Analisis kuantitatif berkaitan dengan penetapan berapa banyak suatu zat yang terkandung dalam suatu sampel (Day dan Underwood 2002). Zat yang ditetapkan tersebut, yang seringkali dinyatakan sebagai konstituen atau analit, menyusun sebagian kecil atau sebagian besar sampel yang dianalisis.
Jika zat yang dianalisa (analit) tersebut menyusun lebih dari 1 % dari sampel, maka analit ini dianggap sebagai konstituen utama. Namun jika jumlahnya berkisar antara 0.01 hingga 1 % dari sampel, maka zat itu dianggap sebagai konstituen minor. Jika zat yang terkandung di dalamnya kurang dari 0.01 % dianggap sebagai konstituen perunut (trace).
Prosedur analisis kuantitatif benzoat didahului dengan persiapan sampel yang prosedurnya sedikit berbeda untuk tiap sampel. Tetapi, secara umum sampel dihomogenkan terlebih dahulu, kemudian dijenuhkan dengan penambahan NaCl powder. Sampel dibuat menjadi basa dengan penambahan NaOH 10 % agar benzoat yang terdapat dalam sampel berubah menjadi bentuk garamnya sehingga semakin larut dalam fase air dan dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi benzoat. Penambahan NaOH juga bertujuan untuk mengendapkan komponen pangan yang lain seperti protein dan lipida sehingga komponen tersebut tidak masuk ke dalam filtrat. Selanjutnya sampel
diencerkan dengan larutan NaCl jenuh. Kemudian sampel didiamkan selama + 2 jam, sambil sesekali dikocok. Setelah didiamkan, sampel disaring untuk menghilangkan bagian padatan, namun asam benzoat tertinggal dalam larutan (filtrat) (Aurand et al. 1987).
Filtrat hasil penyaringan diasamkan dengan HCl (1+3), setelah itu diekstraksi dengan menggunakan kloroform berkali-berkali dengan volume kloroform berturut-turut adalah 70 ml, 50 ml, 40 ml, dan 30 ml. Ekstraksi yang berulang-ulang dengan volume ekstraktan yang lebih kecil dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi sehingga jumlah analit yang terekstrak akan semakin besar (Jacobs et al. 1974). Kloroform walaupun tidak sebaik pelarut eter, dipilih karena beberapa alasan yaitu melarutkan hanya senyawa traces dan substansi pengganggu lain, nonflammable (tidak mudah terbakar), lebih berat daripada air (ρ = 1.48 g/ml) sehingga akan berada pada lapisan bawah dan karena itu mudah dikeluarkan melalui corong labu pemisah (Aurand et al. 1987).
Menurut prosedur AOAC tahun 1999, ekstrak kloroform yang terkumpul kemudian didistilasi pada suhu rendah sampai volume ekstrak seperempat dari volume semula. Namun pada penelitian ini, ekstrak kloroform diuapkan pelarutnya dengan menggunakan rotary vacuum evaporator (rotavapor), pada suhu rendah + 40oC, sampai tertinggal sedikit cairan. Cairan tersebut dipindahkan ke gelas piala. Labu rotavapor harus dibilas beberapa kali dengan kloroform untuk menghindari hilangnya asam benzoat. Cairan bilasan tersebut disatukan dengan cairan hasil rotavapor, kemudian diuapkan pada suhu kamar sampai tertinggal beberapa tetes cairan. Residu tersebut kemudian dikeringkan semalaman dalam desikator yang mengandung H2SO4
pekat. Residu asam benzoat kemudian dilarutkan dengan alkohol (etanol).
Menurut Jacobs et al. (1974), alkohol adalah pelarut yang larut air karena bisa bertindak sebagai donor dan akseptor dalam pembentukan ikatan hidrogen.
Etanol adalah pelarut yang paling penting karena bisa melarutkan baik senyawa polar ataupun non polar dan asam benzoat sangat larut dalam alkohol (WHO 2000). Larutan tersebut kemudian ditambah air dan indikator
phenolphtalein (pp). Tahap selanjutnya adalah titrasi dengan menggunakan NaOH 0.05 N.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri yaitu titrasi asam basa atau titrasi penetralan. Titrimetri adalah suatu jenis volumetri. Dalam titrimetri, analat direaksikan dengan suatu bahan lain yang diketahui atau dapat diketahui jumlah molnya dengan tepat (Harjadi 1990).
Analisis dengan metode titrimetrik didasarkan pada reaksi sebagai berikut (Day dan Underwood 2002):
αA + t T produk
dimana α molekul analit, A, bereaksi dengan t molekul pereaksi, T.
Pereaksi T, yang disebut titran, ditambahkan secara kontinu, biasanya dari sebuah buret, dalam wujud larutan yang konsentrasinya diketahui. Larutan ini disebut larutan standar, dan konsentrasinya ditentukan dengan sebuah proses yang dinamakan standardisasi.
Penambahan dari titran tetap dilakukan sampai jumlah T secara kimiawi sama dengan yang telah ditambahkan kepada A. Selanjutnya akan dikatakan titik ekivalen dari titrasi telah tercapai. Agar diketahui kapan harus berhenti menambahkan titran, digunakan indikator, yang bereaksi terhadap kehadiran titran yang berlebih dengan melakukan perubahan warna.
Perubahan warna ini bisa saja terjadi persis pada titik akhir ekivalen, tetapi bisa juga tidak. Titik dalam titrasi dimana indikator berubah warnanya disebut titik akhir. Diharapkan titik akhir ini sedekat mungkin dengan titik ekivalen.
Terdapat beberapa syarat reaksi untuk reaksi titrasi, yaitu reaksi harus berlangsung sempurna, cepat sehingga titrasi dapat diselesaikan dalam beberapa menit dan ada penunjuk akhir titrasi (indikator) (Harjadi 1990).
NaOH yang digunakan sebagai titran dalam analisis ini harus distandarisasi terlebih dahulu. Dalam penyimpanannya, NaOH mengalami perubahan antara lain karena ia bersifat higroskopis sehingga menarik uap air dari udara, dan juga mudah bereaksi dengan CO2 dalam udara. Hal ini menyebabkan konsentrasi NaOH berubah dan sukar untuk diketahui konsentrasinya dengan pasti.
Telah dijelaskan di atas bahwa standardisasi adalah proses dimana konsentrasi larutan ditentukan secara akurat. Umumnya larutan distandarisasi dengan titrasi, di mana larutan tersebut bereaksi dengan sejumlah standar primer yang telah ditimbang. Standar primer harus mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) harus tersedia dalam bentuk murni, (2) harus stabil, mudah dikeringkan dan tidak terlalu higroskopis sehingga tidak banyak menyerap air selama penimbangan, (3) memiliki berat ekivalen yang tinggi agar dapat meminimalkan galat pada saat penimbangan (Day dan Underwood 2002).
Untuk titrasi asam basa, biasanya disiapkan larutan asam dan basa dari konsentrasi yang kira-kira diinginkan dan kemudian menstandardisasikan salah satunya dengan sebuah standar primer. Larutan yang telah distandardisasi dapat dipergunakan sebagai standar sekunder untuk mendapatkan konsentrasi dari larutan lainnya. Standar primer yang dipergunakan secara luas untuk larutan basa terdiri dari kalium hidrogen ftalat, KHC8H4O4 (KHP), asam sulfamat, HSO3NH2, dan kalium hidrogen iodat, KH(IO3)2. Natrium karbonat, Na2CO3, dan tris (hidroksimetil)aminometana, (CH2OH2)3CNH2, dikenal sebagai TRIS atau THAM, secara umum adalah standar primer untuk asam kuat. Dalam percobaan ini, digunakan standar primer KHP untuk menstandardisasi NaOH.
Indikator yang digunakan pada saat titrasi adalah indikator pp.
Indikator ini memiliki rentang pH 8.0-9.6, dan perubahan warna yang terjadi dengan meningkatnya pH yaitu dari tidak berwarna ke merah. Untuk titrasi asam lemah, fenolftalein berubah warna di sekitar titik ekivalen dan merupakan indikator yang sesuai.
Prinsip dari analisis kuantitatif natrium benzoat secara titrimetri dapat dijelaskan sebagai berikut. Natrium benzoat dalam contoh bebas lemak diubah menjadi asam benzoat oleh suatu asam sehingga dapat larut dalam pelarut organik non polar dengan proses ekstraksi. Selanjutnya melalui proses destilasi dan penguapan pelarut dapat diperoleh asam benzoat yang junlahnya dapat diketahui dengan titrasi asam basa. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 5.
O ONa O OH
+ HCl + NaCl
O OH O ONa
+ NaOH + H2O
Gambar 5. Prinsip Analisis Kuantitatif Natrium Benzoat dengan Titrimetri (Rohman dan Sumantri 2007)