Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah,
memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk
kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama
penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat
yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work
non-commercially, as long as you credit the origin creator
and license it on your new creations under the identical
terms.
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.)
Octi Sundari 13140110258
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
KONSENTRASI MULTIMEDIA JOURNALISM
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
TANGERANG
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya ilmiah saya sendiri, bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis oleh orang lain atau lembaga lain, dan semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan di Daftar Pustaka.
Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan/penyimpangan, baik dalam pelaksanaan skripsi maupun dalam penulisan laporan skripsi, saya bersedia menerima konsekuensi dinyatakan TIDAK LULUS untuk mata kuliah Skripsi yang telah saya tempuh.
Tangerang, 17 Februari 2017
Sembilan tahun lalu Ada seorang gadis kecil bermimpi Dalam mimpinya, ia memotivasi warga di sebuah kerajaan kecil, Kerajaan yang hampir tak tersentuh oleh kaisar, Untuk menjelma mimpi menjadi kenyataan Kini gadis kecil yang sudah tumbuh dewasa kembali bermimpi Masih dalam mimpi yang sama
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Memiliki Mahadaya Ilmu Pengetahuan karena telah mampu menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “Studi Kasus Praktik Etno-Jurnalisme pada Produksi Film Dokumenter Jakarta Unfair”. Laporan skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi.
Dalam penulisan laporan skripsi ini, banyak pihak yang membantu hingga laporan dapat peneliti tuntaskan. Oleh karena itu, peneliti berterima kasih kepada 1. Dosen pembimbing Mata Kuliah Skripsi Veronika, M.Si. yang membimbing
peneliti dalam penyusunan laporan skripsi dan mengajar peneliti tata cara menulis karya ilmiah yang benar,
2. Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Inco Hary Perdana, S.I.Kom, M.Si., yang mengesahkan skripsi peneliti,
3. Ibu Bertha Sri Eko Murtiningsih, M.Si., yang memberi izin kepada peneliti untuk melaksanakan sidang skripsi,
4. Dosen Mata Kuliah Seminar Proposal Ambang Priyonggo, M.A yang telah memberi arahan kepada peneliti,
5. Dosen pembimbing magang Samiaji Bintang Nusantara, S.T., M.A yang telah mendukung peneliti dalam penyusunan laporan skripsi,
6. Koordinator Jurnalistik F. X. Lilik Dwi Mardjianto, M.Si yang telah memberi ide penelitian kepada peneliti,
7. Bapak Hanif Suranto, M.Si yang telah memberi masukan kepada peneliti,
8. Pihak PT WatchdoC Media Mandiri yang mendukung serta memberi kesempatan kepada peneliti untuk melaksanakan wawancara,
9. Keluarga tercinta yang senantiasa memberi motivasi kepada peneliti,
10. Teman-teman di kampung yang senantiasa memberi semangat kepada peneliti, Erlina dan Mardiana,
Margith, Sindy, Oci, Kak Sisi, Gabby, Vania, Kak Nieza, Flo, dan
13. Teman-teman senior di kampus yang memberikan masukan kepada peneliti saat penyusunan laporan skripsi, Kak Pungky, Ko Babang, dan Kak Nesya.
Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat baik sebagai sumber informasi maupun sumber inspirasi bagi pembaca.
Peneliti,
Praktik kerja jurnalis tidak terlepas dari nilai-nilai jurnalistik yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai seperti objektivitas, kecepatan, dan keberimbangan masih menjadi ukuran profesionalitas jurnalis. Akan tetapi, pada praktiknya beberapa nilai-nilai jurnalistik justru membatasi kerja jurnalisme dan berindikasi menghasilkan laporan yang dangkal. Untuk menjawab persoalan tersebut, jurnalisme mengadopsi pendekatan etnografi dalam ilmu sosial atau yang dikenal etno-jurnalisme. Etno-jurnalisme penting dalam rangka menghasilkan laporan yang holistik dan mendalam di tengah-tengah kerja jurnalis yang lebih mengutamakan kecepatan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengkaji bagaimana praktik etno-jurnalisme dalam produksi film dokumenter Jakarta Unfair.
Untuk menemukan jawab dari riset ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif dengan pembahasan eksplanatif dan menggunakan metode studi kasus model Robert E. Stake. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pembuatan film Jakarta Unfair menggunakan praktik etno-jurnalisme tetapi tidak secara utuh.
Journalists' work practices are consisted of journalism values. These values such as objectivity, agility, and balance are still measured in journalistic profesionalism. On the other hand, some of the points mentioned above have limit the application of journalism practices and indicate results of shallow reports. In response to such problem, journalism adopts an approach in etnography under social sciences, commonly known as etno-journalism. Etno-journalism is essential consecutively to bring forth a holistic and thorough report in the midst of journalists' works that prioritize speed. Therefore, this research would like to study the practice of etno-journalism in the documentary film production of Jakarta Unfair.
In acquiring the solution to this study, researcher uses a qualitative research with an explanative discussion and a method of Robert E. Stake's case study model. The result of this research finds that the making of Jakarta Unfair film implies the practices of etno-journalism but unthoroughly.
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ... i ABSTRAK ... iii DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Kegunaan Penelitian ... 10
1.4.1 Teoritis ... 10
1.4.2 Praktis ... 10
BAB II KERANGKA TEORI/KERANGKA PEMIKIRAN ... 11
2.1 Penelitian Terdahulu ... 11
2.1.1 Getting the Story and Getting Your Boots Dirty: The Case for Ethnographic Journalism in Anzac Day Coverage ... 12
2.2.2 Jurnalisme ... 28
2.2.3 Etno-Jurnalisme ... 30
2.2.3.1 Level Epistemik (Epistemic Level) ... 33
2.2.3.2 Level Strategis (Strategic Level) ... 41
2.2.3.3 Level Gaya Bahasa (Stylistic Level) ... 48
2.2.4 Film Dokumenter ... 50
2.3 Kerangka Pemikiran ... 58
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 60
3.1 Jenis dan Sifat Penelitian ... 60
3.2 Metode Penelitian ... 65
3.3 Key Informan dan Informan ... 67
3.3.1 Informan kunci (Key informan) ... 68
3.3.2 Informan ... 68
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 69
3.4.1 Data Primer ... 69
3.4.2 Data Sekunder ... 71
3.5 Keabsahan Data ... 72
3.5.1 Triangulasi Sumber Data ... 72
3.5.2 Triangulasi Peneliti ... 72
3.5.3 Triangulasi Teori ... 73
4.1 Subjek/Objek Penelitian ... 75 4.1.1 Subjek Penelitian ... 75 4.1.2 Objek Penelitian ... 80 4.2 Hasil Penelitian ... 82 4.2.1 Praproduksi ... 83 4.2.2 Produksi ... 90 4.2.3 Pascaproduksi ... 96 4.3 Pembahasan ... 99
4.2.1 Level Epistemik (Epistemik Level) ... 103
4.2.2 Level Strategis (Strategic Level) ... 114
4.2.3 Level Gaya Bahasa (Stylistic Level) ... 130
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 133
5.1 Simpulan ... 133
5.2 Saran ... 135
Tabel 2.2 Epistemik, strategis, dan gaya bahasa mikro-mekanisme jurnalistik sebagai tipe yang ideal ... 31 Tabel 2.3 Level epistemik, strategis, dan gaya bahasa genre jurnalistik... 32
LAMPIRAN I TRANSKRIP WAWANCARA
LAMPIRAN II TRANSKRIP WAWANCARA PRARISET LAMPIRAN III CATATAN OBSERVASI PARTISIPAN
LAMPIRAN IV EMAIL AJAKAN KOLABORASI WATCHDOC LAMPIRAN V WATCHDOC 2014
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada abad ke-21, pemikiran filsuf dari University of Chicago John Dewey dan George Herbert Mead memberikan peranan penting dalam pengembangan praktik jurnalisme saat ini, terutama dalam kaitannya dengan ilmu sosial. Berawal dari pergolakan yang terjadi di Amerika Serikat pada abad ke-19 hingga 1930-an, Dewey dan Mead memikirkan kembali ide-ide klasik tentang demokrasi dan komunitas, Dewey melalui tulisannya tentang demokrasi dan pengaruhnya terhadap filsafat pendidikan dan Mead melalui pemahamannya tentang pembentukkan persepsi diri dalam hubungannya dengan orang lain. Baik Dewey maupun Mead berpendapat bahwa demokrasi tanpa perubahan tidak akan bertahan (Iorio, ed. 2004, h. 26).
Berangkat dari pimikiran Dewey dan Mead, para peneliti di Chicago mulai mengembangkan metode-metode baru dalam meneliti permasalahan sosial dan tantangan demokrasi, salah satunya adalah etnografi. Etnografi adalah bagian ilmu sosial yang secara harafiah menulis tentang orang atau budaya (Iorio, ed. 2004, h. 22) dengan tujuan memahami makna sosial dan aktivitas orang di dalamnya (Brewer, 2000, h. 11). Metode ini kemudian
berimplikasi pada tantangan menyelesaikan permasalahan yang kompleks dalam jurnalisme.
Permasalahan tersebut berawal dari kenyataan bahwa jurnalisme konvensional cenderung mengagungkan objektivitas di tengah kaburnya definisi objektivitas itu sendiri. Objektivitas kerap digunakan untuk mengukur keberimbangan berita dan menempatkan jurnalis pada posisi yang netral. Namun, realitanya komitmen dari objektivitas sendiri tidak netral karena hanya merepresentasikan ideal tertentu (Christians dikutip dalam Iorio, ed. 2004, h. 50). Penggunaan kata objektivitas oleh jurnalis untuk membela pihak berkuasa turut mendukung argumen Christian. Rosen (dikutip dalam Munson dan Warren, eds. 1997, h. 195) menegaskan bahwa objektivitas tidak lepas dari tindakan pelaku politik karena politik merupakan rezim objektivitas yang berakhir pada berita bias. Hal ini menyebabkan profesionalitas dan independensi jurnalis mulai dipertanyakan.
Kenyataan bahwa produk jurnalistik sebagai bahan komersial menimbulkan persoalan baru dalam tatanan jurnalisme. Keadaan ini yang mengakibatkan kerja jurnalis lebih mengutamakan kecepatan daripada kedalaman cerita. Nilai kecepatan dalam jurnalisme turut didukung dengan hadirnya internet sebagai salah satu wadah bagi jurnalis untuk memberikan informasi kepada publik. Dalam hal ini, internet mempunyai peran ganda yakni membantu menyebarkan informasi secara cepat sekaligus menyebabkan munculnya jurnalisme yang mengutamakan kecepatan bahkan cenderung
menyadur informasi dari media lain. Sementara itu, menurut Potter (2009, h. 16) penulis buku Handbook of Independent Journalism menegaskan bahwa metode observasi merupakan dasar bagi jurnalis untuk menghasilkan pelaporan yang baik karena jurnalis menyaksikan peristiwa secara langsung sehingga bisa menggambarkan peristiwa tersebut secara akurat bagi publik. Faktor kecepatan tidak hanya berdampak bagi jurnalis secara personal tetapi turut memengaruhi konten berita, salah satunya kecenderungan mengupas berita hanya dari permukaan peristiwa. Hal ini dikarenakan adanya tekanan deadline dan batas waktu yang tersirat dalam produk jurnalistik (Hermann, 2014, h. 270). Di sisi lain, keadaan multikulturalisme menuntut jurnalis tidak hanya melihat peristiwa dari segi permukaan, tetapi dibutuhkan laporan yang mendalam dan dapat menggambarkan seluruh lapisan masyarakat terutama kaum minoritas (Deuze, 2005, h. 453).
Seiring dengan itu, dunia jurnalisme mengadopsi pendekatan etnografi dalam ilmu sosial untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Jurnalisme dan etnografi merupakan dua bidang yang saling berhubungan meskipun terdapat perbedaan perspektif yang mendalam di antara keduanya. Secara holistik, etnografi mengembangkan kerja jurnalis yang meliputi observasi, wawancara, dan menulis (Hermann, 2015, h. 4; Bird, 1987 dikutip dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 302), sebaliknya jurnalis menggunakan teknik dalam etnografi untuk mengumpulkan data. Hubungan antara jurnalisme
dan etnografi ini melahirkan genre baru dalam praktik jurnalistik yang disebut etno-jurnalisme atau ethnographic journalism.
Menurut Hermann (2014, h. 261) pada dasarnya etno-jurnalisme adalah praktik jurnalistik yang menggunakan strategi melebur (immersion) yang ada pada ilmu sosial. Genre ini pertama kali berkembang di Amerika pada saat proses multikulturalisme lebih memerlukan pelaporan kontekstual ketimbang fakta (Hermann, 2014, h. 260). Berpedoman pada strategi melebur atau observasi partisipan dalam pendekatan etnografi, etno-jurnalisme mencoba menghadirkan cerita yang otentik dari kelompok tertentu. Observasi partisipan menuntut peneliti atau jurnalis untuk menjadi bagian dari kelompok yang diteliti dalam jangka waktu yang tidak menentu. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan kepercayaan dari narasumber sehingga narasumber bisa dengan leluasa menceritakan isi pikiran dan perasaan mereka. Inilah yang disebut Cramer dan McDevitt (2004, h. 10) sebagai cerita otentik.
Adanya metode observasi partisipan dalam jurnalisme mencoba mematahkan kebiasaan dari jurnalisme konvensional yang condong datang ke lapangan hanya untuk mengonfirmasi cerita yang telah dirangkai sebelumnya. Hal ini dituliskan pula oleh Bird, bahwa
Journalist and their editors “know” what the story will be before they even start work—they may even have leads running around in their heads. It becomes an easy task to prove that this story is indeed the right one by asking the right sources the right questions and managing to ignore other issues that may come up in the course of the interview or the event. (1987
Di samping observasi partisipan, etno-jurnalisme menawarkan perspektif yang berbeda dalam melaporkan sebuah peristiwa. Jika jurnalisme konvensional lebih mengutamakan objektivitas, etno-jurnalisme lebih menekankan pada pelaporan yang interpretatif. Salgado dan Stromback (2011, h. 156) memaparkan pelaporan interpretatif menghasilkan informasi yang analitis sekaligus kontekstual sehingga memudahkan orang untuk memahami fakta dan apa yang sesungguhnya terjadi. Dengan demikian, etno-jurnalisme mampu menampilkan seluruh rangkaian peristiwa secara mendalam dan komprehensif.
Pada sisi lain, jurnalisme konvensional cenderung membanjiri pemberitaan dengan kepentingan politik dibanding masyarakat biasa (Haas, 2007, h. 2). Hal ini berbanding terbalik dengan tantangan multikulturalisme yang disampaikan Deuze (2005, h. 453) terkait tuntutan jurnalis untuk menampilkan kaum minoritas. Oleh karena itu, Etno-jurnalisme hadir sebagai respon dari persoalan tersebut karena pada dasarnya komitmen etno-jurnalisme adalah menggambarkan perspektif kaum minoritas yang mendapat stereotip dari media konvensional (Cramer dan McDevitt, 2004, h. 5, h. 7, h. 10)
Kendati konsep etno-jurnalisme baru dikenal pada 2004 melalui jurnal Cramer dan McDevitt yang berjudul Ethographic Journalism, praktik etno-jurnalisme sendiri jauh sebelumnya pernah dilakukan oleh para jurnalis senior, seperti Alex Kotlowitz melalui tulisannya yang berjudul There Are No Children
Leon Dash berjudul Rosa Lee (1997). Tidak hanya melalui tulisan, praktik etno-jurnalisme pun turut dikembangkan dalam beberapa karya jurnalistik, salah satunya adalah film dokumenter.
Film dokumenter adalah film tentang orang nyata dalam situasi yang nyata dengan melakukan apa yang biasa mereka lakukan (Dancyger, 2010, h. 327). Dikutip dari tulisan Mustafa (2015, para. 9-10), Duta Besar Belanda untuk Indonesia Rob Swartbol dalam Festival Film Dokumenter Eramus Huis 2015 mengungkapkan, film dokumenter penting untuk membuka mata dunia dan menunjukkan kepada kita kalau ada dunia lain di luar kita. Oleh karena itu, film dokumenter kerap merekam makna di balik peristiwa-peristiwa yang tidak ditampilkan di media konvensional atau ditampilkan tetapi tidak mendalam. Informasi mendalam tentang sebuah peristiwa diperlukan untuk menghindari kesalahan penafsiran pembaca dan mendorong masukan warga sehingga bisa menghasilkan solusi yang potensial (Kurpius, 1999, h. 6).
Pada 2010, Sebastian Junger dengan rekannya Rim Hetherington pernah mengembangkan praktik etno-jurnalisme dalam film dokumenternya yang berjudul Restrepo (Hermann, 2015, h. 5). Restrepo bercerita tentang penyebaran satu peleton tentara Amerika Serikat ke garis perbatasan terluar Afganistan yang bernama lembah Korengal Velly. Dalam membuat film ini, Junger dan Hetherington tinggal bersama dengan pasukan Amerika Serikat di Korengal Velly, Afganistan, untuk memahami fenomena keberanian dan persaudaraan mereka selama lebih dari satu tahun. Lebih dari satu tahun pula,
Junger dan Hetherington berhasil merekam kegiataan para tentara Amerika Serikat mulai dari perang hingga kehidupaan mereka sehari-hari. Dalam New York Time, Caar (2010, para. 2) memuji keberhasilan kedua sutradara film tersebut dengan menuliskan, “But for the most part public interest and
understanding of what American soldiers do on our behalf remained remarkably limited in wars that go mostly untelevised and under noticed.”
Tercatat pada 2010 film Restrepo berhasil meraih penghargaan Grand Jury Prize dalam Sundance Film Festival.
Di Indonesia, pembuatan film dokumenter juga ditekuni oleh media dan rumah produksi seperti Vice Indonesia, In-Docs, Kawankawan film, dan WatchdoC. Peneliti melakukan wawancara dengan masing-masing pihak media atau rumah produksi tersebut dan dari empat di antaranya yang menggunakan pendekatan etno-jurnalisme adalah WatchdoC, meskipun tidak kerap dilakukan. WatchdoC merupakan rumah produksi dokumenter audio-visual yang saat ini masih konsisten memproduksi film dokumenter. Tercatat pada 2014, WatchdoC telah menghasilkan 165 episode dokumenter sejak berdiri pada 2009. Film dokumenter WatchdoC mayoritas bercerita tentang kehidupan masyarakat biasa dan kaum minoritas. Hal ini disampaikan Dandhy (dikutip dalam Gade, 2016, para. 11) yang menjelaskan bahwa WatchdoC sehari-hari memproduksi film dokumenter dan ada beberapa topik yang dianggap penting tetapi tidak dianggap penting oleh pihak lain.
Salah satu film dokumenter karya WatchdoC dengan praktik etno-jurnalisme adalah Jakarta Unfair. Film Jakarta Unfair bercerita tentang rencana penggusuran di Kampung Baru Dadap dan penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta. Film ini berusaha menghadirkan perspektif warga yang cenderung diabaikan oleh media konvensional. Seperti dikutip dari video Remotivi (2015, sec. 5:52),
Media menjadi corong propaganda untuk mendorong pembangunan pemerintah. Perspektif pembangunan semacam ini dijadikan satu-satunya patokan dalam menilai kemajuan. Warga tidak diberi tempat untuk mendefinisikan kemajuan dan pembagunan yang sesuai dengan realistas serhari-hari yang ia hadapi. Hari ini reformasi memasuki umur yang ke-15 tahun, kebebasan pers yang dicita-citakan memungkinkan media untuk tidak hanya membicarakan pembangunan dari perspektif pemerintah. Sayangnya, dalam kasus (penggusuran) Kampung Pulo kemajuan yang dibicarakan media masih belum berada dalam perspektif warga.
Bahkan pada beberapa pemberitaan, warga dianggap ilegal dan melakukan kekerasan pada saat penggusuran seperti yang dimuat dalam Tempo.co., Cnnindonesia.com, dan Merdeka.com. Gambaran tentang kehidupan di rusun lebih baik pun tidak luput dari rekaman tim Jakarta Unfair. Oleh karena itu, film ini mencoba menguji dan memverifikasi hipotesis-hipotesis yang disampaikan media arus utama dengan tujuan memotret secara utuh, luas, dan dalam terkait penggusuran yang terjadi dua tahun terakhir (Lampiran 4).
Laman Facebook Jakarta Unfair (2016, para. 1) mengumumkan, setelah kurang dari dua bulan dirilis, film Jakarta Unfair telah ditayangkan di lebih dari lima puluh tempat, baik dalam negeri maupun luar negeri dengan mengusung
konsep nonton bersama di tempat-tempat umum. Film ini sempat diulas oleh beberapa media seperti tirto.id, metro.news.viva.co.id, regional.kini.co.id, dan forum.detik.com. Pemilik akun Djuli Pancasila (2016, kom. 32) mengungkapkan bahwa Jakarta Unfair berhasil menampilkan fakta yang tidak pernah disiarkan di stasiun televisi Indonesia. Pada laman lain, salah satu videografer Jakarta Unfair Azami (2016, para. 9) menuliskan bahwa selama memproduksi film Jakarta Unfair mereka menanggalkan status sebagai mahasiswa dan hidup sebagai warga kampung yang diliput.
Berdasarkan prariset yang penulis lakukan, tim pembuat film Jakarta Unfair menggunakan metode yang ada pada etno-jurnalisme. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui praktik etno-jurnalisme yang dilakukan tim Jakarta Unfair selama kurang lebih enam bulan. Untuk menemukan jawaban dari riset penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi kasus. Menurut John W. Creswell (2015, h. 137), studi kasus memperlihatkan pemahaman mendalam tentang kasus yang diteliti. Maka dari itu, peneliti ingin memahami praktik etno-jurnalisme dalam proses produksi film Jakarta Unfair secara empiris, mendalam, dan kontekstual.
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimana praktik etno-jurnalisme dalam produksi film dokumenter Jakarta Unfair?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk menjelaskan praktik etno-jurnalisme dalam produksi film dokumenter Jakarta Unfair.
1.3.2 Untuk mengetahui peran penting praktik etno-jurnalisme dalam produksi film dokumenter Jakarta Unfair.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini meliputi: 1.4.1 Teoritis
Penelitian ini sebagai upaya memperkaya penelitian keilmuan dalam bidang jurnalistik serta memberikan sumbangsih untuk kajian dengan topik yang sama. Di samping itu, dengan adanya penambahan konsep-konsep etno-jurnalisme, peneliti berharap penelitian ini turut mendukung perkembangan etno-jurnalisme dalam dunia jurnalistik. 1.4.2 Praktis
Sebagai bahan masukan kepada organisasi pers untuk mengkaji ulang beberapa poin kode etik jurnalistik serta mendorong pihak media untuk mempraktikkan etno-jurnalisme dalam peliputan tertentu.
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini bukan penelitian pertama yang mengangkat topik etno-jurnalisme. Sebelumnya, penelitian sejenis sudah pernah dilakukan pada 2013 oleh Sharon Mascall-Dare dalam jurnalnya yang berjudul Getting the Story and
Getting Your Boots Dirty: The Case for Ethnographic Journalism in Anzac Day Coverage. Berawal dari keprihatinan jurnalis mengenai laporan yang klise,
berulang, dan kurang orisinal dalam peristiwa Anzac Day membawa Mascall-Dare menaruh perhatian pada teori dan praktik etno-jurnalisme dalam mengidentifikasi narasi alternatif yang dipersiapkan jurnalis untuk memperingati seratus tahun kampanye Gallipoli pada 2015.
Studi terdahulu lain yang patut dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian oleh mahasiswa jurnalistik dari Stanford University yang berjudul A Case Study: Sidewalk Standoff. Bermula dari pemberitaan media yang menggambarkan tunawisma sebagai kelompok yang berpotensi membahayakan serta protes pedagang terhadap kelompok tersebut karena dianggap mengganggu dan menakuti konsumennya, mendorong mahasiswa jurnalistik di Standford—yang mengambil mata kuliah komunikasi politik—
untuk melakukan penelitian pada makna tunawisma dengan menjadi bagian tunawisma dan membagikan wawasan mereka kepada pembaca.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang sama dengan kedua penelitian terdahulu yakni studi kasus. Hanya saja apabila Mascall-Dare berkonsentrasi pada narasi alternatif sebagai objek penelitian dan mahasiswa jurnalistik di Standford menitikberatkan pada makna tunawisma, penulis menekankan pada proses produksi film dokumenter Jakarta Unfair. Di samping mengambil perbedaan objek penelitian, penelitian ini juga hadir untuk menyempurnakan kedua penelitian tersebut dengan menambah beberapa konsep yang belum diulas oleh keduanya. Secara garis besar, baik Mascall-Dare maupun mahasiswa jurnalistik Standford menggunakan konsep etno-jurnalisme yang ditawarkan Cramer dan McDevitt. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan konsep baru dari etno-jurnalisme yang diperkenalkan oleh Anne Kristine Hermann pada 2014.
2.1.1 Getting the Story and Getting Your Boots Dirty: The Case for
Ethnographic Journalism in Anzac Day Coverage
Dengan berpedoman pada konsep immersion and observation
participant, challenging news paradigms, dan alternative narratives,
Mascall-Dare menunjukkan narasi alternatif muncul untuk menantang pelaporan yang klise dan cenderung berulang. Di samping itu, hasil penelitian Mascall-Dare juga memperlihatkan bahwa etno-jurnalisme menyediakan kerangka berpikir bagi jurnalis, sehingga bisa menjadi
bahan debat dan diskusi saat mempersiapkan berita seratus tahun pendaratan Gallipoli pada 2015. Mascall-Dare mendasari argumennya dengan cara melakukan wawancara pada lebih dari 30 jurnalis, penyiar, dan komentator yang meliput Anzac Day untuk media Australia, setidaknya yang pernah sekali meliput antara 2000 sampai 2010. Narasumber berasal dari berbagai latar belakang, ada reporter yang sudah banyak pengalaman dalam meliput Anzac Day dan luar negeri dan ada yang masih junior dengan pengetahuan atau pengalaman yang terbatas tentang subjek liputan. Mereka bekerja untuk berbagai outlet, multimedia, penyiaran (televisi dan radio), dan media cetak.
Mascall-Dare mengawali analisisnya dengan metode melebur dan observasi partisipan yang ada dalam etno-jurnalisme. Melalui wawancara bersama empat jurnalis, yaitu John Hamilton, Ross Eastgate, Phil Smith, dan Shaney Hudson, Mascall-Dare menuliskan pentingnya jurnalis mengalami dan menggambarkan secara langsung peristiwa yang diliput untuk mengetahui realitas di lapangan. Meskipun dalam hal ini pengaruh kehidupan personal, sejarah keluarga, dan latar belakang budaya sebagai bangsa Australia tidak bisa dihindari. Mascall-Dare mengaitkan metode melebur dan observasi partisipan ke dalam teori pelaporan induktif Cramer dan McDevitt dan menunjukkan bahwa jurnalis lebih memilih mengungkapkan kesannya ketimbang mengikuti
struktur pertanyaan (siapa, apa, di mana, mengapa, bagaimana) dalam wawancara.
Analisis selanjutnya, Mascall-Dare berpusat pada tantangan objektivitas dalam berita. Dari hasil wawancaranya bersama wartawan lepas Johanna Baker-Dowdell, editor Canberra Times Jack Waterford, Produser ABC Lincoln Tyner, dan beberapa jurnalis junior, Mascall-Dare menyimpulkan bahwa beberapa jurnalis menolak objektivitas dalam meliput peristiwa Anzac Day. Hal ini disebabkan liputan Anzac Day membutuhkan pendekatan observasi partisipan yang mewajibkan jurnalis melebur dengan subjek yang diliput serta melibatkan emosional dan rasa empati. Bahkan Lincoln Tyner menyebutkan Anzac bukan berita tentang suatu peristiwa, melainkan hari peringatan besar-besaran. Oleh karena itu, liputan Anzac Day tidak dapat disamakan dengan paradigma berita konvensional yang lebih mengutamakan objektivitas.
Mayoritas jurnalis menilai bahwa pemberitaan Anzac Day memerlukan pendekatan alternatif yang menggabungkan partisipasi dan subjektivitas ke dalam bagian jurnalis seperti dalam kontrol editor. Hal ini disebabkan newsroom jarang mengakomodasi praktik-praktik pendekatan alternatif. Dengan demikian, ketika jurnalis secara konsisten menggunakan metode etno-jurnalisme dapat menjadi bukti bahwa narasi alternatif dapat melawan pelaporan yang klise dan berulang.
Dalam penelitiannya, Mascall-Dare lebih menekankan pada wawancara untuk mengumpulkan data. Ia mengabaikan keterlibatan langsung atau observasi partisipan dalam meneliti persiapan jurnalis memperingati seratus tahun kampanye Gallipoli. Padahal, observasi partisipan memungkinkan peneliti mendapatkan data yang lebih komperehensif. Di sisi lain, penelitian oleh Mascall-Dare juga tanpa melibatkan analisis pada konten pemberitaan Anzac Day yang dianggap klise atau berulang, ia hanya memaparkan pendapat para jurnalis yang mengalami secara langsung peristiwa tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini hadir untuk mengisi bagian yang ditinggalkan Mascall-Dare guna mendapat data yang mendalam.
2.1.2 A Case Study: Sidewalk Standoff
Kajian lain yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian mahasiswa kelas komunikasi politik di Stanford University, mengenai makna tunawisma dengan menjadi bagian tunawisma. Para mahasiswa mengarahkan penelitian mereka pada makna tunawisma melalui tiga tahap, yaitu evaluasi, pelaporan etnografi, dan rekaman tanggapan komunitas. Karena menggunakan pendekatan etnografi, mahasiswa menghabiskan sepuluh minggu untuk mengejar ketiga tahap tersebut.
Mahasiswa mengawali penelitiannya dengan mengevaluasi konten laporan berita sebelumnya, terutama tentang penggambaran subkultur
tertentu. Analisis konten mengungkapkan bahwa pers lokal jarang menyatakan secara langsung ketidaksukaan pada kelompok pengemis, tetapi jurnalis cenderung menggambarkan tunawisma sebagai masalah kolektif, memalukan masyarakat, keingintahuan terhadap kota kelas atas, dan sebagai objek simpati. Pres lokal patuh pada keberimbangan berita dengan menjadi wadah perdebatan antara pedagang dan aktivitis, tetapi hampir tidak ada perspektif dari tunawisma yang ditonjolkan. Oleh sebab itu, siswa memutuskan untuk memahami makna tunawisma dengan membawa ke dalam kehidupan mereka.
Untuk menemukan jawaban atas riset mereka, mahasiswa kelas komunikasi politik di Standford University terbagi ke dalam beberapa kelompok, ada yang bertugas melakukan interaksi langsung dengan tunawisma, bertemu dengan pembeli yang sedang menunggu donat dan kopi, menyebarkan kuesioner kepada 33 tunawisma, menulis laporan, dan beberapa mahasiswa melakukan observasi partisipan dengan tinggal bersama pengemis selama satu hari dan bertindak secara pasif dan agresif seperti yang dilakukan pengemis. Dalam wawancara dan observasinya, mahasiswa menemukan banyak tunawisma tidak pernah mengemis karena mengemis dinilai merendahkan derajat mereka dan mereka membenci citra negatif pengemis yang ditanamkan kepada tunawisma. Banyak pengemis, pada gilirannya, menggambarkan diri mereka sebagai kelompok jangka panjang, anggota masyarakat yang
stabil, dan mereka membenci pendatang baru yang mengemis secara agresif. Selain itu, mahasiswa memaparkan rata-rata tunawisma telah tinggal di Palo Alto selama lima belas tahun, sekitar 55% dari responden menunjukkan mereka memiliki kerabat di San Fransisco, dan 52% mengatakan mereka merasa nyaman hidup di daerah tersebut.
Tujuan utama dalam penelitian yang dikenal Sidewalk Standoff adalah untuk membantu pembaca memahami pengemis, bukan memengaruhi kebijakan Balai Kota secara langsung. Para mahasiswa turut membuat diskusi yang melibatkan pejabat publik, aktivis, pedagang, dan kelompok tunawisma. Tidak hanya sampai di situ, mereka juga melakukan wawancara pada 110 penduduk yang memiliki wawasan tentang kompleksitas perspektif dalam masyarakat terkait tunawisma dan pengemis. Banyak responden yang bertentangan terkait pengemis: 59% berkata mereka pernah berbicara dengan tunawisma dan lebih dari 40% berkata mereka menghindari pengemis. Survei melalui telepon menunjukkan bahwa 55% responden sangat setuju dengan pernyataan bahwa laporan berita membuat mereka berpikir tentang solusi yang mungkin untuk permasalahan tunawisma.
Pendekatan melalui etnografi membantu mahasiswa memahami kompleksitas kelompok tunawisma. Etno-jurnalisme mengarahkan mahasiswa jurnalistik untuk melebur dan hidup dalam kelompok
marginal serta mempertimbangkan keterbatasan dalam pelaporan objektif dengan pelaporan bebas nilai.
Dalam studinya, mahasiswa Stanford hanya mengupas beberapa konsep etno-jurnalisme. Ia lebih banyak memberi ruang pada hasil temuan di lapangan ketimbang menjelaskan bagaimana konsep etno-jurnalisme dipraktikkan dalam meneliti tunawisma. Dengan demikian, penelitian ini mencoba menjawab permasalahan tersebut dengan berpedoman pada konsep etno-jurnalisme sebagai pisau analisis. Apabila pada penelitian Sidewalk Standoff, peneliti mengambil tunawisma sebagai narasumber, maka dalam penelitian ini peneliti lebih memilih jurnalis yang meliput Jakarta Unfair sebagai subjek penelitian. Tabel 2.1 Perbandingan antara penelitian sejenis terdahulu dengan
peneliti No Unsur yang dibandingkan Peneliti 1 Sharon Mascall-Dare University of South Australia 2013 Peneliti 2 Mahasiswa kelas komunikasi politik Stanford University 2014 Peneliti 3 Octi Sundari Universitas Multimedia Nusantara 2016 1 Judul penelitian
Getting the Story and Getting Your Boots
A Case Study: Sidewalk Standoff
Studi Kasus Praktik Etno-Jurnalisme pada
Dirty: The Case for Ethnographic in Anzac Day Coverage
Produksi Film Dokumenter Jakarta Unfair
2 Permasalahan penelitian
Bagaimana teori dan praktik jurnalisme etnografi dalam mengidentifikasi narasi alternatif yang dipersiapkan jurnalis untuk memperingati seratus tahun kampanye Gallipoli pada 2015? Bagaimana makna orang-orang tunawisma jika dibawa ke dalam kehidupan peneliti?
Bagaimana praktik etno-jurnalisme dalam produksi film dokumenter Jakarta Unfair?
3 Pendekatan Kualitatif Kualitatif Kualitatif 4 Tujuan
penelitian
Untuk
mengidentifikasi teori dan praktik etno-jurnalisme bagi jurnalis yang mempersiapkan berita seratus tahun 1. Untuk memahami makna orang-orang tunawisma jika dibawa ke dalam kehidupan sendiri serta 1. Untuk menjelaskan praktik etno-jurnalisme dalam produksi film dokumenter Jakarta Unfair. 2. Untuk mengetahui
kampanye Gallipoli pada 2015. membantu pembaca memahami pengemis. 2. Berusaha untuk berkontribusi pada pengetahuan umum tentang pengemis
peran penting praktik etno-jurnalisme dalam produksi film dokumenter Jakarta Unfair. 5 Konsep yang digunakan 1. Immersion and participant observation 2. Challenging news paradigms 3. Alternative narrative Ethnographic reporting: 1. Systemic interviews of subgroups within the homeless population. 2. Observation of the social contexts in which panhandling Etno-jurnalisme: 1. Level epistemik (epistemic level) a. Meninggalkan objektivitas b. Dari peristiwa ke keseluruhan c. Reproduksi budaya 2. Level strategis (strategic level)
occurs. 3. First-person reporting, including reflections on the life of a panhandler. a. Keluar dari pembingkaian b. Aturan peneliti c. Mengabaikan kecepatan 3. Level gaya bahasa
(stylistic level)
a. Prosa yang diakses b. Komposisi
menghibur 6 Metode Studi kasus Studi kasus Studi kasus 7 Hasil penelitian 1. Etno-jurnalisme menyediakan kerangka berpikir bagi jurnalis, sehingga bisa menjadi bahan debat dan diskusi saat mempersiapkan 1. Banyak tunawisma tidak pernah mengemis karena dinilai merendahkan derajat mereka dan mereka membenci citra negatif pengemis -
berita seratus tahun pendaratan Gallipoli pada 2015.
2. Ada hal yang harus dipertimbangkan ketika jurnalis mengadopsi dan beradaptasi dengan metode etno-jurnalisme dalam newsroom: tidak dapat digunakan ketika deadline singkat
dan ada resistensi untuk berbagi atau bernegosiasi dengan kontrol editorial. yang ditanamkan kepada tunawisma. 2. Banyak pengemis menggambarkan diri mereka sebagai kelompok jangka panjang, anggota masyarakat yang stabil, dan mereka membenci pendatang baru yang mengemis secara agresif. 3. Rata-rata tunawisma telah tinggal di Palo Alto selama 15
tahun, sekitar 55% dari responden menunjukkan mereka memiliki kerabat di San Fransisco dan 52% mengatakan mereka merasa nyaman hidup di Palo Alto. 4. Banyak responden yang bertentangan terkait pengemis: 59% berkata mereka pernah berbicara dengan tunawisma dan lebih dari 40% berkata mereka
menghindari pengemis. 5. Survei melalui telepon menunjukkan bahwa 55% responden sangat setuju dengan pernyataan bahwa laporan berita membuat mereka berpikir tentang solusi yang mungkin untuk permasalahan tunawisma.
2.2
Konsep-Konsep yang Digunakan
2.2.1 Etnografi
Istilah etnografi berasal dari kata „ethno‟ yang memiliki arti orang-orang dan „graphy‟ yang berarti deskripsi. Dengan demikian, Brewer (2000, h. 10) secara lebih lengkap menjelaskan,
Ethnography is the study of people in naturally occurring settings or
‘field‘ by means of methods which capture their social meanings and ordinary activities, involving the researcher participating directly in the setting, if not also the activities, in order to collect data in a systematic manner but without meaning being imposed on externally.
Etnografi berangkat dari penelitian ilmu sosial yang kala itu banyak digunakan oleh antropolog untuk meneliti kebudayaan, sehingga ia disebut akar dari antropologi. Beberapa antropolog yang terkenal dengan pendekatan etnografi di antaranya Malinowski, Boas, Radcliffe-Brown, dan Evans-Pitchard. Lindoff (1995 dikutip dalam Cramer dan McDevitt, 2004, h. 2) memaparkan, etnografer tradisional mencoba mendeskripsikan semua aspek yang relevan berhubungan dengan materi kebudayaan, sistem sosial, serta kepercayaan dan pengalaman kolektif. Namun, pada perkembangannya metode ini juga turut digunakan untuk penelitian lain, seperti pada kelompok atau masyarakat yang terisolasi (Bird, 1987 dikutip dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 302).
Pernyataan Bird di atas membuktikan bahwa etnografi tidak hanya berbicara mengenai budaya, tetapi lebih kepada penekanan makna sosial
dan aktivitas atau pengalaman seseorang, sebab salah satu kekuatan etnografi terletak pada kemampuan menghadirkan makna yang mendalam tentang realitas dan perilaku seseorang. Atkinson dan Hammersley (1994 dikutip dalam Cramer dan McDevitt, 2004, h. 3) berpendapat etnografi berperan sebagai eksplorasi dan investigasi kasus secara detail dan hasil analisisnya melibatkan interpretasi makna secara eksplisit dan fungsi dari tindakan manusia. Hal ini dikarenakan tujuan dari etnografi adalah mendapatkan deskripsi rinci dan mendalam atas kepercayaan, norma, dan sistem nilai dari kelompok yang diteliti (Denzin dan Lincoln, 2005, h. 17).
Makna eksplisit dicapai melalui berbagai teknik pengumpulan data seperti observasi pratisipan, dokumentasi, analisis, dan wawancara mendalam (Brewer, 2000, h. 37). Dari keempat teknik tersebut yang umum digunakan adalah observasi partisipan. Observasi partisipan diyakini mampu mendapatkan kepercayaan narasumber sehingga bisa menggambarkan pikiran dan perasaan mereka yang sesungguhnya. Atkinson dan Hammersley (2007, h. 3) menjelaskan,
… ethnography usually involves the researcher participating, overtly
or covertly, in people‘s daily lives for an extended period of time, watching what happens, listening to what is said, and/or asking questions through informal and formal interviews, collecting documents and artefacts – in fact, gathering whatever data are available to throw light on the issues that are the emerging focus of inquiry.
Berpayung di bawah observasi partisipan dipercaya mampu menghadirkan apa yang disampaikan oleh Tedlock sebagai ‗native‘s
point of view‘ (dikutip dalam Denzin dan Lincoln, 2005, h. 467).
Malinowski (1961 dikutip dalam Hermann, 2015, h. 4) menegaskan mendapatkan ‗native‘s point of view‘ merupakan tugas yang esensial bagi etnografer untuk belajar memahami praktik-praktik (budaya) dari perspektif orang dalam. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan kebenaran secara langsung dari subjek penelitian.
Keberadaan ‗native‘s point of view‘ dalam observasi partisipan mampu memperkuat interpretasi yang disampaikan oleh peneliti. Menurut Iorio (ed. 2004, h. 102), interpretasi dengan bersandar pada subjektivitas membutuhkan cerita sejarah yang utuh untuk melihat makna yang tersembunyi dari pernyataan orang atau apa yang dikatakan mereka melalui kerangka teoritikal. Interpretasi dalam penelitian etnografi tidak terlepas dari konteks peristiwa yang terjadi karena konteks akan membawa peneliti menuju deskripsi dan analisis yang rinci dan akurat. Pada sisi lain, Brewer (2000, h. 122) menekankan dalam ilmu sosial hanya ada interpretasi sehingga interpretasi menjadi kunci utama dalam metode etnografi. Untuk mengembangkan interpretasi, etnografer meminjam sikap kritis sehingga muncul etnografi yang menggunakan pendekatan kritis dengan memasukkan perspektif advokasi (Brewer, 2000, h. 124; Creswell, 2015, h. 130).
Menurut Creswell (2015, h. 130), pendekatan kritis merupakan respon terhadap masyarakat yang sistem kekuasaan, pretise, hak istimewa, dan otoritas digunakan untuk memarjinalkan individu yang berasal dari kelas, ras, dan gender yang berbeda. Oleh sebab itu, melalui risetnya etnografer kritis berusaha menentang dominasi dan memperjuangkan kaum minoritas yang terpinggirkan.
2.2.2 Jurnalisme
Menurut Ibbotson dan Rudin (2002, h. 5), jurnalisme adalah kegiatan menempatkan peristiwa, ide-ide, informasi, dan kontroversi ke dalam konteks tertentu. Lebih lanjut lagi, Kovach dan Resenstiel (2001, h. 11) menegaskan jurnalisme memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat, memenuhi hak-hak warga negara, dan mengawasi demokrasi agar berjalan dengan baik. Jurnalisme bukan pekerjaan yang dapat dilakukan oleh semua orang karena dalam melaksanakan tugasnya seorang jurnalis membutuhkan kemampuan dan harus mematuhi standar umum, sehingga ia mencakup profesi sekaligus keterampilan (Potter, 2009, h. 2).
Jurnalisme sebagai keterampilan dituntut untuk menghasilkan produk-produk jurnalistik. Ragam produk jurnalistik inilah yang kemudian tersebar melalui media massa dalam bentuk berita (Dewabrata, 2004, h. 3). Media massa yang dimaksud dapat berupa
buku, majalah, koran komik, iklan, dokumen, film, radio, dan televisi (Willie, 1979, h. 58). Sedangkan, jurnalisme sebagai profesi tidak terlepas dari aturan umum yang mengikatnya. Hal ini yang membedakan pekerjaan jurnalis dengan pekerjaan lain yaitu aturan yang dimainkan dalam pandangan sosial atau yang sering disebut sebagai kode etik (Potter, 2009, h. 2).
Kovach dan Rosenstiel (2001, h. 15) menjelaskan, kode etik dan pernyataan misi jurnalisme menghasilkan kesaksian yang sama, yaitu untuk melayani kesejahteraan umum dengan menginformasikan berita kepada masyarakat. Kode etik tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi ada ideologi yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini, posisi ideologi tidak hanya memengaruhi kode etik dengan cara yang abstrak, tetapi melalui garis yang nyata—tidak hanya antara berita dan publik, tetapi juga argumen antarreporter tentang keyakinan personal, pendirian politik, dan loyalitas (Patching dan Hirst, 2014, h. 44). Deuze (2005, h. 447) secara spesifik merangkum antara konsep etika, nilai, dan elemen jurnalisme ke dalam ideologi jurnalisme yang kemudian dirumuskan menjadi lima sifat atau nilai ideal jurnalisme.
1. Pelayanan publik: jurnalis menyediakan layanan publik, seperti pengawasan, pengumpulan data, dan penyebaran informasi.
2. Objektivitas: jurnalis harus berimbang, netral, objektif, adil, dan dapat dipercaya.
3. Independen: jurnalis harus mandiri, bebas, dan independen.
4. Kecepatan: jurnalis harus memiliki rasa kedekatan, aktualitas, dan kecepatan seperti yang melekat pada konsep berita.
5. Etik: jurnalis mempunyai etika, validitas, dan legitimasi.
Perspektif ideologi yang diutarakan Deuze hingga kini secara teoritis masih menjadi pedoman yang baku untuk menilai kualitas seorang jurnalis. Reese (2001, h. 283) mengatakan, ideologi yang koheren turut memengaruhi bagaimana konten media simbolik terkoneksi dengan kepentingan sosial secara luas dan bagaimana makna dibangun dalam layanan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud di sini adalah kekuasaan yang mengartikan apa jurnalisme sesungguhnya (Deuze, 2005, h. 447). Dengan demikian, ideologi mempunyai pengaruh besar terhadap semua aspek kerja jurnalis serta konten produk jurnalistik yang dihasilkan.
2.2.3 Etno-Jurnalisme
Etno-jurnalisme merupakan pengabungan dari kata etnografi dan jurnalisme. Secara sederhana Hermann (2014, h. 261) mengartikan etno-jurnalisme sebagai cara kerja jurnalistik yang menggunakan metode penelitian etnografi, salah satunya melalui observasi partisipan. Observasi partisipan memiliki peranan penting karena hasil dari
etno-jurnalisme diukur dari kedalaman data yang didapatkan dengan cara melebur ke dalam objek yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti meminjam konsep yang diusung oleh Anne Kristine Hermann pada 2014 yang berjudul Ethnographic
Journalism. Konsep ini merupakan perkembangan dari konsep yang
pernah disampaikan oleh Janet Cramer dan Michael McDevitt pada 2004 yang berjudul Ethnographic Journalism. Secara garis besar kedua konsep tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan karena Hermann hanya menambahkan beberapa elemen yang dilupakan oleh Cramer dan McDevitt.
Hermann melalui jurnalnya menjelaskan secara spesifik letak perbedaan antara jurnalisme konvensional dengan etno-jurnalisme. Perbedaan ini menjadi pedoman bagi Hermann untuk menjelaskan praktik etno-jurnalisme yang sekaligus menjadi acuan bagi peneliti untuk menganalisis praktik etno-jurnalisme dalam pembuatan film Jakarta Unfair. Adapun Hermann mengategorikan praktik-praktik tersebut ke dalam tiga level, yaitu epistemik, strategis, dan gaya bahasa. Ketiga level tersebut dirumuskan ke dalam kerangka sebagai berikut.
Tabel 2.2 Epistemik, strategis, dan gaya bahasa mikro-mekanisme jurnalistik sebagai tipe yang ideal.
Level Epistemik Isu Impuls Jurnalistik Etnografi Posisi Objektivitas Fakta Interpretatif Makna Komitmen Fokus pada peristiwa
Konflik/perubahan
Holistik Keberlanjutan Poiesis Reproduksi budaya
Arsip/dokumen
Melawan padangan umum
Teori Strategis Cakupan Bingkai
Fokus pasti Linier Konteks Fokus bebas Dialektika Aturan Narator Terpisah Skeptis Loyalitas kepada publik Pengikut Melebur Empati Loyalitas kepada lawan bicara Temporal Jangka pendek
Permintaan terbatas
Jangka panjang Permintaan terbuka Gaya
bahasa
Prosa Menstruktur data Menghibur
Terstruktur oleh data Menginformasikan Bahasa Dapat diakses
Inklusif Sederhana
Jargon Eksklusif Kompleks Naratif Dramatis Sistematis Sumber : Hermann (2014, h. 273)
Keterkaitan masing-masing level di atas dijabarkan kembali oleh Hermann seperti di bawah ini.
Tabel 2.3 Level epistemik, strategis, dan gaya bahasa genre jurnalistik
Sumber: Hermann (2014, h. 261)
Masing-masing level tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 2.2.3.1 Level Epistemik (Epistemic Level)
Level epistemik adalah logika dan asumsi mendasar dari pertanyaan jurnalistik, baik secara eksplisit maupun implisit (Hermann, 2014, h. 263). Level ini lahir dari pemikiran ilmiah tentang epistemologi atau ‗theory of knowledge‘ (Audi, 2003, h. i). Menurut Audi (2003, h. i) epistemologi merupakan cara mengetahui apa yang dilakukan, yang membenarkan apa yang dilakukan, dan standar apa yang digunakan dalam mencari
kebenaran tentang dunia dan pengalaman manusia. Dengan kata lain, epistemologi adalah dasar dari pengetahuan yang akan memengaruhi posisi jurnalis.
Pada level epistemik, Hermann (2014, h. 264) menuturkan etno-jurnalisme menentang setidaknya tiga aspek yang terdapat dalam jurnalisme konvensional yaitu, ide tentang objektivitas, keasyikan bermain dalam satu peristiwa, dan nilai-nilai budaya.
1. Meninggalkan objektivitas
Menurut Raczkowski (2010, h. 2), objektivitas dalam praktik jurnalisme terbagi menjadi dua yaitu objektivitas sebagai historis atau standar produksi dan objektivitas sebagai aturan yang telah didirikan dan masih dipraktikkan. Objektivitas baik sebagai historis maupun aturan masih menjadi perdebatan, pasalnya kode objektivitas sendiri masih samar-samar dan belum memiliki pengertian yang pasti (Raczkowski, 2010, h. 3). Meskipun objektivitas masih menjadi standar profesionalitas wartawan, tetapi pada praktiknya tidak menemukan titik terang sejauh mana seorang jurnalis dapat dikatakan profesional (Raczkowski, 2010, h. 7).
Hermann (2014, h. 264) memaparkan lebih jauh ukuran ideal objektivitas yang lazim digunakan jurnalisme konvensional baik secara ontologi maupun epistemologi. Secara ontologi, objektivitas melibatkan akurasi yang memperhitungkan realitas dan prosedural jurnalisme yang dinilai dari keberimbangan (Bird, 1987 dikutip dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 305). Artinya, sebuah berita dikatakan objektif apabila sesuai dengan realitas dan antarnarasumber memiliki ruang yang sama. Sedangkan, secara epistemologi objektivitas dilihat dari sumber, metode, dan bukti atau yang dikenal dengan fakta. Oleh sebab itu, praktik jurnalisme konvensional menghindari unsur interpretasi karena dinilai dapat mengaburkan fakta. Hal tersebut berkebalikan dengan etno-jurnalisme yang megutamakan interpretasi.
Bird (1987 dikutip dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 302) menekankan bahwa genre jurnalisme yang menggunakan metode etnografi lebih mengembangkan interpretasi dibandingkan dengan fakta melalui melebur dalam kelompok yang diteliti (Cramer & McDevitt, 2004, h. 3). Tujuannya adalah untuk mendapatkan ‗inner truth‘ dari kehidupan kelompok
tersebut. ‗Inner truth‘ merupakan konsep kunci untuk memahami sekelompok orang beserta istilah-istilah di dalamnya (Cramer & McDevitt, 2004, h. 6). Oleh karena itu, Cramer dan McDevitt menegaskan objektivitas harus diganti dengan sudut pandang epistemologi. Sudut pandang epistemologi mendorong perumusan kembali tentang objektivitas dengan menghapuskan bias dan menggabungkan tujuan dan perspektif subjektif.
Hal serupa turut disampaikan oleh Djerf-Pierre and Weibull (2008, dikutip dalam Salgado dan Stromback, 2011, h. 146) bahwa,
…
interpretation is a kind of empirical discourse, but goes beyond current facts, setting or historical context to speculate on such things as significance, outcomes and motives‘, while ‗giving opinion‘ refers to journal-ists‘ ‗exercise of judgment, either normative (what is good or bad) or empirical (what is true or false).Interpretasi dan makna coba dikembangkan oleh jurnalis etnografi untuk melawan pandangan tentang objektivitas sekaligus menyuburkan pelaporan yang kontekstual. Pelaporan kontekstual dipercaya dapat menggambarkan sebuah peristiwa secara menyeluruh serta menyediakan konteks untuk berita lain (Schudson, 2013, h. 10).
2. Dari peristiwa ke keseluruhan
Berbicara mengenai epistemologi, jurnalisme tidak hanya berkaitan dengan persoalan objektivitas tapi juga melibatkan perhatian para jurnalis pada peristiwa tunggal. Hermann (2014, h. 265) berpendapat kecenderungan jurnalisme konvensional berfokus pada peristiwa tunggal atas struktur sosial yang cukup besar merupakan perbedaan epistemologi mendasar antara jurnalisme dan ilmu sosial. Kecenderungan tersebut tidak bisa dipisahkan dari unsur kecepatan dalam nilai berita (Zelizer dan Allan, 2010, h. 56). Sebaliknya, etno-jurnalisme menolak tuntutan kecepatan dalam jurnalisme. Hal ini disebabkan jurnalis dengan pendekatan etnografi akan memakan waktu yang lama untuk menghasilkan sebuah produk jurnalistik.
Adapun peristiwa-peristiwa yang menjadi pusat perhatian jurnalis konvensional adalah peristiwa aktual yang melibatkan para pemegang kekuasaan atau berkaitan dengan konflik dan perubahan. Cramer dan McDevitt (2004, h. 14) memberi contoh peristiwa yang dimaksud seperti tindakan dan keputusan politikus, pemimpin bisnis, dan orang-orang terkenal dengan bingkai (angle) yang telah disiapkan sebelum terjun ke lapangan. Dengan
demikian, wawancara dalam jurnalisme konvensional dilakukan untuk mengonfirmasi asumsi yang telah dibangun oleh jurnalis. Seperti yang telah disampaikan Bird pada bab sebelumnya bahwa,
Journalist and their editors ―know‖ what the story will be before they even start—they may even have leads running around in their heads. It becomes an easy task to prove that this story is indeed the right questions and managing to ignore other issues that may come up in he course of the interview or the event. It is not deliberate bias or particularistic, even-oriented perception of the journalist. (1987, dikutip dalam Rothenbuhler dan
Coman, eds. 2005, h. 304)
Etno-jurnalisme menggugat keduanya yakni peristiwa tunggal yang dahsyat dan pembentukan bingkai pemberitaan, karena berlawanan dengan tujuan etnografi yang ingin menghadirkan cerita secara menyeluruh dan mendalam. Di saat jurnalis konvensional sibuk dengan peristiwa yang dahsyat, etno-jurnalisme lebih memedulikan pengalaman sehari-hari yang melibatkan orang biasa. Lantaran, pada dasarnya etno-jurnalisme menaruh perhatian lebih kepada kaum minoritas. Hermann (2015, h. 7) menjelaskan,
…ethnographic journalists focus not on immediate
events but everyday reoccurring ones. They report not on what has just happened but on a phenomenon that is ongoing. Sometimes, they reconstruct past events to put the present situation into context.
Di samping perbedaan sudut pandang mengenai peristiwa, terdapat pula perbedaan cara melihat perubahan. Beranjak dari ‗newsworthiness‘, Cramer dan McDevitt (2004, h. 14) menerangkan jurnalis konvensional akan beranggapan ledakan sosial atau tren sebagai tanda dari perubahan. Sementara, jurnalis etnografi meneliti perubahan dari perspektif fungsionalisme struktural, sistem sosial yang berubah tetapi untuk tujuan adaptasi dan kontinuitas. Hal tersebut diibaratkan Cramer dan McDevitt (2014, h. 14) seperti paradoks, menjadi nyata dalam kegiatan atau ritual yang dilakukan berkali-kali untuk menemukan identitas dan nilai dari sebuah kelompok. Kegiatan dan ritual ini biasanya mempunyai makna atau arti tersembunyi yang harus digali dan dipahami jurnalis untuk mendapatkan cerita yang akurat.
3. Reproduksi budaya
Praktik etno-jurnalisme menolak kebiasaan jurnalisme konvensional dalam mereproduksi budaya dan mengandalkan institusi sebagai ganti dari arsip sejarah. Reproduksi budaya diciptakan melalui pemaknaan oleh jurnalis setelah terjun ke lapangan atau saat mengolah data. Argumen ini dibangun atas pernyataan Peterson (2001, h.
208) bahwa dasar berita berasal dari pandangan umum
(commonsense) yang memungkinkan seseorang untuk
membentuk sebuah cerita. Peterson menjelaskan dalam rangka membingkai cerita, jurnalis harus mengandalkan pengetahuan kultural yang sudah ada sehingga akan mengarah ke reproduksi budaya.
Etno-jurnalisme menghindari keterlibatan pandangan umum. Penolakan keterlibatan pandangan umum ini didasarkan pada asumsi bahwa dalam jurnalisme konvensional pandangan umum lebih diagungkan ketimbang etos kerja, sehingga memperkuat kekhawatiran dan prasangka publik (Hermann, 2014, h. 266). Oleh karena itu, etno-jurnalisme hadir untuk memberi batas pada wacana publik dan menggambarkan secara bertanggung jawab kehidupan dari sekelompok orang yang termarginalkan (Cramer & McDevitt, 2004, h. 5). Sebab, keberadaan etno-jurnalisme pada dasarnya dikhususkan bagi kaum yang tidak mendapat ruang dalam media konvensional.
Cramer dan McDevitt (2004, dikutip dalam Hermann, 2014, h. 267) menjelaskan etnografi jurnalisme menyediakan perbedaan nilai jurnalistik dengan
meninggalkan kepercayaan rutin tentang sumber resmi dan ideologis elite. Hal pentingnya adalah mengambil kendali dari narasumber dengan cara menyampaikan apa yang diutarakan demi menghasilkan pelaporan yang kontekstual. Dengan demikian, etnografi mengubah reproduksi nilai budaya dengan menghindari keterlibatan pandangan umum (Hermann, 2014, h. 267).
2.2.3.2 Level Strategis (Strategic Level)
Tingkat epistemik merupakan sarana atau metode untuk mencapai keberhasilan pada tingkat strategis. Epistemik menunjukkan metode yang digunakan wartawan untuk mencapai tujuan profesionalitas. Sedangkan, level strategis menunjukkan pilihan strategis selama pelaporan yang menggambarkan dan mengarahkan perhatian pada apa yang dijelaskan di level epistemik (Hermann, 2014, h. 267). Masing-masing strategi dalam level ini akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Keluar dari pembingkaian
Penelitian etnografi dikenal pula dengan penelitian yang terbuka (open-ended). Artinya, peneliti hanya merencanakan penelitian secara umum dan sepenuhnya bergantung pada hasil yang ditemukan di lapangan.
Dengan demikian, etnografi bukan proses liner melainkan dialektika seperti mempelajari data dan menindaklanjuti data tersebut dengan wawancara dan observasi (Agar, 1996 dikutip dalam Bird dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 304). Bird (1987 dikutip dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 304) menggambarkan proses dialektika ini pada saat pengumpulan data. Menurut Bird (1987 dikutip dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 304), seorang wartawan telah memiliki cerita yang ingin disampaikan dan hanya mewawancara satu atau dua orang yang dianggap figur otoritas untuk mendukung cerita tersebut. Namun, etnografi melibatkan banyak informan untuk menarik kesimpulan meskipun turut menggunakan figur otoritas.
...never assumes the story is complete; more people must
be interviewed as the understanding from previous interviews accumulates, one line questioning leads to another, and we return to a previous informant who then tells us more. (Bird, 1987 dikutip dalam
Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 304)
Sementara, Hermann (2014, h. 267) berpendapat beroperasi dengan etnografi memperkenalkan strategi melebur dengan memerhatikan „tema‟, „cerita‟, dan „bingkai‟. Bingkai dalam hal ini bersifat kontekstual dan
disesuaikan temuan data di lapangan. Di sisi lain, Harrington (2003, h. 92) mengidentifikasi sembilan karakteristik jurnalistik antropologi yang dapat digunakan untuk menemukan tema penelitian. Hal ini dikarenakan dalam etno-jurnalisme fokus cerita bersifat tidak pasti dan tema dikembangkan melalui spesifik data yang meliputi gerakan tubuh, peristiwa kecil, dan fitur tubuh (Hermann, 2014, h. 268). Kesembilan karakteristik tersebut, yaitu (1) melebur ke dalam kehidupan subjek penelitian; (2) biarkan tindakan subjek terungkap secara alami; (3) mengumpulkan data melalui observasi (4) wawancara untuk mendapatkan makna yang mendalam; (5) memerhatikan tindakan reflek yang akan membuat cerita lebih dramatis; (6) mengumpulkan dialog antarsubjek; (7) membuat laporan status subjek secara lengkap; (8) mencatat semua gerakan dan fitur tubuh subjek; (9) memerhatikan peristiwa secara detail untuk mengembangkan tema cerita.
2. Aturan peneliti
Untuk menjaga objektivitas jurnalis cenderung menghindari hubungan yang akrab dengan narasumbernya. Narasumber dianggap hanya sebagai sumber informasi dan
terpisah dari kepribadian individu (Bird, 1987 dikutip dalam Rothenbuhler dan Coman, eds. 2005, h. 302). Berbeda dengan jurnalisme konvensional, etno-jurnalisme justru menekankan keterlibatan langsung jurnalis baik di lapangan maupun di kehidupan narasumber.
Hermann (2014, h. 268) menjelaskan perbedaan mencolok antara etno-jurnalisme dengan jurnalisme konvensional adalah ketika berada di lapangan, terutama terkait dengan posisi memandang objektivitas dan fokus peristiwa. Etno-jurnalisme mengutamakan penggambaran yang holistik dari sebuah peristiwa dan objektivitas dicapai melalui kesepakatan antara laporan peneliti dengan pengalaman narasumber (Cramer dan McDevitt, 2004, h. 8-9). Dengan kata lain, objektivitas dalam etno-jurnalisme bersifat subjektif dan interpretatif. Subjektivitas muncul dari perjuangan memindahkan informasi yang spesifik ke dalam konsep kehidupan narasumber yang diikuti peneliti.
Menurut Singer (2009 dikutip dalam Hermann, 2014, h. 269) ada dua perubahan mendasar dari jurnalisme konvensional yakni persoalan tanggung jawab jurnalis dan jarak antara jurnalis dengan narasumbernya. Tanggung jawab utama jurnalis melayani publik (Kovach dan
Rosenstiel, 2001, h. 58) beralih ke tanggung jawab melindungi informan dan jarak yang dibangun antara peneliti dengan narasumber digantikan dengan strategi melebur seperti observasi partisipan.
Observasi partisipan merupakan teknik pengumpulan data yang paling utama dalam metode etnografi (Iorio, ed. 2004, h. 136). Teknik ini mendorong seorang peneliti untuk menjadi bagian dari kelompok yang diteliti. Menurut Cramer dan McDevitt (2004, h. 8), peleburan ke dalam kelompok yang diamati dapat menjadi ukuran idealisasi tertentu dalam cerita sekaligus mendapatkan cerita yang otentik. Cerita otentik adalah cerita yang muncul dari pernyataan narasumber secara spontan tanpa ada campur tangan dari peneliti.
Baik untuk menghasilkan cerita yang otentik maupun menghasilkan laporan yang menyeluruh membutuhkan waktu yang lama. Tidak jarang peneliti menghabiskan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk meleburkan diri pada kelompok yang diteliti (Hermann, 2015, h. 4). Proses peleburan ini dengan sendirinya akan membangun rasa empati peneliti. Lebih lanjut lagi, pada jurnal sebelumnya, ia (Hermann,
2014, h. 269) merumuskan fungsi (narator/pengikut), sikap (skeptik/empati), dan loyalitas peneliti (publik/subjek) akan menentukan tingkat peleburan peneliti yang berdampak pada kemampuan memproduksi perspektif orang dalam (insider‘s perspective). Oleh karena itu, jurnalis tidak bisa menjadi pengamat yang terpisah, melainkan harus menjadi pengikut yang melebur dengan subjek.
3. Mengabaikan kecepatan
Hannerz (2004 dikutip dalam Hermann, 2014, h. 270) membagi menajemen waktu dalam jurnalisme pada dua tingkat secara terpisah, yaitu sebagai waktu deadline— berdampak pada model produksi—dan batas waktu untuk setiap produk junalistik. Kedua tingkat ini menyebabkan kerja jurnalis seolah tidak bisa dipisahkan dari kata „kecepatan dan aktualitas‟. Menurut Jakob Oetama (2011, h. 110) dalam bukunya yang berjudul Pers Indonesia:
Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus
menjelaskan, kecepatan menjadi sesuatu yang esensial dalam jurnalisme karena news selain sebagai berita juga terkandung di dalamnya kebaruan yang diolah puluhan dan
ratusan surat kabar. Oleh karena itu, berita dengan sendiri berkompetisi dengan kebaruan.
Berbeda dengan jurnalisme konvensional, dalam etno-jurnalisme kebaruan justru bukan menjadi hal utama sebab baik peleburan dengan subjek maupun penelitian yang menyeluruh membutuhkan waktu lama (Hermann, 2014, h. 270). Lebih dalam lagi, Hermann berpendapat jangka waktu ditentukan oleh kedalaman data yang didapatkan melalui proses peleburan, sehingga „urgensi‟ hanya menjadi kendaraan bagi jurnalis etnografi untuk meleburkan diri ke dalam kelompok yang diteliti.
Adapun Hermann (2015, h. 2, 5-10) mengidentifikasi permasalahan yang disampaikan Hannerz di atas ke dalam tiga hal yang dibantah oleh jurnalisme. Pertama, etno-jurnalisme meninggalkan keteraturan (regimentation) terkait dengan deadline. Hal ini dikarenakan sebagian produk etno-jurnalisme berbentuk uraian panjang sehingga menuntut penelitian yang memakan waktu lama dan penulisan yang tepat. Kedua, representasi (representation), pelaporan jurnalisme etnografi tidak bersifat mendesak sebab tugasnya adalah melaporkan apa yang terjadi sehari-hari. Ketiga, keterlambatan (deceleration), merupakan alat
penting untuk memperoleh perspektif orang dalam. Jurnalisme etnografi menggambarkan seluruh proses di lapangan dengan mengadopsi prospek sumber mereka.
2.2.3.3 Level Gaya Bahasa (Stylistic Level)
Tingkat gaya bahasa merupakan tingkat yang paling konkret karena berhubungan dengan gaya produk sastra. Pada tingkat ini ada dua hal yang akan dibahas yaitu penyajian dan pengaturan data serta penggunaan istilah teknis (Hermann, 2014, h. 270).
1. Prosa yang diakses
Tujuan akhir dari praktik etno-jurnalisme adalah
output jurnalistik yang dihasilkan. Cramer dan McDevitt
(2004, h. 16) menjelaskan, melalui etnografi posisi jurnalis sebagai peneliti hanya sebagai medium, sedangkan yang menyampaikan atau narator cerita adalah narasumber. Namun, pendapat Cramer dan McDevitt di atas menurut Hermann (2014, h. 271) berseberagan dengan kekuatan eksplanatif dan interpretatif dalam etno-jurnalisme.
Di sisi lain, Harrington (2003, h. 96-97) menjelaskan untuk membuat sebuah cerita perlu membayangkan akhir cerita terlebih dahulu sehingga bisa membayangkan apa