• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pondok Tegalsari

BAB II PONDOK PESANTREN GONTOR DAN SEJARAH

C. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Gontor

1. Pondok Tegalsari

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama

Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa

terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah

sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah

Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan

Pondok Tegalsari.

Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan

berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan

santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir

seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa

menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar,

misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.

32

commit to user

67 Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan

berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini.

Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa

Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat,

pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh

adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden

Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan

tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).

Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku

Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni

1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh

Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa.

Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat

sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama

pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke

timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di

tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah

kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari.

Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa

dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa

dari segala penguasa di semesta alam.

Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta

commit to user

68 Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali

menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai

Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal

dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula

desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang

bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.

Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra

ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya

digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh

Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari

generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada

pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari,

Pesantren Tegalsari mulai surut.

Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri

yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin,

putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan

Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka

setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia

diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya

menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan

sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini

commit to user

69

2. Pondok Gontor Lama

Gontor adalah sebuah desa yang terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur

Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor

masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan

hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat,

penyamun, pemabuk, dan sebagainya.

Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh

mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri

yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan

tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.

Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus

berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang

bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai

daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa

Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau

bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri

Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut;

kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab

kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.

Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid

kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok

Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai

commit to user

70 dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di

desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso

dipanggil Allah SWT. Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok

Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi

yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok.

Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya

dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek

moyangnya.

Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus

dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat

meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor

yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya

ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama.

Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam),

dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak

pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu.

Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar.

Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya

kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang

sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah

menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama.

commit to user

71 (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok.

3. Berdirinya Pondok Gontor

Ketiga putera Ibu Nyai Santoso yang dikirimkan ke beberapa lembaga

pendidikan terus memperdalam ilmu. Ibu Nyai Santoso tidak pernah berhenti

berdoa kepada Allah SWT agar ketiga puteranya itu kelak dapat menghidupkan

kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu. Berkat pendidikan,

pengarahan, dan do’a yang tulus dan ikhlas dari sang Ibu serta kesungguhan

ketiga puteranya itu, akhirnya Allah SWT membuka hati ketiga putera itu untuk

menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu.

Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal

1345, di dalam peringatan Maulid Nabi, di hadapan masyarakat yang hadir pada

kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor.

Dengan tekad untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan berkualitas,

Pondok Modern Darussalam Gontor bercermin pada lembaga-lembaga pendidikan

internasional terkemuka. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa Pondok

Modern Gontor adalah:

1. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas

sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan

memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk

belajar di Universitas tersebut.

2. Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar

commit to user

72 3. Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para

pengasuhnya.

4. Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan

kedamaiannya.

4. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926

Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah

dengan membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.); suatu program pendidikan anak-anak

untuk masyarakat Gontor. Materi, prasarana, dan sarana pendidikannya sangat

sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Tetapi dengan

kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan pengasuh Gontor Baru, usaha

ini telah dapat membangkitkan kembali semangat belajar masyarakat desa Gontor.

Program inipun pada berikutnya tidak hanya diikuti oleh anak-anak, orang dewasa

juga ikut belajar di tempat ini. Peserta didiknya juga tidak terbatas pada

masyarakat desa Gontor, tetapi juga masyarakat desa sekitar.

Para santri T.A. itu dididik langsung oleh Pak Sahal (panggilan populer

untuk K.H. Ahmad Sahal). Dengan beralaskan tikar dan daun kelapa, pendidikan

dilangsungkan pada siang dan malam. Pada siang hari mereka belajar di bawah

pepohonan di alam terbuka, sedangkan pada malam hari mereka belajar diterangi

oleh lampu batok (tempurung kelapa).

Berkat kegigihan dan keuletan beliau, pada tiga tahun pertama para santri

yang belajar di Pondok Gontor telah mencapai jumlah 300. Mereka belajar tanpa

dipungut biaya apapun. Bahkan tidak jarang pengasuh Pondok yang memenuhi

commit to user

73 Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran siswa terhadap pemahaman dan pelaksanaan

ajaran agama.

Pada usia tujuh tahun, siswa T.A. telah mencapai 500 orang putra dan

putri. Fasilitas belajar-mengajar belum mencukupi sehingga mereka belajar di

rumah-rumah penduduk dan sebagian masih di alam terbuka di bawah pepohonan.

Tekad membuat bangunan untuk ruang kelas semakin menguat, tetapi dana tidak

ada, karena selama sepuluh tahun pertama siswa tidak dipungut bayaran apapun.

Untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan dibentuklah "Anshar Gontor",

yaitu orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh wilayah Jawa. Selain itu

para santri di dalam Pondok juga dilibatkan dalam pembuatan batu merah.

Tarbiyatul Athfal terus berkembang seiring dengan meningkatnya minat

masyarakat untuk belajar. Karena itu, setelah berjalan beberapa tahun,

didirikanlah cabang-cabang Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor.

Madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor itu ditangani

oleh para kader yang telah disiapkan secara khusus melalui kursus pengkaderan.

Di samping membantu pendirian madrasah-madrasah TA tersebut, mutu TA di

Gontor juga ditingkatkan agar para lulusannya memiliki kemampuan yang

memadai untuk ikut berkiprah membina beberapa TA cabang yang ada. Untuk itu

dibukalah jenjang pendidikan di atas TA yang diberi nama Sullamul

Muta’allimin.

5. Pembukaan Sullamu-l-Muta'allimin, 1932

Dengan semakin banyaknya siswa yang menyelesaikan pendidikan di TA

commit to user

74 lebih lanjut, pada tahun 1932 Pengasuh Pondok Gontor membuka program

lanjutan dari Tarbiyatul Athfal yang diberi nama "Sullamul Muta’allimin".

Pada tingkatan ini para santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran

fikih, hadis, tafsir, terjemah al-Qur’an, cara berpidato, cara membahas suatu

persoalan, juga diberi sedikit bekal untuk menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu

pendidikan. Di samping itu mereka juga diajari ketrampilan, kesenian, olahraga,

gerakan kepanduan, dan lain-lain. Kegiatan ekstra kurikuler mendapat perhatian

luar biasa dari pengasuh Pondok, sehingga setelah tiga tahun berdirinya Sullamul

Muta’allimin telah berdiri pula berbagai gerakan dan barisan pemuda, antara lain:

a. Tarbiyatul Ikhwan (Organisasi Pemuda)

b. Tarbiyatul Mar’ah (Organisasi Pemudi)

c. Muballighin (Organisasi Juru Dakwah)

d. Bintang Islam (Gerakan Kepanduan)

e. Ri-Ba-Ta, yaitu Riyadlatul Badaniyah Tarbiyatul Athfal (Organisasi Olahraga)

f. Miftahussa’adah dengan "Mardi Kasampurnaan".

g. Klub Seni Suara, dan

h. Klub Teater.

Usaha Pengasuh Pondok untuk membangkitkan gairah masyarakat Gontor

dan sekitarnya sudah tampak membuahkan hasil. Madrasah-madrasah yang

menjadi cabang TA sudah banyak berdiri di desa-desa sekitar Gontor. Para murid

dan alumni TA dan Sullamul Muta’allimin Gontor menjadi tulang punggung dari

berlangsungnya proses belajar mengajar di madrasah-madrasah itu. Mengingat

commit to user

75 wadah yang menggabungkan seluruh TA itu, yaitu Taman Perguruan Islam (TPI)

yang dipimpin langsung oleh Pak Sahal. Menjelang usia 10 tahun pembukaan

kembali Gontor, TPI telah mempunyai murid lebih dari 1000.

Dokumen terkait