• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

4.2 Hasil Penelitian

4.2.2 Produksi

Produksi film Jakarta Unfair dimulai pada awal Juli 2016, setelah penetapan tokoh di masing-masing lokasi. Setiap tim per lokasi diwajibkan untuk melakukan pendekatan yang intens dengan warga, salah satu caranya adalah live in atau tinggal bersama warga. Menurut Dandhy, live in atau metode observasi partisipan sesuai dengan motto WatchdoC untuk merekam sedalam dokumenter. Metode ini bagi Dandhy tidak dikerjakan oleh jurnalisme yang pergi pagi-pulang sore sehingga mereka akan gagal merekam hal-hal yang lebih esensial dan natural.

(Melalui live in) ada kedekatan antara filmmaker dengan subjek, metode itu juga memberikan kesempatan filmmaker untuk untuk

beyond recording. Kalau just recording jurnalisme cukup, tapi kalau udah ngomong beyond recording metode ini efektif. Nah, dengan

metode live in maka sensitivitas kita berbeda terhadap sesuatu. … badan ini seperti ototmatis menggerakan lensa, menggerakan arah kamera ketika kita sudah menyatu dengan kehidupan orang-orang itu. Itu, ya metode itu juga yang kita gunakan selama ekspedisi kan dan yang WatchdoC gunakan untuk Rayuan Pulau Palsu dan beberapa film yang lain juga menggunakan metode itu karena ya kita harus

deeper dari journalism. (wawancara, 26 Desember 2016).

Namun, Dhuha mengatakan ada beberapa lokasi yang tidak bisa digunakan untuk menginap seperti rusun Rawa Bebek karena

ruangannya yang sempit dan hanya muat untuk keluarga tokoh (wawancara, 24 Desember 2016). Cara menyiasati persoalan ini adalah para videografer melakukan kunjungan rutin ke lokasi liputan. Sedangkan, daerah yang memungkinkan live in sebagian besar daerah tempat gusuran atau terancam digusur seperti Kampung Baru Dadap, Pasar Ikan, dan Bukit Duri. Sebelumnya, pada saat praproduksi live in juga pernah dilakukan untuk beberapa lokasi, hanya saja tidak sesering ketika masuk tahap produksi.

Selama live in, peneliti mengamati para videografer khususnya yang ditempatkan di Kampung Baru Dadap dan Pasar Ikan tidak hanya sekadar menyodorkan kamera ke warga, tetapi lebih dari itu mereka melakukan interaksi dengan warga, kumpul bersama warga, makan serta tidur bersama warga, sekalipun tidak untuk kepentingan film. Ada pula anggota tim yang mengikuti pergerakan-pergerakan yang dilakukan warga, seperti yang dilakukan Azami.

…ketika ada proses pembuatan film Jakarta Unfair secara enggak langsung gue juga banyak terlibat di banyak hal selain daripada pembuatan filmnya. Kayak misalnya ketika kita mau pergi ngawal ke Komnas HAM, ke Ombudsman. Itu kemudian gue jadi tertarik untuk mengomunikasikan dengan jaringan-jaringan yang ada di Jakarta seperti Lembaga Bantuan Hukum dan juga LSM-LSM lain yang biasa melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang tergusur. (wawancara, 24 Desember 2016)

Pada tahap produksi awal mereka merekam selama satu minggu tanpa alur cerita. Adapun gambar-gambar yang direkam lebih ke arah

pergerakan hidup warga dan kehidupan sehari-hari tokoh utama. Usai menghabiskan waktu lebih dari dua minggu di lapangan, masing-masing tim kembali dipertemukan pada rapat mingguan yang dilaksanakan di kantor WatchdoC pada 13 Juli 2016. Rapat mingguan tersebut dipimpin oleh kedua sutradara Jakarta Unfair Sindy Febriyani dan Dhuha Ramadhani. Guna rapat ini adalah membahas perkembangan liputan, memindahkan data, dan mengumumkan storyline film. Dhuha mengatakan alur cerita pertama kali tercipta melalui hasil yang ditemukan di lapangan pada saat prariset. Temuan tersebut kemudian dirumuskan oleh tim apakah penggusuran cenderung merugikan atau menguntungkan warga. Dampak penggusuran bagi warga inilah yang diakomodir film Jakarta Unfair (wawancara, 24 Desember 2016).

Berangkat dari storyline, para videografer kembali ke lapangan untuk melakukan peliputan sesuai dengan gambar yang dibutuhkan. Akan tetapi, storyline yang dimaksud tidak mencantumkan secara spesifik mengenai gambar yang harus diambil atau bagaimana cara mengambilnya, melainkan hanya mencantumkan gambaran besar apa yang harus direkam. Ngesti dalam wawancaranya menjelaskan,

Ya, ada itu permintaan dari sutradara ya karena Pasar Ikan ini kan masuknya ke pascapenggusuran jadi wishlist paling utama adalah suasana di Pasar Ikan itu sendiri. Itu sih yang paling, jadi bukan

wishlist yang sangat men-detail, melainkan wishlist-wishlist yang

Alhasil, dari storyline yang diberikan para videografer harus melakukan improvisasi gambar. Tatkala mereka merekam melebihi gambar yang dibutuhkan dan terkadang megambil gambar yang tidak tercantum dalam storyline seperti pesawat lewat dan anak kecil bermain odong-odong. Gambar yang diambil sejauh berhubungan dengan konteks lokasi yang diliput.

Enggak, tentunya yang ketika gue di lapangan itu kita punya wishlist tertentu ya, jadi kita terjun ke lapangan itu gue udah siapin wishlist gambar-gambar apa aja yang gue mau ambil. Cuman yang namanya di lapangan kita enggak ada yang tahu kondisinya seperti apa. Jadi, begitu gue melihat satu peristiwa itu pasti akan langsung gue shot kalau itu memang berhubungan. Jadi, enggak terpacu pada satu peristiwa itu aja sih. (Ngesti Sekar Dewi, wawancara, 26 Desember 2016)

Kemudian, rapat mingguan berikutnya storyline mengalami perubahan karena situasi lapangan dan narasumber tidak bisa memenuhi kebutuhan storyline. Alhasil, storyline yang diberikan sutradara tidak efektif dan tidak bisa dijadikan acuan dalam pengambilan gambar. Para videografer akhirnya diperintahkan untuk mengambil gambar sesuai dengan kondisi lapangan dan TOR (Tor of Reference) hasil revisi. Hal ini disampaikan Azmi,

―Terus, kita balik lagi ada lagi perubahan alur bahkan sampai kayak minggu depan mau editing tuh masih banyak hal-hal yang mengalami perubahan gitu dari segi alurnya kan karenakan memang kondisinya itu sedinamis itu‖ (wawancara, 26 Desember 2016).

Peneliti mengamati tim Kampung Baru Dadap kembali mengambil aktivitas Alwi, aktivitas warga, dan wawancara Musali sebagai tokoh sejarah cadangan. Sedangkan, di Pasar Ikan mulai terungkap informasi-informasi baru dari warga terkait perpecahan daerah tersebut. Perpecahan ini disebabkan permasalahan sumbangan sembako yang tidak sampai ke tangan warga secara merata. Saat peneliti terlibat peliputan di sana, salah satu warga juga bercerita perihal korupsi dana sumbangan yang dilakukan sesama (satu orang) warganya.

Hasil rekaman masing-masing videografer kemudian disetor ke kantor WatchdoC seminggu sekali. Proses liputan-pemindahan data ini sejatinya telah berlangsung selama praproduksi, tetapi data lebih banyak didapatkan pada saat produksi. Ditambah, situasi di lapangan yang tidak stabil mengharuskan videografer untuk mengabadikan setiap kejadian yang terjadi di lapangan. Akhirnya, proses produksi mengalami keterlambatan yang berimbas pada mundurnya jadwal penyunting gambar. Keterlambatan juga disebabkan adanya pergantian tokoh seperti di Pasar Ikan dan Rawa Bebek serta penambahan lokasi yaitu di kolong tol Kalijodo. Hal ini diakui Dhuha saat diwawancara di kantor WatchdoC, ―Agustus rencana awalnya kita mau launching, Agustus filmnya cuman ngeliat perkembagan isu di warganya enggak memungkin untuk launching saat itu‖ (wawancara, 24 Desember 2016).

Proses produksi berhenti sementara pada 11 Agustus 2016. Hal ini disebabkan kondisi lapangan dan data-data yang terkumpul tidak menuju klimaks film, yakni penggusuran itu sendiri.

Awalnya kita mentargetkan selesai filmnya itu Agutus ya, Agustus tanggal 18 cuman karena satu dan lain hal akhirnya batasan ini menjadi tidak ada karena mungkin kita salah satunya kehilangan

moment saat itu. Tadinya kan mengejar moment penggusuran ini kan

masih lagi hangat-hangatnya diperbincangkan cuman begitu berjalan ternyata sudah tidak terlalu ini lagi (hangat), sampai akhirnya ada isu penggusuran di Bukit Duri, kita mengejar itu sih. (Ngesti Sekar Dewi, wawancara 26 Desember 2016)

Pada akhirnya, film mulai beralih ke topik lain yakni terkait perebutan ruang dan contrasting sosial-ekonomi di Jakarta. Tahap ini, peneliti mengamati sutradara dan editor kembali gencar mencari lokasi dan tokoh baru. Saat itu lokasi yang terpilih adalah sebuah rumah yang berada di tengah-tengah bangunan tinggi di daerah Cilandak. Namun, narasumber yang ditemui tidak bersedia diwawancara. Lantas, proses produksi pun diberhentikan kurang lebih satu bulan dan kembali merekam saat penggusuran di Bukit Duri. Di sinilah, videografer sungguh-sungguh mengabadikan peristiwa penggusuran setelah sebelumnya banyak merekam tentang kehidupan sehari-hari warga dan pergerakan-pergerakan warga untuk menolak penggusuran.

Tidak cukup ada dokumentasi penggusuran Bukit Duri, selang beberapa hari ke depannya Dandhy mengusulkan penambahan tokoh di rusun. Rusun yang dipilih di sini adalah rusun Jatinegara Barat terkait

dengan penggusuran di Kampung Pulo. Ada beberapa hal yang ditekankan di sini yaitu terkait dengan tunggakan, penyegelan kamar, dan kehidupan sosial-ekonomi di rusun. Pada saat peliputan, tim dibagi ke dalam dua kelompok yakni yang melakukan liputan lapangan dan mengerjakan proses penyuntingan dengan data yang ada. Adapun lama liputan di rusun Jatinegara memakan waktu dua hari satu malam. Dengan kata lain, tim lapangan yang terdiri dari sutradara dan videografer menginap di rusun tokoh. Setelah di rusun, liputan juga kembali dilakukan di kolong tol Kalijodo untuk menambah stock shot daerah tersebut. Di Kalijodo, tim meliput kehidupan warga yang tinggal di kolong jembatan pascapenggusuran.

Dokumen terkait