• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.1. Kerangka Teoritis 1 Karakteristik LSM

2.1.5. Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu diantara negara di dunia yang mempunyai sumber daya hutan yang besar dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan mengenai sumberdaya hutan dan apresiasi mengenai manfaat sumberdaya hutan, terlihat adanya keterkaitan dalam kerangka perkembangan sosial-budaya masyarakat bagi baik lokal maupun global. Hal ini menimbulkan paradigma baru yaitu pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari (sustainable forest management/SFM)

Saat ini, perhatian publik terhadap pengelolaan hutan lestari telah mengalami kemajuan yang pesat. Dalam kerangka itu, pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) muncul sebagai salah satu alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia.

Makna kehutanan masyarakat seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang di lapangan. Komunitas hanya dilihat seperti sekumpulan masyarakat yang memegang teguh hukum adat atau kearifan lokal yang sudah turun temurun sejak dulu kala. Komunitas masih dianggap mempunyai tingkat bargaining position yang rendah, kemampuan yang lemah dan tanpa adanya leverages untuk merubah menuju kearah yang lebih baik. Kondisi seperti itu masih diperparah dengan lemahnya dukungan dan lindungan dari pemerintah.

Namun kenyataan yang sebenarnya adalah komunitas pengelola hutan telah terbukti mampu menjaga dan memelihara sumberdaya hutan yang menjadi tumpuan hidupnya. Pengakuan atas kemampuan dan kearifan komunitas dalam mengelola sumberdaya hutannya itu telah dibuktikan dengan banyaknya hasil kajian di berbagai lokasi dan telah lama dilakukan.

Menurut Suharjito (2000), Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumahtangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi.

Keragaman PHBM di Indonesia menunjukkan variasi berdasarkan asal-usul prakarsa pengelolaannya, status lahan yang dijadikan areal pengelolaan, fungsi kawasan dari lokasi lahan pengelolaan, jenis produk utama yang diusahakan, dan kelembagaan atau organisasi sosial yang terbentuk (atau dibentuk) sebagai institusi pengelolaan hutan (LEI, 2001).

Ada tiga dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat, yaitu pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi, dan pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh sedikitnya tiga hal utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat, faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, maupun daerah, dan faktor dinamika sosial politik lokal (Tim Karsa, 2007)

Dalam Tambun, W et.al (2007), yang memuat kumpulan pengalaman pelaksanaan PHBM dan pendampingan oleh LSM yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang telah berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, tersebar di banyak tempat dan mampu mempertahankan kondisi hutan sehingga dapat berfungsi dengan baik.

Hal senada juga dijelaskan Suharjito (2006), yang memuat kumpulan pendampingan oleh LSM dalam pelaksanaan PHBM yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Jogjakarta, Jambi, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat, bahwa kegiatan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah berlangsung cukup lama. Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan oleh

beragam LSM maupun universitas/perguruan tinggi. Kegiatan pendampingan tersebar di berbagai daerah dengan konteks sosial budaya yang berbeda-beda. Sumberdaya hutan yang menjadi arena pergumulanpun berbeda-beda, baik fungsi utamanya: hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, maupun ragam produknya: buah-buahan, rotan, dan kayu. Pihak-pihak yang terlibat dalam pergumulan sumberdaya hutan tersebut juga beragam kepentingan.

Social Forestry (SF) merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dibidang kehutanan yang memberikan akses langsung kepada masyarakat dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa disekitar hutan. Perguliran kebijakan SF ini membuktikan bahwa pemerintah telah melakukan koreksi yang selama ini memposisikan masyarakat sekitar hutan termarjinalkan dengan melatakkan paradigma pembangunan kehutanan berbasis pemberdayaan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2005).

Dari aspek kebijakan, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sudah cukup terbuka. Selain SF, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Namun dalam implementasinya kebijakan ini kurang berjalan dengan baik, antara lain akibat belum berubahnya paradigma sebagian besar aparat kehutanan dan para pihak terkait serta belum terbangunnya sistem pelayanan pemerintah untuk pengembangan sistem pengelolaan berbasis masyarakat lokal tersebut.

Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antara kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerjasama. Jadi, tantangan terbesar dalam upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntunan-tuntunan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi (Kusmanto, 2006).

Dari perkembangan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan di Indonesia, kita dapat melihat bahwa yang telah terjadi adalah proses pembelajaran

coba dan ralat (trial and error) antara berbagai kelompok kepentingan. Pembelajaran ini masih berlangsung sampai saat ini. Namun pembelajaran telah terjadi, laju pembelajaran tersebut berjalan lamban dan partisipasi masih dilihat terutama sebagai cara untuk memastikan agar hutan tetap dapat dijadikan sumber pendapatan dan kekayaan bagi mereka yang memiliki kekuasaan.

Di lain pihak, praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat, meskipun dibawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Namun realisasi dari dorongan pergeseran tersebut belum juga terwujud dalam praktek akibat hambatan- hambatan antara lain berupa perbedaan persepsi dan sikap pemerintah termasuk pihak akademisi yang masih relatif lebih kuat (Suharjito, 2000).

Pada umumnya pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mempunyai karakteristik ketahanan yang tinggi terhadap krisis ekonomi, sekaligus mampu memelihara fungsi lingkungan sehingga praktik-praktik ini merupakan alternatif pengelolaan hutan di masa mendatang yang paling tepat dikembangkan tatkala pertumbuhan penduduk terus meningkat.