• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.6 Praktek Pengelolaan Hutan Rakyat 1 Tahun 1985

Praktek pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Cikalong telah berlangsung sejak sekitar tahun 1985 – 1990 seiring dengan adanya program sengonisasi dari pemerintah yang bertujuan untuk kegiatan rehabilitasi lahan. Pada masyarakat sekitar, budaya menanam telah ada sejak dahulu. Masyarakat sekitar telah mempunyai kearifan lokal terkait dengan pengolahan lahan untuk optimalisasi fungsi dan manfaat dari lahan tersebut. Hal ini terbukti sebelum adanya program sengonisasi, pada umumnya masyarakat sekitar telah mengolah lahannya dengan tanaman kelapa secara monokultur atau dicampur dengan tanaman buah-buahan. Pada waktu itu, Kecamatan Cikalong adalah pusat penghasil produk kelapa maupun olahannya seperti buah kelapa, kopra, dan gula kelapa di Kabupaten Tasikmalaya. hasil produksi kelapa tersebut dikirim ke daerah – daerah di seluruh Tasikmalaya dan Bandung.

Dengan adanya program ini, masyarakat ditawarkan untuk mengolah lahan mereka tidak hanya dengan tanaman kelapa dan tanaman buah-buahan, tetapi juga

membudidayakan tanaman sengon dengan keuntungan-keuntungan yang akan diberikan. Untuk mensukseskan program ini, pemerintah membagi-bagikan bibit sengon secara gratis ke masyarakat. Selain itu, adanya kegiatan penyuluhan secara intensif yang dilakukan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) setempat untuk meyakin kan masyarakat agar membudidayakan sengon sekaligus memberikan arahan dan masukan dalam hal teknis penanaman, perawatan hingga pemanenan.

Pada awal adanya program ini, muncul beberapa keraguan pada masyarakat akan manfaat yang bakal didapatkan dari budidaya tanaman sengon tersebut, yaitu: 1) Adanya keraguan tentang kecepatan pertumbuhan tanaman sengon. hal ini

dikarenakan, pada umumnya masyarakat hanya mengetahui tanaman kayu yang ditanam Perhutani setempat seperti tanaman jati dan mahoni yang memiliki umur panen yang lama atau mempunyai pertumbuhan riap yang kecil.

2) Adanya keraguan terkait dengan adanya akses pasar untuk kayu sengon. Pada waktu itu, masyarakat hanya mengetahui kayu yang laku di pasar adalah kayu dengan sifat keras seperti kayu jati dan kayu mahoni. Pada waktu di Kecamatan Cikalong belum ada pabrik pengolahan kayu sawmill.

3) Adanya keraguan terkait dengan kondisi masyarakat yang telah memanfaatkan lahannya untuk budidaya tanaman kelapa dan tanaman buah-buahan yang memberikan keuntungan finansial yang cukup baik untuk tingkat ekonomi keluraga masyarakat sekitar.

Untuk meyakinkan masyarakat terkait keraguan-keraguan tersebut, PPL setempat membuat plot contoh (demplot) pada salah satu lahan masyarakat setempat. Dalam plot contoh tersebut, ditanami tanaman sengon secara monokultur dengan jarak tanam 3 m x 3 m dengan menyesuaikan kondisi lahan dalam mengatur jarak tanam sengon, serta ada penjarangan pada umur tertentu. PPL setempat juga menjanjikan adanya akses pasar kayu sengon yang akan disediakan oleh PPL setempat.

5.6.2 Tahun 1990 - 2000

Pada tahun 1990 - 2000, masyarakat mulai yakin akan keuntungan budidaya tanaman kayu dengan adanya success story budidaya tanaman kayu dari salah satu

masyarakat sekitar yang bernama H.Pupud. H. Pupud adalah masyarakat sekitar yang cukup lama merantau di daerah lain sehingga cukup mempunyai pengetahuan lebih diantara masyarakat sekitar tentang pengelolaan tanaman kayu dan peluang bisnis yang bakal didapatkan. Produksi bibit sengon dilakukan dengan membuat persemaian dari benih sengon yang didapatkan dari temannya saat merantau. Jarak tanam yang digunakan adalah 3 m x 3 m dengan adanya penjarangan pada umur tanaman 2 tahun. Adanya ketidakpastian pasar yang diragukan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh H.Pupud dengan menjual hasil tanaman kayu tersebut ke pabrik kayu di Kota Tasikmalaya dan Tangerang.

Success story ini menimbulkan pergeseran mind set dari masyarakat sekitar dari yang hanya mengolah lahannya dengan tanaman kelapa, buah-buahan, dan tanaman pertanian lahan kering seperti singkong, semangka, dll, akhirnya sebagian lahan masyarakat diolah dengan budidaya tanaman sengon atau mengolah lahan dengan melakukakan tumpang sari dengan tanaman lain. Kejadian ini menunjukkan bahwa masyarakat akan menerima dan mau mengikuti program dari pemerintah jika program tersebut telah dibuktikan keberhasilannya dari penanaman hingga penjualan produk yang dihasilkan.

Dengan semakin banyaknya masyarakat yang melakukan budidaya sengon secara monokultur atau tumpang sari, mendorong lahirnya beberapa pabrik sawmill di daerah sekitar. Pembangunan pabrik sawmill dilakukan pertama kali oleh H.Pupud dan kemudian diikuti oleh masyarakat sekitar. Adanya pabrik sawmill ini dapat memudahkan masyarakat dalam menjual hasil tanaman kayu yang dibudidayakan. Kepastian pasar menjadi salah satu pertimbangan utama bagi masyarakat untuk mencoba membudidayakan sengon. Adanya kepastian akses pasar dan harga yang cukup tinggi dapat meyakinkan masyarakat akan keuntungan budidaya sengon.

Ada dua sistem pengelolaan tanaman kayu yang dilakukan oleh masyarakat sekitar, yaitu sistem tumpang sari dan dan sistem monokultur. Pada umumnya masyarakat sekitar menggunakan sistem tumpang sari pada lahan yang telah ditanami tanaman kelapa dan tanaman buah - buahan. Ada dua macam sistem tumpang sari yang dilakukan, yaitu:

1) Sistem tumpang sari sengon dengan hanya menanam pada ruang-ruang kosong yang masih bisa ditanami diantara tanaman kelapa dan tanaman lain yang disajikan pada Gambar 19. Pada sistem ini, masyarakat tidak mempedulikan aturan jarak tanam yang digunakan. Hal ini mengakibatkan karena kurangnya ruang tumbuh yang cukup untuk sengon sehingga menyebabkan pertumbuhan dari tanaman sengon tidak maksimal. Dalam sistem ini, masyarakat bertujuan melakukan optimalisasi manfaat dari lahan dengan memaksimalkan ruang tanam yang ada.

Gambar 19 Sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang tidak teratur

2) Sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang teratur. Pada sistem ini masyarakat menanam sengon di sela-sela tanaman kelapa (Gambar 20a) atau tanaman buah- buahan seperti pisang (Gambar 20b). Penggunaan sistem ini sangat menguntungkan bagi masyarakat sekitar. hal ini dikarenakan pertumbuhan sengon yang dihasilkan cukup baik karena adanya ruang tumbuh yang cukup untuk pertumbuhan dan masyarakat juga masih dapat memanfaatkan hasil dari tanaman yang lain.

(a) (b)

Gambar 20 Sistem pengelolaan kombinasi sengon dan kelapa (a), sengon dan pisang (b)

Masyarakat beranggapan bahwa tanaman kayu dapat digunakan sebagai investasi masa depan. Tanaman kayu juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak seperti biaya sekolah, biaya berobat, dll. Dalam melakukan penanaman sengon, masyarakat tidak terlalu mempedulikan jarak tanam yang digunakan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, masyarakat memanfaatkan produksi dari tanaman kelapa seperti buah kelapa dan produk olahannya seperti kopra, dan gula kelapa. Penentuan hasil produksi yang akan dijual oleh masyarakat tergantung dari harga pasar, namun secara umum masyarakat cenderung memanfaatkan tanaman kelapa untuk disadap sari buah kelapanya yang dapat diolah menjadi gula kelapa. Waktu produksi gula kelapa tidak seperti buah kelapa dan kopra yang diproduksi satu bulan sekali, gula kelapa dapat dapat diproduksi setiap hari dengan melakukan dua kali penyadapan pagi dan sore setiap hari sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Pada sistem tanam monokultur (Gambar 21), masyarakat menanam dengan mengikuti apa yang H.Pupud lakukan dengan menggunakan jarak tanam 3 m x 3 m. hasil tanaman kayu yang didapatkan lebih bagus dari sistem tumpang sari dengan jarak tanam yang tidak teratur. Dalam sistem ini, tanaman sengon tumbuh dengan baik karena adanya ruang tumbuh yang cukup untuk pertumbuhan sengon, namun penggunaan sistem ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat yang mempunyai lahan yang cukup luas dan modal.

Gambar 21 Sistem monokultur sengon

5.6.3 Tahun 2000 – 2010

Pada periode tahun ini, pertumbuhan hutan rakyat berlangsung semakin cepat dengan semakin banyaknya success story yang telah dilakukan oleh masyarakat sekitar. Masyarakat mulai meninggalkan sistem pengelolaan untuk optimalisasi lahan tanpa mempedulikan jarak tanam yang digunakan yang mengakibatkan kurang maksimalnya pertumbuhan sengon. Masyarakat mulai beralih menggunakan sistem tumpang sari dengan memadukan tanaman sengon dengan satu atau dua jenis tanaman yang lain dengan jarak tanam yang teratur. Sistem ini tumbuh dengan cepat karena melihat kondisi rata-rata luasan lahan masyarakat hanya memiliki luasan 0.5 ha setiap keluarga. Dengan luasan lahan tersebut dan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, masyarakat perlu inovasi pengelolaan yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi suatu inovasi pengelolaan yang juga dapat dijadikan investasi masa depan.

Salah satu faktor yang paling mendasar dalam konteks perkembangan luasan hutan rakyat yang berlangsung begitu cepat terjadi di daerah ini dikarenakan adanya kepastian atau kepemilikan lahan yang sudah jelas yang dimilki oleh masyarakat dengan luasan yang bervariasi. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya konflik lahan yang sering terjadi di masyarakat. Kepastian lahan menjadi sangat penting dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan investasi pengelolaan lahan terutama pengelolaan lahan dengan jenis tanaman yang mempunyai waktu panen lama seperti tanaman kayu.

Seiring dengan semakin berkembangnya luasan hutan rakyat juga diikuti oeh semakin banyaknya perusahaan pengolahan kayu sawmil di daerah sekitar (Gambar 22). Pada periode ini telah terdapat 63 pabrik pengolahan kayu yang tersebar di 13 desa Kecamatan Cikalong (BP3K 2009). Dengan semakin banyaknya perusahaan sawmill menyebabkan akses pasar kayu sengon semakin mudah. Masyarakat tidak perlu takut hasil panen kayu yang dibudidayakan tidak laku pasar karena saat ini telah banyak pemborong atau tengkulak kayu yang langsung mencari petani yang membudidayakan sengon untuk membeli hasil kayu sengon yang siap panen.

Gambar 22 Pabrik pengolahan kayu sawmill

Sistem penjualan kayu dilakukan dengan sistem borongan yang dilakukan oleh tengkulak atau pemborong. Ada dua macam transaksi jual beli yang dilakukan, yaitu jual beli dengan sistem borongan pada pohon sebelum dilakukan penebangan dan sistem jual beli log kayu setelah dilakukan penebangan. Pada sistem jual beli borongan sering terjadi kecurangan yang dilakukan oleh pemborong saat melakukan penaksiran potensi kayu milik petani. hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani dalam melakukan penaksiran potensi kayu. Pemborong biasanya melakukan penaksiran sekecil mungkin terhadap potensi kayu yang akan dibeli. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebelum melakukan transaksi jual beli, petani meminta bantuan penyuluh setempat untuk menghitung terlebih dahulu potensi kayu yang akan dihasilkan. hal ini dapat meminimalisir kerugian yang didapatkan petani saat transaksi jual beli kayu.

Dalam sistem jual beli log, pemborong membeli log kayu dihitung berdasarkan hasil olahan kayu Rought Sawn Timber (RST) yan bakal didapatkan dari log kayu.

hasil perhitungan satuan diameter tiap satuan log, dihitung setelah dikurangi 4 cm. Pada sistem ini, harga log / m³ harga yang ditentukan pemborong tergantung dari besar kecilnya ukuran diameter tiap satuan log.

1) Ukuran diameter ≤ 25 cm = Rp 500.000 / m³

2) Ukuran diameter ≥ 25 cm = Rp 750.000 / m³ – Rp 800.000 / m³

Dari sudut pandang petani sekitar, harga-harga yang ditetapkan oleh setiap pemborong cukup menggiurkan mereka untuk melakukan budidaya tanaman kayu. Tanaman kayu dijadikan petani untuk investasi masa depan yang digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak, seperti untuk biaya sekolah, biaya pengobatan, dll. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, cukup banyak petani yang dapat menunaikan ibadah haji dari hasil panen pohon sengon sehingga muncul istilah

“Haji Sengon” di kalangan masyarakat sekitar.

Pada periode ini, kelompok tani lokal di daerah setempat telah membuat sub bagian kelompok tani hutan rakyat. Masyarakat sadar akan pentingya kelembagaan petani hutan rakyat untuk menunjang eksistensi dari petani hutan rakyat sebagai penunjang keberlangsungan pengelolaan hutan rakyat kedepannya. Kelembagaan ini berfungsi sebagai wadah bagi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dari kegiatan persemaian untuk produksi bibit dan penjualan kayu rakyat. Saat ini beberapa kelompok tani telah mulai membuat persemaian untuk mencukupi kebutuhan bibit di tataran kelompok masing-masing. Namun, program persemaian ini tidak berjalan cukup efektif karena terkendala adanya menejemen organisasi yang kurang bagus. Masyarakat cenderung lebih memilih membeli bibit sengon dari penjual keliling dari daerah luar seperti dari daerah Wonosobo. Adanya bibit dari daerah luar ini dikawatirkan akan dapat membawa wabah penyakit sengon dari daerah lain seperti penyakit karat tumor (Xystrovera indica).

Dampak positif yang dapat dirasakan dari adanya kelembagaan ini, dapat mengurangi terjadinya kecurangan yang biasanya terjadi saat terjadi transaksi jual beli dengan pemborong atau tengkulak. Dalam hal ini, masyarakat dapat saling membantu dalam melakukan penaksiran potensi kayu yang akan dijual. Selain itu, adanya sharing informasi tentang pemeliharaan sengon dan harga terbaru (update)

kayu sengon sehingga masyarakat dapat mendapatkan semaksimal mungkin manfaat atau keuntungan dari budidaya tanaman sengon.

5.6.4 Tahun 2010 – 2012

Pada periode ini terjadi penurunan perkembangan luasan hutan rakyat yang berada di sekitar pinggir pantai. hal ini dikarenakan ditemukannya kandungan tambang pasir besi, pasir cor, mangan, dan tembaga di daerah sekitar pantai sehingga menyebabkan adanya kegiatan penambangan yang dilakukan oleh perusahaan daerah maupun perusahaan swasta yang menyebabkan sebagian daerah mengalami alih fungsi lahan. Lahan yang sebelumnya dikelola untuk kebun campuran, hutan rakyat, dan sawah, saat ini dikelola untuk aktifitas tambang.

Tawaran sistem ganti rugi alih fungsi lahan yang cukup besar membuat masyarakat merubah fungsi lahannya menjadi lahan tambang. Pada umumya sistem ganti rugi yang diterapkan, pihak perusahan membeli semua tegakan yang terdapat pada lahan yang akan dilakukan kegiatan tambang dengan harga yang disepakati oleh kedua pihak. Saat kegitan tambang berlangsung, perusahaan membeli tanah dari lahan tersebut yang diindikasikan mengandung bahan tambang terutama pasir besi dengan harga yang telah disepakati. Setelah kegiatan penambangan selesai, perusahaan bertanggung jawab untuk meratakan kembali tanah bekas penambangan sehingga tanah dapat kembali rata.

Lahan bekas tambang tambang yang telah kembali rata, ditanami kembali dengan tanaman sengon (Gambar 23). Kondisi tanah pada lahan bekas tambang adalah tanah marginal yang mempunyai sedikit kandungan unsur hara atau keadaan tanah kurang subur sehingga menjadi cukup tepat saat masyarakat menanami lahannya dengan tanaman sengon. Sengon adalah jenis tanaman leguminoseae yang dapat melakukan fiksasi nitrogen pada tanah sehingga dapat memberikan tambahan hara tanah.

Gambar 23 Lahan bekas tambang yang ditanami sengon

Pada periode ini, jenis tanaman kayu yang dibudidayakan oleh masyarakat lebih beragam. Selain tanaman sengon, masyarakat juga membudidayakan tanaman akasia (Acacia mangium). Masyarakat mendapatkan tanaman ini dari penjual keliling bibit sengon yang selama ini beroperasi di daerah sekitar. Salah satu pertimbangan masyarakat dalam membudidayakan akasia karena akasia merupakan tanaman fast growing dengan tingkat pertumbuhan yang hampir sama dengan sengon, harga bibit yang lebih murah dari sengon dan telah banyaknya pabrik sawmill yang juga mau membeli kayu akasia dari petani.

BAB VI

Dokumen terkait