• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN

B. Prodiakon Paroki

Prodiakon adalah petugas ibadat yang membantu Pastor Paroki melayani penerimaan komuni umat dan memimpin ibadat di Paroki (Martasudjita, 2010: 9). Prodiakon diartikan sebagai petugas liturgi yang melaksanakan beberapa tugas diakon, antara lain membantu imam dalam Perayaan Ekaristi (menyiapkan bahan persembahan dan melayani komuni) (Sugiyana, 2006: 30). Nilai luhur yang harus disadari oleh seorang prodiakon adalah mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah dengan menghadirkan Kristus di dalam sabda, komuni dan pelayanan yang murah hati (Sugiyana, 2006: 31). Prodiakon adalah orang pilihan umat yang kemudian diangkat oleh uskup atau orang lain yang diberi mandat oleh uskup untuk masa bakti tertentu (umumnya selama 3 tahun) dan lingkup tugasnya di Paroki (Sugiyana, 2006: 39).

Istilah prodiakon biasa digunakan di beberapa Keuskupan, misalnya saja Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Jakarta dan Keuskupan Bandung. Berbeda dengan Keuskupan Purwokerto maupun Keuskupan Surabaya, biasa menyebut

10).

1. Sejarah Prodiakon Paroki

Istilah prodiakon khususnya digunakan pertama kali di Keuskupan Agung Semarang pada tahun 1985 oleh Mgr. J. Darmaatmadja, SJ (Uskup Agung Semarang) (Martasudjita, 2010: 10). Sejarah prodiakon berawal dari situasi dan keadaan Gereja KAS (Keuskupan Agung Semarang) tahun 1966 ketika umat beriman Katolik mengalami pertambahan yang sangat signifikan. Pertambahan ini disebabkan karena banyak warga negara Indonesia yang memilih agama Katolik agar tidak dianggap komunis oleh Gerakan 30 September.

Mengingat jumlah umat Katolik bertambah banyak sedangkan jumlah imam kurang memadai, maka banyak umat kurang terlayani sebagaimana mestinya. Hal ini mengakibatkan penggembalaan dan pelayanan umat Katolik tidak dapat dilakukan secara optimal ataupun secara maksimal. Imam mengalami kesulitan dalam melayani umat, khususnya dalam membagikan komuni. Berdasarkan situasi seperti ini, Kardinal Darmajuwana, Pr (Uskup Agung KAS saat itu) menyampaikan permohonan ke Vatikan untuk menunjuk kaum awam yang dinilai pantas untuk membantu tugas Imam, khususnya dalam membagikan komuni. Vatikan memberikan izin selama jangka waktu satu tahun. Kaum awam yang ditunjuk ini diberi nama diakon awam. Tugas pokok diakon awam adalah membantu imam untuk membagikan komuni. Kehadiran diakon awam dirasa sangat membantu kehidupan umat Katolik dalam kegiatan liturgi dan peribadatan (Prasetya, 2007: 32-33). Meskipun demikian, ada beberapa masalah yang muncul terutama karena umat tidak merasa puas kalau menerima komuni dari diakon awam. Sebutan diakon awam ini juga merupakan sebutan yang aneh dan kontradiktif.

Istilah diakon biasanya digunakan untuk seseorang yang telah ditahbiskan dan masuk ke dalam kelompok klerus atau hierarki (Martasudjita, 2010: 11).

Pada tahun 1983, Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr (Vikaris Kapitularis KAS saat itu) mengganti istilah diakon awam menjadi diakon paroki. Diakon paroki ini menunjuk bahwa diakon paroki bukanlah diakon tertahbis, karena diakon paroki melakukan tugasnya hanya sementara dan tempat tertentu. Tugas pokok diakon Paroki kurang lebih sama dengan diakon awam. Sedangkan tugas-tugas lain seperti memimpin Ibadat Sabda, memimpin upacara perkawinan, memberkati pertunangan dan memberkati rumah merupakan tugas yang diberikan Pastor Paroki (Prasetya, 2007: 35).

Barulah pada tahun 1985, istilah prodiakon paroki dipopulerkan oleh Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ melalui Pastor I. Wignyasumarta, MSF (Sekretaris KAS) (Prasetya, 2007: 35). Setidaknya istilah prodiakon ini tidak menimbulkan problematik seperti istilah diakon awam maupun diakon paroki. Penggunaan kata pro memang sudah lazim dalam tata organisasi maupun pelayanan Gereja. Hingga saat ini, istilah prodiakon paroki dapat diterima cukup luas di berbagai wilayah Gereja di Indonesia (Martasudjita, 2010: 11).

2. Tugas Prodiakon Paroki

Prodiakon adalah kaum awam yang turut serta dalam tugas pelayanan sabda. Prodiakon hanya dapat melakukan tugas-tugasnya sejauh menyangkut pelayanan umat beriman Katolik di Paroki tempat ia ditugaskan, dan sejauh masih berdomisili di Paroki tersebut dengan jangka waktu tertentu (Prasetya, 2007: 38).

Tugas-tugas prodiakon paroki telah ditentukan sesuai dengan Surat Keputusan Uskup atau surat tugas prodiakon. Secara umum, tugas prodiakon adalah membagikan komuni suci dan melaksanakan tugas yang diberikan oleh pastor paroki (Martasudjita, 2010: 22). Tugas-tugas prodiakon paroki yang ditentukan oleh KAS berkaitan erat

(Prasetya, 2007: 40). Prodiakon diharapkan tidak bertindak semaunya sendiri dan tetap menjaga komunikasi dengan pastor paroki serta memperhatikan perkembangan yang ada di paroki (Prasetya, 2007: 40).

Tugas resmi prodiakon adalah membantu imam untuk membagikan komuni Suci. Prodiakon dapat memberikan komuni saat dalam Perayaan Ekaristi maupun di luar Perayaan Ekaristi, entah dalam suatu Ibadat Sabda, Perayaan Sabda Hari Minggu, atau mengirm komuni kepada orang sakit dan di penjara (Martasudjita, 2010: 21). Peranan prodiakon untuk mengirim komuni kepada orang sakit maupun orang yang ada dalam penjara sangatlah berarti untuk mewujudkan pelayanan dalam Gereja (Sugiyana, 2006: 34). Ada baiknya jika sebelum menerima komuni, prodiakon mengajak umat (orang yang sedang sakit maupun di dalam penjara) untuk berdoa atau ibadat singkat untuk menyiapkan diri menyambut kehadiran Kristus (Sugiyana, 2006: 34).

Sedangkan untuk tugas yang diberikan oleh Pastor Paroki secara langsung kepada prodiakon, misalnya memimpin Ibadat Sabda, memberikan homili, memimpin upacara pemakaman, serta memimpin doa di lingkungan (untuk berbagai ujud atau keperluan di lingkungan). Prodiakon yang bertugas untuk memimpin ibadat sabda, hendaknya mempersiapkan diri terlebih dahulu, agar jalannya ibadat sabda dapat berjalan lancar. Prodiakon dapat mempersiapkan doa, bacaan, renungan/homili, tata ibadat. Saat sedang melaksanakan tugas, sebaiknya prodiakon mengenakan pakaian liturgis (alba/singel/jubah dan samir) (Sugiyana, 2006: 34). Bacaan maupun renungan/homili yang disiapkan hendaknya sesuai dengan penanggalan liturgi, ujub doa yang ada di lingkungan/wilayah/paroki, maupun dengan situasi dan kondisi umat (Sugiyana, 2006: 35). Renungan/homili yang sudah disiapkan sebelumnya atau tidak spontan akan jauh lebih baik dan isinya lebih berbobot (Sugiyana, 2006: 35). Saat menyampaikan homili, prodiakon diharapkannya menyampaikannya dengan jelas dan

bahasa yang mudah dimengerti (Sugiyana, 2006: 35). Tidak semua prodiakon mempunyai kesempatan untuk memberikan homili, khususnya dalam Perayaan Ekaristi hari Minggu. Kemungkinan ada yang menilai bahwa tidak semua prodiakon mampu berhomili dengan baik. Diharapkan prodiakon dan Pastor Paroki dapat membuat kesepakatan akan tugas-tugas agar tidak terjadi salah paham antar keduanya, seperti halnya, ketika prodiakon ingin mengirim komuni untuk orang sakit sehingga Pastor Paroki dapat menilai orang sakit tersebut pantas atau tidak untuk menerima komuni (Prasetya, 2007: 41-42). Prodiakon tidak bisa mengambil keputusan sendiri tanpa terlebih dahulu berkomunikasi dengan Pastor Paroki dengan memperhatikan kebijakan pastoral paroki dan dinamika kehidupan paroki (Prasetya, 2007: 40).

3. Syarat Prodiakon Paroki

Bertugas sebagai seorang prodiakon adalah sebuah panggilan, yakni panggilan dari Tuhan. Prodiakon menanggapi panggilan dari Tuhan dengan melaksanakan tugas pelayanan kepada umat (Martasudjita, 2010: 19). Tuhan memanggil prodiakon dengan cara yang manusiawi. Prodiakon dipilih oleh umat dari ribuan umat, kemudian diusulkan Pastor Paroki kepada Uskup dan akhirnya diangkat oleh Uskup (Martasudjita, 2010: 19). Tidak semua kaum awam dapat menjadi prodiakon. Menjadi seorang prodiakon tentunya juga diberlakukan syarat-syarat yang menunjang kualitas prodiakon. Hidup yang berkualitas bagi prodiakon tentunya sangat menunjang tugasnya dalam melaksanakan pelayanan di tengah umat. Harapan bagi prodiakon tersebut, tentunya tidak membatasi kaum awam untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah. . Prodiakon diharapkan mampu menjadi teladan bagi umat, karena prodiakon selalu tampil sebagai pemimpin dalam aneka kegiatan, khususnya dalam kegiatan liturgi dan peribadatan (Prasetya, 2007: 44). Prodiakon memberikan homili dan ternyata homili tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada dirinya atau

oleh umat karena hidup prodiakon dan keluarga tidak sesuai dengan isi homili (Prasetya, 2007: 45). Demi menjamin kualitas hidup prodiakon, ditentukan tiga syarat pokok utama yang harus dipenuhi oleh siapa pun jika ingin menjadi prodiakon, antara lain: memiliki nama baik sebagai pribadi dan keluarganya, diterima oleh umat setempat, memiliki penampilan layak.

a. Memiliki nama baik sebagai pribadi dan keluarga

Seorang prodiakon harus memiliki nama baik dalam perilaku, hidup iman (iman yang matang), dan hidup moralnya. Nama baik ini tidak berlaku bagi dirinya sendiri, tetapi juga berlaku bagi seluruh anggota keluarganya (Prasetya, 2007: 46). Jikalau prodiakon tersebut adalah seorang bapak, maka ia harus menjadi bapak yang baik bagi keluarganya, jika ia seorang ibu maka ia juga harus menjadi ibu yang baik bagi suami dan anak-anaknya. Dan jikalau prodiakon tersebut belum berkeluarga, maka ia harus menjaga perilakunya dan hidup imannya dalam hidup sehari-hari (Martasudjita, 2010: 19). Jika kehidupan keluarganya ada kesulitan dan menjadi batu sandungan bagi umatnya, maka ia diharapkan mempunyai sikap rendah hati dengan mengundurkan diri atau sekurang-kurangnya nonaktif terlebih dahulu. Pastor Paroki dan pemuka umat dapat memberikan saran tersebut untuk prodiakon (Martasudjita, 2010: 19).

b. Diterima oleh umat setempat

Prodiakon paroki haruslah pribadi yang dapat diterima oleh umat setempat atau lingkungan tempat ia tinggal dan oleh masyarakat sekitar (Prasetya, 2007: 47). Keberadaan prodiakon tidak dijauhi atau ditolak oleh umat, tetapi keberadaan prodiakon dapat membawa hal yang positif bagi umat, seperti halnya: menyatukan umat, menyemangati umat, memotivasi umat (Prasetya, 2007: 47).

Ada kemungkinan bahwa seseorang yang memiliki nama baik, tetapi tidak diterima oleh umat untuk menjadi prodiakon. “Diterima oleh umat menunjuk makna macam-macam.” Umat memiliki kriteria masing-masing untuk memilih pemimpinnya. Ada yang memilih karena mempunyai dedikasi dan intelegensi yang tinggi. Ada pula orang yang diterima karena memiliki watak dan kepribadian yang dianggap baik. Apapun kriteria yang dimiliki oleh umat, yang terpenting adalah mereka dapat memilih calon prodiakon yang dapat memimpin mereka dan semakin mendekatkan hubungan umat dengan Allah (Martasudjita, 2010: 20).

Oleh karena itu, pemilihan prodiakon harus dilakukan oleh seluruh umat di lingkungan calon prodiakon. Umatlah yang lebih mengerti dan memahami keberadaan jati diri calon prodiakon. Hendaknya, pemilihan prodiakon tidak ditunjuk langsung oleh katua lingkungan ataupun oleh Pastor Paroki (Prasetya, 2007: 48).

c. Memiliki penampilan layak

Prodiakon yang berpenampilan layak juga sangat mendukung tugas prodiakon di tengah umat. Penampilan yang layak bagi prodiakon, menyangkut hal fisik maupun intelektual. Secara fisik, prodiakon diharapkan masih dapat berjalan dengan baik, berbicara dengan jelas, masih dapat mendengar dengan baik, dapat melihat dengan jelas, dan masih dalam keadaan sehat sehingga tidak kesulitan untuk melayani umat (Prasetya, 2007: 48).

Sedangkan dari segi intelektual, prodiakon mampu menangkap aneka pembicaraan orang lain dengan baik dan senantiasa memiliki ide-ide cemerlang demi pengembangan hidup iman umat (Prasetya, 2007: 48). Penampilan yang layak bagi prodiakon baik dari segi fisik maupun intelektual mendukung tugas prodiakon seperti, kemampuan memimpin doa dengan baik, membacakan Sabda Allah dengan baik dan jelas dan dapat berhomili dengan baik (Martasudjita, 2010: 20).

Spiritualitas merupakan bentuk kehidupan rohani yang dituntun oleh Roh Kudus sendiri. Tuntunan Roh Kudus senantiasa menuntun prodiakon untuk selalu berkembang dalam iman, harapan dan kasih. Spritualitas hidup prodiakon diperlukan dalam menjalani panggilan hidup sebagai seorang prodiakon yang kerap menjadi sorotan bagi umat (Martasudjita, 2010: 27). Umat selalu menilai bahwa seorang prodiakon memiliki kualitas hidup iman maupun moral yang baik. Prodiakon yang memiliki cacat hidup akan membuat umat cepat bereaksi negatif. Prodiakon diharapkan dapat menjaga nama baik keluarga, menjaga perilaku agar tidak menjadi batu sandungan bagi tugas pelayanannya dan memiliki tanggung jawab atas tugas panggilan yang sudah diberikan Tuhan atasnya. Prodiakon yang senantiasa mengembangkan spiritualitasnya adalah prodiakon yang mampu menjadi teladan bagi umatnya. Spritualitas prodiakon tidak hanya berpusat pada diri sendiri saja, tetapi menunjuk pada hubungan dengan Allah, sesama dan pribadi (Sugiyana, 2006: 42).

a. Tugas pelayanan prodiakon sebagai panggilan hidup

Spiritualitas prodiakon yang terutama adalah menyadari bahwa dirinya merupakan orang pilihan Allah yang dipanggil untul melaksanakan tugas pelayanan di tengah umat. Panggilan hidup prodiakon merupakan panggilan yang suci karena berasal dari Allah sendiri yang dipercayakan oleh uskup atas nama Gereja. Dalam Gereja, Tuhan mengadakan aneka pelayanan demi kesejahteraan seluruh Gereja. Gereja mengenal pelayan tertahbis dan pelayan tidak tertahbis (kaum awam). Mereka mengambil bagian dalam karya imamat Yesus, walaupun dengan bentuk dan cara yang berbeda. Imam dan diakon tertahbis menggunakan caranya sendiri dalam melayani umat, sedangkan prodiakon juga menggunakan caranya sendiri dalam melaksanakan tugas pelayanan Gereja (Martasudjita, 2010: 28).

Prodiakon yang dipanggil Tuhan sebagai pelayan umat Allah tentunya tidak diperoleh dari suara atau surat keputusan dari surga. Calon prodiakon diusulkan oleh umat beriman sendiri lalu diajukan kepada uskup melalui pastor paroki. Uskup mewakili Tuhan melantik calon prodiakon yang sudah bersedia, lalu menetapkan mereka menjadi prodiakon dalam keputusan resmi (Martasudjita, 2010: 28).

“Kesadaran bahwa menjadi prodiakon adalah sebuah panggilan hidup mengantar kita akan keyakinan bahwa Tuhan yang memanggil, Dia pula yang akan menyertai dan membantu kita agar kita dapat melaksanakan tugas pelayanan ini dengan baik dan lancar” (Martasudjita, 2010: 29).

b. Prodiakon ambil bagian dalam karya pengudusan umat oleh Allah

Pengudusan bagi umat hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri. Melalui Tuhan Yesus Kristus, Allah menguduskan, menyucikan dan menebus dosa-dosa manusia. Tindakan menguduskan adalah tindakan Allah dan bukan tindakan manusia, seorang pastor ataupun prodiakon. Dalam tugas pelayanannya, prodiakon paroki hanya ambil bagian dalam karya pengudusan umat oleh Allah. Prodiakon Paroki tidak dipanggil untuk merencanakan dan melaksanakan sesuatu yang menurut pandangannya baik, tetapi prodiakon melaksanakan tugas yang menurut rencana dan pandangan Allah baik. Seorang prodiakon tidak mempunyai ukuran bahwa seorang prodiakon yang sudah berpengalaman ataupun yang selalu memberi komuni pada orang sakit dikatakan seorang prodiakon yang sukses atau berhasil. Prodiakon yang baik hendaknya tetap memandang bahwa ia hanya mengambil bagian dalam karya Tuhan. Homili yang bagus dan disukai oleh umat merupakan keberhasilan Tuhan, sedangkan prodiakon hanya menjadi alat bagi Tuhan. Jika yang terjadi malah sebaliknya, maka semuanya harus dikembalikan ke tangan Tuhan (Martasudjita, 2010: 29).

Dalam melaksanakan tugas pelayanan, seorang prodiakon banyak melakukan pengorbanan bagi umatnya. Prodiakon banyak berkorban waktu dan tenaga untuk melayani umat. Prodiakon harus siap siaga jika ada umat yang membutuhkan bantuannya, misalnya saja, memimpin ibadat, mengirim komuni kepada umat yang sedang sakit. Seorang prodiakon juga harus siap membantu di kapel dan gereja. Tidak dapat berkumpul bersama keluarganya setiap saat juga dialami oleh prodiakon. Inilah prodiakon paroki yang merupakan rasul awam, yang bagi Gereja juga disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Prodiakon Paroki hanyalah salah satu dari panggilan rasul awam Gereja. Tetapi prodiakon paroki mempunyai tempat dan peran yang khusus dalam pembangunan jemaat. Pelayanan yang dilakukan oleh prodiakon paroki merupakan persembahan hidup prodiakon bagi Allah yang berkenan memanggilnya (Martasudjita, 2010: 30-31). Pelayanan yang dilakukan oleh prodiakon, dipersembahkan demi kemuliaan Allah dan demi masa depan Gereja di masa datang.

d. Prodiakon menghidupi semangat doa yang mendalam dan teratur

Semangat doa yang mendalam dan teratur hendaknya selalu dihidupi oleh prodiakon agar semakin menyadari tugas pelayanannya sebagai sebuah panggilan. Seorang prodiakon haruslah banyak berdoa dengan mendalam dan teratur. Prodiakon harus menyempatkan waktu khusus baginya untuk berdoa secara teratur. Prodiakon dapat mengajak keluarganya untuk berdoa bersama-sama, baik doa bersama atau pribadi. Seorang prodiakon yang saleh, akan mempengaruhi kehidupan rohani keluarganya. Hidup doa akan terbentuk jika dialami dan dilakukan secara teratur. Berdoa yang baik jika dilaksanakan secara teratur, entah sedang moodatau tidak. Doa yang mendalam dan teratur yang dilaksanakan oleh prodiakon sebelum kegiatan dapat membantu prodiakon untuk mempersembahkan seluruh kegiatan kepada Tuhan sendiri.

Doa yang dilaksanakan setelah kegiatan membantu prodiakon untuk mensyukuri segala rahmat yang telah diterima dan memohon bantuan Tuhan untuk melindungi dan menjaga prodiakon pada kegiatan berikutnya (Martasudjita, 2010: 31-32).

e. Prodiakon rajin mengikuti Perayaan Ekaristi mendengarkan Sabda Allah dan berdevosi

Figur seorang prodiakon yang diharapkan memiliki semangat doa yang mendalam dan teratur juga dituntut untuk giat mengikuti Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup seluruh umat kristiani. Prodiakon yang baik mengikuti Perayaan Ekaristi bukan karena ia sedang bertugas untuk menerimakan komuni. Prodiakon mengikuti Perayaan Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup pelayanannya. Perayaan Ekaristi memberikan kekuatan bagi prodiakon dalam melaksanakan tugas pelayanannya bagi umat. Hidup seorang prodiakon sebagai kaum awam dalam hidup berkeluarga maupun dalam bermasyarakat dapat semakin kuat dengan mengikuti Perayaan Ekaristi. Prodiakon diharapkan mengikuti Perayaan Ekaristi sesering mungkin (Martasudjita, 2010: 32-33).

Selain Perayaan Ekaristi, prodiakon juga perlu rajin membaca Kitab Suci. Prodiakon membaca Kitab Suci hendaknya sesuai dengan penanggalan liturgi. Dengan rajin membaca Kitab Suci, prodiakon dapat mengikuti dan mencecap Sabda Allah. Sabda Allah dapat menjadi inspirasi dan penuntun langkah prodiakon dalam hidup sehari-hari. Kebiasaan membaca Kitab Suci sangat membantu kualitas renungan atau homili prodiakon (Martasudjita, 2010: 33).

Kehidupan rohani akan semakin tumbuh dengan kuat jika prodiakon memiliki doa devosi yang teratur dan dijalani dengan gembira. Sesuai pengalaman tradisi rohani, doa devosi sangat membantu menyuburkan hidup rohani. Prodiakon dapat memilih sendiri kehidupan devosi yang sesuai hatinya. Bentuk devosi apapun jika dijalani

menghasilkan buah bagi prodiakon (Martasudjita, 2010: 34).

f. Prodiakon dapat hidup berbagi dan peduli

Prodiakon memiliki dimensi untuk hidup berbagi kepada yang lain. “Penghayatan hidup yang Perayaan Ekaristis akan berbuah pada kehidupan yang berbagi sebab Perayaan Ekaristi adalah misteri hidup Allah yang dibagikan” (Martasudjita, 2010: 34). Kristus Tuhan telah memberikan nyawanya untuk menebus dosa manusia yang terlaksana dalam peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Wafat dan kebangkitan Yesus Kristus dikenang dalam peristiwa Misteri Paskah. Ikut serta dalam Misteri Paskah berarti juga turut serta dalam semangat berbagi hidup dari Tuhan Yesus. Hal inilah yang sangat penting untuk kita hayati dan wartakan, bahwa orang yang giat mengikuti Perayaan Ekaristi semestinya juga suka berbagi kepada sesama (Martasudjita, 2010: 34).

Prodiakon yang baik adalah prodiakon yang suka berbagi kepada yang miskin dan lemah, sakit dan lanjut usia. Godaan besar bagi prodiakon adalah pilih kasih dalam pelayanan. Kemurahan hati yang dimiliki oleh prodiakon harus dikembangkan. Terutama perhatian prodiakon kepada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir dan difabel, sebab Tuhan sangat memperhatikan orang-orang kecil dan lemah tersebut (Martasudjita, 2010: 35).

g. Prodiakon memiliki semangat untuk belajar terus

Prodiakon yang memiliki semangat belajar terus-menerus adalah prodiakon yang menyadari bahwa dia masih terus berproses untuk selalu menjadi yang lebih baik. Prodiakon yang merasa sudah tahu akan segalanya adalah prodiakon yang tidak mau menyerap hal-hal baru yang ada di sekitar. Gereja juga mewajibkan pastor dan pelayan

liturgi untuk terus belajar dan dibina, terlebih masalah liturgi. Prodiakon dapat belajar secara pribadi maupun bersama-sama dengan prodiakon yang lain. Prodiakon dapat menentukan pertemuan dan sharing bersama, belajar bersama tentang hal-hal yang baru. Prodiakon dapat belajar untuk mengulas bacaan Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja lainnya maupun dari pengalaman iman prodiakon sendiri (Martasudjita, 2010: 36).

C. Shared Christian Praxis sebagai Model Katekese Umat untuk Membantu

Dokumen terkait