commit to user
SKRIPSI
MEDIA DAN WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
(Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Wacana Pendidikan Pondok Pesantren
Yang Direpresentasikan Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi)
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh :
Sulis Dian Martanti D 1208619
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
PERSETUJUAN
MEDIA DAN WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
(Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Wacana Pendidikan Pondok Pesantren
Yang Direpresentasikan Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi)
Disusun Oleh :
SULIS DIAN MARTANTI
NIM : D 1208619
Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II untuk diuji dan
dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof.Drs. H. Pawito, Ph.D. Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si
commit to user
iii
PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta.
Pada hari : ...
Tanggal : Maret 2011
Dewan Penguji:
1. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D ( )
NIP. 19600813198702 2 001
2. Drs. Hamid Arifin. M.Si ( )
NIP. 19600517198803 1 002
3. Prof.Drs. H. Pawito, Ph.D. ( )
NIP. 19540805198503 1 002
4. Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si ( )
NIP. 19790908 200312 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta
commit to user
iv
MOTTO
Dan berperanglah kamu di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui
-QS: Al-Baqarah ayat 244-
Success is how high you bounce when you hit bottom.
- George Smith Patton –
Seandainya aku tahu yang kita lakukan itu salah, maka itu tidak akan disebut penelitian, bukan?
- Albert Einstein -
Sesiapa yang harinya lebih baik dari hari kemarinnya maka dia seorang yang beruntung, dan sesiapa yang harinya seperti hari kemarinnya maka dia seorang yang merugi. Dan barang siapa yang harinya lebih buruk dari
hari kemarinnya maka dia seorang yang tercela. - Pondok Modern Gontor-
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Untuk Mu ya Rabb... Ucap syukur atas rahmat dan karunia Mu..
Untuk Bapak dan ibu Tercinta
Terima kasih atas untaian doa, kasih sayang dan dukungan yang tak
pernah berhenti mengalir selama ini.
My Sister Family (Bowo&Susi, Dhila, Gilang)
My Brothers (Alek dan Andi)
Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini ..
Kalianlah senyum dan warna di keluarga kita ...
untuk Zai
Terima kasih atas cinta, dukungan dan kesetiannya..
Zai’s Family (Tanwir&Rifatun, Mudika, Faruq)
Terima kasih atas kehangatan keluarga, cinta dan kasih sayang serta
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat,
dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulisan skripsi dengan judul Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor
(Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Teks Novel Negeri 5 Menara
karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor) ini
merupakan sebuah karya sederhana yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.
Namun demikian penulis berharap penulisan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi yang membacanya.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Drs. H. Pawito,
Ph.D. sebagai dosen pembimbing pertama dan Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si, sebagai
pembimbing kedua atas waktu, perhatian dan diskusi-diskusi yang dicurahkan untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya penulis juga ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Drs. H. Supriyadi, SN. SU, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
commit to user
vii
3. Drs. Surisno Satrijo Utomo, M.Si, Sekretaris Non Reguler Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
4. Nora Nailul Amal, S.Sos. M.MLED, Hons. Selaku pembimbing akademik penulis.
5. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D dan Drs. Hamid Arifin. M.Si selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.
6. Seluruh Dosen, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis.
7. Ahmad Fuadi, sebagai penulis dari novel Negeri 5 Menara.
8. Keluarga tercinta, Bapak dan Ibu serta saudara-saudaraku yang senantiasa
memberikan dukungan kepada penulis selama ini.Teman-teman seperjuangan
Suci, Wira, Santri, Ika, Fira, Arum, Widha, Mira, Irindra dan Sahabat-sahabat
Upik, Army, Albert, Dauf, Destri, Bella, Serly, Bowo, Lea. Dan yang tidak dapat
tersebut satu persatu, Terima kasih atas dukungan, semangat dan persahabatan
yang indah
9. Dan seluruh pihak yang membantu terselesaikannya penulisan ini.
Surakarta, Maret 2011
Penulis,
commit to user
vii
DAFTAR ISI
JUDUL ...i
PERSETUJUAN ...ii
PENGESAHAN ...iii
MOTTO ...iv
PERSEMBAHAN ...v
KATA PENGANTAR ...vi
DAFTAR ISI...viii
DAFTAR BAGAN ...xi
ABSTRAK ...xii
ABSTRCT ...xiii
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Perumusan Masalah ...11
C. Tujuan Penelitian ...11
D. Manfaat Penelitian ...12
E. Telaah Pustaka ...12
F. Kerangka Kerja Penelitian ...45
G. Konsep... 46
H. Metodologi Penelitian ...47
1. Pendekatan Penelitian ...47
commit to user
viii
3. Sumber Data...55
4. Analisis Data ...55
BAB II PONDOK PESANTREN GONTOR DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA... 59
A. Pondok Modern Darussalam Gontor ...59
B. Latar Belakang Terbentuknya ...60
C. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Gontor ...66
1. Pondok Tegalsari ...66
2. Pondok Gontor Lama ...69
3. Berdirinya Pondok Gontor ...71
4. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926 ...72
5. Pembukaan Sullamu-l-Muta'allimin, 1932 ...73
6. Pembukaan Kulliyyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyyah,1936...75
D.Kepemimpinan Generasi Pertama...79
1. Terciptanya "Hymne Oh Pondokku" dan Peringatan 15 Tahun... 78
2. Masa Penjajahan Jepang... 79
3. Perang Merebut Kemerdekaan dan Pemberontakan PKI 1948... 80
4. Pembentukan IKPM dan Pembentukan YPPWPM... 81
5. Peringatan Seperempat Abad, Peringatan Empat Windu dan Pewakafan Pondok... 81
6. Pembukaan Perguruan Tinggi Pesantren... 82
7. Peringatan Lima Windu dan Peristiwa Sembilan Belas Maret... 83
commit to user
ix
E. Kepemimpinan Generasi Kedua... 84
1. Pembentukan PLMPM... 85
2. Peringatan Delapan Windu dan Peringatan 70 Tahun... 86
3. Pendirian Pondok-Pondok Cabang... 86
F. Estefet Kepemimpinan Pada Generasi Kedua... 87
1. Pendirian Gontor 6 Darul Qiyam Magelang... 87
2.Kampus Gontor Putri 2... 87
3. Gontor buka cabang di Kendari... 88
4.Kampus Gontor Putri III di Karangbanyu... 88
BAB I I I
PESAN PENDIDIKAN DALAM NOVEL: TEKS DAN KONTEKS SITUASI... 90A. Analisis Model Halliday... 93
1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor ... 93
2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran... 98
3. Disiplin... 106
4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi... 112
BAB IV IDEOLOGI DALAM KATA DAN KALIMAT: MODEL ROGER FOWLER DKK... 118
A. Kosakata... 119
B. Hasil Analisis Model Roger Fowler dkk... 122
1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor ...123
2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran... 128
commit to user
x
4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi... 134
BAB V PENUTUP... 139
A. Kesimpulan ...139
B. Saran ...144
DAFTAR PUSTAKA ...146
commit to user
xii
Sulis Dian Martanti, Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadapTeks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor )
ABSTRAK-Atas dasar pemikiran teoritikal, metodologi, serta metode yang mendiami ranah paradigma teori-teori kritis, penelitian yang berjudul “Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis
terhadap Teks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor ) merupakan sebuah tipe analisis wacana. Penelitian ini mencoba memahami bagaimana praktek ideologi dilibatkan, di propagandakan dan menjadi wacana budaya baru di dalam suatu struktur sosial yang dijalankan dan direproduksi melalui teks novel.
Dengan asumsi epistemologis bahwa pemahaman kepada suatu realitas selalu di jembatani oleh nilai-nilai tertentu (value mediated finding), maka tipe analisis wacana yang dipakai, yaitu Critical Discourse Analysis. Analisis ini berdiri di atas pendekatan subjektif, yang memiliki bahwa realitas dan atau pengetahuan sosial tidak memiliki sifat yang obyektif, melainkan interpretatif. Penggunaan tiap bahasa dianggap mengandung pesan tersembunyi (laten), serta cenderung membawa konsekuensi ideologis komunikatornya.
Analisis wacana kritis bersifat holistik dan subyektif. Analisis wacana kritis, berupaya melihat nilai-nilai yang mendasari pernyataan seorang komunikator. Nilai-nilai itu yang menjadi moral concern analisis wacana kritis, sekaligus menjadi dasar aksiologis lewat prinsip-prinsip emansipatoris, kritik, transformasi, atau pun penguat sosial. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor dalam Teks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Fokus pernyataannya adalah bagaimana Ahmad Fuadi mengkonstruksikan wacana tersebut dalam bangunan kata dan kalimat. Serta bagaimana bahasa dan simbol yang digunakan dalam merepresentasikan maksud dari novel. Tiap kata dan kalimat yang dipergunakan dimaknai menunjukkan sebuah praktek ideologi.
commit to user
xiii
Sulis Dian Martanti, Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor” (A Critical Discourse Analysis of the Text Novel Negeri 5 Menara of Ahmad Fuadi at Educational Discourse in Gontor Boarding Schools)
ABSTRACT- Based on theoretical of thinking, methodologies, and all methods that has inhabited at realm of critical theory paradigm, a study titled "WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN GONTOR” (a Critical Discourse Analysis at Novel Negeri 5 Menara’s text that has wrotten by Ahmad Fuadi at the Educational Discourse on Gontor Boarding Schools) as an analysis discourse. This research attempts to understood how the practical involved ideology, propagated to be a new cultural discourse within at social structure and be reproduced through the novel text.
With the epistemological assumption to understanding a reality that always bridged by certain values (value mediated finding), Critical Discourse Analysis type had used as the discourse analysis. This analysis has been stand upon a subjective approach, which has reality and social science without an objective nature, but interpretative. The language usage deemed contain a hidden message (latent), and tended the ideological consequences to the comunicators.
Critical discourse analysis was a holistical and subjective. Critical discourse analysis, trying to saw the values that being to be foundation statement of a communicator. These values are the morality concern of critical discourse analysis, as well as the basic axiological through emancipatory principles, critique, transformation, or even social reinforcement. This study raised issues about the Islamic Educational discourse at Novel Gontor Negeri 5 Menaras Text of Ahmad Fuadi. The focus of the statement is how Ahmad Fuadi construct discourse at words building and sentences. And how language and symbols used to representing the intention of novel. Each word and sentence that use to interpreted show an ideological practice.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pendidikan di Indonesia pada kenyataannya masih
tertinggal dengan negara-negara maju dalam dunia internasional. Ini dapat
dibuktikan dengan sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih belum diakui
keunggulannya di wilayah Asia Tenggara sekalipun.1 Menurut survey Political
and Economic Risk Consultan (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada
pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. Data yang dilaporkan The World
Economic Forum Swedia (2000), Indonesia mempunyai daya saing yang rendah,
yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei dunia. Masih
menurut survey dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai
pengikut bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di Indonesia.2
Pendapat para pakar, mulai dari Jules Simon, Pestalozzy, Herbart
Spencer, Sully, John Dawey, Mj, Langeveld, William Chandler Bugle, Ki Hajar
Dewantoro, dan sebagainya. Dalam mendefinisikan pendidikan sangatlah beragam
mengingat berbedanya latar belakang mereka dan orientasi tujuan yang dimaksud.
Namun demikian, mereka sepakat bahwa obyek dari penelitian itu adalah
1
Satiadarma,Monty P. Pendidikan Kreativitas ataukah Pendidikan Moral? Dalam jurnal PROVITAE, Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia Vol.1, No.1 tahun 2004, hal 3
2
commit to user
2 manusia, dilaksanakan secara sengaja dan penuh tanggung jawab, serta memiliki
tujuan jelas.3 Dalam dunia pendidikan terjadi juga pergulatan simbol-simbol sebab
menurut Kuntowijoyo, sebuah simbol tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial,
gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan, dan
seluruh perilaku sosial.4 Salah satu wilayah dunia simbolik yang tidak lepas dari
dunia pendidikan sekaligus sebagai media transformasi adalah bahasa. Bahasa
dalam dunia pendidikan yaitu sebagai pengantar komunikasi. Sepanjang yang
berkaitan dengan keefisienan komunikasi, bahasa apapun dapat dipakai dan
seperti halnya dengan penyelenggaraan pemerintahan. Tidak menjadi masalah
apakah bahasa itu berasal dari luar wilayah negara ataupun bahasa setempat.5
Di Indonesia sistem pendidikan Islam sudah berkembang sejak
berabad-abad pertama Islam datang ke Indonesia. Sejalan dengan tumbuhnya berbagai
macam kesadaran lain di kalangan umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia
tumbuh pula kesadaran yang mendalam untuk mencari suatu sistem pendidikan
Islam baru yang dapat membantu umat untuk mencapai tujuannya sebagai hamba
Allah dan terhindar dari himbauan atau perangkap Sekularisme, kemusyikkan dan
keterbelakangan. Hal itu merupakan usaha lanjutan yang terus menerus
disempurnakan sejak beberapa abad yang lalu. Bisa dilihat perubahan dari sistem
3
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha secara sengaja untuk mempersiapkan anak didik dengan menumbuhkan kekuatan kepribadiannya baik jasmani maupun rohani agar kelak menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya, serta dapat hidup bahagia. Dapat dilihat dalam buku Sasono,Adi. Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, pendidikan, dan Dakwah) Jakarta: Gema Insani, cet I, 1998: 122-123)
4
Kasiyanto, Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, dalam Burhan Bungin (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Rajagrafindo, 2005:150)
5
commit to user
3 pendidikan pesantren ke sistem pendidikan madrasah dan dari sistem pendidikan
sekolah Islam termasuk sistem pendidikan agama islam di sekolah-sekolah umum.
Sementara sistem pendidikan pesantren tetap berjalan yang seringkali
berdampingan baik dengan sistem pendidikan madrasah atau sistem pendidikan
sekolah Islam dalam satu kampus.6 Pengaruh masyarakat santri terhadap
masyarakat Indonesia masih kuat, baik dalam peran pesantren sebagai pusat
tarekat7 maupun pendidikan anak-anak.
Sebagaimana diuraikan Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of
Islam, sistem pendidikan di Indonesia sudah berkembang sejak abad-abad pertama
Islam datang ke Indonesia sekitar 614M. Seperti halnya di negara-negara lain,
sistem pendidikan Islam dalam perkembangannya sangat di pengaruhi oleh aliran
atau paham keislaman maupun oleh keadaan dan perkembangan sistem
pendidikan Barat. Pengaruh sistem pendidikan Barat terhadap sistem pendidikan
Islam terbukti mengakibatkan tidak hanya pendidikan Islam tidak lagi berorientasi
sepenuhnya pada tujuan Islam (yaitu membentuk manusia takwa yang
melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah) tetapi juga
tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler.8
Jarang yang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah
sistem yang sekuler-materialistik. Biasanya yang dijadikan argument adalah UU
Sisdiknas no.29 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “ Pendidikan nasional
bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan Yang
6
Feisal, Jusuf Amir.Reorientasi Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Gema Insani, 1995 hal.112-114
7
Lihat di Howe II, Julia Day (2001) Sufism and the Indonesia Islamic Revival, di Journal of Asian Studies. Vol.60.no.3(Aug.),hl.701-729.khususnya hl.33,50.
8
commit to user
4 Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi
warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”. Namun diakui atau tidak, sistem pendidikan kita
adalah sistem pendidikan yang sekuler-materialistik. Hal tersebut dapat dibuktikan
antara lain pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang
dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagamaan, dan khusus.9
Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai melalui parameter modernisasi
selalu di pandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang
tanggap terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Tetapi, belakangan ini
aspek tertentu yang secara jujur diakui sebagai kelebihan pesantren. Pesantren
adalah sistem pendidikan yang tumbuh dan lahir dari kultur Indonesia yang
bersifat indigeous. Lembaga inilah yang dilirik kembali sebagai model dasar
pengembangan konsep pendidikan (baru) Indonesia. Pesantren dengan demikian
mulai diperhatikan dari multi perspektif sehingga tidak selalu dinilai negatif. Ada
9
commit to user
5 segi-segi kelemahan sistem pendidikan pesantren sehingga harus dikritik, tetapi
ada juga kelebihan-kelebihan tertentu yang perlu ditiru bahkan dikembangkan.10
Pondok atau asrama, meskipun dalam batas tertentu ada perbedaannya
secara mendasar dapat memberikan alternatif dalam proses pembelajaran bila
diberdayakan secara optimal, sehingga menjadi kecenderungan sekolah-sekolah
uggulan. Kehidupan pondok atau asrama memberikan berbagai manfaat antara
lain interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan
sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu,
menimbulkan stimulasi belajar. Dan memberi kesempatan bagi pembiasaan
sesuatu.11
Pada manfaat pemberian kesempatan bagi pembiasaan sesuatu ini, pondok
atau asrama terbukti menjadi sasaran yang efektif bagi penerapan pembiasaan
sesuatu kegiatan seperti pembentukkan lingkungan bahasa (bi’ah lughawiyah).
Hal itu pula yang diajarkan di pesantren Gontor, Jawa timur. Kebesaran Gontor
sebagai sebuah lembaga pendidikan bukan hanya karena besarnya bangunan,
bukan pula besarnya area yang dimiliki atau karena kebesaran para pemimpinnya.
Akan tetapi, kebesaran Pondok Pesantren Modern Gontor dikarenakan kebesaran
para alumninya yang menyebar ke berbagai sudut wilayah di Indonesia, bahkan
mancanegara. 12
Kemasyurannya bahkan sampai keluar Indonesia. Namun, tidak banyak
orang yang mengetahui rahasia dibalik kebesaran pondok pesantren Modern yang
10
Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta:Erlangga, 2002, hal. 81-82
11
Qomar, Mujami Ibid hal. 83
12
commit to user
6 telah berusia hampir satu abad ini. Hal ini lah yang akan diceritakan oleh Ahmad
Fuadi Penulis Novel Negeri 5 Menara, Alumnus Pondok Modern Gontor dan
George Washington University. Penulis pernah tampil di KickAndy, Metro TV
bulan Mei 2010 dan Tatap Muka TVOne bulan Agustus lalu.13
Novel Negeri 5 Menara menceritakan kisah lima orang sahabat yang
mondok di sebuah pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah
beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan
ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka
dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini.
Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda
desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan
kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah.
Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi
orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama. seperti yang
dikatakan Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.
“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,”
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tidak ingin
seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan
untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah
tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Semangatnya
13
commit to user
7 dicoba ditularkan kepada para pembaca dengan bukti dituliskannya kata-kata
mutiara yang dapat membuka wawasan di halaman awal novelnya, Seperti yang
dikutipkannya kata mutiara dari ulama Imam Syafii’ berikut,
Orang Berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelahlelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat Air mengalir menjadi rusak karena diam tertahan Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Biji emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
Jika didalam lautan14
Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua
orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk
menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang
sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani,
Gontor, Jawa Timur. Dan disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi
kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,
Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap
sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah
menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah
14
commit to user
8 mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu
bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak
lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab
Saudi, Mesir dan Benua Eropa. Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang
tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London,
Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling
membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid
Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi
dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno,
”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar
menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung
jawab dan berkomitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para
ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari sebelum masuk kelas selalu
didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh
akan berhasil.15 Pondok Pesantren Modern Gontor yang pada umumnya
bergantung kepada kebesaran pimpinan atau kyai, Gontor memiliki sistem khusus
dan dasar pengajaran yang disiplin, tegas, dan berdasarkan syariat islam sehingga
mampu mengkader dai yang bermanfaat bagi umat. 16
Buku-buku (baca: novel) sebagai bagian dari media massa berperan dalam
sebuah pembentukan persepsi. Bagaimana pengarang melalui buku mencoba
melakukan konstruksi peristiwa dan kejadian yang telah lampau dimana
15
Sumber Resensi Novel Negeri 5 Menara hasil publikasi di KickAndy.com
16
commit to user
9 pengarang berada. Pengarang melakukan penciptaan karya sastra, meski dalam
bentuk fiksi atau non fiksi dirinya juga memiliki dimensi pembentukan persepsi
yang berdampak pada pembentukan opini. Buku seperti halnya novel diciptakan
tidak hanya sekedar sebagai sebuah fiksi atau khayali yang tidak mempunyai
kaitan apa-apa dengan dunia realitas atau hanya menjadi sebuah pelarian dari
pengkhayal yang sudah muak dengan keadaan sekitar. Seolah-olah novel tidak
memberikan kontribusi apa pun dalam kehidupan ini; hanya memunculkan dunia
yang di dalamnya tak pernah bisa dianggap logis dan rasional.
Novel tidak bisa dikatakan menjadi representasi yang sempurna dari
realitas. Akan tetapi, novel hidup dalam realitas dan ikut dalam keseluruhan
realitas ini. Meski apa yang diangkat dalam realitasnya adalah sebuah realitas
khayali atau rekaan, itu pun semua bersandar pada realitas yang tak jauh darinya.
Bagaimanapun, pengarang novel tidak langsung bisa melepaskan dunia nyatanya
karena dari sanalah sebuah dunia rekaan atau sebuah karya sastra tampil.
Imajinasi menjadikan dunia nyata terkonstruksi sedemikan rupa, ditambahi atau
pun dikurangi, sehingga lahir dalam sebuah bentuk yang menarik. Validitas fiksi
atas wacana realitas sosial sering diperdebatkan, karena dirinya mengandung fakta
imajiner atau semu. Fakta setelah diramu secara kreatif menjadi tidak faktual pada
wilayah resepsi. Akan tetapi, kehadiran karya sastra dengan begini justru menarik
untuk mempengaruhi segi emosi pembaca.
Ahmad Fuadi sebagai seorang praktisi konservasi, novelis dan wartawan
adalah salah satu pihak yang berkomitmen dalam mengangkat suatu wacana
commit to user
10 publik. Novel pertamanya adalah Negeri 5 Menara yang merupakan buku pertama
dari trilogi novelnya, Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk
berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam
jajaran best seller tahun 2009. Pada tahun 2010 Novel ini menerima penghargaan
Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit 2010 dari Anugerah Pembaca Indonesia,
tepatnya yaitu pada bulan desember 2010. Karyanya diterbitkan oleh PT.
Gramedia Pustaka Utama, dengan tebal 423 halaman. Ada ideologi yang diusung
oleh Ahmad Fuadi yang hendak ia propagandakan ke masyarakat terkait dengan
wacana pendidikan podok pesantren yaitu dalam hal ini yang bersinggungan
dengan pesantren Gontor.17 Pendidikan pondok pesantren dalam hal ini pesantren
Gontor fokus pada penanaman nilai-nilai beragama dan keseimbangan dengan
dunia pendidikan baik standarnya pendidikan didalam maupun diluar negri.
Bagaimana pendidikan akan menjadi bekal nantinya dalam pengabdian pada
agama dan masyarakat.
Setelah membaca keseluruhan teks novel tersebut peneliti menemukan
beberapa kategorisasi wacana seperti praktek sistem pendidikan pesantren,
disiplin waktu, metode pengajaran, peran ilmu umum dan ilmu agama dalam
kehidupan sehari-hari dan teladan pantang menyerah dalam bentuk motivasi.
` Dengan bersandar pada uraian di atas, meneliti teks novel Negeri 5
Menara tentunya penting untuk diangkat. Selain peneliti ingin mengetahui pesan
17
commit to user
11 apa yang ada dibalik teks novel tersebut, peneliti juga ingin menyelidiki
bagaimana wacana-wacana tersebut dikonstruksi dalam kata-kata dan kalimat.
B. Rumusan Masalah
Peneliti tertarik pada wacana Pendidikan di pondok Pesantren Gontor yang
di ceritakan dalam Novel. Oleh karena itu, penelitian ini mempunyai rumusan
masalah:
1. Bagaimana Pendidikan di pondok Pesantren Gontor diwacanakan oleh
Ahmad Fuadi dalam novel Negeri 5 Menara?
2. Bagaimana bahasa yang digunakan oleh Ahmad Fuadi dalam wacana
Pendidikan pondok Pesantren Gontor dalam novelnya yang berjudul
Negeri 5 Menara dan apa fungsi dari bahasa tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Mengetahui bagaimana wacana realitas Pendidikan di pondok Pesantren
Gontor, yang dilakukan Ahmad Fuadi dalam novelnya Negeri 5 Menara.
Strategi representasi ini tentunya bergantung pada diri Ahmad Fuadi.
2. Mengetahui bagaimana representasi bahasa yang digunakan oleh Ahmad
Fuadi dalam mengembangkan wacana Pendidikan di pondok Pesantren
Gontor dalam novelnya yang berjudul Negeri 5 Menara dan apa fungsi
commit to user
12
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang akademik,
yaitu sebagai salah satu sumbangsih bagi perkembangan ilmu komunikasi
terutama penggunaan metode analisis wacana kritis terhadap karya novel
yang notabene adalah suatu bentuk penyampaian pesan.
2. Dalam bidang praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
sumbangan penulisan berkenaan dengan penyampaian pesan-pesan
komunikasi dalam bentuk karya novel bahwa karya novel ternyata
mengandung wacana-wacana tertentu yang ingin disampaikan oleh
penulis/pengarang.
E. Telaah Pustaka
1. Komunikasi Sebagai Proses Pertukaran Makna
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak dapat hidup sendiri.
Kehidupan manusia sudah dikodratkan untuk saling bergantung antar manusia
dalam suatu tatanan kehidupan yang disebut kehidupan sosial. Dalam menjalani
kehidupan sosialnya, manusia senantiasa harus berinteraksi satu sama lain. Untuk
itu komunikasi sangat penting untuk menunjang kehidupan sosial masyarakat.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari
kata Latin communicatio, dan berasal dari kata communis yang berarti sama.
commit to user
13 pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan makna yang
dimaksud.18
Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan
landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena
komunikasi. John Fiske, membagi studi Komunikasi dalam dua Mahzab Utama19.
Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Fiske tertarik
dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan
menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan
saluran dan media komunikasi.
Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang
pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek
tersebut berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan, mahzab ini
cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap
dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi.
Selanjutnya kita akan menyebut mahzab ini sebagai “Mahzab Proses”.20
Sedangkan mahzab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan
pertukaran makna, berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi
dengan orang-orang dalam kebudayaan kita. Fiske menggunakan istilah-istilah
seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai
bukti yang penting dari kegagalan komunikasi––hal itu mungkin akibat dari
perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mahzab ini, studi
18
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Penganta, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999 Hlm 69-71.
19
John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta, Jalasutra, hlm 8
commit to user
14 komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.21 Mahzab ini
mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota
dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.
Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu
elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk
realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks
dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka
menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa
menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah
yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis,
melainkan suatu praktik yang dinamis22. Termasuk juga bagaimana Fuadi
mencoba membangun (komunikator) penyampaian tujuan dari pesan pendidikan
lewat media teks, dalam hal ini novel.
BAGAN 1
Pesan dan Makna
Pesan
Teks
Makna
Produser referent
Pembaca
21
Ibid. hal 9
22
commit to user
15 Menurut pada mazhab komunikasi produksi dan pertukaran makna di
atas23, penerima atau pembaca teks dipandang memainkan peran yang lebih aktif
dibandingkan dalam kebanyakan model mazhab komunikasi proses yang lebih
menonjolkan pada pihak pengirim pesan teks.
2. Komunikasi dan Novel
Ketika novel lahir kita tidak akan pernah tahu, dirinya mempunyai maksud
apa. Kita tidak pernah tahu apakah pengarang ingin berkomunikasi dengan kita
atau barangkali hanya ingin mengemukakan pemikiran atau gagasan saja, agar
diketahui oleh orang lain. Novel kemudian dibaca dan dimaknai oleh pembaca. Di
sini, baru sebuah karya novel dimengerti dan dipahami akan keberadaan dan
kehadirannya. Peran pembaca yang masuk dalam karya novel cukup besar. Sikap
dan interpretasi pembacalah yang menyebabkan karya novel itu dianggap
melakukan tindak komunikasi, melakukan dialog tentang persoalan atau
pemikiran tertentu.24 Mengadopsi dari pendapat Roman Jakobson, secara
sederhana proses komunikasi yang dilakukan antara pengarang dan pembaca,
dapat digambarkan sebagai berikut:
23
Ibid. H.61.
24
commit to user
16
BAGAN 2
Model komunikasi oleh Roman Jacobson25
Buku atau sebuah karya novel diasumsikan sebagai sebuah kerangka
penyampaian pesan dari seorang komunikator (pengirim atau adresser), dalam
media novel di sini yaitu pengarang buku tersebut, kepada komunikan
(penerima/adressee) yaitu diri pembaca secara individu melalui media, yaitu
karya sastra, baik cerpen, novel, maupun puisi, guna mengirim pesan (message).
Agar dapat beroperasi, pesan memerlukan konteks (context) yang diacu. Kode
(code) yang dapat ditangkap sepenuhnya, atau setidaknya sebagian, dikenal oleh
pengirim dan penerima (atau pada yang memberi kode pesan dan yang diberikan
kode pesan). Akhirnya sebuah kontak (contact) menghubungi si pengirim dan si
penerima secara fisik atau psikis yang memungkinkan keduanya melakukan
komunikasi.
Novel lahir dari sebuah proses penciptaan atau tindak kreatif. Tindakan
mencipta ini, terkait dengan keberadaan seorang pengarang sebagai “ibu
kandung”-nya. Pengarang menjadi sentral atas karya novel yang lahir, dari situ
mewujud bagaimana teks-teks novel mentransformasikan atas apa yang menjadi
25
commit to user
17 arah dan tujuan pengarang. Tidaklah mungkin sesuatu karya lahir tanpa tujuan
atau tanpa ambisi tertentu. Seperti pendapat Vollsinov Pengarang dianggap
sebagai pembawa perspektif tertentu atas permasalahan dalam karyanya, sehingga
karya novel hadir tidaklah sebagai sebuah pepesan kosong, buku karyanya adalah
simbol (sign) atas dirinya dan realitas sosial tertentu.
Jika kita kaitkan dalam teori komunikasi, dalam penelitian ini, karya novel
sebagai sebuah buku juga dapat dikategorikan atau diperlakukan layaknya media
massa.26 Jika Denis McQuail dalam Mass Communication Theory: an
Introduction mengatakan bahwa media massa memiliki peran perantara
(mediating) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi.27
Penelitian terhadap isi buku karya Ahmad Fuadi ini pun atas dasar keyakinan
bahwa isi media merupakan dokumen sosial yang bisa menjadi bukti keadaan
masyarakat dan kebudayaan di mana media tersebut dibuat, para produsen dan
tujuan mereka, termasuk audiens yang dituju dan minat mereka.
Seperti yang dikatakan oleh Charles W. Wright bahwa isi pesan media
massa menarik untuk diteliti karena walau sehari-hari diterpa arus komunikasi,
kita jarang termotivasi untuk menganalisis aspek-aspek berharga dari isi pesan
secara sosiologis.28 Isi media itu sebenarnya kumpulan data yang paling berisi dan
mudah diakses yang bisa memberikan banyak petunjuk tentang masyarakat. Dan
aksesisbilitasnya melewati batas waktu dan adakalanya menyeberangi batas
26
Dalam Denis McQuails, Mass Communication Theory: an Introduction, 2nd edition, terj. Agus Dharma, S.H., M.Ed dan Drs. Aminuddin Ram, M.Ed, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga: 1987: 9, 22-23)
27
Ibid., hal. 52
28
commit to user
18 negara. Isi media juga muncul dalam bentuk-bentuk yang kelihatan lebih konstan
sejalan dengan waktu dibandingkan gejala budaya lainnya. Karena alasan ini isi
media dihargai ahli sejarah, sosiolog, dan antropolog.29
Oleh karenanya, teori tersebut dapat diaplikasikan pada semua tipe isi
(content), termasuk dalam karya novel. Karya novel yang bersifat imajiner, di
dalamnya terlibat tindak pengekspresian dan komunikasi yang dilakukan dengan
baik melalui usaha meniru kejadian nyata, mengajukan kasus khusus, atau dengan
menyediakan kekontrasan dari yang dianggap normal. Dengan kata lain, karya
novel hendak berkomentar tentang kenyataan melalui representasi. Dalam hal
hubungan fantasi dan representasi ini, kiranya dapat dipetik ungkapan dari
Humphrey Carpenter, sebagai berikut:
"...Sisi lain dari menulis... adalah representasi, dan dideskripsikan secara umum sebagai “fantasi”. Walaupun tidak secara terbuka bersifat realistis dan dianggap tidak punya hubungan apa-apa dengan dunia “nyata”, dalam usaha menulis karya-karya fantasi ini ditemukan beberapa observasi mendalam tentang karakter manusia dan masyarakat masa kini dan (sering kali) tentang agama." 30
3. Novel dalam Konstruksi Realitas
Mengenai proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya
“menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah
usaha mengkonstruksikan realitas. Dunia ini, tidaklah semata-mata sebagai
kenyataan diterima begitu saja. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai
kenyataan yang telah ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif
bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren. Dunia ini berasal dari
29
Denis McQuails, Op.cit. hal. 177.
30
commit to user
19 pikiran dan tindakan-tindakan manusia dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh
pikiran dan tindakan itu.31
Bisa dikatakan bahwa konsep tentang dunia ini terwakili dalam konsep
Karl R. Popper;32 dunia ini menjadi tiga, Dunia 1 yaitu kenyataan fisis dunia,
Dunia 2 yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan Dunia
3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama
antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik,
agama dan lainnya. Dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, seperti sebuah karya
novel yang sedang dibuat oleh pengarang, adanya transformasi ide/gagasan dari
perpaduan antara Dunia 1 dan Dunia 2, yang pada akhirnya semua itu
‘mengendap’ dalam bentuk karya buku dan menjadi bagian dari Dunia 1.
Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia
merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa sudah menjadi
alat konseptualisasi dan alat narasi, sehingga penggunaan bahasa (simbol) tertentu,
juga akan menentukan format narasi dan makna tertentu. Keberadaan bahasa tidak
lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa
menentukan gambaran/citra (image) mengenai suatu realitas. Manakala kita
bercerita atau melakukan komunikasi dengan orang lain sesungguhnya esensi
31
Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat yang digunakan adalah kata-kata atau konsep atau bahasa. Karenanya bahasa adalah sarana penting atau utama dalam proses konstruksi realitas.Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990:28-29).
32
commit to user
20 yang ingin kita sampaikan adalah sebuah makna maka dari itu penggunaan bahasa
dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang
dikandungnya.
Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur
konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahasa
bukan lagi mencerminkan realitas, tapi sekaligus menciptakan realitas, seperti
bagan di bawah ini:
BAGAN 3
Hubungan Bahasa, Realitas, dan Budaya (christian dan christian, 1996) 33
Konstruksi realitas dalam novel juga bersandar pada kehidupan
sehari-hari.34 Masalahnya, pengarang dan karyanya adalah bagian dari masyarakatnya
dan tidak lepas dari hubungan ekonomi, sosial, dan politik di masyarakat. Dasar
dari gerak dan hubungan masyarakat adalah hubungan produksi, hubungan kerja
dan kepemilikan alat-alat produksi. Fungsi novel sebagai bagian dari hubungan itu
33
Dalam Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap berita-berita politik, (Jakarta: Granit, (2004: 13)
34
commit to user
21 mau tak mau – meski tidak selalu adalah sebagai penyebar nilai dan kesadaran
yang akan mewarnai pertarungan ideologi dan sosial politik antara kelas-kelas
sosial yang ada dalam hubungan produksi itu. Pengarang secara sadar atau tidak
bernafsu ingin menyajikan realitas dalam novel atau cerpennya. Realitas sosial
kemudian dikonstruksikan sedemikian rupa, dengan intervensi subjektivitas
imajinasi pengarang menjadi sebuah bentuk baru yaitu fiksi.
Maka dari itu novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosial budaya,
sebab lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta
refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran novel
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek
individual, dimaknai oleh Tri Adi Nugroho, yaitu mencoba menghasilkan
pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya lewat
penghadapan yang intens, keras terhadap realitas. Signifikasi yang dielaborasikan
subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya
berakar pada kultur dan masyarakat tertentu.35 Ia hadir sebagai dokumen sosial
budaya, yang pada tingkat kesadaran yang tinggi apa yang diajukan sastrawan
adalah hasil dari dialog antara dirinya dengan lingkungan realitas sedangkan pada
kesadaran rendah karya novel itu adalah pantulan dari lingkungan realitas.
4. Strategi Novel Melakukan Konstruksi Realitas
Elemen dasar seluruh isi karya sastra novel adalah bahasa sebagai alat vital
dalam proses komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Dengan bahasa
pengarang hendak menyampaikan maksud dan tujuannya, melalui apakah itu
35
commit to user
22 representasi sosial (hasil dari konstruksi pengarang atas realitas sosial), ada yang
menyebutnya novel sejarah, jika itu bersandar pada realitas historis, atau novel
sosial, yang mengambil peristiwa sosial saat itu sebagai konsep dasar bercerita
atau mungkin lebih bersifat imajiner, tanpa sangkut pautnya dengan realitas sosial.
Novel sosial bisa juga berisi pesan-pesan sosial seperti; kemanusiaan, pendidikan,
kesenjangan sosial.dsb.
Pengarang sebuah novel memunyai strategi atau pola-pola tersediri untuk
menyampaikan pesan ceritanya. Di sini, tentunya adanya pemilihan-pemilihan
bahasa atau gaya bahasa, yang bersifat simbolik. Jika, misalnya novel sejarah atau
novel sosial hendak berbicara, pengarang pun harus mempertimbangkan
simbol-simbol, misalnya yang berkaitan dengan peristiwa sejarah atau sosial di
masyarakat itu. Pemakaian simbol-simbol ini sebagai bentuk komunikasi, di mana
pengarang sebagai komunikator membentuk citra-citra atau makna-makna melalui
sistem simbolik. Pemilihan kata, penyusunan kalimat, gaya yang dipakai, atau
penokohan oleh pengarang dipilih secara cermat, guna maksud dan tujuannya.
Misalnya saat karakater tokoh dalam menghardik, membentak, menangis,
sombong, membantai, mengejek atau bentuk lainnya, benar-benar didasarkan pada
pertimbangan tertentu.
Simbol-simbol yang dipakai tersebut, sangat mempengaruhi makna yang
muncul. Simbol-simbol ini dapat dijelaskan melalui teori semiotika.36 Pandangan
semiotika, teks (misal, novel) dipandang penuh sebagai tanda entah dari
36
commit to user
23 pemakaian kata, istilah, frase, atau gaya bahasanya pun. Teks sastra dimaknai
sebagai sarana komunikasi novel antara pengarang dan pembacanya melalui
kode-kode tertentu.
Dalam semiotik, tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan
petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu
yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh
petanda itu yaitu artinya misalnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan
bunyi yang menandai arti: “orang yang melahirkan kita”. Dalam tanda masih
dijabarkan lagi dalam tiga macam yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Hubungan antara tanda, rujukan dan pikiran sehingga menimbulkan makna
lazim diilustrasikan dalam Hubungan Segitiga Makna (Triangle Meaning).
Menurut Pierce (bagan 3) salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek
adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada
dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga
elemen itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang
sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. 37. Hubungan ketiganya dapat
digambarkan sebagai berikut:
BAGAN 4
Elemen Makna Peirce 38
37
John Friske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2004: 63
38
commit to user
24 Fungsi tanda adalah mencapai suatu tujuan; untuk kepentingan
komunikator, tanda berfungsi (a) untuk menyadarkan (sense) pendengar akan
sesuatu yang dinyatakannya untuk kemudian supaya memikirkannya, (b) untuk
menyatakan perasaan (feeling) atau sikap dirinya terhadap suatu objek, (c) untuk
memberitahukan (convey) sikap sang pembicara terhadap khalayaknya, dan (d)
untuk menunjuk tujuan dan hasil yang diinginkan oleh si pembicara atau penulis
baik disadari atau tidak disadari.39
Bagi komunikan, tanda berfungsi (a) menunjukkan (indicating) pusat
perhatian, (b) memberi ciri (characterizing), (c) membuat dirinya sadar akan
permasalahannya (realizing), (d) memberi nilai (value) positif atau negatif, (e)
memengaruhi (influencing) khalayak untuk menjaga atau mengubah status quo,
(f) untuk mengendalikan suatu kegiatan atau fungsi, (g) untuk mencapai suatu
tujuan (purposing) yang ingin dicapainya dengan memakai kata-kata tersebut.40
5. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Pembentukan Wacana Novel
Seperti halnya sebuah media massa, novel pun hadir dalam pertarungan
idealis pengarangnya. Dirinya hendak berbicara atau mengungkapkan persoalan
tertentu dalam perspektif subjektif seorang pengarang. Bagaimana wacana yang
dikemukakan merupakan pergulatan panjang seorang pengarang, untuk sampai
pada keputusan bahwa teks tersebut sudah menjadi final decision. Terdapat
sebuah motif amat penting dalam menulis novel. Jean Paul Sartre pernah
39
Ibnu Hamad, Ibid. hal. 19
40
commit to user
25 mengatakan sebagai berikut: “Mengapa saya mengarang? Untuk siapa saya
mengarang? Apa yang saya inginkan dengan karangan itu?41 Pernyataan tersebut
cukup membuat kita sadar bahwa apa yang dimunculkan pengarang, sangat
dipengaruhi berbagai faktor.
Faktor internal dan eksternal yang ada disekitar pengarang sangat
menentukan bagaimana bentuk sebuah wacana akan dipaparkan nantinya. Faktor
internal, seperti ideologi yang dipegang pengarangnya, bahan-bahan bacaan,
pengalaman dan pengetahuan hidup, latar belakang pendidikan, agama, gologan,
ras, dan sebagainya.42 Faktor yang berasal dari dalam tubuh pengarangnya tak lain
juga transformasi dari wacana yang berkembang di masyarakat umumnya, ini
yang kemudian disebut sebagai faktor eksternal. Kondisi sosial politik
pemerintahan, sejarah perkembangan negara, ideologi masyarakatnya atau negara
yang berkuasa, ikut memberi kontribusi dalam membentuk perspektif seorang
pengarang dalam menulis sebuah wacana dalam novel. Pengarang tidak akan
pernah bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya, karena dirinya pun berasal dari
sana. Bagaimanapun apa yang dikatakan dalam sebuah novel adalah sebuah
representasi realitas dan peristiwa yang terjadi dalam batin seorang pengarang
yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan
Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lainnya, dan dirinya sendiri.
41
H. Bahrum Rangkuti, Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung, lihat pada Dahlan, Muhidin M dan Mujib Hermani (ed.). Pledoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandjikusmin. Yogyakarta: Melibas, 2004., hal.327
42
commit to user
26
6. Pendidikan sebagai Komunikasi
Manusia bukan hanya makhluk biologis seperti halnya hewan. Manusia
adalah makhluk sosial dan budaya. Di samping kepandaian-kepandaian yang
bersifat jasmaniah (skill, motor ability), seperti merangkak, duduk, berjalan tegak,
lari, naik sepeda, makan dengan sendok, dan sebagainya, anak (manusia) juga
membutuhkan kepandaian-kepandaian yang bersifat rohaniah. Maka jelaslah
kemudian, apabila belajar menjadi sangat penting bagi kehidupan seorang
manusia.43 Anak (manusia) membutuhkan waktu yang lama untuk belajar
sehingga menjadi manusia dewasa, kapanpun dan dimanapun berada. Manusia
dilahirkan dengan tugas, panggilan dan tanggung jawab untuk menjadi
pembelajar, pemimpin, dan guru bangsa, sebagai wujud dari tri-tugas
kemanusiaan universal.44
Sebagai landasan penguraian mengenai kebutuhan belajar, berikut ini akan
dikemukakan secara ringkas beberapa definisi belajar:45
6. Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975)
mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah
laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu.
7. Gagne, dalam buku The Conditions of Learning (1977) menyatakan
bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi
43
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hal 84. 44
Andrias Harefa, Mutiara Pembelajar, Yogyakarta: Gloria Cyber Ministries, 2001, hal 19. 45
commit to user
27 ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya
berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah
ia mengalami situasi tadi.
8. Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978) mengatakan
bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam
tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau
pengalaman.
9. Witherington, dalam buku Educational Psychology mengemukakan
bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang
menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa
kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.
Di samping berbagai pengertian dan faktor dalam belajar di atas, Paulo
Freire menegaskan bahwa belajar (studying) itu sendiri merupakan pekerjaan yang
cukup berat dan menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan
kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung,
sehingga sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan
yang bergaya bank (banking education).46 Dalam pendidikan gaya bank ini, yang
dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan
(memorization). Lain halnya dengan visi pendidikan kritis, di mana seorang
pembaca merasa tertantang oleh teks yang disodorkan sehingga tujuan membaca
adalah untuk memahami (appropriate) makna yang lebih dalam.47
46 Paulo Freire , Politik Penddikan, Yogyakarta: REaD & Pustaka Pelajar, 2000,hal 28. 47
commit to user
28 Bagi Paulo Freire kegiatan mengajar sendiri dipahami bukan sebagai
proses memindahkan pengetahuan dengan hapalan, melainkan melalui proses
mengajar suatu bidang itulah seorang guru diharapkan mampu mengajarkan
siswa-siswinya untuk sungguh-sungguh belajar dan bukan untuk menghapal.48
Sebab pada dasarnya, proses mengajar adalah tindakan kreatif dan kritis dan
bukan hanya mekanis belaka. Sedangkan belajar adalah belajar untuk belajar dan
bukan belajar untuk menghapal, di mana dituntut keaktifan siswa untuk mengolah
sendiri secara kritis bahan yang dipelajari serta memahami alasan (why) dari objek
dan isi yang dipelajari.49 Dengan demikian setelah proses pembelajaran itu selesai,
siswa sendiri akan tetap terus belajar dan mengembangkan diri hingga akhirnya
mengubah diri. Dalam praktik pembelajaran problem posing, pembelajaran
sekaligus menjadi proses konsientisasi, penyadaran akan hidup, situasi siswa, dan
dengan demikian menemukan cara memajukan atau mengubah hidup mereka.
Proses belajar bisa dengan cara dan lembaga yang bermacam-macam. Di
tambah lagi begitu banyaknya lembaga pendidikan yang dibuat untuk mendidik
lulusan yang berkompeten. Keberhasilan komunikasi tergantung dari bagaimana
proses penyampaian tujuan dari pesan pendidikan tersebut dapat diterima sebagai
proses keberhasilan dari pertukaran makna dalam proses terjadinya komunikasi.
7. Ideologi dan Wacana
Teks dapat dilihat dari berbagai sisi sebab teks dibuat dari pikiran
seseorang; diproduksi dan ada di dunia sebagai sesuatu yang dapat diuji secara
bebas. Teks ditafsirkan dengan jalan yang berbeda oleh masing-masing dari
48
Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, artikel Edisi Paulo Freire di Majalah Basis, Januari-Februari 2001, hal 25.
49
commit to user
29 pembaca dan mengambil suatu kehidupan pada setiap pikiran pembacanya.
Sesungguhnya, teks mempunyai makna lebih dari satu komunikator memaknai
lain dan komunikan mungkin mengambil teks untuk sesuatu yang berbeda.
Pemaknaan terhadap teks terjadi karena ada suatu kerja pikiran yang
panjang, sehingga makna tidaklah muncul dari dalam teks tersebut artinya dia
datang dari luar teks. Pembaca menemukan teks, tapi dia tidak langsung
menemukan makna dalam teks tersebut, yang ia temukan adalah pesan. Makna itu
kemudian diproduksi lewat proses aktif, dinamis baik dari sisi pembuat maupun
pembaca. Pembaca dan teks secara bersama-sama mempunyai andil dalam
memproduksi permaknaan; melakukan politik pemaknaan. Hubungan ini,
kemudian, menempatkan seseorang sebagai satu bagian dari hubungannya dengan
sistem tata nilai yang lebih besar. Maka di sinilah, ideologi itu bekerja.
Ideologi selalu mewarnai produksi wacana. Seperti kata Aart van Zoest,
bahwa teks tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan
memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.50 Wacana di sini tidaklah dipahami
sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi menurut Foucault
adalah sesuatu yang memproduksi yang lain, diantaranya sebuah gagasan konsep
atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,
konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.51
50
Sobur. Alex, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001: 60)
51
commit to user
30 Ideologi dapat diartikan sebagai sistem ide-ide yang diungkapkan dalam
komunikasi atau terkadang hanya dipahami sebagai sebuah pemikiran saja.
Menyitir pendapat dari Aminuddin bahwa ideologi merupakan wawasan, harapan,
maupun sistem kepercayaan yang secara ideal mewarnai sikap dan perilaku
individu, kelompok kemasyarakatan, maupun dalam menjalani aktivitas
kehidupannya.52
Teoritisi ideologi yang paling terkenal adalah Perancis Leuis Althusser,
baginya ideologi hadir dalam struktur sosial itu sendiri dan muncul dari
praktek-praktek aktual yang dilaksanakan oleh institusi-institusi di dalam masyarakat.
53
Ideologi sebenarnya membentuk kesadaran individu dan menciptakan kesadaran
subyektif orang tersebut tentang pengalaman. Dengan begitu suprastruktur
(organisasi sosial) menciptakan ideologi, yang pada gilirannya mempengaruhi
pemikiran-pemikiran individu tentang realita. Teori-teori Marxis cenderung
melihat masyarakat sebagai dasar perjuangan antar kepentingan melalui dominasi
sebuah ideologi terhadap ideologi lainya. Hegemoni merupakan sebuah proses
dominasi, dimana sekumpulan pemikiran merongrong atau menekan yang lain.
Sedangkan, Raymond William memaknai ideologi dengan membaginya
dalam tiga ranah. Pertama, sebagai sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh
ruang lingkup dimana banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain. Jika kekuasaan banyak dimaknai berhubungan dengan Negara, maka Foucault seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana-mana terdapat aturan, system regulasi. Dengan kata lain dimana saja manusia berhubungan satu sama lain, disitulah kuasa sedang bekerja. Lihat Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKis, 2006 hal 65
52
Aminuddin, Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pembangunan Perubahan Ideologi dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie (ed.), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press: 2000: 47-48)
53
commit to user
31 kelompok tertentu. Meski di sini terlihat sebagai sikap seseorang, tapi ideologi
tidak dipahami sebagai diri individu tapi diterima oleh masyarakat, di mana ia
hidup, posisi sosialnya, pembagian kerjanya dan lain-lain. Kedua, sistem
kepercayaan yang dibuat – ide palsu/kesadaran palsu - yang dilawankan dengan
pengetahuan ilmiah. Ideologi diartikan sebagai seperangkat kategori yang dibuat
dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan
menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Di sini, ideologi disebarkan
lewat berbagai instrumen seperti pendidikan, politik juga media massa. Tanpa
sadar kita menerimanya sebagai kebenaran yang wajar, tanpa mempertanyakan
kembali. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi didefinisikan
untuk menggambarkan produksi makna.54
Ini seperti yang ditegaskan oleh Aminuddin, mengutip Terry Eagleton
dalam bukunya Ideology, An Introduction (1991) bahwa ideologi dapat dipahami
sebagai cara dan sikap anggota kelompok masyarakat dalam menyikapi diri dan
kelompoknya sendiri maupun dalam menyikapi orang/kelompok lain.55 Maka dari
itu, ditinjau dari segi kognitif, ideologi merupakan bentuk kesadaran mental yang
tersusun berdasarkan perolehan pemahaman dan pengalaman. Di sini, dapat
dimaknai bahwa ideologi yang dimiliki seseorang kurang lebih sama dengan
ideologi orang tua ataupun lingkungan keluarganya. 56
Hal ini memberikan gambaran bahwa aspek internal pembentuk ideologi
mengacu pada lingkungan, kegiatan keseharian, informasi dan pesan yang didapat
dalam komunikasi sehari-hari, maupun pada kegiatan sosial yang dilakukannya.
54
Dalam Eriyanto (b), Op.cit., hal 87-93.
55
Aminuddin, Ibid., hal. 49.
56