• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rangkuman Analisis dan Pokok Pikiran ke Depan

Tuntutan kepentingan ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik telah mengubah intensitas kebutuhan manusia terhadap sumber daya alam. Sayangnya, manusia menipiskan kepedulian terhadap keseimbangan dan keberlanjutan sumber daya alam, sehingga kemajuan pesat ekonomi justru berdampak negatif terhadap ekologi. Dampak itu antara lain perubahan komposisi atmosfer secara global atau peningkatan konsentrasi berbagai jenis gas yang digolongkan ke dalam GRK.

Efek rumah kaca yang disebabkan oleh GRK pada konsentrasi 350 ppm dianggap masih sesuai untuk sistem iklim bumi. Namun, kenaikan konsentrasi GRK menjadi 430 ppm telah menyebabkan pemanasan global dan mendorong terjadinya perubahan iklim global. Dampaknya akan makin memerparah berbagai krisis ekologi akibat iklim yang sudah ada di Indonesia, sebagai negara kepulauan.

Selama ini, Indonesia sangat rentan dengan perubahan iklim.

El Nino-Southern Oscillation (ENSO) setiap beberapa tahun memicu

berbagai peristiwa cuaca ekstrim di Indonesia. Pertemuan angin dari belahan bumi utara dengan angin dari belahan bumi selatan memengaruhi awan kumulonimbus serta angin kencang dengan curah hujan yang tinggi dan berhari-hari.

Bertepatan dengan berlangsungnya pemanasan global, berbagai fenomena iklim semakin tidak menentu, dahsyat, dan ekstrim. Pergeseran awal musim tanam sudah dirasakan di beberapa daerah pertanian Indonesia. Tanaman menjadi puso, akibat banjir dan kekeringan. Intensitas kejadian dan luasan pertanaman pun cenderung terus meningkat. Kearifan ekologi berupa penguasaan kemajuan astronomi petani untuk memahami karekteristik musim pun kacau. Curah hujan tinggi dalam periode waktu semakin pendek yang ditambah dengan suhu udara panas mendorong degradasi kualitas tanah terutama di lahan kering. Kemarau panjang yang ditambah dengan kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global menaikkan salinitas air genangan dan pada gilirannya akan

merusak lahan pertanian pasang surut.

Gangguan faktor-faktor iklim yang ditambah dengan degradasi kualitas tanah akan berdampak negatif pada produktivitas tanaman, terutama tanaman yang tidak toleran terhadap ancaman lingkungan dimaksud. Produktivitas kedelai diperkirakan akan turun sekitar 20Produktivitas kedelai diperkirakan akan turun sekitar 20 - 40% dari produktivitas sekarang ini.

Kedelai adalah penyedia lauk sumber protein murah dan telah menjadi makanan sehari-hari bangsa Indonesia. Sayangnya, kebutuhan akan kedelai bangsa Indonesia masih sangat tergantungebutuhan akan kedelai bangsa Indonesia masih sangat tergantung pada kedelai impor. Bangsa Indonesia pernah dihadapkan pada kenaikan harga kedelai, gara-gara pengonversian ladang kedelai menjadi ladang jagung di Amerika Serikat. Kenaikan harga kedelai impor menyebabkan kelangkaan kedelai, kenaikan harga tempe di pasar tradisional, dan selanjutnya penghentian produksi oleh sebagian produsen tempe dan tahu.

Fenomena masalah kedelai merupakan gejala rendahnya ketahanan pangan akan kedelai di negara kita. Ketika pada era perubahan iklim produktivitas kedelai diperkirakan akan semakin menurun, ketahanan pangan akan kedelai pun diprediksi akan semakin rawan.

Untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan akan kedelai di era perubahan iklim, pertanian masa depan di Indonesia harus berbasis pada dua program.

1. Program Mitigasi dilakukan untuk menurunkan emisi gas rumah

kaca (source) maupun penyediaan wadah �sink�, sehingga meredam pemanasan dan perubahan iklim global.

2. Program Adaptasi dilakukan melalui penyesuaian sistem produksi

terhadap pemanasan dan perubahan iklim global.

Program adaptasi juga mengharuskan bentuk pertanian rakyat yang bersifat polikultural, pertanian yang harus memertimbangkan jenis tanaman lain yang lebih toleran terhadap perubahan iklim. Dengan kalimat lain, orientasi pertanian harus diubah dari monokultural yang kedelaisentris menjadi polikultural yang mengarah pada diversifikasi tanaman kacang-kacangan. Sumber produksi pangan berbasis kacang-kacangan perlu dikelola dengan pembudidayaan aneka tanaman pangan berbasis kacang-kacangan. Kebutuhan akan gizi berimbang dari kacang-kacangan akan mudah

dipenuhi melalui konsumsi aneka kacang-kacangan.

Kekayaan biodiversitas menjanjikan peluang penguatan pola konsumsi aneka ragam pangan. Masalahnya sekarang adalah membangkitkan kesadaran komunitas warga dan konsumen terhadap produksi aneka ragam pangan. Upaya ini untuk menjamin kecukupan pangan sehat dan gizi berimbang serta sekaligus membantu petani mengembangkan usaha tani dan kesejahteraannya dalam cekaman perubahan iklim.

Kita harus menyadari bahwa pangan adalah kebutuhan yang paling azasi bagi manusia. Menjadi sangat berisiko ketikaMenjadi sangat berisiko ketika urusan pangan sangat tergantung kepada pihak asing. Kita harus menghidupkan daya kemandirian masyarakat, sehingga mau dan mampu memanfaatkan kekayaan biodiversitas untuk memenuhi kecukupan pangan yang sehat dan gizi berimbang.

Kacang nagara (Vigna unguiculata ssp cypindrica) telah dibudidayakan oleh petani di kawasan rawa Nagara secara turun temurun dan merupakan salah satu kekayaan biodiversitas asal dan merupakan salah satu kekayaan biodiversitas asal Kalimantan Selatan. Kacang yang diperhitungkan lebih unggul. Kacang yang diperhitungkan lebih unggul daripada kedelai ini mampu beradaptasi untuk bertumbuh dan berproduksi terutama pada era pemanasan global atau perubahan iklim.

Memasukkan kacang nagara yang berpotensi menjadi suplemen atau mitra kacang kedelai pada sistem usaha tani mempunyai arti penting dalam program mitigasi terhadap perubahan iklim. Dengan menganalogikan tanaman kelapa sawit yang hasil biomasanya 36 ton/ha/tahun dapat menyerap pencemar udara CO2 25 ton/ha/ tahun dan mengubahnya menjadi udara bersih O2 sebanyak 18 ton/ha/tahun (Manan, 2008), kacang nagara yang diperhitungkan menghasilkan biomassa 15 ton/ha/musim dan biji kering 2 ton/ha/ musim akan mampu menyerap CO2 sekitar 11 ton/ha/musim dan mengeluarkan udara bersih 8,5 ton/ha/musim.

Kacang nagara selama ini ditanam pada lahan tanpa bakar dan tanpa olah tanah. Pembukaan lahan tanpa bakar akan mereduksi GRK 22,47 ton/ha dan pengembangan sistem pertanian tanpa olah tanah dapat mengurangi emisi CH4 hingga 65% dibandingkan dengan sistem olah tanah sempurna. Budidaya kacang nagara selama ini dilaksanakan pada lahan rawa yang sudah kering dari air genangan.

Dari alaman Program SRI (System Rice Management), pengurangan tinggi genangan air dapat mereduksi gas rumah kaca sampai 45% (Manan, 2008).

Permana (2006) dan Hakim (2006) ―keduanya adalah mahasiswa bimbingan saya― menunjukkan bahwa bioproduk berupa kompos eceng gondok dan limbah tandan sawit berpengaruh positif sangat nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai di lahan kering bekas tambang batu bara dan tanah podsolik. Mursyid (1992) juga menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang dan fosfat di tanah podsolik bekas padang alang-alang meningkatkan pertumbuhan kacang nagara. Pemanfaatan limbah untuk kompos dan pupuk sangat berpotensi untuk mengurangi emisi GRK. Ini sesuai dengan Manan (2008) bahwa pengelolaan berupa pemanfaatan kotoran ternak dapat mereduksi gas metan. Manan (2008) menambahkan bahwa pemanfaatan limbah sawit, tebu, dan karet sebagai biofuel dapat mengurangi emisi CO2 sampai 78%.

Dari analisis dan pokok-pokok pikiran di atas, tersimpul bahwa kacang nagara sangat berpotensi sebagai alternatif pengganti atau setidak-tidaknya mitra kacang kedelai dalam menjaga stabilitas ketahanan pangan. Pada masa mendatang kacang nagara diharapkan lebih banyak digunakan dalam langkah-langkah nyata program aksi mitigasi dan atau adaptasi perubahan iklim global guna mewujudkan kecukupan pangan dan keseimbangan gizi.