• Tidak ada hasil yang ditemukan

(1960-1966).

Istilah “demokrasi terpimpin” untuk pertama kalinya dipakai secara resmi dalam pidato Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956 ketika membuka Konstituante. Istilah dan pengertian “demokrasi terpimpin” timbul dari keinsafan, kesadaran dan keyakinan akan keburukan-keburukan yang diakibatkan oleh paham liberalisme. Paham liberalisme yang mendewa-dewakan kebebasan perseorangan seperti dianut dan dilaksanakan di dunia Barat mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua golongan ekonomi yang kepentingan hidupnya saling bertentangan, yaitu golongan manusia yang dapat menguasai alat-alat produksi sebagai hasil perlombaan yang bebas dan golongan manusia yang tidak mempunyai kekuasaan atas alat-alat produksi karena terdesak di dalam perlombaan yang bebas itu.

Keadaan demikian tidak cocok dengan perasaan keadilan setiap orang. Berhubung dengan itu bangsa Indonesia menghendaki satu demokrasi yang tidak didasarkan atas teori liberalisme. Bangsa Indonesia sejak kebangkitannya di zaman penjajahan dan kemudian ditegaskan dalam permulaan revolusinya menghendaki satu demokrasi yang lain, yaitu satu demokrasi yang membawa masyarakat kepada keadaan yang memenuhi perasaan keadilan semua orang, suatu keadaan yang adil. Bentuk pelaksanaan dari demokrasi yang demikian itu dinamakan “demokrasi terpimpin”.

Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :

Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.

Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara. Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada

Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil. Politik luar negeri dimasa demokarasi terpimpin didasarkan pada Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedom an revolusi dan

politik luar neger i. Dimana isi dari pidato tersebut adalah :

“ Acara yang sekarang menjadi pokok pembicaraan adalah sangat penting. Tahun yang lalu Majelis Umum yang ke-XV telah menerima sebuah pernyataan yang bersejarah mengenai kebebbasan bangsa-bangsa dan rakyat-rakyat. Pernyataan ittu dengan hikmat menyatakan keharusan untuk selekas mengakhiri kolonialisme dalam segala bentuk dan penjelmaannya.

Tidak perlu rasanya saya uraikan dengan panjang lebar dihadapan Majelis ini betapa kolonialisme itu telah mempengaruhi kehidupan umat manusia. Berjuta-juta perkataan telah diucapkan dalam Majelis yang mulia ini, yang menggambarkan keadaan dari rakyat-rakyat tak terhitung banyaknya yang telah beratus tahun menanggung siksaan kolonialisme, penjajahan, dan penghisapan asing. Raktyat-rakyat itu telah melalui suatu sejarah yang penuh dengan penindasan, penghinaan, dan penghisapan. Tetapi mereka juga telah mengalami peperangan dan perjuangan perkasa untuk kemerdekaan.

Memang, kolonialisme senantiasa menjumpai perlawanan. Semakin kuat kolonialisme dipaksakan, semakin kuat pula perlawanan terhadapnya. Perang colonial, walaupun hanya secara kecil-kecilan dsn terbatas pada suatu daerah, tak dapat dipisahkan dari sejarah kolonialisme. Hanya disebabkan keunggulan dalam tekhnik

dan alat-alat fisik sajalah maka kekuasaan-kekuasaan colonial dimasa lampau dapat memaksakan pertuanan mereka atas rakyat-rakyat didaerah-daerah yang sangat luas didunia ini.

Daearh-daerah colonial atau taklukan itu didirikan untuk memuaskan kehendak Negara-kolonial tetentu. Tetapi ketika itu didirikan untuk memuaskan kehendak Negara-negara colonial tertentu. Tetapi ketika perlawanan terhadap pertuanan dan penghisapan itu mulai tumbuh, ia menjelma dalam bentuk perlawanan nasional dan perjuangan nasional untuk kebebasan dan kemerdekaan. Seluruh rakyat daerah-daerah yang ditaklukan itu dipersatukan oleh nasib yang sama dan kepentingan bersama untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Nasionalisme inilah, kekuatan terhimpun inilah, yang paling ditakuti oleh kekuasaan-kekuasaan kolial. Kekuatan terhimpun inilah, didukung pula oleh cita-cita manusia akan kebebasan, martrabat, kesamaan dan kemjauan, yang telah memenangkan kemerdekaan nasional bagi bayak daerah talukan.

Bagaimanapun juga, perjuangan untuk kemerdekaan nasional sekali-kali tidak mudah. Ia harus mengatasi segalamacam- baik bersifat politik, ekonomi maupun militer-yang akan menghancurkan gerakan-gerakan nasional untuk kebebasan, yang akan menghancurkan kekuatan nasional yang terhimpun, ia telah dihadapkan kepada politik kolian ‘devide et impera’ , diperhadapakan subversi atau campur tangan terang-terangan untuk mematahkan tekad dan kesatuan nasional.

Bahkan setelah kemerdekaan tercapai, setelah perjuangan yang sengit telah dimenangkan, Negara-negara kolial masih mencoba denagn berbagai jalan, termasuk penanda-tanganan ‘persetujuan-persetujuan’, untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka selama mungkin.

Ini memang bukan sesuatu yang sungguh baru. Banyak anggota-anggota majelis ini, terutama mereka yang telah mengalami perjuangan colonial ini, mengenal cirri-ciri kolonialisme ini. Kebanyakan, termasuk Indonesia sendiri, masih menghadapi perjuangan melewan neo-kolonialisme dinegara mereka sendiri. Oleh karena itu kami anggap sangat penting bahwa Majelis ini menyelidiki dengan seksama dan bijaksana masalah kolonialisme ini adalah tugas yang berat dan sulit baik diwaktu lampau maupun diwaktu sekarang ini. Untuk menghapuskan kolnialisme dalam segala bentuk dan penjelmaannya, sebagaimana dikehendaki oleh pernyataan PBB itu.

Pernyataan ini, yang pelaksanaanya sedang kita perbincangkan sekarang merupakan kemenangan moril bagi seluruh kekuatan anti colonial. Akan tetapi, Negara-negara colonial--sebagai keseluruhan—tidak menyokong pernyataaan ini, walaupun mereka tidak sanggup berterang-terangan menentang tuntutan kemerdekaan bagi rakyat-rakyat dan bangsa-bangsa yang masih terjajah. Ini berarti bahwa pelaksanaan dari pernyataan ini—dari pernyataan PBB ini—harus dilakukan dengan segala ichtiar dan moral politik yang ada pada kita. Pelaksanaan ini menghendaki usaha kita yang penuh dan bulat……

…..Tuan Ketua, jika seseorang tidak mengetahui perjuangan melawan kolonilisme , jika seseorang tidak pernah mendengar tentang perjuangan kemerdekaan

mati-matian yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap si-penjajah. Pertama—dan saya ingin menekankan ini—kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil suatu hadiah natal yang dianugerhkan kepada kita oleh Belanda. Kami mencapai kemerdekaan kami dalam suatu peperangan yang hebat dan kejam. Lebih dari setengah juta bangsa kami telah jatuh korban dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia itu. Pembunuhan-pembunuhan hampir-hampir merupakan kejadian sehari-hari…..

…..Tuan Ketua, politik konfrontasi total kami ini oleh Pemerintah Belanda di cap sebagai politik paksaan. Tapi bila ditinjau dari latar belakang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, saya harapmenjadi jelas bagi Majelis Umum yang mulia ini, siapa yang sebenarnya yang telah menggunakan paksaan dan penindasan, yang dimungkinkan oleh karena kekuatan militer yang lebih unggul dari tahun 1945-1949 dalam menduduki Irian Barat dengan kekuatan senjata? Siapa yang menggunakan siasat paksaan, penindasan dan intimidasi dalam mengiriumkan kapal induk Karel Doorman ke-perairan Indonesia? Apa perlu saya teruskan?

Kami telah lebih dari cukup membuktikan maksud damai kami dari tahun 1954-1957, ketik kami dating di PBB untuk meminta bantuan. Tetapi resolusi-resolusi kami meskipun disokong oleh sebagian yang terbesar, tidak dapat mencapai 2/3 mayoritas suara yang diperlukan dengan begitu kamu dibiarkan sendiri menghadapi paksaan dan subversi kekuatan colonial. Apa yang harus kami perbuat? Tahluk saja kepada kewenangan Politik Luar Negeri Belanda? Kami tidak mau melakukan itu.

Sembilan puluh juta rakyat Indonesia mempunyai kebanggaan nasional dan perasaan akan harga dirinya. Mereka telahmemproklamirkan kemerdekaanya pada

tanggal 17 Agustus 1945, yang telah mereka pertahankan dalam suatu perjuangan mati-matian. Jika perang anti-kolonial itu dihentikan pada akhir tahun 1949, ini hanyalah karena kepercayaan dan harapan kami pada waktu itu bahwa masalah dengan Belanda selanjutuya dapat diselesaikan dalam suasana kerjasama dan dengan jalan damai. Kami telah senantiasa berharap bahwa Belanda akan menerima pelepasan sisa daerah jajahan diwilayah Indonesia sebagai suatu kemajuan dalam hubungan umat manusia , dan tidak sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan nasional mereka.

Dan sekali-kali kami tidak menduga semula bahwa masalah Irian Barat ini, bagian dari wilayah Indonesia yang baru sedikit sekali dijelajah dan diusahakan, yang didiamin hanya oleh 700.000 orang—akan menimbulkan suatu masalah yang demikian gawatnya, sehingga Indonesia akan menghadapi kemungkinan terpaksa mengangkat

senjata lagi untuk menyempurnakan kemerdekaan kami….

… seperti telah saya terangkan pada permulaann, sengkerta ini bukan tentang persaolan apakah Indonesia akan menjadi merdeka atau tidak. ‘Semua pihak setuju bahwa apa yang dahulu dinamakan Hindia Belanda harus menjadi satu Negara merdeka secepat mungkin’.

Ini memang menjadi dasar yang telah disetujui untuk mengakhiri perang kolomial dan pengakuan lahirnya suatu Bnagsa yang baru: Indonesia (yang mencakup seluruh daerah yang dulu disebut Hindia Belanda)…

……Irian Barat, sebagai bagian dari Hindia Belanda dahulu, tentu saja adalah wilayah Indonesia. Menamakan hak kami atas Irian Barat sebagai suatu kalim territorial memang merupakan suatu pemutar balikan fakta dan sejarah yang disengaja,

dimaksudkan untuk mengeruhkan persolannya dan membenarkan pendudukan colonial yang tidak dapat dibenarkan atas wilayah Indonesia oleh Belanda…

…Bangsa Indonesia sudah jemu akan peperangan. Bangsa Indonesia masih menderita akibat-akibat dari perang colonial. Tidak adalah yang lebih kami cintai dari pada hidup dan bekerja dalam suasana damai. Tapi jika dipaksakan kepada kami, jika kami tidak diberi kemungkinan lain daripada melanjutkan perang colonial untuk menyemprnakan kemerdekaan kami, maka kami tidak akan mundur dari pertanggung jawaban tersebut.”85

Sebagai seorang yang tidak menyukai imperialisme, Soekarno senantiasa mempermasalahkan kehadiran Belanda di Irian Barat. Kekuatan diplomasi seperti yang dilakukan pada masa revolusi nasional, ternyata tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dalam menyelesaikan konflik dengan Belanda. Sehingga Soekarno mengambil jalan melakukan strategi kekuatan bersenjata, seperti aksi massa, penerjunan sukarelawan dan penerjunan darurat di Irian Barat dengan bantuan senjata dari Uni Soviet karena Amerika Serikat menolak untuk menjual senjata yang diperlukan. Ternyata apa yang dilakukan Soekarno itu berhasil. Amerika Serikat melepaskan netralisasi pro Belanda, sebab khawatir terhadap kemungkinan konflik bersenjata yang ditimbulkannya. Pada tahun 1962, Amerika Serikat menekan Belanda untuk menyelesaikan sengketa itu dengan syarat-syarat yang menguntungkan Indonesia. Sukses ini kemudian lebih banyak dilihat sebagai sukses strategi konfrontasi Soekarno, dan bukan karena bantuan Amerika Serikat atau Uni Soviet.

85

Setelah hampir sampai konflik dengan Belanda, Soekarno melihat pembentukan Malaya sebagai suatu tindakan terhadap pengepungan terhadap Indonesia.

Dalam kerangka pandangan dunianya, posisi Indonesia sebagai NEFO akan terjepit di antara musuh-musuh OLDEFO yang melindunginya, jika dilihat bahwa disebelah utara terdapat bekas jajahan Inggris yakni Malaya sampai Kalimantan Utara dan di selatan ada Australia dan Selandia Baru. Sikap permusuhan Soekarno terhadap negara tetangga oleh sejumlah orang dianggap sebagai tujuan-tujuan ekspansionisme Soekarno atau dia memang memerlukan suatu masalah gawat di luar untuk kepentingannya. Tetapi yang jelas, dalam usahanya menghadapi Malaya, Soekarno mengulangi formula yang sukses, ketika berhadapan dengan Belanda pada masa revolusi nasional dan perebutan Irian Barat.

Yang dimaksudkan oleh Soekarno sebagai New Emerging Forces adalah

kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit dan Old Establiseh Forces sebagai

kekuatan yang lama yang mapan86. Yang pertama dilukiskan sebagai terdiri dari

bangsa-bangsa Asia Afrika, Amerika Latin, negara-negara sosialis dan kelompok-kelompok progresif di negara-negara kapitalis. Dengan mengedepankan suatu pandangan revisionis mengenai masyarakat internasional, Soekarno melukiskan Indonesia sebagai anggota kelompok kekuatan yang progresif dinamis yang militan dan ditugasi oleh sejarah untuk melawan dan menghancurkan kekuatan penindasan dan

86

eksploitasi yang reaksioner87. Kesemuanya itu menyebabkan ia menuntut peranan yang penting dalam konstelasi internasional dan berusaha menyokong tuntutan ini melalui kunjungan kenegaraan dan berbagai peristiwa internasional lainnya.

Kecaman-kecamannya terhadap imperialisme pada umumnya merupakan pandangan yang telah dia kemukakan sebelum Perang Pasifik berlangsung, dengan mengambil sebagian dari pandangan Karl Marx dan Lenin.

Selain itu Soekarno dalam menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah "rencana neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. lebih lanjut Ia menganggap bahwa pembentukan Federasi Malaysia, akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia.

Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).

Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkah-langkah menuju

87

pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1Mei1963.

Selama kunjungannya ke Uni Soviet, Soekarno selalu berbicara tentang pengutukan terhadap kolonialisme Belanda dan penghormatan kepada Uni Soviet yang tidak menyimpang dalam menjalankan tugasnya menciptakan perdamaian dunia melalui semangat koeksistensi yang penuh dengan kedamaian. Di sana pula Soekarno membuat pernyataan bersama Indonesia-Uni Soviet, yang mana move politik Soekarno itu ternyata mendapat tanggapan dari kalangan politisi di Ibu kota, yang dianggap bahwa pernyataan bersama itu menyimpang dari wewenang dan ketentuan Parlemen. Dan Ali Sastroanidojo sendiri sebagai Perdana Menteri pada saat itu, merasa dilangkahi wewenangnya. Soekarno telah bertindak bukan sebagai presiden konstitusional lagi. Bisa jadi kebijakan yang diambil Soekarno itu, memperlihatkan bahwa Indonesia telah bergeser ke kiri.

Tahun-tahun terakhir sebelum kejatuhan Soekarno, Indonesia mengambil kebijakan berdikari dalam ekonomi dan menolak setiap ketergantungan kepada imperialisme. Berdikari dalam bidang ekonomi dianggap sebagai prasyarat untuk kemerdekaan yang sejati dalam bidang politik maupun kebudayaan. Untuk itulah tidak

usah heran, kalau dalam suatu kesempatan Soekarno pernah mengeluarkan kata-kata yang cukup terkenal, “Go to hell with your aid”, ketika Amerika Serikat hendak memberi bantuan, tetapi dengan mengajukan persyaratan yang dianggap Soekarno hendak mencoba mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia. Bagi Soekarno, politik luar negeri yang bebas dan aktif harus diberi arti bahwa Indonesia mengambil peranan sebagai sebagai pemimpin untuk membawa semua kekuatan

progresif di dunia ke dalam suatu front internasional untuk kemerdekaan dan

perdamaian dunia buat melawan imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk baru.88

88

BAB III