• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prakiraan Dampak Perubahan Iklim terhadap Ketahanan Pangan, Khususnya Kedelai

Perubahan iklim yang berdampak negatif terhadap agroekosistem tentu mengganggu produksi berbagai tanaman, terutama tanaman tidak toleran. Gangguan pada produksi tanaman pangan menimbulkan kelangkaan pasokan pangan yang pada gilirannya mengganggu stabilitas ketahanan pangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, merata, dan terjangkau. Dengan kalimat lain, ketahanan pangan mencakup tiga unsur utama, yaitu 1. ketersediaan pangan atau tersedianya pangan berkualitas dalam

jumlah cukup pada tingkat lokal maupun nasional, baik dari produksi sendiri maupun impor,

2. keterjangkauan atau terdistribusinya dan tersedianya bahan pangan secara lokal dan terjangkau oleh masyarakat,

3. kebermanfaatan pangan untuk menjamin gizi dan kesehatan masyarakat.

Walaupun ketahanan pangan telah dikonsep seperti itu, ancaman krisis pangan diperkirakan tetap ada. Kita pasti mengerti bahwa penyebab krisis pangan amatlah kompleks. Namun adalah keniscayaan bahwa pemanasan global, ketidakpastian iklim, dan berbagai ancaman krisis ekologi di agroekosistem sebagai salah satu penyumbang kontribusi krisis pangan (Notodiputro, 2008).

Alaman di Nusa Tenggara Timur (NTT) membuktikan bahwa di Timor Barat, Sumba Timur, dan pulau-pulau di sebelah timur Flores banyak masyarakat yang sudah merasakan dampak parah perubahan iklim. Menurunnya kesuburan tanah yang disertai curah hujan tidak menentu dan kemarau panjang pada tahun-tahun El Nino menyebabkan lebih dari sepertiga populasi di berbagai pelosok wilayah ini hidup di bawah garis kemiskinan. Pada tahun-tahun El Nino (2002 dan 2005), sekitar 25% anak balita mengalami kurang gizi akut. Di Kabupaten Belu misalnya. Di kabupaten yang mendapat curah hujan paling rendah di Indonesia ini, kemarau panjang yang diikuti oleh kegagalan panen telah menimbulkan kasus kurang gizi merebak di seluruh provinsi ini 32 - 50% (Kieft dan Soekarjo, 2007).

Di negara yang dianggap sudah menguasai teknologi maju bidang pertanian sekalipun, dampak perubahan iklim pun dirasakan. Kekeringan yang melanda Australia tahun 2007 menurunkan produksi gandum negara ini sekitar 40% yang setara dengan 4 juta ton (Arifin, 2008 dalam Notodiputro, 2008).

Dari kepustakaan yang sudah ada sejak lama diketahui pengaruh faktor-faktor iklim terhadap metabolisme tanaman. Secara singkat metabolisme tanaman mencakup fotosintesa, respirasi, dan asimilasi. Fotosintesa merupakan pembentukan bahan organik atau makanan, respirasi adalah penguraian bahan organik menjadi energi, dan asimilasi adalah proses penggunaan bahan makanan untuk pembentukan protoplasma dan dinding sel pada pertumbuhan tanaman. Sebagian besar hasil fotosintesa dipergunakan untuk respirasi dan asimilasi. Kelebihannya baru disimpan pada bagian-bagian tertentu tanaman. Pada serealia dan kacang-kacangan, kelebihan itu disimpan dalam biji. Biji yang dipanen adalah hasil tanaman untuk pangan kita (Darmawan dan Baharsyah, 1983).

Baharsyah et al. (1984) mengemukakan faktor iklim yang menentukan hasil kedelai.

1. Radiasi matahari optimum untuk fotosintesa kedelai sekitar 0,3 - 0,8 kal/cm2/menit. Berdasarkan keragaman radiasi matahari sehari-hari, hasil fotosintesa tertinggi pada tanaman kedelai dicapai pada jam 10 pagi. Radiasi matahari memengaruhi intensitas dan aliran fotosintesis. Rendahnya radiasi akan menghambat proses translokasi ke perakaran.

2. Titik optimal suhu udara yang memengaruhi fotosintesa kedelai adalah 25 - 300C. Pada suhu 26,6 - 320C polong kedelai terbentuk optimal, sedangkan pada suhu 31,6 - 40,50C hanya sedikit polong yang dapat terbentuk. Suhu maksimal harian yang melebihi suhu optimal pada stadia pertumbuhan sangat mengurangi hasil biji. Hal ini terjadi, karena kelembaban tanah terganggu, evapotranspirasi meningkat, dan respirasi tanaman meningkat.

Selain dua faktor iklim tersebut, faktor iklim lain yang dominan terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai adalah curah hujan. Sumarno et al. (1990) menegaskan bahwa :

. musim hujan dengan curah hujan di atas 200 mm/bulan terlalu basah dan berakibat buruk untuk kedelai, terutama pada

pembungaan, pengisian polong, atau masa panen;

2. musim kemarau terlalu kering juga berakibat buruk, apalagi apabila tidak tersedia sarana irigasi; tanaman kedelai akan menderita kekeringan.

FAO membagi kesesuaian faktor fisik (khususnya iklim) untuk kedelai dalam 4 tingkat (Guhardja, 1990). Tingkat terbaik adalah daerah dengan suhu 23 - 28 0C, bulan kering (75 mm) 3 - 7,5 bulan, dan curah hujan 1.000 – 1.500 mm/tahun.

Dari uraian di atas jelas bahwa pada era perubahan iklim yang menjadikan kondisi iklim semakin ekstrim, produktivitas kedelai diperkirakan menurun sekitar 20 - 40% dari produktivitas sekarang ini (UNDP, 2007). Seandainya benar terjadi, hal ini tentu akan sangat mengganggu sasaran kuantitatif pembangunan pertanian kedelai untuk tahun 2008 sebesar 0,85 - 0,90 juta ton dengan kenaikan produksi sebesar 6,5% per tahun (Manan, 2008).

Kedelai sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat. Sumarno et al. (1990) mengemukakan bahwa sebelum tahun 1970-an h1970-anya masyarakat pedesa1970-an d1970-an kelompok ekonomi lemah di Jawa saja yang mengonsumsi tempe atau tahu. Namun, mulai tahun 1970-an konsumen tempe dan tahu meluas ke seluruh pelosok Indonesia. Perpindahan penduduk dari perdesaan ke kota-kota besar di seluruh Indonesia mendorong perkembangan industri tahu-tempe sebagai penyedia lauk sumber protein yang murah di kota.

Untuk kecukupan gizi 2.100 kalori per kapita per hari yang di antaranya mengandung 55 gram protein, dapat dipenuhi antara lain dari 44 gram kacangan. Anjuran konsumsi 44 gram kacang-kacangan per kapita per hari tidaklah sulit dipenuhi apabila kita memanfaatkan keragaman kacang-kacangan dalam menu makanan (Sumarno, 1984).

Masyarakat Indonesia sudah lama bertumpu pada kedelai untuk memenuhi pangan berbasis kacang-kacangan. Kedelai diyakini sangat berguna bagi kesehatan manusia, sehingga kedelai menjadi primadona penyedia pangan fungsional (Hustiany, 2008). Sayangnya, kebutuhan kedelai kita sangat tergantung pada kedelai impor. Pada awal 2008 tercatat Indonesia membutuhkan 1,8 juta ton kedelai. Dari kebutuhan tersebut hanya 35% dapat dipenuhi

oleh produksi dalam negeri, sedangkan sisanya (65%) dipenuhi oleh impor (Gatra, 2008).

Pada akhir 2007 dan awal tahun 2008 bangsa Indonesia dihadapkan pada kenaikan harga kedelai. Kenaikan harga terjadi, karena ladang-ladang kedelai di Amerika Serikat dikonversi menjadi ladang-ladang jagung guna memenuhi kebutuhan negara tersebut akan biofuel. Akibat kelangkaan kedelai, harga kedelai naik dari Rp3.800/kg menjadi Rp7.300/kg. Akibat berikutnya, harga tempe batangan di pasar tradisional juga naik. Bahkan sebagian produsen tempe dan tahu menghentikan produksinya karena tidak mampu membeli kedelai yang harganya begitu melambung.

Krisis pangan hasil olahan dari kedelai pada akhir 2007 dan awal 2008 menjadi pertanda masih rendahya ketahanan pangan dari kedelai di negara kita. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan ketahanan pangan berbasis kacang-kacangan, apalagi menurut Mursyid dan Rozy (2008), pada era perubahan iklim ini, era produktivitas kedelai diperkirakan akan semakin menurun. Tidak berlebihan, apabila pemanfaatan kekayaan biodiversitas melalui alternatif suplemen atau mitra kedelai dan melalui penganekaragaman pangan kacang-kacangan merupakan harapan untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan kita.

Kacang Nagara, Alternatif Pengganti atau Mitra Kacang