• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genotyping data 30 aksesi Saccharum spp.Sumatera Utara mengindikasikan proporsi polimorphik 10 primer RAPD yang digunakan mampu menghasilkan rataan jumlah lokus/primer yang tinggi (7,1) dengan tingkat polimorphisme 98,75%.Jumlah lokus dihasilkan sebanyak 71 (Tabel 4). Nei (1978), menganjurkan jumlah minimum yang harus digunakan untuk memperkirakan jarak genetik adalah 50 lokus berbeda.

Rataan polimorphisme yang diamati dalam penelitian ini, lebih tinggi dibanding dengan yang dilaporkan oleh Harvey et al (1994) dengan persentase polimorphisme 62,82% (101 pita DNA) menggunakan 15 primer, Kawar et al (2009), persentase polimorphisme 44,9% (134 pita DNA) dengan menggunakan 40 primer, Tabasum et al (2010), persentase polimorphisme 92,05% (219 pita DNA) dengan menggunakan 30 primer dan Ullah et al (2014), persentase polimorphisme 73,50% (37 pita DNA) dengan menggunakan 8 primer. Menurut Grattapaglia dan Sederoff(1994), teknikRAPDmenunjukkanpolimorphismeDNAsebagaiperbedaanpada

polaamplifikasidan urutan acak primeryangmencaripelengkapnyadalam genom. Perubahan padapolaRAPDmungkin akibat hilang/dapat darianilprimer, yang disebabkan olehmutasititik ataudaripenyisipan/penghapusansekuen atau elementransposisi (Peschke et al, 1991).

Setiap primerberbeda dalamkeinformatifannya danbergantung padapolimorphisme. Konseppolimorphismedigunakanuntuk mendefenisikan keragaman genetikdalam suatu populasi. Pada penelitian ini nilai PIC dari 10 primer yang digunakan berkisar antara 0,365-0,499dengan rataan sebesar 0,443. Nilai PIC dari ke 10 primer yang digunakan berada dibawah 0,5. Menurut Nagy et al, (2012); Ma et al (2013), bahwa primer dengan nilai PIC <0,5 diklasifikasikan informatif. Nilai PIC maksimum untuk penanda dominan (RAPD) adalah 0,5 karena diasumsikan 2 alel per lokus dan nilai dipengaruhi oleh jumlah dan frekuensi alel.

Penelitian ini juga menunjukkan potensi marka RAPD-PCR spesifik untuk beberapa aksesi Saccharum spp.. Sepuluh primer yang digunakan mampu mengamplifikasi DNA 30 aksesi Saccharum spp. Sumatera Utara dan menghasilkan 7 penanda genotipe spesifik untuk 4 aksesi (Kuning Sunggal, Gelagah Helvetia, Gelagah Tanjung Jati dan Berastagi Sibolangit) (Tabel 5). Ke sepuluh primer menunjukkan polimorphisme yang tinggi pada kompleks genom Saccharum spp.. Hal ini didukungoleh Welsh dan McClelland (1990), yang menyatakan bahwa

kompleks genom yang sederhana dan reproduktif dapat dihasilkan dengan PCR menggunakan primer tunggal 10-mer. Disamping itu penanda RAPD juga efektif dalam mengungkap keragaman genetik diantara aksesi elit karena cakupannya yang luas dalam genom dan merupakan teknik tercepat berbasis DNA untuk penelitian kemiripan genetik (Zhang et al, 2008), memungkinkan karakterisasi genom pada beberapa kelompok tanaman, berguna untuk mempelajari polimorphisme, mengidentifikasi gen yang menarik dan karakterisasi sumber daya genetik (Seraet al., 2003; Chayabut et al., 2014).

Pengelompokan aksesi dan kemiripan genetik

Berdasarkan fingerprint PCR RAPD,ke-30 aksesi Saccharum spp. Sumatera Utara tersusun ke dalam 3 kelompok (Gambar 12 dan 13). Dari analisis dendogram varietas toleran kekeringan (PS 864 dan PSJT 941) berada pada kelompok yang sama (kelompokIII).Hasil ini mengindikasikan, kemungkinansecara genetik varietas PS 864 mempunyai kemiripan dengan varietas PSJT 941. PS 864 merupakan hasil persilangan polycross PR 1117 sedangkan PSJT 941 merupakan hasil persilangan

polycross BP 1854 dengan tetua betina yang berbeda tetapi tetua jantan yang

kemungkinan sama. Kedua varietas merupakan hasil persilangan yang dirilis dari perkebunan tebu Pasuruan (PS) (P3GI, 2004; 2007).

Susunan dendogram merupakan dasar matriks kemiripan yang menunjukkan bahwa varietas PS 864 secara genetik lebih dekat kemiripannya dengan varietas PS 882 dengan koefisien kemiripan 0,828 (Tabel 6). Disamping itu berdasarkan analisis kemiripan pola pita, varietas PS 882 memiliki pola pita terbanyak (24 pita) yang mirip dengan pola pita varietas PS 864 (29) dibanding aksesi lain yang berada pada cabang yang sama (Tabel 7). Kemungkinan kedua varietas mempunyai lebih banyak kesamaan genetik yang diwariskan dari tetuanya dibanding aksesi lain karena kedua aksesi ini merupakan hasil persilangan polycross dari perkebunan tebu P3GI Pasuruan. Aksesi PS 882 merupakan polycross BU 794 (P3GI, 2008).

Berdasarkan analisis jarak genetik varietas PSJT 941 lebih mirip dengan varietas Kidang Kencana dengan koefisien kemiripan 0,787. Hasil yang sama ditunjukkan dari hasil skoring dimana varietas Kidang Kencana mempunyai pola pita DNA yang lebih banyak kemiripannya (23 pita) dengan varietas PSJT 941(26 pita) dibanding aksesi lain yang berada pada cabang sub kelompok yang sama (IIIb). Varietas Kidang Kencana merupakan hasil seleksi alami yang tidak diketahui asal usulnya yang berkembang di Dusun Kencana Kecamatan Jati Tujuh sedangkan PSJT 941 merupakan hasil persilangan polycross BP 1854dimana tetuanya ada yang berasal dari Jati Tujuh (P3GI, 2008, 2008a), sehingga kemungkinan PSJT 941 dan Kidang Kencana mempunyai kemiripan genetik dari tetua yang kemungkinan sama. Khan et al., (2009), menyatakan bahwa keanekaragaman genetik umumnya diukur dengan jarak genetik atau kesamaan genetik, berarti ada perbedaan atau kesamaan pada tingkat genetik.

Dari hasil analisis dendogram, kultivar BZ 134 berada satukelompok(I) dengan kultivar Gambas, aksesi Kuning Sunggal, VMC 76-16, PSBM 901 dan Gelagah Medan Helvetia (Gambar 12).Hasil pengelompokan ini mengindikasikan secara molekuler kemungkinan ada kemiripan genetik diantara aksesi tersebut. Spesies BZ 134 merupakanvarietas unggul lokal yang berkembang dan secara luas ditanam oleh petani tebu dan PT. Perkebunan Nusantara II di Sumatera Utara (Mulyadi et al, 1997) dan merupakan hasil persilangan biparental antara F 141 dengan CP 34-79 yang merupakan materi introduksi (Menteri Pertanian RI, 1985).Aksesi ini relatif tahan terhadap hama penggerek batang raksasa yang merupakan hama endemik di pertanaman tebu di Sumatera Utara serta relatif tahan terhadap rebah. Aksesi VMC 76-16 juga merupakan materi introduksi hasil pertukaran varietas yang berasal dari Philippina (P3GI, 2010) sehingga kedua varietas ini kemungkinan mempunyai kesamaan genetik dari tetua yang sama karena berasal dari daerah asal yang sama.

Kultivar tebu kuning berdasarkan analisis dendogram terdapat pada kelompok yang berbeda. Aksesi Kuning Sunggal terdapat pada kelompokI berbeda dengan Kuning Tanjung Jati dan Kuning Hamparan Perak yang berada pada kelompok II (Gambar 12). Koefisien jarak genetik aksesi Kuning Sunggal, Kuning Tanjung Jati dan Kuning Hamparan Perak adalah 0,309-0,500 (Tabel 6). Hasil ini menggambarkan bahwa secara genetik kemungkinan aksesi Kuning Sunggal berbeda dengan Kuning Tanjung Jati dan Kuning Hamparan Perak. Kultivar tebu Kuning secara morfologi mempunyai daun berwarna hijau muda, ukuran sedang-lebar, melengkung kurang dari ½ panjang daun dengan bulu-bulu merata pada daun, terasa kasarjika tersentuh kulit danmata tunas terdapatpada bekas pangkal pelepah daun, berbetuk bulat telur dan berukuran besar. Perbedaan morfologi yang dapat dilihat pada kultivar ini adalah aksesi Kuning Sunggal mempunyai diameter batang sedang, warna batang yang lebih terang (kuning) sedangkan aksesi Kuning Tanjung Jati dan Kuning Hamparan Perak mempunyai morfologi dengan diameter batang yang lebih besar dan warna batang lebih pucat (kuning kehijauan). Didalampopulasi,kadang- kadang individusecara genetikdapat berbedasatu sama laintergantung sistemperkembangbiakan dan merupakan cerminan dari adaptasilokal(USDA, 2006). Perbedaan fenotipe pada kultivar berhubungan dengan perbedaan genotipe karena sifat fenotipe dipengaruhi oleh genotipe dan faktor lingkungan maka individuyang memilikifenotipeyang identiktingkat keterkaitannya akan lebih besar dibanding dengan individu yang memiliki perbedaan fenotipe (Lynch dan Milligan, 1994).

Gelagah (3 aksesi) meskipun satu spesies tetapi berdasarkan analisis molekuler terdapat pada kelompok yang berbeda. Aksesi Gelagah Medan Helvetia terdapat pada kelompok I sementara Gelagah Sunggal dan Gelagah Tanjung Jati berada pada kelompok II (Gambar 12 dan 13). Kultivar Gelagah secara morfologi memperlihatkan bentuk daun yang kaku dan keras, helaian daun lurus dan meruncing dengan bulu-bulu pendek. Batang mengandung banyak serat menyerupai gabus dan

berongga, berwarna hijau pucat pada saat masih muda dan putihkekuningan pada batang yang tua. Batang ditutupi lilin dan ruasnya panjang. Perbedaan morfologi diantara kultivar adalah Gelagah Tanjung Jati mempunyai diameter batang yang lebih kecil, lebih lunak, tinggi tanaman sedang, daun lebih sempit dan lebih tipis mirip dengan bentuk morfologi Gelagah Sunggal, sedangkan aksesi Gelagah Medan Helvetia memiliki diameter batang yang lebih besar, lebih keras, habitus tanaman tinggi, daun lebih lebar dan lebih tebal.Gelagah (S. spontaneum) mempunyai perbedaan secara sitologi dan morphologi (Tai et al, 1996), mempunyai polimorfisme yang tinggi(James, 2004) dan pada umumnya menunjukkanvariabilitas genetik yang lebih besar dibanding S. robustum, S. officinarum, S.erianthus dan plasma nutfah elit lainnya (Saccharum spp) (Harvey et al, 1994; Ubayasena dan Perera, 1999; Zhang et al, 2010).

Pembentukan dendogram menunjukkan kultivar tebu Berastagi terdapat padakelompok yang sama (II) namunberbeda sub kelompok (Gambar 12 dan 13). Koefisien jarak genetik antar aksesi adalah 0,184-0,556 (Tabel 6). Secara morfologi aksesi tebu Berastagi Berastagi dan Berastagi Kabanjahe mempunyai warna batang yang lebih gelap (merah keunguan) dibanding Berastagi Sibolangit dengan warna batang yang lebih terang (merah muda). Kemungkinan perbedaan ini disebabkan oleh kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda (ketinggian tempat). Menurut Schoettleet al (2011), keragaman genetikberkorelasi denganbujur, lintang, ketinggian tempat danpengaruhpegunungansehingga memberikan kontribusi terhadapsubstrukturdan isolasi.

Koefisien jarak genetik menggambarkan hubungan genetik diantara aksesi. Pada penelitian ini jarak genetik dari 30 aksesi tebu berkisar 0,067-0,783dengan rataan 0,424(Tabel 6), mengindikasikan keragaman genetik tebu di Sumatera Utara dalam tingkat moderat. Chayabut et al (2014) melaporkan pada 56 genotipe Saccharum sp rataan kemiripan genetik adalah 0,55 sama seperti yang dilaporkan

oleh Tabasum et al (2010) pada 40 kultivar S. officinarum dan S. berberi dengan rataan 0,42 dan Zhang et al (2010) dengan rataan jarak genetik 39,9 pada 89 aksesi S. spontaneum. Sedangkan Kawar et al (2009) melaporkan rataan kemiripan genetik pada 18 genotipe Saccharum spp adalah 0,87 mengindikasikan keragaman genetik yang rendah sama seperti yang dilaporkan olehAhmed dan Khaled (2008) pada 3 genotipe tebu dengan rataan kemiripan genetik 0,64, Pan et al (2004), rataan jarak genetik diantara 33 aksesi S. spontaneum yang dikoleksi dari tebu lokal adalah 0,75, Harvey et al (1994), pada 20 varietas tebu rataan jarak genetik adalah 0,81. Menurut riview Rauf et al (2010), spesiesyang diperbanyak secara vegetatifseperti tebumenunjukkankeragamangenetikrendahpada plasma nutfah yang dibudidayakan. Keragaman genetik berperan penting dalam adaptabilitas suatu spesies karena ketika lingkungan suatu spesies berubah, variasi gen yang kecil diperlukan agar spesies dapat bertahan hidup dan beradaptasi (Khan et al., 2009).

Kemiripan genotipe tertinggi (0,933) diamati pada aksesi Gambas Hamparan Perak dengan Gambas Sunggal. Pada analisis dendogram aksesi ini terdapat pada kelompok I.Sementara kemiripan genotipe terendah (0,217) terdapat pada aksesi Gelagah Medan Helvetia (kelompok I) dengan Berastagi Sibolangit (kelompok II) (Tabel 6, Gambar 12). Secara morfologi kedua aksesi ini menunjukkan perbedaan yang besar. Menurut Lynch dan Milligan (1994),individu yang masih memiliki kekerabatan dekat memilikigenotipelebih mirip dibanding yang tidakberkerabat, sehinggafraksilokus2individuyang memilikifenotipeyang identiktingkat keterkaitannya akan lebih meningkat dibanding dengan individu yang memiliki perbedaan fenotipe.

Berdasarkan pengamatan bentuk morfologi, ke-30 aksesi Saccharum spp. Sumatera Utara yang digunakan dalam penelitian termasuk ke dalam spesies S. officinarum dan S.spontaneum. Kultivar Gambas, Kuning, Merah, Berastagi, PS 864, PSJT 941, PS 851, PS 862, PS 882, PS 891, TLH 2, GMP 2, Kidang Kencana,

PSBM 901, PSCO 902, VMC 76-16 dan BZ 134 dari karakteristik morfologi termasuk kedalam spesies S.officinarum sedangkan aksesi Gelagah (Gelagah Tanjung Jati, Sunggal dan Medan Helvetia) termasuk ke dalam spesies S.spontaneum.S.officinarummenunjukkan karakteristik morfologi batang yang lebih besar diameter 2,5-5 cmdenganketinggian 2-4 m atau lebih. Umumnya ruasnya mempunyai jarak dengan interval 15-25 cm dan akan menjadi lebih rapat pada bagian atas batang (arah pucuk). Warna dan kekerasan batang tergantung pada varietas. Kulit batang tertutup lilin (epidermis) yang dikelilingi suatu massa dari jaringan lunak (parenkim) yang diselingi dengan serat (vaskuler bundle), berbentuk lonjoran dengan kadar sukrosa yang lebih tinggi (lebih manis), sedangkan S.spontaneummenunjukkan karakter morfologi dengan bentuk pertumbuhan yang sangat vigor, tahan terhadap penyakit, batangnyaramping (kecil), keras, sering ditemuka n denganpusat yang berongga dan akumulasi sukrosa rendah.Warna batangnyahijaupucatketika muda, dengan bertambahnya usia, warna menjadiputih

ataukekuningan, danbiasanyaditutupi dengan lilinyang

tebal.Ruasbatangbiasanyapanjang dan permukaantidak memilikiretakantumbuh.

Buku biasanyalebih tebal dariruas.

Batangtumbuhdarirumpunataustolon,denganpembentukan anakanrhizomatous yang aktif. Tanaman ini mempunyai perbungaan dengan malai yang kecil.S.spontaneum adalah spesies yang adaptif dan dan tumbuh pada berbagai habitat dan ketinggian tempat yang berbeda di daerah tropis sampai beriklim sedang(James, 2004;Australian Goverment, 2011).

Berdasarkan analisis dendogram, kultivar Gelagah terdapat pada kelompok yang sama dengan kultivar yang secara morfologi termasuk spesies S.officinarum. Hal ini mengindikasikan kemungkinan kultivar Gelagah yang secara morfologi termasuk spesies S.spontaneum merupakan hasil persilangan antara S.spontaneum

dan S. officinarum sehingga secara genetik masih memiliki kemiripan atau

sebaliknya kultivar lokal (termasuk S. officinarum) tersebut kemungkinan merupakan hasil persilangan antara S. officinarum dengan S. spontaneum. Menurut Sundara (2000), tebu merupakanintrogresi dari beberapa genera yang berbagi karakteristik umum dan membentuk kelompok interbriding tertutup yang saling terkait. Disamping itu penanaman yang berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama dapat menimbukan perubahan genetik yang disebabkan oleh mutasi dan adaptasi lingkungan.

Analisis faktorial

Hubungan diantara 30 aksesi Saccharum spp. juga dijelaskan melalui analisis faktorial (Principal Coordinate Analysis (PCoA)). Secara molekuler kelompok yang berbeda pada aksis 1 dan 2 menunjukkan inersia sebesar 35,38%. Nilai ini mengindikasikan secara molekuler hubungan genotipe antar aksesi Saccharum spp. memiliki kesamaan genetik sebesar 64,62%. Ketigapuluh aksesi tampak menyebar pada kuadran yang berbeda tetapi cenderung mengelompok yang mengindikasikan keragaman genetik tingkat moderat.

Penelitian ini memudahkan penggunaan RAPD-PCR untuk pemuliaan tebu di Sumatera Utara. Penelitian mengidentifikasi primer yang menghasilkan polimorphisme yang tinggi diantara plasma nutfah Saccharum spp.(S. officinarum

dan S.spontaneum). Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Huckett dan Botha

(1995) bahwa beberapa pita RAPD diwariskan pada famili tebu, menunjukkan bahwa pita RAPD bisa berhasil digunakan sebagai penanda genetik.

Disamping itu mengingatketerbatasansumber daya genetik dalam upaya melestarikankoleksi plasma nutfahlokal, studi ini menunjukkanpendekatanuntuk mengidentifikasi danmempertahankanklonyang beragam. Dari pola pengelompokan dan hubungan genetik, pemulia dapat mengidentifikasi keragaman kultivar dari klaster yang berbeda dan menggunakannya dalam program penelitian mendatang untuk seleksi tetua guna pemetaan populasi.