• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP BADAN HUKUM EKONOMI DALAM ISLAM

4. Posisi Perbuatan Badan Hukum dalam Hukum Islam

Melihat realita adanya sebuah persekutuan orang (syirkah) yang ternyata juga diakui bahwa persekutuan itu bisa melakukan tindakan hukum (yang tentu saja dilakukan orang yang ditunjuk untuk mewakili persekutuan tersebut, yang dia berbuat atas nama persekutuan tersebut, dan bukan atas nama pribadi), maka persoalan posisi badan hukum dalam Islam menjadi penting. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh umat Islam khususnya di Indonesia, tetapi tidak mendapatkan protes sedikitpun dari para ulama.

Di sisi lain, ushul al-fiqh khususnya dan ilmu fiqih secara umum, memandang bahwa yang dapat diakui sebagai mukallaf hanyalah manusia, bukan sebuah yayasan atau yang dalam konteks ini disebut sebagai badan hukum. Ini kemudian mendorong timbulnya

272 Apeldoorn, hlm. 207-210

pertanyaan baru, apakah memang badan hukum ‘dianggap tidak ada’

atau diabaikan keberadaannya dalam hukum Islam? Ataukah konsep mukallaf dalam ushul al-fiqh perlu direformulasi?

Melalui pertimbangan yang seksama, sebenarnya bisa dikatakan bahwa konsep mukallaf dalam fiqih Islam hanya dimaksudkan untuk hukum yang bersifat perintah atau larangan (khithab Allah) terhadap individu, sehingga kewajibannya pun hanya kewajiban yang bersifat individual, pahala dan hukumannya juga individual, baik itu dalam hal yang berupa ibadah khusus (mahdhah) maupun ibadah secara umum (ghairu mahdhah).

Untuk kewajiban kolektif tidak diberikan peluang secara spesifik.

Besar kemungkinan hal itu dikarenakan sebuah kewajiban kolektif (yang harus ditunaikan oleh sekelompok manusia) diasumsikan sebagai kewajiban dari kumpulan individu yang memenuhi persyaratan mukallaf, sehingga dosa dan pahala dari sebuah kewajiban kolektif itu pun akhirnya akan terdistribusikan pada setiap individu anggota kelompok (persekutuan) itu, pertanyaannya, kalau pertanggungjawaban individu sudah sempurna, mengapa mesti dibicarakan tentang kewajiban kolektif (persekutuan), bukankah akan berakhir sama?

Pertanyaan tersebut benar dalam kaitannya hubungan antara hamba dengan Allah. Tetapi akan sedikit bermasalah apabila dihubungkan dengan khithab Allah yang ditujukan secara kolektif, misalnya dengan adanya konsep fardhu kifayah, dimana sebuah kelompok diminta menentukan beberapa wakil untuk menjalankan tugas tersebut, misalnya dalam hal pengurusan jenazah ataupun pembagian tugas antar anggota masyarakat komunitas muslim.

Permasalahan akan lebih rumit lagi jika dikaitkan dengan kewajiban-kewajiban hubungan antar manusia, tentunya tidak bisa disederhanakan bahwa masing-masing individu dalam sebuah persekutuan (badan hukum) itu terpulang kepada masing-masing individu anggota. Misalnya saja, sebuah yayasan menerima wakaf, atau Baitul Mal menerima hibah, melakukan perjanjian pinjam-meminjam, dan lain sebagainya. Pada level yang lebih luas bisa terjadi

dalam hubungan antar negara. Semua perjanjian dan kerjasama antara negara tentunya akan didasarkan pada sebuah lembaga, yang secara ‘haqq al-adam’ negara secara kolektif bertanggung jawab, dan bukan yang mewakili (bertanda tangan dalam akta) sebagai pribadi, karena dia adalah wakil-wakil kelompok/persekutuannya. Demikian juga dalam Hukum Internasional Islam, eksistensi sebuah organisasi internasional pun diakui, dan pengakuan itu berarti segenap tindakan hukumnya akan diakomodasi dalam hukum siyasah.273

Kalau pembicaraan dikaitkan dengan hakim (pembuat hukum) pun, hal ini (diabaikannya badan hukum) akan bisa diperdebatkan.

Hakim adalah Allah. Tetapi tidak ada orang yang memungkiri bahwa Nabi merupakan rasulNya di dunia yang bisa melakukan legislasi selama tidak bertentangan dengan kekendak Allah. Setelah ketiadaan Rasul, tentunya ulil amri bisa memberikan perintah. Jelas, perintah dari ulil amri ini pun banyak berkaitan dengan badan hukum. Perintah pajak kepada sebuah syirkah misalnya. Perintah untuk melakukan atau menghentikan sebuah proyek, dan lain sebagainya. Sudah barang tentu dalam hal ini, yang diperintah tadi adalah badan hukum/lembaga nya dan bukan orangnya dengan atas nama pribadi.

Syirkah (persekutuan) itupun harus menunaikan kewajibannya secara bersama juga.

Tentunya, persekutuan sebagai sebuah badan hukum tidak bisa menerima beban hukum yang diwajibkan oleh Allah bagi individu dikarenakan tugas atau larangan itu hanya dapat dilakukan oleh individu, misalnya puasa. Atau kalau individu sudah harus menunaikannya, maka untuk menghindari duplikasi, badan hukum tidak perlu lagi menunaikannya, misalnya membayar zakat.

Melihat realitas seperti itu, maka harus disadari bahwa ushul al-fiqh itu hanya melihat mukallaf dalam kaitannya hubungan hamba dengan Khaliq secara khusus, dan bukan berbicara tentang kewajiban antara sesama ‘ibn Adam’. Ushul al-Fiqh dapat juga dinyatakan hanya

273 Mansur, Ali, Syari’at Islam dan Hukum Internasional Islam, terjemah, M Zein Hasan (Jakarta: Bulan Bintang,1973), hlm. 128-131

memandang mukallaf itu sebagai orang yang menanggung perintah dan memikul hasil terakhir dari sebuah perbuatan. Sehingga proses-proses yang berkaitan dengan hubungan antar manusia terabaikan (atau memang sengaja diabaikan) dalam konsep mukallaf. Sehingga, kalau memang usul al-fiqih bermaksud men-cover semua kegiatan manusia yang berupa hubungan antar manusia, tentunya badan hukum (rechtpersoon) harus dimaksudkan sebagai mukallaf. Namun, kalau tetap dikehendaki bahwa pertanggungjawaban manusia yang dikehendaki hanyalah yang berkaitan dengan Allah maka, mukallaf cukup individu (natuurlijke persoon).

Penutup

Berdasar pembahasan di depan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Badan hukum adalah sebuah persekutuan beberapa person yang dalam hukum Barat memiliki hak untuk melakukan berbagai tindakan hukum. Namun sebenarnya, badan hukum merupakan salah satu bentuk persoon fictie, dia tidak person tapi dianggap/

diperlakukan sebagai person.

2. Di dalam ushul al-fiqh, badan hukum tidak termasuk dalam mukallaf. Mukallaf hanyalah sesuatu yang berhubungan dengan Allah, sehingga badan hukum yang tidak berurusan secara langsung kepada Allah (yakni berurusan dengan haq al-adami) diabaikan, karena dianggap tidak penting, atau pada masa lalu masih jarang dijumpai.

3. Kalau pertanggungjawaban atas tindakan sesama manusia itu harus diperimbangkan oleh fiqih, maka Badan Hukum perlu diakomodasikan dalam ushul al-fiqih. Sebaliknya, kalau pertanggungjawaban sesama manusia itu dianggap bisa diabaikan, maka tidak perlu adanya perubahan konsep mukallaf dalam fiqih.

Dalam bab ini akan dibahas mengenai A. Hak Ekonomi Dalam Konstitusi Madinah Dan Konstitusi Athena; Inspirasi Bagi Pemberdayaan Ekonomi Umat. B. Mengkonvergensikan Antara Nilai Keislaman Dan Kepentingan Global Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia.

Bagian Pertama

HAK EKONOMI DALAM KONSTITUSI