• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Praproduksi

Langkah awal produksi film Jakarta Unfair dilakukan dengan mengumpulkan tim dan aktivis dari Ciliwung Merdeka dan Urban Poor

Consortium (UPC). Bersamaan dengan itu, Dandhy menjelaskan ide dan

maksud dibuatnya film Jakarta Unfair. Menurut Dandhy, sejatinya film Jakarta Unfair berupaya memberi ruang bagi suara korban gusuran yang tidak ditampung oleh media, atau ditampung tetapi tidak disampaikan (wawancara, 26 Desember 2016). Ada kekhawatiran Dandhy bahwa tidak ada yang mendokumentasikan masalah penggusuran jika WatchdoC tidak melakukannya.

Dan ternyata benar, andai kita dulu enggak bikin yaudah nih lewat aja nih peristiwa penggusuran tanpa ada dokumentasinya, kira-kira gitu. Yang merekam banyak tapi yang menjadikannya menjadi sebuah cerita. Nah, jadi pertimbangannya itu kenapa penggusuran kita pilih karena banyak banget dan benar data LBH juga menyatakan begitu. (Dandhy Dwi Laksono, 26 Desember 2016)

Usai Dandhy menyampaikan perihal pembuatan film, dipilih sutradara dan asisten sutradara. Dalam hal ini sutradara dan asisten sutradara yang terpilih adalah Sindy Febriyani dan Dhuha Ramdhani. Berdasarkan observasi peneliti, pemilihan sutradara dan asisten

sutradara dilakukan berdasarkan pengajuan nama oleh tim produksi dan kesepakatan tim. Pada hari yang bersamaan, sutradara melakukan pembagian tim produksi dan mencatat lokasi-lokasi yang akan direkam. Kala itu, lokasi-lokasi yang terpilih adalah Bukit Duri, Pasar Ikan, Tongkol, Kampung Baru Dadap, Rusun Marunda, Lauser, Rusun Kapuk Muara, dan Rusun Jatinegara. Jumlah masing-masing tim dibagi sesuai dengan resistensi lapangan. Maksudnya, apakah situasi lapangan cukup berbahaya atau tidak.

Setiap tim diberi waktu satu minggu untuk melakukan riset lapangan sekaligus pencarian tokoh utama, ada tim yang memutuskan untuk menginap yaitu di Kampung Baru Dadap. Mereka berangkat ke lapangan dengan perspektif apakah penggusuran membuat orang yang tergusur menjadi sejahtera atau justru sebaliknya. Hal ini dinyatakan pula oleh Dandhy,

Ya, ide besarnya dulu terus perspektif, dari perspektif apa yang mau kita angkat sih. Seperti kita sebelum terjun Jakarta Unfair apa perspektif kita ―Menguji benarkah membuat manusia hidup lebih baik?‖ itu kan yang mau kita ujikan. Kita bertanya itu setengah tahu dan setengah enggak tahu kan. Setengah tahu karena kita sudah membaca beberapa referensi banyak orang mengeluh, enggak bisa bayar sewa, enggak bisa punya kerjaan, blabla segala macam. Tapi, kita juga belum bisa menyimpulkan karena kita belum punya rekamannya sehingga kita ya kayak skripsi menguji hipotesis. (wawancara, 26 Desember 2016)

Perspektif ini dilengkapi dengan informasi yang didapatkan dari para aktivis mengenai letak lokasi, jumlah kepala keluarga (KK), sikap

warga, dan permasalahan di dalam warga. Hal ini diungkapkan pula oleh Dhuha Ramadhani saat diwawancara pada 24 Desember 2016, ―…riset pertama kita itu berangkat dari apa yang kita dapatin dari

teman-teman aktivis dan sebenarnya itu sangat membantu kita untuk mengenal lapangan sebelum kita memutuskan untuk memilih beberapa tempat untuk survei‖.

Untuk pertama kalinya ke lapangan videografer dilarang membawa kamera. Dengan demikian, riset lapangan murni untuk mengenal lapangan dan melakukan pendekatan dengan warga. Kecuali, tim Kampung Baru Dadap yang sudah mulai merekam saat pertama kali ke lapangan. Hal ini dikarenakan sebelumnya ada anggota tim yang sudah dekat dengan warga dan telah melakukan advokasi di sana selama kurang lebih satu bulan. ―Sebenarnya itu dimudahkan karena sebelum ada proses pembuatan film Jakarta Unfair, gue sudah di sana selama satu bulan. Jadi, ketika proses pembuatan (film) sudah dimudahkan‖ (Muhammad Nur Azami, 24 Desember 2016).

Azmi I. Firdhuasi, videografer di Kampung Baru Dadap, mengatakan masyarakat di sana sangat terbuka dengan orang yang membantu kepentingan mereka, berbeda di beberapa lokasi liputan yang masih tertutup dengan orang baru (Azmi I. Firdhuasi, wawancara, 26 Desember 2016). Terlihat pula pada observasi yang peneliti lakukan di Kampung Baru Dadap pada 4 Juni 2016, warga sudah mulai menceritakan keluh-kesah mereka terkait dengan air pasang yang diduga

akibat dari reklamasi teluk Jakarta dan kronologi turunnya surat peringatan (SP) 2. Cerita ini disampaikan kepada beberapa anggota tim yang mengikuti acara obor rakyat sembari mengambil gambar. Adapula acara diskusi warga tentang rencana penggusuran yang turut diikuti mahasiswa-mahasiswa yang melakukan pendampingan warga Kampung Baru Dadap. Di sini, anggota tim produksi ada yang merekam suara, mengambil gambar, memegang lighting, dan ada yang menjadi bagian dari diskusi. Dari diskusi tersebut, tim mendapat informasi tentang sejarah bahwa isu penggusuran di Kampung Baru Dadap sudah ada sejak 1996, namun dikalahkan oleh pergerakan pendahulunya serta ada aparat yang menarik uang dari pemilik-pemilik kafe. Hal ini disampaikan salah satu warga yang sempat memberi kata sambutan pada pembukaan acara diskusi tersebut.

Keesokannya, tim diajak untuk ikut nelayan melaut dan makan bersama di rumah warga sebagai bagian dari adat suku Bugis menjelang lebaran. Dari sini, tim produksi mulai melirik tokoh yang dinilai potensial untuk diangkat ke dalam film. Pencarian tokoh oleh tim produksi diawali dengan menanyakan warga terkait tokoh-tokoh yang menjadi ―idola‖ dan mempunyai pengetahuan luas tentang isu penggusuran Kampung Baru Dadap. Tidak hanya menelan informasi dari warga, peneliti bersama tim produksi bertemu langsung dengan

tokoh yang bersangkutan dan menanyakan segala informasi mengenai tokoh dan tentang rencana penggusuran di Kampung Baru Dadap.

Kemudian, tokoh-tokoh yang dinilai potensial dibawa ke meja rapat besar tim Jakarta Unfair. Dalam rapat tersebut videografer memberikan segala informasi terkait kondisi lapangan dan tokoh yang diajukan. Informasi yang disampaikan berupa pandangan warga tentang penggusuran, lama tinggal di wilayah tersebut, karakter tokoh, pekerjaan yang dominan, dan dampak penggusuran bagi warga. Di Kampung Baru Dadap dan Pasar Ikan misalnya, sebagian besar pekerjaan warga adalah nelayan dan apabila nelayan dipindahkan ke tempat yang jauh dari kapalnya, maka akan mengalami kesulitan untuk melaut karena akan memakan waktu untuk menuju kapal dan ada kekhawatiran ketika hujan kapalnya karam.

Di luar dari informasi yang ditemukan di lapangan, ada pula ketentuan dari sutradara dalam pemilihan tokoh yaitu mereka yang mempunyai ide, gagasan, mempunyai ciri khas yang membedakan dirinya dengan warga lain seperti ikut memperjuangkan wilayahnya dan diterima di lingkungannya (Dhuha Ramadhani, wawancara, 24 Desember 2014). Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syarat tersebut setiap lokasi mengajukan lebih dari satu tokoh. Kampung Baru Dadap sendiri mengajukan satu tokoh sejarah, dua tokoh utama, dan tiga tokoh alternatif. Tokoh sejarah yang dipilih Azami adalah tokoh yang

paling tua, datang dari generasi awal, serta mumpuni menjelaskan soal sejarah Kampung Baru Dadap. Sedangkan, tokoh utama meliputi orang yang menjadi motor perjuangan Kampung Baru Dadap dan tokoh masyarakat nelayan (wawancara, 24 Desember 2016). Adapun tokoh alternatif di sini adalah mereka yang memberi informasi tambahan dan secara vokal menolak penggusuran. Tokoh alternatif ini sewaktu-waktu bisa menjadi tokoh utama apabila pernyataan tokoh utama dirasa kurang kuat untuk dimasukkan ke dalam film.

Berangkat dari rapat kedua, tim menyimpulkan lokasi yang berpotensi untuk direkam karena ceritanya yang menarik dan ada tempat yang masih harus melakukan pendekatan karena sikap warga yang skeptis terhadap media. Dhuha menegaskan, ada sikap skeptis warga terhadap media yang menurut mereka memutarbalikkan fakta yang terjadi di lapangan sehingga sulit dalam pencarian tokoh utama, akhirnya ada beberapa tempat yang tidak diangkat. Adapula warga yang masih sensitif terhadap media, tetapi perlahan bisa diakses oleh tim produksi. Cara mengakses tempat tersebut dengan menjelaskan maksud dan tujuan tim produksi sejak awal (wawancara, 24 Desember 2016). Hal serupa disampaikan pula oleh videografer dari Pasar Ikan Ngesti Sekar Dewi.

Dengan terbuka dari awal. Jadi, begitu kita datang, kita udah

nyampein maksud dan tujuan kita, kita nyampein kita dari mana, kita

ditutup-tutupi dari narasumber kita itu dari warga, karena kalau pun nanti kita menutup-nutupkan atau istilahnya pake teknik menyamar segala macam itu kita sendiri yang akan repot. Karena kalau sekali bohong ya kita akan terus bohong gitu. (wawancara, 26 Desember 2016)

Penetapan tokoh pada tahap ini masih bersifat tentatif, ada tempat yang belum mendapatkan tokoh atau menambah tokoh. Akibatnya, riset lapangan sekaligus pencarian tokoh kembali dilakukan oleh masing-masing tim. Azami melontarkan salah satu penyebab riset tokoh dilakukan berkali-kali adalah adanya perdebatan antara tim yang terjun ke lapangan dengan sutradara.

…kadang kita ada perdebatan juga gitu di tim soal tokoh ini layak dan enggak layak. Kadang dari tim yang terjun lapangan ini udah layak sangat, tapi di teman-teman yang lain bilang entar dulu ini belum karena kebutuhan alur begini, begini, dan begini. Ada perdebatan-perdebatan kadang-kadang. (wawancara, 24 Desember 2016)

Berdasarkan hasil rapat yang peneliti ikuti, lokasi-lokasi yang mengalami permasalahan dengan tokoh mencakup semua lokasi yang diajukan. Lama proses pencarian tokoh bervariatif ada yang menghabiskan satu bulan atau lebih, bahkan ada yang mengalami perubahan tokoh di tengah-tengah produksi berlangsung.

Seminggu setelah rapat kedua, tim produksi kembali dipertemukan pada rapat ketiga. Rapat tersebut membahas tentang timeline produksi,

kebutuhan informasi. Meskipun saat itu pendekatan baik dengan warga maupun tokoh masih di lakukan hingga 25 Juni 2016.

Dokumen terkait