• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Orbital Molekular

Dalam dokumen eBook Kimia Anorganik Logam, Sugiyarto (Halaman 21-41)

Teori orbital molekular mengandaikan bahwa apabila dua atom atau lebih bergabung membentuk suatu spesies, maka spesies ini tidak lagi memiliki sifat orbital atomik secara individual, melainkan memben-tuk orbital molekular yang elektron-elektronnya dipengaruhi secara serentak oleh kedua inti atom yang bergabung. Pendekatan sederha-na menyarankan bahwa hanya elektron-elektron dalam orbital atomik luar saja yang dianggap membentuk ikatan, sehingga elektron ikatan ini berada dalam orbital molekular; sedangkan elektron-elektron dalam orbital atomik dalam masih tetap sebagaimana keadaannya dalam ma-sing-masing atom secara individual.

Menurut pendekatan kombinasi linear (linear combination), banyaknya orbital molekular yang terbentuk sama dengan jumlah orbital atomik yang bergabung. Bila dua atom yang bergabung masing-masing menyediakan satu orbital atomik (Ψ) maka dihasilkan dua orbital molekular, satunya merupakan kombinasi jumlahan kedua orbital atomik yang saling menguatkan dan lainnya kombinasi kurangan yang saling meniadakan. Kombinasi jumlahan menghasilkan orbital molekular ikat b, bonding) yang mempunyai energi lebih rendah, dan kombinasi kurangan menghasilkan orbital molekular antiikat (Ψa, antibonding) yang mempunyai energi lebih tinggi (Gambar 1.1). Hal ini bukan berarti bahwa semua orbital molekular ini harus ditempati oleh elektron, melainkan elektron mengisi orbital-orbital molekular menurut tingkat energinya dari rendah ke tinggi. Dengan demikian terdapat perbedaan antara jumlah elektron dalam orbital ikat dan dalam orbital antiikat; numerik perbedaan ini dibagi dengan jumlah atom yang berikatan disebut derajat ikatan atau orde ikatan (bond order) yang dapat dipakai sebagai petunjuk kekuatan ikatan yang bersangkutan.

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya  Gambar 1.1 Diagram energi orbital molekular spesies dwiatomik - homonuklir

A-A (a) dan - heteronuklir A-B dengan atom B lebih elektronegatif daripada atom A (b)

(Untuk molekul H , ∆E ~ 458 kJ mol-1 ~ 4,5 eV)

Orbital molekular ikat adalah orbital yang rapatan elektron ikat terpusat mendekat pada daerah antara kedua inti atom yang bergabung, dan dengan demikian menghasilkan situasi yang lebih stabil. Orbital molekular antiikat adalah orbital di mana rapatan elektron ikat terpusat menjauhi daerah antara kedua inti atom yang bergabung, dan dengan demikian menghasilkan situasi yang kurang stabil.

Relatif terhadap energi orbital atomik, penurunan energi orbital molekular ikat (ΔE) sama dengan kenaikan energi orbital molekular antiikat (Gambar 1.1a). Untuk molekul homonuklir, orbital atomik yang sama mempunyai tingkat energi yang sama pula, tetapi dalam molekul heteronuklir menjadi lebih rendah bagi atom yang bersifat lebih elektronegatif (Gambar 1.1b). Jika perbedaan elektronegativitas antara kedua atom yang bergabung ini sangat besar, yang berarti ΔE relatif lebih kecil, karakteristika orbital molekular ikat praktis didominasi oleh orbital atomik dari atom yang lebih elektronegatif dan sebaliknya orbital molekular antiikat didominasi oleh orbital atomik dari atom yang bersifat kurang elektronegatif. Jika pada daerah tumpang-tindih (overlap) ada orbital atomik yang tidak berinteraksi dalam pembentukan ikatan,

4 Kimia Anorganik Logam orbital molekular yang dihasilkan disebut orbital nonikat (nonbonding) dan mempunyai tingkat energi tetap sama dengan orbital atomik dari atom yang bersangkutan.

Tipe orbital molekular

Jika dua orbital atomik 1s (secara matematis masing-masing dinyatakan dengan fungsi gelombang ΨA dan ΨB) bergabung, maka fungsi gelombang orbital molekular ikat (bonding), Ψb, dan antiikat, Ψa, secara berurutan dapat dinyatakan dengan persamaan :

Ψb = ΨA + ΨB dan Ψa = ΨA - ΨB

(Catatan : ΨB - ΨA bukanlah bentuk kombinasi baru melainkan bentuk lain dari minus Ψa )

Rapatan (densitas) elektron atau tepatnya peluang mendapatkan elektron dilukiskan oleh besaran amplitudo, yaitu kuadrat fungsi gelombang yang bersangkutan, Ψ_2 ; bagi kedua fungsi ikat dan fungsi antiikat tersebut adalah:

Ψb2 = ΨA2 + ΨB2 + 2ΨAΨB dan Ψa2 = ΨA2 + ΨB2 - 2ΨAΨB

Kedua persamaan fungsi peluang mendapatkan elektron dari kedua orbital molekular tersebut berbeda dalam hal besaran ± 2ΨAΨB. Nilai integrasi besaran ini melukiskan integral tumpang-tindih yang sangat penting dalam teori ikatan. Jadi, besaran tumpang-tindih dalam orbital ikat bernilai positif, dan ini berarti rapatan elektron di antara kedua inti atom yang bergabung naik atau membesar. Tetapi, besaran tersebut dalam orbital antiikat berharga negatif, dan ini berarti rapatan elektron di antara kedua inti atom yang bergabung turun atau mengecil dan menghasilkan bidang simpul (nodal plane) yang artinya amplitudo berharga nol sebagaimana ditunjukkan Gambar 1.2.

Ikatan yang terjadi secara demikian ini disebut ikatan �� dengan �� dengan dengan rapatan elektron terpusat di sekeliling sumbu ikat. Begitu juga, tipe or-bital molekular yang bersangkutan diberi notasi ���(lengkapnya �� ���(lengkapnya ��(lengkapnya �� ��1s), dan untuk orbital antiikat diberi tambahan superscript- bintang, (����1s* ). Kom- binasi dua macam orbital cara ujung (yang sumbunya berimpit, misal-nya orbital s dengan orbital apapun) selalu menghasilkan orbital ��. ��..

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya 5 Gambar 1.2 Dua macam orbital atomik s-s, s-p, dan p-p (a), bergabung

berdasarkan sifat simetrinya (b) dan membentuk orbital molekular

 Kimia Anorganik Logam Kombinasi antara dua orbital p dapat terjadi menurut dua cara, dan oleh karena itu menghasilkan dua tipe orbital molekular. Cara “ujung” menghasilkan orbital �� ��p dan cara “samping” menghasilkan or-bital � �p; dalam orbital � sumbu ikat terletak pada satu � sumbu ikat terletak pada satu sumbu ikat terletak pada satu nodal plane (bi-dang simpul). Jadi, tumpang tindih ikatan tidak berimpit dengan sumbu ikatan. Dapat dipahami bahwa ikatan �� umumnya lebih kuat daripada �� umumnya lebih kuat daripada umumnya lebih kuat daripada ikatan � karena tumpang-tindih ikatan��� terletak pada sumbu ikat. Bila � karena tumpang-tindih ikatan��� terletak pada sumbu ikat. Bila karena tumpang-tindih ikatan��� terletak pada sumbu ikat. Bila��� terletak pada sumbu ikat. Bila terletak pada sumbu ikat. Bila kombinasi tumpang-tindih menghasilkan dua bidang simpul (yang sa-ling tegak lurus), hasilnya adalah ikatan �; misalnya, kombinasi antara �; misalnya, kombinasi antara misalnya, kombinasi antara dua orbital dy, atau dua orbital d2-y2, atau kombinasi antara keduanya.

Kontruksi diagram energi dan konfigurasi elektronik spesies diatomik Molekul H2 bersifat stabil, diagram energinya secara mudah dapat disusun mirip Gambar 1.1 menghasilkan konfigurasi elektronik (��1s)2 dan dengan demikian mempunyai orde ikatan sebesar satu. Tetapi, molekul “He2”, jika ada, tentu tidak stabil karena mempunyai konfigurasi (��1s)2

(��1s*)2 yang menghasilkan orde ikatan nol.

Diagram orbital molekular untuk molekul diatomik homonuklir periode dua, Li2 hingga F2, dapat disusun menurut kerangka Gambar 1.3a yang dalam hal ini energi �p > ��p; namun, diagram ini mengabaikan adanya interaksi antara orbital s dengan orbital p dari atom yang lain (s – p’, dan s’– p ), dan ini hanya dapat berlaku jika perbedaan energi antara orbital 2s dan 2p cukup besar seperti dalam atom oksigen dan fluorin. Perbedaan energi 2s – 2p unsur Li hingga Ne naik secara nyata sebagaimana dinyatakan dengan kenaikan potensial ionisasi, 2 eV sampai 27 eV.

Oleh karena itu untuk unsur Li hingga N, interaksi s – p’ dan s’– p

tidak dapat diabaikan lagi karena perbedaan energi 2s – 2p dianggap

kecil, dan akibatnya orbital molekular ��p berinteraksi dengan orbital 2s sehingga berakibat lanjut naiknya energi yang bersangkutan hingga menjadi lebih tinggi daripada energi �p (Gambar 1.3b). Perubahan energi Perubahan energi

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya  relatif dengan konfigurasi elektronik molekul Li2 hingga F2 ditunjukkan oleh Gambar 1.4.

Gambar 1.3 Diagram orbital molekular spesies diatomik periode dua, (a) O hingga F , dan (b) Li hingga N

Gambar 1.4 Diagram perubahan (kualitatif) energi orbital molekular spesiesspesies diatomik homonuklir unsur-unsur periode dua

8 Kimia Anorganik Logam Perlu diingat bahwa orbital-orbital “dalam” tidak pernah berperan pada pembentukan orbital molekular; dengan demikian, konfigurasi elektronik molekul O2 dengan sumbu Z sebagai sumbu ikat misalnya, dapat dituliskan sebagai [KK] (����2s)2 (����2s*)2 (��2p)2 (��2py)2 (����2p)2 (��2p*)1 (��2py*)1. Konfigurasi elektronik ini (dalam peringkat dasar, ground state) menunjukkan adanya dua elektron nirpasangan dalam molekul O2 sehingga dapat menjelaskan sifat paramagnetik molekul ini yang dapat ditemui dalam fase cair (energi peringkat tereksitasi hanya sedikit lebih tinggi, 95 kJ mol-1, dan O2 menjadi bersifat diamagnetik); jadi, inilah yang merupakan salah satu keunggulan teori orbital molekular dibanding dengan teori ikatan yang lain.

Berdasarkan pemahaman diagram Gambar 1.4 serta data panjang ikatan, orde ikatan, dan energi disosiasi maka dapat dijelaskan konfigurasi elektronik orbital molekular spesies-spesies analog seperti O2-, O2+, dan sebagainya; perbandingan data ini dapat diperiksa pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Data panjang ikatan, orde ikatan dan energi disosiasi ikatan spesies

diatomik unsur-unsur periode dua

Spesies ElektronJumlah (derajat ikatan)Orde Ikatan Panjang Ikatan(dalam pm) (dalam kJ molEnergi Ikatan-1)

H2 2 1 74 432 “He2 4 0 - -Li2 6 1 267 108 “Be2 8 0 - -B2 10 1 159 292 C2 12 2 124 590 N2 14 3 109 942 O2+ 15 2,5 112 636 O2 16 2 121 494 O2- 17 1,5 130 394 O22- 18 1 149 -F2 18 1 141 154 CO 14 3 113 1070 NO 15 2,5 115 628

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya  Bahkan demikian juga, konfigurasi molekul diatomik heteronuklir dapat diramalkan dengan pemahaman tersebut. Misalnya, molekul CO Misalnya, molekul CO diramalkan mempunyai diagram konfigurasi antara C2 dan O2 , yaitu N2. Karena CO dan N2 keduanya memang isoelektronik maka, keduanya pun mempunyai konfigurasi elektronik yang sama; ternyata, keduanya mem-punyai data panjang ikatan yang hampir sama, tetapi energi disosiasi ikatan lebih besar pada CO. Namun demikian perlu ditekankan, bahwa orbital molekular ikat molekul CO lebih berkarakter orbital atomik oksi-gen ketimbang karbon.

Konstruksi diagram energi orbital molekular logam

Konstruksi diagram energi orbital molekular, misalnya untuk dua atom Li dalam fase gas yang membentuk molekul Li2, dapat diperiksa pada Gambar 1.4. Selanjutnya, andaikata terdapat empat orbital atom 2s dari empat atom Li bergabung dalam molekul Li4, maka diperoleh empat orbital molekular ��2s, yaitu dua orbital ikat dan dua yang lain antiikat. Namun agar tidak melanggar hukum kuantum, energi orbital-orbital ini tidak setingkat (degenerat), artinya energi antiikat. Namun agar tidak melanggar hukum kuantum, energi orbital-orbital ��2s yang satu tidak boleh mempunyai energi yang persis sama dengan energi orbital ��2s yang lain. Oleh karena itu, konstruksi diagram energi orbital Oleh karena itu, konstruksi diagram energi orbital molekular Li4 dapat dilukiskan seperti Gambar 1.5a. Dalam kristal logam, sejumlah besar (n) orbital atomik dari n atom logam bergabung. Orbital-orbital ini berinteraksi secara tiga dimensio-nal membentuk n orbital molekular dengan prinsip yang sama seperti halnya pada pembentukan orbital molekular Li4 tersebut. Oleh karena itu, misalnya dalam gabungan n atom Li menjadi Lin , akan terdapat or-bital molekular ikat ½ n ��2s dan antiikat ½ n ��2s*. Karena demikian ba- nyaknya tingkat energi orbital-orbital ini, jarak tingkat yang satu dengan yang lain menjadi sedemikian dekatnya sehingga menghasilkan suatu bentuk kontinu (sinambung) atau ”pita”. Untuk logam litium, pita energi orbital molekular yang dihasilkan dari orbital atomik 2s, setengahnya akan terisi penuh yaitu bagian pita ikat ½ n ��2s, dan setengah yang lain kosong yaitu bagian pita antiikat ½ n ��2s* (Gambar 1.5b).

10 Kimia Anorganik Logam Gambar 1.5 Diagram orbital molekular Li4 (a) dan Lin (b) Pita energi tertinggi yang berisi penuh elektron disebut pita va-lensi. Pita energi tertinggi berikutnya tempat elektron dapat menjelajah secara bebas sebagai penghantar listrik disebut pita konduksi. Menga-pa demikian? Pita konduksi terdiri atas elektron-elektron yang disebut elektron konduksi yaitu elektron yang mempunyai cukup energi se- hingga tidak tertarik balik oleh tarikan ion positif; elektron-elektron lain- nya pada tingkat energi yang lebih rendah dalam pita konduksi mem-butuhkan energi yang lebih besar untuk mencapai pita kosong dan umumnya tidak berpartisipasi dalam sifat hantaran. Dalam pengaruh medan listrik, elektron konduksi dipercepat ke arah medan dan hasilnya adalah aliran elektron. Pita konduksi ini ada yang kosong, ada yang beri-si elektron banyak, dan ada yang setengah penuh sebagaimana ditemui pada logam.

Pita energi ada yang saling terpisah satu sama lain dengan menghasilkan celah energi terlarang (forbidden energy gap). Celah energi antara pita valensi dengan pita konduksi berperan penting dalam menentukan sifat hantaran listrik. Celah energi ini ukurannya

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya 11 dapat lebar ataupun sempit. Celah yang lebar tidak memungkinkan elektron melintasinya (yakni insulator) dan celah yang sempit memungkinkan elektron melintasinya ke pita energi yang lebih tinggi sebagai penghantar listrik (yakni konduktor). Adanya celah energi ini merupakan konsekuensi sifat mekanika kuantum elektron, yaitu memungkinkan peluang mendapatkan elektron dengan nilai nol. Selain itu, pita energi ada juga yang saling tumpang tindih. Sifat hantaran listrik konduktor (logam), insulator (nonlogam), dan semikonduktor dapat dijelaskan berdasarkan susunan pita-pita energi tersebut dalam bahan yang bersangkutan.

Untuk logam-logam golongan 1, pita konduksi terdiri atas se-tengah pita isi penuh elektron dan setengah pita kosong. Kedua bagian tengahan pita energi ini tentu sangat dekat satu sama lain karena tidak ada celah energi, sehingga elektron-elektron dalam pita konduksi ini dengan mudah mampu menjelajahi pita kosong sebagai pembawa arus listrik.

Elektron-elektron berperan dalam konduksi hanya jika berada dalam pita yang terisi secara parsial. Dalam pita yang terisi penuh dengan tanpa adanya pita kosong cukup dekat, elektron-elektron hanya bergerak saling bertukar tempat. Dalam pengaruh medan listrik elektron-elektron terbagi menjadi dua bagian yang sama jumlahnya dengan dua arah yang menghasilkan resultante nol, tanpa konduksi. Untuk unsur-unsur golongan 2, elektron-elektron dengan energi tertinggi (ns2) menempati secara penuh pita valensi. Sepintas elektron-elektron ini bukan elektron konduksi. Namun, pita konduksi kosong berikutnya tersusun oleh orbital np yang ternyata tumpang-tindih dengan pita valensi, sehingga elektron pada pita valensi mampu berperan sebagai elektron konduksi, menjelajah bebas pada orbital np dalam pita konduksi.

Elektron-elektron yang menempati energi di bawah pita valensi disebut elektron inti (core electrons); elektron-elektron ini terikat kuat oleh inti atom yang bersangkutan dan dianggap kurang berperan dalam menentukan sifat konduktivitas. Jadi untuk (Be)n misalnya,

1 Kimia Anorganik Logam elektron-elektron inti menempati pita energi yang tersusun oleh orbital-orbital (1s2)n, yang posisinya di bawah pita valensi (2s2)n sebagaimana ditunjukkan Gambar 1.6.

Gambar 1.6 Diagram orbital molekular Ben

Dengan adanya pita energi tersebut sifat konduktivitas listrik suatu logam secara sederhana dapat dijelaskan, yaitu bahwa sebuah elektron mampu mencapai ke tingkat-tingkat energi orbital antiikat yang kosong dengan energi yang sangat sedikit lebih tinggi, dan kemudian bergerak bebas melalui struktur logam sebagai arus listrik. Secara sama, sifat konduktivitas termal dapat dijelaskan oleh karena adanya elektron-elektron bebas yang mampu membawa energi secara translasi melalui seluruh bangun kristalnya.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam teori atom, cahaya dise-rap dan dipancarkan apabila elektron pindah dari tingkat energi yang satu ke tingkat energi yang lain, dan pancaran cahaya ini diamati seba-gai spektrum garis. Menurut teori pita tersebut, dalam logam terdapat tingkat-tingkat energi yang sangat banyak jumlahnya, sehingga jumlah kemungkinan terjadinya transisi elektroniknya juga tak terbatas. Akibat-

nya, permukaan atom-atom logam dapat menyerap cahaya dengan se-Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya 1 gala panjang gelombang dan kemudian memancarkan kembali dengan panjang gelombang yang sama karena elektron membebaskan energi yang sama ketika kembali ke peringkat dasarnya (ground state). Jadi, teori pita ini mampu pula menjelaskan sifat reflektivitas logam.

Sifat metalik ternyata masih dapat dipertahankan pada fase cair; pada fase ini adanya tumpang-tindih antar orbital yang menghasilkan sifat metalik seperti halnya pada fase padatnya masih dapat dipertahan-kan, tetapi menjadi lenyap pada fase gas. Jadi, titik didih suatu logam merupakan temperatur terjadinya pemutusan ikatan-ikatan metalik, dan ini merupakan petunjuk kekuatan ikatan metalik yang bersangkut-an. Sebagai contoh, natrium meleleh pada 98 oC tetapi baru mendidih pada 890 oC.

Kontruksi diagram orbital molekular golongan 2 dapat diwakili

unsur Berilium, Be. Unsur ini mempunyai sifat mirip logam atau semi-logam. Dengan konfigurasi elektronik [He] 2s2, kedua orbital molekular ikat �� ��2s dan antiikat �� ��2s* berisi elektron penuh, sehingga dalam daerah pita energi �� ��2s – �� ��2s* tidak lagi terdapat daerah kosong tempat elektron dapat bergerak bebas (Gambar 1.6). Namun demikian, orbital kosong 2p membentuk pita energi 2p yang sedikit bertumpang-tindih dengan pita 2s, dan ini memungkinkan elektron-elektron ”menjelajah” dalam bangun logamnya. Akibatnya, berilium mempunyai konduktivitas listrik yang tinggi, meskipun sifat-sifat kimiawinya lebih mendekati sebagai semilogam.

Teori orbital molekular yang menghasilkan pita energi dapat di-terapkan tidak hanya pada logam melainkan juga pada setiap bahan padatan karena orbital-orbital dari atom-atom secara individu dapat sa- ling mendekat untuk mengadakan tumpang-tindih. Ukuran celah ener-gi antara pita valensi dan pita konduksi bervariasi dalam bahan yang berbeda. Dalam insulator, suatu bahan yang tidak menghantar listrik, celah energi sedemikian lebar sehingga elektron dalam pita valensi ti- dak mungkin dapat melintasinya. Oleh karena dalam insulator pita va-lensi penuh terisi elektron, aliran elektron tidak mungkin berlangsung sehingga sifat konduksi tidak terjadi.

14 Kimia Anorganik Logam Dalam unsur semikonduktor, juga terdapat celah energi antara pita valensi dan pita konduksi, namun celah ini lebih sempit dibanding- kan dengan celah dalam insulator. Bahkan pada temperatur kamar, be- berapa elektron mempunyai energi yang cukup untuk melompati ce-lah ini dan masuk ke dalam pita konduksi tempat elektron ini mampu menjelajah bebas. Celah energi ini untuk beberapa bahan ditunjukkan dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2 Celah energi beberapa bahan (dalam kJ mol-1)

Bahan Celah energi Bahan Celah energi

B 320 Intan 502 Si 100 InP 130 Ge 67 GaAs 140 As(gray) 120 InSb 20 β-Sb 10 CdTe 140 Te 37 Semikonduktor

Semikonduktor adalah suatu padatan, bahan kristalin dengan konduktivitas listrik intermediat antara metal dan insulator. Sifat kon-duktivitas semikonduktor tidak sebaik metal karena jumlah elektron-elektron yang terdapat dalam pita konduksi lebih sedikit dibanding dengan jumlah elektron ini dalam metal. Dengan kata lain semikonduk- tor mempunyai harga tahanan listrik lebih tinggi daripada tahanan list-rik metal. Konduktivitas (dengan unit ohm-1 cm-1) adalah kebalikan dari tahanan. Sebagai contoh, aluminium mempunyai tahanan listrik 2,7.10-6 ohm cm pada 20 0C; silikon murni mempunyai tahanan listrik 105 ohm cm, sedangkan intan murni (insulator) mempunyai tahanan listrik yang sangat tinggi, 1014 ohm cm, pada 15 0C. Semikonduktor mempunyai tahanan listrik pada rentang 10-3 –108 ohm cm.

Temperatur mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap sifat hantaran listrik suatu logam dengan semikonduktor. Dalam kisi kristal metalik, kenaikan temperatur mengakibatkan meningkatnya frekuensi

Ikatan pada Logam dan Senyawa-senyawanya 15 vibrasi ion-ion pada posisi kisinya. Hal ini menyebabkan elektron yang bergerak melalui metal dibawah pengaruh medan listrik menjadi me-ningkat peluangnya dalam menumbuk ion. Akibatnya, untuk logam kenaikan temperatur menaikkan tahanan listriknya. Tetapi untuk semi-konduktor, kenaikkan temperatur menyebabkan bertambahnya jumlah elektron yang memperoleh cukup energi untuk melompat keluar dari pita valensi ke pita konduksi. Dengan demikian, kenaikan temperatur mengakibatkan penurunan tahanan listrik semikonduktor. Seberapa jauh perubahan tahanan listrik oleh karena perubahan temperatur ini bagi semikondoktor berbeda satu sama lain. Secara umum, kondukti- Secara umum, kondukti-vitas semikonduktor menyerupai metal pada temperatur tinggi, tetapi menyerupai insulator pada temperatur rendah. Gambar 1.7 Skema struktur pita : (a) non logam (b) semikonduktor intrinsik (c) semikonduktor pengotor

Teori pita juga dapat dipakai untuk menjelaskan beberapa se- nyawa bersifat sebagai konduktor listrik, beberapa lainnya tidak dan be-berapa yang lain semikonduktor. Dalam logam, pita-pita energi elektron Dalam logam, pita-pita energi elektron bertumpang-tindih dan mengizinkan elektron bergerak bebas melalui pita dalam seluruh struktur kristalnya. Dalam nonmetal, pita-pita ter-pisah cukup lebar dan menghasilkan celah energi sehingga tidak me- mungkinkan elektron mampu bergerak bebas (Gambar 1.7a); unsur nonmetal ini dikenal sebagai insulator. Dalam beberapa unsur, celah

1 Kimia Anorganik Logam atau gap energi antara pita-pita cukup kecil sehingga memungkinkan hanya sedikit elektron dapat tereksitasi ke pita kosong di atasnya (Gam-bar 1.7b); unsur demikian ini dikenal sebagai semikonduktor intrinsik. Teknologi modern memerlukan material semikonduktor, dan ini dapat disintesis sesuai dengan karakteristika yang diinginkan. Semikon-duktor dapat dibuat dari unsur-unsur dengan celah pita lebar (insulator) kemudian didadah (doping) dengan unsur-unsur lain sebagai pengotor. Unsur tambahan ini mempunyai pita tingkat energi (isi-kosong tanpa gap atau celah) yang ukurannya tepat pada celah antara pita isi dan pita kosong dari bahan utama insulator tersebut (Gambar 1.7c). Melalui pita pengotor ini beberapa elektron dari material utama dapat bergerak be-bas ke pita energi kosong sehingga memungkinkan terbentuknya sifat semikonduktor listrik; sifat ini dapat diatur sesuai dengan proses pen-dadahan antara bahan utama dengan bahan pengotornya seperti yang diinginkan. Komparasi model pita energi untuk insulator (nonlogam), logam, dan berbagai jenis semikonduktor ditunjukkan oleh Gambar 1.8. Sifat konduktivitas semikonduktor sering dipahami dengan penerapan dua istilah, yaitu aliran elektron bebas dalam pita konduksi dan migrasi “lubang” dalam pita valensi yang berlawanan arah dengan aliran elektron tersebut. Elektron yang melompat keluar dari pita valensi Elektron yang melompat keluar dari pita valensi akan meninggalkan “lubang” bekas seperti halnya seseorang bangkit dari tempat duduk meninggalkan tempat duduk yang kosong. Andaikata tempat duduk yang kosong ini berada di baris ujung (depan), kemudian baris isi belakangnya pindah ke tempat kosong di depannya demikian seterusnya, maka seolah-olah telah terjadi migrasi tempat duduk kosong (lubang) dari depan ke arah belakang. Dibawah pengaruh medan listrik, lubang-lubang (elektron) bermigrasi dalam pita valensi dengan cara seperti tersebut di atas. Oleh karena lubang yang ditinggalkan elektron memberikan efek muatan positif (sebagai akibat “kekurangan” elektron), maka terjadilah aliran muatan positif yang berlawanan arah dengan elektron konduksi.

Dalam semikonduktor murni pada temperatur kamar, jumlah elektron dalam pita konduksi sama dengan jumlah lubang dalam pita

Dalam dokumen eBook Kimia Anorganik Logam, Sugiyarto (Halaman 21-41)