• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Dalam dokumen HALAMAN JUDUL SKRIPSI (Halaman 28-38)

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Kajian Pustaka

1.4.2 Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU P-KS merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan sebagai korban dari kejahatan seksual. 1.4.2.1 Pro RUU P-KS

Komnas Perempuan dalam penanganannya menemukan kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak tuntas di ranah hukum. Penyelesaian seringkali dilakukan pada upaya perdamaian di luar proses peradilan. Sementara temuan di lapangan, banyak perempuan yang mengalami traumatik dan seringkali ada kainginan untuk mengakhiri hidup. Hal tersebut penting bagi para pelaku agar diberi hukuman sebagaimana perbuatannya. Sehingga tidak ada lagi pelaku yang setelah proses perdamaian bisa melakukan kekerasan seksual kepada orang lain, karena tidak ada efek jera dalam diri pelaku.

Perempuan sebagai korban, secara yuridis (hukum) terhambat karena aspek substansi, struktur, dan budaya hukum.15 Dalam substansi hukum, korban tidak bisa mengadu karena konteks kekerasan seksual tidak ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 21 Tahun 2007. Karena kekerasan seksual tidak semata pada perkosaan ataupun percabulan, tetapi meliputi juga jenis lain seperti pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

Struktur hukum di Indonesia mulai membuat unit dan prosedur khusus menangani kekerasan terhadap perempuan. Namun, unit dan prosedur ini belum

tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas maupun perspektif penanganan korban yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih belum optimal menjalankan kewajibannya untuk melindungi perempuan korban.

Di budaya hukum, masih didapati aparatur penegak hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Sikap itu tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, dan cenderung ikut menyalahkan korban. Aparatur hukum seringkali mengaitkan model pakaian, lokasi, waktu dan dengan siapa dengan norma sosial. Bahwa, perempuan baiknya tidak keluar malam, dengan pakaian seksi, dan bersama pacar. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan ketiadaan perspektif korban, tetapi juga merupakan bentuk menghakimi korban dan membuat korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).

Adanya RUU ini diharapkan sebagai pembaruan hukum atas solusi kekerasaan seksual, yang memiliki tujuan, sebagai berikut.16

a. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual, b. Mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan,

perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban, agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas,

c. Memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual,

d. Menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

Apabila negara menyetujui RUU P-KS maka hal tersebut berdampak positif terhadap perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang.

1.4.2.2 Kontra RUU P-KS

Konstruksi sosial budaya masyarakat yang patriarkis menyebabkan orang yang paling sering menjadi korban kekerasan seksual bukan saja perempuan dewasa, tetapi juga perempuan dalam usia anak.17 Konsep patriarki lahir di Amerika Serikat oleh Betty Friedan (1963) dengan sebuah Gerakan The Feminine Mystique. 18 Penyulut dan gerakan gender ini pada mulanya mengangkat isu sosial. Hal itu berdampak luas hingga menghasilkan perundang-undangan ‘Equal Pay Right’ (1963), sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Setahun kemudian, muncul ‘Equal Pay Act’ (1964), dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.

Gender dibangun atas keprihatinan terhadap masalah sosial, terutama masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi rendah, suatu hal yang tidak terjadi pada masyarakat muslim. Karena Islam menempatkan perempuan dan kaum ibu pada posisi yang terhormat.19 Konsep gender yang diusung kaum feminis bukan

17 Ibid., hal. 1.

18 Mohammad Muslih, Op.Cit., hal. 14. 19 Ibid., hal. 15.

saja ditolak oleh Islam, akan tetapi oleh organisasi-organisasi agama juga kurang menerima. Hal tersebut terjadi sejak “Women’s liberation” (1967) di Amerika. Mereka mengusulkan pembebasan perempuan dari agama dan moralitasnya yang dianggap sebagai kaku dan buah dari ‘agama patriarki’ atau ‘agama kaum laki-laki.’ Sejarah tersebut menguatkan tim AILA untuk menolak atau kontra terhadap RUU P-KS. Kelahiran AILA Indonesia melakukan kritik terhadap konsep yang dinilai tidak sesuai dengan norma budaya dan agama yang diyakini masyarakat Indonesia. Kerja pemikiran tersebut merupakan bagian dari program AILA Indonesia selain dari melakukan edukasi dan advokasi produk perundangan yang terkait dengan perempuan, anak, dan keluarga.20

AILA Indonesia menilai ada sejumlah isu strategis yang harus dikritisi lebih lanjut dari RUU P-KS21, di antaranya sebagai berikut.

1. Mengubah judul Rancangan Undang-Undang Penghapusan “Kekerasan Seksual” menjadi “Kejahatan Kesusilaan” agar selaras dengan KUHP dan RUU KUHP. Kata “kejahatan seksual” sudah menjadi delik yang dikenal dalam konsep hukum pidana di Indonesia, sehingga tidak akan menimbulkan kerancuan pada tataran konsep dan pelaksanaan.

2. Definisi Kekerasan Seksual dalam RUU P-KS menggaris bawahi relasi gender dan relasi kuasa sebagai penyebab dari kekersan seksual. Padahal akar permasalahan dari masalah kejahatan seksual adalah hilangnya peran keluarga sebagai unit perlindungan terkecil dalam masyarakat.

20 Dinar Dewi Kania, Op.Cit., hal. vii.

21 AILA Indonesia, Isu-Isu Strategis Usulan Perubahan Ruu Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU

3. Materi hukum RUU P-KS tidak sejalan dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Tidak searah juga dengan sistem hukum nasional Indonesia dan sistem hukum pidana nasional Indonesia. Selain itu, RUU P-KS berpotensi untuk mengacaukan tautan norma hukum dalam sistem nilai, sistem asas-asas hukum, dan sistem norma hukum Indonesia.

Alasan tersebut di atas yang membuat RUU P-KS layak untuk ditolak. Sehingga pihak pro yang diprakarsai oleh Komnas Perempuan dan yang kontra dari AILA Indonesia. Dari dua kubu tersebut, penelitian ini bertujuan melihat bagaimana bingkai berita dari Hidayatullah.com. Sebab media Hidyatullah.com diasumsikan sebagai media yang kontra terhadap pengesahan RUU P-KS.

1.4.3 Komunikasi Massa

Media sesungguhnya berada di tengah realistas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam.22 Antonio Gramsci menyebut media sebagai arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingna kelas dominan, sekaligus juga menjadi instrument perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Pesan-pesan ideologi dari media massa merupakan bagian dari bagaimana media meneruskan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.

Ada beberapa elemen dalam komunikasi massa, antara lain komunikator, isi, audience (komunikan), umpan balik, gangguan (saluran dan semantik), gatekeeper, pengatur, filter, dan efek media.23

1. Komunikator

Komunikator dalam media massa merupakan kumpulan orang yang bekerja sama satu sama lain atau disebut juga organisasi media. Komunikator tersebut bersifat mencari keuntungan, karena alasan tersebutlah menjadi dasar pembentukan organisasi. Karena adanya media massa selain menyiarkan informasi, juga membutuhkan pemasukan bagi kelangsungan hidup organisasi/lembaga itu sendiri. Dengan demikian, organisasi ini selain berusaha mendapatkan keuntungan, susunannya begitu kompleks dengan banyaknya unsur yang ada. Sehingga wajar jika berita yang disajikan oleh organisasi media mengikuti bagaimana permintaan dari iklan yang masuk ke media tersebut. Karena pemasukan tersebut juga bisa melalui iklan.

2. Isi

Isi, setidaknya dibagi ke dalam lima kategori (Ray Eldon Hiebert, dkk 1985)24, yakni; 1) berita dan informasi, 2) analisis dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4) hubungan masyarakat dan persuasi, 5) iklan dan bentuk penjualan lain, dan 6) hiburan. Berita dan informasi merupakan hal pokok yang harus dimiliki oleh media massa. Selain itu, media massa tidak sekadar memberitakan, tetapi juga mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian. Ketika media massa dengan informasi dan analisisnya memberikan ilmu pengetahuan pada masyarakat, secara tidak langsung media sedang memfungsikan dirinya sebagai seorang pendidik.

23 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 95. 24 Ibid., hal. 101.

3. Audience

Audience (komunikan), menurut Hiebert dan kawan-kawan, audience dalam komunikasi massa mempunyai lima karakter.25 Pertama, audience cenderung memilih media berdasarkan seleksi kesadaran. Kedua, audience yang besar karena berdasarkan jangkauan media. Ketiga, audience cenderung heterogen yang berasal dari berbagai lapisan dan kategori sosial. Keempat, audience cenderung anonym, yakni tidak mengenal satu sama lain terhadap berita yang di tonton. Kelima, audience secara fisik dipisahkan dari komunikator yang bisa dilihat dari wilayah atau tempat audience menikmati sajian media.

4. Umpan Balik

Umpan balik merupakan bahan yang direfleksikan kepada sumber/komunikan setelah dipertimbangkan dalam waktu tertentu sebelum dikirimkan. Ada dua jenis umpan balik (feedback) dalam komunikasi, yakni umpan balik langsung dan tidak langsung. Dalam komunikasi massa lebih sering menggunakan umpan balik tidak langsung. Artinya, antara komunikator dengan komunikan dalam komunikasi massa tidak terjadi kontak langsung yang memungkinkan mereka mengadakan reaksi langsung satu sama lain.26 Contoh adnaya kolom/rubrik surat pembaca/pembaca menulis. Dalam rubrik tersebut, pembaca memberikan koreksi atas berita atau gambar yang ditampilkan, sekaligus bisa mengkritik media atau orang lain yang dijadikan objek berita.

5. Gangguan

Bentuk gangguan yang terjadi dalam komunikasi massa adalah gangguan saluran dan gangguan semantik. Gangguan saluran berkaitan dengan jaringan

25 Ibid., hal. 105. 26 Ibid., hal. 109.

satelit, internet, dan peralatan mesin lainnya. Gangguan yang berhubungan dengan saluran mungkin ada di mana-mana dan menjadi penghambat dalam komunikasi massa, tetapi tidak dengan gangguan semantik (kata). Semantik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tentang tata kalimat. Oleh karena itu, gangguan semantik berarti gangguan yang berhubungan dengan bahasa. Gangguan semantik lebih rumit, kompleks, dan sering kali muncul yang tentu saja ditimbulkan oleh pengirim atau penerima pesan.

6. Gatekeeper dan Pengatur

Secara umum, peran gatekeeper sering dihubungkan dengan berita, khususnya surat kabar, yang dimainkan oleh editor. Editor menentukan apa yang dibutuhkan khalayak atau sedikitnya menyediakan bahan bacaan untuk pembaca. Tugas gatekeeper adalah bagaimana dengan seleksi berita yang dilakukan pembaca menjadi tertarik dan enak membacanya.27

Gatekeeper mempunyai efek potensial di dalam proses komunikasi massa, khususnya jika media yang seharusnya milik masyarakat di kontrol dan dikendalikan oleh kekuatan “elite minoritas” dengan melarang hak publik untuk mengetahui.28 Misalnya, elite minoritas itu adalah pemilik modal yang ada kalanya ikut mempengaruhi kerja gatekeeper. Pemilik modal berharap apa yang disiarkan sesuai dengan kebijakannya.

Gatekeeper tidak sama dengan pengatur. Wilayah gatekeeper di dalam media mempengaruhi secara langsung kebijakan media. Sementara, pengatur itu diluar media, biasanya masyarakat atau pemerintah, tetapi secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebijakan media. Pengatur tersebut antara lain pengadilan,

27 Ibid., hal. 120. 28 Ibid., hal. 125.

pemerintah, konsumen, organisasi professional, dan kelompok penekan, termasuk narasumber, dan pengiklan.29 Pengatur secara tidak langsung bisa mempengaruhi arus informasi dalam media massa. Bagaimana format acara yang disajikan, iklan apa saja yang boleh disiarkan, siapa yang dijadikan pemain, dan sebagainya dapat diatur, terutama oleh pemilik iklan.

7. Filter

Filter dibagi menjadi tiga jenis; 1) filter psikologis, 2) filter fisik, dan 3) filter budaya (warisan budaya, pendidikan, pengalaman kerja, sejarah politik). Semua filter tersebut akan mempengaruhi kuantitas atau kualitas pesan yang diterima dan respon yang dihasilkan. Sementara itu, audience memiliki perbedaan filter satu sama lain. 30

8. Efek Media

Keith R Stamm dan John E. Bowes membagi dua bagian dasar dari efek komunikasi massa. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih).31 John R. Bittner menyebut bahwa fokus utama efek adalah tidak hanya bagaimana media mempengaruhi audience, tetapi juga bagaimana audience mereaksi pesan-pesan media yang samapai pada dirinya.

29 Ibid., hal. 130. 30 Ibid., hal. 136. 31 Ibid., hal. 207.

1.4.4 Media Baru

McQuail membuat pengelompokkan empat kategori media baru. Pertama, media komunikasi interpersonal yang terdiri dari telepon, handphone, e-mail. Kedua, media bermain interaktif seperti computer, videogame, permainan dalam internet. Ketiga, media pencarian informasi yang berupa portal/search engine. Keempat, media partisipasi kolektif seperti penggunaan internet untuk berbagi dan pertukaran informasi, pendapat, pengalaman dan menjalin hubungan melalui komputer dimana penggunaannya tidak semata-mata untuk alat namun juga dapat menimbulkan afeksi dan emosional.32

Munculnya media baru (new media) lebih menekankan pada penyebaran informasi yang lebih luas dibandingkan media lama yang terbatas pada wilayah dengan menggunakan sebuah perangkat. Ward mengatakan bahwa teori media baru selama ini lebih melihat media pada keberadaan dan pengaruh media sementara proses ‘informatisasi’ belum banyak disentuh. Padahal dari proses ‘informatisasi’ dari media baru bisa dijadikan sumber informasi yang sangat massif hingga yang sangat personal.33

Media baru menurut Ganley, memungkinkan individu memainkan peranan yang lebih aktif sebagai warga negara sekaligus sebagai konsumen karena media baru meningkatkan akses dari warga negara yang biasa menjadi lebih terinformasi secara politis yang memungkinkan peningkatan demokrasi. Sisi negatifnya, tidak menutup kemungkinan adanya kesenjangan pengetahuan antara orang yang mempunyai informasi dengan yang tidak mempunyai informasi.

32 Novi Kurnia, Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Media Baru: Implikasi terhadap Teori

Komunikasi (Bandung: Mediator Universitas Islam Bandung, 2005), hal. 293.

Dalam dokumen HALAMAN JUDUL SKRIPSI (Halaman 28-38)

Dokumen terkait