2.7 Polarisasi dan Kovalensi

Sebagian besar penggabungan logam dan non-logam mempunyai karakter senyawa ionik, namun terdapat beberapa kekecualian. Kekecualian ini terjadi apabila elektron terluar dari anion tertarik begitu kuatnya ke arah kation sehingga mengakibatkan terbentuknya ikatan kovalen hingga derajat kovalensi tertentu, artinya rapatan anion terdistorsi ke arah kation. Distorsi (penyimpangan) dari bentuk ideal anion ini, yaitu spherical (bentuk bola), disebut polarisasi. Semakin besar sifat polarisasi anion semakin besar derajat ikatan kovalensinya. Aturan yang dikemukakan oleh Kasimir Fajans perihal polarisasi adalah sebagai berikut. (1) Kation dengan ukuran semakin kecil dan muatan positif semakin besar mempunyai daya mempolarisasi semakin kuat. (2) Anion dengan ukuran semakin besar dan muatan negatif semakin besar akan semakin mudah terpolarisasi. (3) Kation yang mempunyai konfigurasi elektronik bukan konfigurasi elektronik gas mulia mempunyai daya mempolarisasi lebih kuat. Ukuran daya mempolarisasi suatu kation dinyatakan dengan rapatan muatannya. Rapatan muatan () adalah muatan ion (jumlah unit muatan dikalikan dengan muatan proton dalam satuan coulomb, C) per satuan volume, sehingga:

 = (dengan n = muatan ion,  = muatan proton dalam satuan coulomb, dan r = jari-jari ion).

Sebagai contoh, ion natrium mempunyai muatan +1 dan jari-jari ionik 116 pm (1,16 x 10-7 mm), maka rapatan muatannya adalah:

Rapatan muatan,  = = 24 C mm-3.

Dengan cara yang sama, rapatan muatan ion aluminium dapat dihitung yaitu sebesar 364 C mm-3. Dengan rapatan muatan yang jauh lebih besar, ion aluminium (Al3+) mempunyai daya mempolarisasi

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya 41 (terhadap anion) yang lebih kuat dibandingkan dengan daya mem-polarisasi ion natrium, sehingga dengan anion yang sama senyawa aluminium lebih bersifat kovalen dibandingkan dengan senyawa natrium.

Salah satu cara yang paling mudah untuk membedakan sifat ionik dari sifat kovalen suatu spesies adalah dengan membandingkan titik lelehnya. Senyawa ionik (dan juga senyawa kovalen jaringan) cenderung mempunyai titik leleh tinggi, tetapi senyawa kovalen sederhana mempunyai titik leleh rendah. Sebagai contoh, senyawa AlF3 dan AlI3 mempunyai titik leleh yang sangat berbeda yaitu masing-masing 1290 dan 190 oC. Ion fluorida mempunyai jari-jari ionik 117 pm, jauh lebih kecil daripada jari-jari ionik iodida, 206 pm. Dari data ini ukuran volume anion iodida kira-kira adalah 5½ (atau 2063 / 1173 ) kali ukuran volume ion fluorida. Tingginya titik leleh aluminium fluorida mengindikasikan bahwa senyawa ini lebih bersifat ionik. Ini berarti bahwa ion fluorida yang ukurannya kecil tidak atau sukar terpolarisasi oleh ion Al3+ sekalipun muatan positifnya besar. Sebaliknya karena besarnya ukuran ion iodidamaka rapatan elektronnya mudah dipolarisasi oleh ion Al3+, sehingga senyawa AlI3 yang terbentuk lebih bersifat kovalen dengan titik leleh yang jauh lebih rendah. Bandingkan dengan titik leleh senyawa KI Bandingkan dengan titik leleh senyawa KI (685 oC), dan KF (857 oC).

Oleh karena jari-jari ionik dengan sendirinya bergantung pada muatan ionnya, maka besarnya muatan kation sering merupakan petunjuk yang baik untuk menentukan derajat kovalensi spesies (sederhana) yang bersangkutan. Kation dengan muatan +1, dan +2, biasanya mendominasi sifat ionik, sedangkan kation dengan muatan +3 membentuk senyawa ionik hanya dengan anion yang sangat sukar terpolarisasi seperti ion fluorida. Kation dengan muatan teoretik +4 atau lebih sesungguhnya tidak dikenal sebagai ion, dan senyawanya sering dianggap sebagai senyawa yang didominasi oleh sifat kovalen. Sebagai contoh, MnO mempunyai titik leleh 1785 oC tetapi Mn2O7 berupa cairan pada temperatur kamar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mn(II)

4 Kimia Anorganik Logam membentuk kisi kristal ionik dalam MnO, tetapi Mn(VII) membentuk molekul kovalen dalam Mn2O7. Menurut perhitungan, rapatan muatan ion Mn7+ (jika ada) adalah 1240 C mm-3 dan ion Mn2+ adalah 84 C mm -3. Rapatan muatan positif ion Mn7+ sangat tinggi, dan ukuran ion lebih kecil dibandingkan dengan ion Mn2+, sehingga mempunyai daya mempolarisasi yang sangat kuat terhadap anion oksida, dan akibatnya terbentuk senyawa yang bersifat kovalen, sesuai dengan titik lelehnya yang rendah.

Aturan Fajans yang ke tiga berkaitan dengan kation yang mem-punyai konfigurasi elektronik bukan gas mulia. Sebagai contoh adalah kation Ag+ (dengan konfigurasi [Ar] 4d10), demikian juga Cu+, Sn2+, dan Pb2+ . Senyawa-senyawa perak halida, AgF, AgCl, AgBr, dan AgI, mem-punyai titik leleh masing-masing 435, 455, 430, dan 558 o C. harga ini le-bih rendah kira-kira 300 oC dibandingkan dengan titik leleh KF, KCl, KBr dan KI.. Dengan demikian, kation perak mempunyai daya mempolari-sasi yang lebih kuat dibandingkan dengan kation K+ , sehingga senya-wa-senyawa perak halida lebih bersifat kovalen dibandingkan dengan senyawa-senyawa kalium halida. Petunjuk lain tentang sifat kovalensi halida perak adalah kenyataan bahwa halida perak (kecuali fluorida) su-kar larut dalam air sedangkan kalium halida semuanya sangat mudah larut dalam air. Menurunnya sifat ionik atau naiknya sifat kovalen halida perak mengakibatkan melemahnya interaksi antara molekul air dengan muatan ion tersebut sehingga cenderung sukar larut. Untuk perak fluo-rida, ukuran ion fluorida yang kecil menyebabkan sukar dipolarisasi oleh kation perak, sehingga senyawanya lebih bersifat ionik dan akibatnya dapat larut dalam air. Contoh lain adalah perbandingan sifat oksida dan sulfida antara natrium(I) dengan tembaga(I). Kation natrium dan tembaga keduanya mempunyai jari-jari yang hampir sama. Oksida maupun sulfida dari na- trium bersifat ionik, larut, dan bereaksi dengan air, tetapi oksida dan sul-fida tembaga(I) tidak larut dalam air. Menurut aturan Fajans yang ke tiga, kation Cu(I) dengan konfigurasi elektronik bukan gas mulia mempunyai

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya 4 daya mempolarisasi yang lebih kuat hingga mempunyai kecenderungan lebih kovalen. Hal ini paralel dengan besarnya perbedaan elektronega-tivitas yaitu ~ 2,5 untuk natrium oksida yang berarti lebih bersifat ionik, dan ~ 1,5 untuk tembaga(I) oksida yang berarti lebih bersifat kovalen.

Dalam dokumen eBook Kimia Anorganik Logam, Sugiyarto (Halaman 59-62)