• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN

A. Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP)

2. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai salah satu

suatu pendekatan berkatekese yang handal dan efektif, artinya suatu pendekatan yang mempunyai dasar teologis yang kuat, menggunakan model pendidikan yang “progressif”, dan memiliki keprihatinan pelayanan pastoral yang aktual (Groome, 1997:1).

Shared Christian Praxis merupakan salah satu proses katekese yang bersifat dialogal dan partisipatif dimana pengalaman iman umat yang menjadi tekanan dalam proses katekese ini. Shared Christian Praxis merupakan konfrontasi antara “tradisi” dan “visi” hidup mereka dengan “Tradisi” dan “Visi” kristiani sehingga dengan adanya

SCP umat mampu mengambil penegasan dan mengambil keputusan demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia (Groome, 1997:1).

Model Shared Christian Praxis bermula dari pengalaman hidup peserta yang selanjutnya direfleksi secara kritis supaya diketemukan maknanya yang kemudian dikonfrontasikan dengan pengalaman hidup iman dan Visi kristiani supaya muncul pemahaman, sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada keterlibatan baru pula. Dengan kata lain sejak awal orientasi pendekatan ini adalah praksis; maka pendekatan ini juga disebut sebagai model praksis (Groome, 1997:1).

a. PengertianShared Christian Praxis(SCP)

Definisi Shared Christian Praxis dapat digambarkan sebagai suatu pedagogi yang partisipatif dan dialogis di mana orang-orang berefleksi secara kritis terhadap pengalaman hidup mereka sendiri pada suatu waktu dan tempat dan terhadap realitas sosiokultural mereka, mempunyai akses bersama ke dalam Visi Kristen, dan secara pribadi mengambil maknanya dalam komunitas dengan tujuan kreatif untuk memperbarui praksis iman Kristen menuju pemerintahan Allah bagi seluruh ciptaan. Shared Christian Praxis menekankan proses katekese yang bersifat dialogal dan partisipatif dengan maksud agar mendorong peserta, berdasarkan konfrontasi antara “tradisi” dan “visi” hidup mereka dengan “Tradisi” dan “Visi” kristiani, agar baik secara pribadi maupun bersama, mampu mengadakan penegasan dan mengambil keputusan demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia yang terlibat dalam dunia (Sumarno Ds, 2009b: 14). Shared Christian Praxis mempunyai tiga komponen pokok maupun istilah–istilah kunci yang ada dalam langkah-langkah Shared Christian Praxis. Komponen pokok yang dimaksud, antara lain:sharing,Christian,Praxis.

Istilah sharing ini menunjukkan komunikasi yang timbal balik yang menekankan hubungan kemitraan yang saling melengkapi, partisipasi aktif dan dialog dalam diri seseorang dengan orang lain dan dengan Tuhan dan dengan Visi iman Kristen. Sharing adalah mengungkapkan rasa, pengalaman, pengetahuan serta saling mendengarkan pengalaman orang lain. Pengalaman yang diungkapkan adalah pengalaman yang apa adanya dan merupakan suatu kebenaran. Pengalaman yang diungkapkan didasari dengan sikap keterbukaan dan kejujuran serta kerendahan hati saat mengungkapkan pengalamannya. Dialog dimulai oleh peserta dalam suasana penuh persaudaraan dan kasih (Sumarno Ds, 2009b: 16). Seperti yang diungkapkan oleh Groome (1997: 4) menegaskan bahwa:

Aspek dialog dimulai dari refleksi dan pengolahan pengalaman pribadi yang selanjutnya akan menjadi pokok penegasan bersama. Di dalam proses itu diandaikan adanya kejujuran, keterbukaan, kepekaan, dan penghormatan. Di sini tampak pentingnya mendengar tidak hanya dengan telinga tetapi dengan hati: mendnegar dengan penuh simpati. Segi dialog mengandung unsur peneguhan, penegasan, dan hasrat untuk maju bersama. Lebih dari itu, dialog juga menggarisbawahi hubungan dialektis antara praksis faktual para peserta dengan nilai dan semangat kristiani.

Sharing antara pendamping dan peserta katekese ataupun peserta katekese dengan peserta katekese yang lainnya merupakan hubungan yang bersifat dialogis. Dialog mempunyai dua unsur penting, yakni: membicarakan dan mendengarkan. Dialog bukan berarti bahwa peserta bicara terus-menerus dalam suatu pertemuan katekese tetapi juga memberikan kesempatan pada peserta lain untuk berbicara. Pada model katekese ini, pendamping dan peserta katekese dapat menjadi narasumber (Sumarno Ds, 2009b: 16).

2). Christian

Katekese dengan model Shared Christian Praxismencoba untuk mengusahakan agar kekayaan kristiani sepanjang sejarah dapat semakin terjangkau dan relevan dengan

hidup umat pada zaman sekarang. Kekayaan iman Gereja sepanjang sejarah yang semakin dekat dengan umat diharapkan dapat berkembang menjadi pengalaman iman jemaat. “Kekayaan iman yang ditekankan dalam model ini meliputi dua unsur pokok yaitu pengalaman hidup iman kristiani sepanjang sejarah (tradisi) dan visinya” (Groome, 1997: 2).

Tradisi kristiani merupakan tanggapan manusia terhadap perwahyuan diri Allah yang terlaksana di tengah kehidupan manusia yang hidup dan sungguh dihidupi. Tradisi bukan hanya berupa tradisi pengajaran Gereja tetapi juga meliputi Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi, dan lain-lain (Groome, 1997: 3).

Tradisi (dengan huruf besar T) dalam Gereja bukan hanya sejarah naratif atau adat istiadat ritual masa lampau saja, tetapi seluruh pengalaman iman umat dalam bentuk apapun yang sudah terungkap dan yang sudah dibakukan oleh Gereja dalam rangka menanggapi perwahyuan Allah di dunia ini. Orang tidak bisa begitu saja menciptakan Tradisi sendiri. Bahkan dalam Gereja tidak semua tradisi yang ada diterima sebagai tradisi (Sumarno Ds, 2009b: 17).

Sedangkan visi kristiani merupakan tuntutan yang terkandung dalam tradisi. Visi kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah dalam sehi kehidupan manusia. Visi kristiani menunjuk pada proses perjalanan kehidupan umat kristiani yang berkesinambungan dan bersifat dinamis dan mengundang penilaian, penegasan, pilihan dan keputusan (Groome, 1997: 2).

Tadisi dan visi kristiani tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab visi kristiani bujan sekedar pengetahuan saja. Visi kristiani adalah suatu kenyataan hadirnya bentuk konkret dari Tradisi. Hal ini merupakan jawaban bagi orang beriman atas pengalaman iman kristiani dan terhadap janji Allah yang terungkap dalam pengalaman dan Tradisi kristiani. “Visi merupakan manifestasi konkrit dari jawaban manusia terhadap janji Allah yang terwujudkan dalam sejarah atau Tradisi” (Sumarno Ds, 2009b: 17).

Praxis dalam pengertian model katekese bukanlah hanya suatu “praktek” (lawan dari “teori”) saja, tetapi suatu tindakan yang sudah direfleksikan. Praxis mengacu pada tindakan manusia yang mempunyai tujuan untuk perubahan hidup yang meliputi kesatuan antara praktek dan teori (yang membentuk suatu kreatifitas), antara refleksi kritis dan kesadaran historis (mengarah pada keterlibatan baru). Praxis ini merupakan ungkapan pribadi yang meliputi ungkapan fisik, emosional, intelektual, spiritual dari hidup kita. Tindakan ini meliputi sesuatu yang kumiliki, kurasakan dan kualami. Praxis mempunyai tiga unsur pembentuk yang saling berkaitan, yaitu aktifitas, refleksi dan kreatifitas (Sumarno Ds, 2009b: 15).

a). Aktivitas

Aktivitas menunjuk pada kegiatan masa kini yang sedang dilakukan oleh peserta dan melihat dirinya sebagai subyek dari kegiatan yang sedang dilakukan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. “Aktivitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang semuanya merupakan medan untuk perwujudan diri manusia sebagai subyek. Karena bersifat historis, aktivitas hidup manusia perlu ditempatkan di dalam konteks waktu dan tempat” (Groome, 1997: 2).

b). Refleksi

Komponen refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis masa lampau personal dan sosial, terhadap praksis pribadi dan kehidupan masyarakat, serta terhadap tradisi dan visi iman kristiani sepanjang sejarah. “Refleksi kritis merupakan suatu kegiatan manusia yang meliputi tiga unsur: akal budi kritis dalam mengevaluasi masa sekarang, ingatan kritis dalam menyingkap masa lalu dalam masa sekarang, dan

imaginasi kreatif untuk menghadapi masa depan dalam masa sekarang” (Sumarno Ds, 2009b: 15).

Akal budi yang kritis dalam mengevaluasi masa sekarang adalah untuk mengerti apa yang “nyata” dalam masa kini, sehingga manusia tidak hanya bersikap pasif dalam menyikapi apa yang sudah terjadi (Sumarno Ds, 2009b: 15).

Ingatan kritis dalam menyingkap masa lalu dalam masa sekarang adalah dengan menggunakan daya ingatan untuk mengaktifkan masa lampau dengan mengingat-ingat apa yang terjadi dalam tindakan dan memberi arti tindakan itu secara pribadi dan sosial (Sumarno Ds, 2009b: 15).

Imaginasi kreatif untuk menghadapi masa depan dalam masa sekarang digunakan untuk menatap masa depan berdasarkan pengalaman masa lampau. Harapan-harapan itu berdasarkan ungkapan atas dasar yang nyata dari masa lampau.

c). Kreatifitas

Komponen ini merupakan perpaduan antara komponen aktifitas dan refleksi. Komponen ini menekankan dinamika praksis di masa depan yang terus berkembang sehingga melahirkan praksis baru (Groome, 1997: 2). Praksis baru ini adalah sesuatu hal yang akan dilakukan di masa depan setelah melihat aktifitas dan merefleksikannya, sehingga tercipta sesuatu hal baru. Hal yang baru tersebut tentunya membawa pada arah yang lebih baik dan berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain.

b. Langkah-langkah prosesShared Christian Praxis(SCP)

Shared Christian Praxis meliputi lima langkah yang berurutan, dimulai dengan langkah 0 (nol) sebagai pemusatan aktivitas (Sumarno Ds, 2009b: 18). Lima langkah yang saling berurutan dapat mengalami tumpang tindih, terulang kembali, atau langkah yang satu tergabungkan dengan langkah yang lainnya (Groome, 1997: 5). “Yang paling

dan bukan langkah-langkah yang terlepas (Sumarno Ds, 2009b: 23).

1). Langkah 0 (Awal): Pemusatan aktivitas

Pemusatan aktivitas pada langkah awal ini bertujuan untuk mengajak dan mendorong umat untuk menentukan topik pertemuan yang bertolak dari pengalaman konkret peserta dalam hidup sehari-hari. Tahap ini ingin mengajak peserta untuk dapat melihat pengalaman yang dialami oleh peserta sendiri ataupun dari keadaan yang ada dalam masyarakat. Topik pertemuan tersebut selanjutnya akan menjadi tema dasar dalam pertemuan Shared Christian Praxis. Tema yang diangkat dalam pertemuan merupakan cerminan dari keprihatinan, permasalahan dan kebutuhan peserta. Tema yang digunakan dalam pertemuan hendaknya sungguh-sungguh mendorong peserta untuk terlibat aktif dalam pertemuan dan peserta bukan lagi sebagai obyek melainkan subyek. Pemilihan tema dasar sebaiknya konsisten dengan model Shared Christian Praxis yang selalu menekankan partisipasi dan dialog serta tidak bertentangan dengan iman kristiani. Tema yang dipilih hendaknya juga disadari sebagai tema bersama (tema semua peserta) (Sumarno Ds, 2009b: 18).

Kekhasan dalam langkah ke-nol ini adalah adanya persiapan bagi prodiakon untuk menyiapkan tema pertemuan katekese selanjutnya. Sarana penunjang yang dapat digunakan pendamping untuk membantu peserta dalam menemukan tema dasar adalah simbol, keyakinan, cerita, bahasa foto, poster, video, kaset suara, film telenovela maupun sarana-sarana lainnya yang menunjang. Adanya sarana, tentunya dapat membantu peserta untuk mengungkapkan keprihatinan, permasalahan dan kebutuhan peserta yang selanjutnya akan menjadi tema dasar pertemuan (Sumarno Ds, 2009b: 18). Peran pendamping dalam langkah 0 (pemusatan aktivitas), adalah memilih sarana yang tepat bagi peserta dan membantu peserta dalam merumuskan tema dasar

pertemuan yang tepat bagi peserta (sesuai dengan situasi konkret peserta). Selain itu, pendamping diharapkan dapat menciptakan lingkungan psikososial dan fisik yang mendukung jalannya proses katekese. Lingkungan psikososial yang mendukung ditandai dengan hubungan antar peserta dalam suasana penuh dialog dan kebersamaan. Dengan adanya suasana tersebut dapat merangsang peserta untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif (Groome, 1997: 10). “Suasana yang penuh persahabatan, kekeluargaan, dan saling percaya akan mengakibatkan peserta merasa at-home, merasa dimengerti, diterima, dan dihargai” (Groome, 1997: 10). Sedangkan untuk lingkungan fisik yang mendukung perlu memperhatikan keadaan ruangan, misalnya saja cukup terang, nyaman, rapi dan bersih. Bahkan, tempat untuk duduk pun juga diatur sedemikian agar tidak ada yang saling membelakangi sehingga suasana lebih terbuka dan dapat saling melihat satu sama lain (Groome, 1997: 10).

Sedangkan peran peserta dalam langkah ini adalah berani untuk mengungkapkan keprihatinan, masalah maupun kebutuhan peserta dalam pertemuan. Keprihatinan yang diungkapkan oleh peserta dapat dibantu dengan sarana yang digunakan oleh pendamping. Keprihatinan yang diungkapkan dapat dialami oleh peserta katekese sendiri, atau keprihatinan yang ada di sekitar peserta (masyarakat sekitar). Dalam langkah ini, peserta diharapkan dapat merumuskan tema yang sesuai dengan keprihatinan yang telah diungkapkan dibantu dengan pendamping. Tema yang dirumuskan tidak oleh satu orang peserta saja, melainkan oleh semua peserta yang hadir.

2). Langkah I (Pertama): Pengungkapan pengalaman hidup faktual (Mengungkap pengalaman hidup peserta)

Langkah pertama bertujuan membantu peserta untuk dapat mengungkapkan pengalaman hidup faktual (fakta) kepada pendamping maupun kepada peserta lain.

peserta sendiri maupun pengalaman orang lain atau keadaan masyarakatnya (Sumarno Ds, 2009b: 19). Tentunya, pengalaman yang diungkapkan peserta sesuai dengan tema yang dirumuskan dalam pertemuan katekese. Peserta yang sadar mengungkapkan pengalaman hidupnya, menandakan bahwa peserta tersebut menyadari bahwa dirinya sebagai subyek dalam proses berkatekese (Groome, 1997: 10).

Kekhasan dalam langkah pertama adalah adanya sharing antar peserta diawali dengan kesadaran peran peserta sebagai subyek dalam proses berkatekese. Setiap peserta berhak mengungkapkan pengalaman hidupnya tanpa ada unsur paksaan, sehingga peserta berhak mengatur dan merencanakan hidupnya sendiri sesuai dengan kepentingan, minat dan kemampuan peserta. Dalam mengungkapkan pengalaman hidupnya, peserta dibantu oleh pendamping dengan menggunakan sarana yang sudah disiapkan oleh pendamping.

Peran dan tanggung jawab pembimbing dalam langkah I adalah berperan sebagai fasilitator dengan menciptakan suasana yang terbuka dan hangat sehingga umat semakin nyaman dalam mengungkapkan pengalaman pribadinya. Suasana yang hangat dan terbuka dapat didukung dengan sikap pembimbing yang ramah dan bersahabat. Selain itu, pendamping tidak perlu memaksa peserta untuk mengungkapkan pengalamannya dan meyakinkan peserta bahwa pengalaman peserta sangat berharga dalam keseluruhan proses katekese. Berikutnya, pembimbing dapat merumuskan pertanyaan yang jelas, terarah, tidak menyinggung harga diri seseorang, sesuai dengan latar belakang peserta dan bersifat terbuka dan obyektif (Sumarno Ds, 2009b: 19). Pertanyaan yang jelas membantu peserta mengungkapkan pengalaman yang dimiliki dan sesuai dengan rumusan tema pertemuan. Pembimbing juga dapat memberikan pertanyaan yang dapat memancing peserta yang pasif dalam mengungkapkan

penglamannya, seperti halnya: dimana, kapan, apa, yang mana, dsb (Sumarno Ds, 2009b: 29).

Peran peserta dalam langkah pertama ini adalah mengungkapkan pengalaman yang dimilikinya dapat dalam bentuk ceritera, puisi, tarian, nyanyian, drama pendek, lambang, dll (Groome, 1997: 5). Bentuk apapun yang dikemukakan oleh peserta, yang terpenting adalah dapat dimengerti oleh peserta yang lain (Sumarno Ds, 2009b: 19). Saat salah seorang peserta sedang mengungkapkan pengalaman hidupnya, peserta yang lain diharapkan dapat menghargai dan mendengarkan dengan baik.

3). Langkah II (Kedua): Refleksi kritis atas sharing pengalaman hidup faktual (Mendalami pengalaman hidup peserta)

Tujuan dari langkah kedua ini merupakan tindak lanjut atas pengalaman faktual yang diungkapkan oleh peserta di langkah pertama. Katekese membantu peserta atas pengalaman hidupnya supaya sampai pada tingkat yang terdalam dengan mengolah, menemukan maknanya dan mendorong mereka untuk melangkah pada praksis baru (Groome, 1997: 14). Langkah kedua ini mengungkapkan pengalaman-pengalaman peserta dengan lebih luas, maka membutuhkan bantuan dari ilmu-ilmu politik, hokum, sosiologi, ekonomi, anthropologi, sejarah, dll (Tabita Kartika Christiani, 2008: 7).

Kekhasan dalam langkah kedua ini adalah refleksi peserta yang lebih dalam atas pengalaman yang diungkapkan dalam langkah pertama. Pada langkah kedua ini, perlu meningkatkan kesadaran peserta yang kritis dan kreatif. Untuk membantu refleksi peserta, maka diperlukan pemahaman yang kritis dan kreatif, kenangan yang analitis dan sosial dan imajinasi kreatif dan sosial.

Pemahaman yang kritis dan kreatif merupakan pemahaman yang bersifat personal terhadap tindakan dan pertimbangannya sendiri (Sumarno Ds, 2009b: 20). Pemahaman tersebut juga membangkitkan kesadaran peserta sebagai subyek yang

dimampukan untuk melakukan analisa sosial dengan memahami dan menganalisa keadaan masyarakat. Analisa sosial mendorong peserta untuk aktif dalam relasi antar peserta dan memberanikan mereka untuk terlibat aktif dalam membangun struktur sosial yang ada di masyarakat, untuk menuju kehidupan yang lebih baik lagi (Groome, 1997: 17).

Kenangan yang kritis dan kreatif, membantu seseorang untuk melihat kembali kehidupannya, melihat sejarah hidupnya. Kenangan yang kritis dan kreatif ini membantu peserta untuk menyembuhkan dan membebaskan luka-luka pribadi sehingga menjadi sumber kekuatan yang baru. Kekuatan baru yang didapat oleh peserta ini tanpa mengesampingkan kondisi sosial yang ada di masyarakat. Di dalam segi ini, dapat mendatangkan keberanian bagi peserta untuk melawan ketidakadilan dan penindasan yang terjadi atas dirinya ataupun orang di sekitarnya. Kenangan yang kritis dan kreatif membantu peserta untuk mengatasi masalah-masalah tersebut (Groome, 1997: 18).

Imajinasi yang sosial dan kreatif membantu peserta untuk semakin menyadari segala konsekuensi, kemungkinan akan praksis faktual yang bersifat personal maupun sosial. Imajinasi ini akan meningkatkan kesadaran peserta untuk semakin meneguhkan identitas pribadi, mengokohkan harapan di masa depan dan membantu untuk menemukan visi dari pengalaman hidup kita.

Pendamping katekese bertanggungjawab untuk menciptakan suasana pertemuan dengan menghormati dan mendukung setiap gagasan serta saran dari peserta katekese. Pendamping mampu mengajak peserta untuk untuk secara kritis merefleksikan pengalaman hidupnya. Pendamping dapat merumuskan pertanyaan pendalaman pengalaman, seperti: mengapa, bagaimana, dll. Pertanyaan pendamping hendaknya tidak menginterogasi dan mengganggu harga diri peserta katekese serta tidak memaksa peserta untuk berbicara. Yang terutama adalah pendamping dapat menyadari kondisi

peserta, termasuk kepada mereka yang tidak biasa melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman hidupnya (Sumarno Ds, 2009b: 20).

Peserta diharapkan dapat melihat pengalaman hidupnya secara kritis dengan menganalisa dengan sistem sosial yang sudah dibentuk dalam masyarakat. Peserta dapat membayangkan segala konsekuensi/akibat ataupun kemungkinan yang terjadi atas tindakan yang telah dilakukan. Dengan adanya kesadaran akan konsekuensi/akibat tersebut diharapkan dapat membuka kesadaran keterlibatan dan solidaritas sosial peserta katekese (Sumarno Ds, 2009b: 20).

4). Langkah III (Ketiga): Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani lebih terjangkau (Menggali pengalaman iman kristiani)

Tujuan dalam langkah ketiga ini adalah mengkomunikasikan nilai-nilai Tradisi dan Visi kristiani agar lebih terjangkau dan mengena dalam bidup peserta yang mempunyai latar belakang kebudanyaan yang berbeda. Tradisi dan Visi kristiani terungkap dalam bentuk Kitab Suci, dogma, pengajaran Gereja, liturgi, spiritualitas, devosi, seni dalam Gereja, kepemimpinan dan kehidupan jemaat beriman. Tradisi dan Visi kristiani dapat menjadi relevan jika ditafsirkan sesuai dengan pengalaman peserta.

Kekhasan dalam langkah ketiga ini adalah menafsirkan Tradisi dan Visi kristiani yang dikomunikasikan dengan pengalaman iman peserta. Tradisi dan Visi kristiani yang sudah ada, bukan berarti disampaikan secara mentah oleh pendamping kepada umat. pendamping harus mengetahui cara yang tepat agar terjangkau dengan hidup umat. Menafsirkan Tradisi dan Visi kristiani bermaksud untuk menyampaikan pesan inti dari Tradisi dan Visi kristiani kepada umat, sehingga umat semakin mengenal Tradisi dan Visi kristiani dalam hidup konkret.

Pendamping menarik kesimpulan dari langkah pertama dan kedua yang bisa dihubungkan dengan tema pertemuan katekese dari Kitab Suci atau Tradisi Gereja yang

pertanyaan atau ceramah dialogal (Sumarno Ds, 2009b: 29). Metode yang digunakan oleh pendamping sebaiknya tepat. Metode yang dapat digunakan adalah dengan metode kuliah, diskusi kelompok maupun memanfaatkan media audio visual (Sumarno Ds, 2009b: 21). Pendamping dituntut memiliki latar belakang yang cukup agar bisa menafsirkan Tradisi dan Visi kristiani. Pendamping diharapkan memiliki persiapan sebelumnya untuk mencoba menafsirkan Tradisi dan Visi kristiani sesuai dengan tema katekese dan hidup umat. Pendamping melakukan persiapan sebelumnya, agar Tradisi dan Visi kristiani dapat lebih terjangkau dengan hidup umat. Jikalau pendamping merasa kurang mampu, diharapkan pendamping dapat mengundang dan meminta sesorang yang cukup kompeten agar dapat berperan dalam langkah ini. Pendamping perlu menafsirkan Tradisi dan Visi kristiani yang sesuai dengan hidup umat dan tema yang diangkat dalam pertemuan katekese tersebut (Groome, 1997: 27).

Peran peserta dalam langkah ketiga ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan peran pendamping. Peserta tetap bersikap setia mendengarkan dan menghargai pendamping yang mencoba menafsirkan Tradisi dan Visi kristiani agar sesuai dengan hidup konkret peserta. Peserta dapat menyerap tafsiran Tradisi dan Visi kristiani dan mencoba dikonfrontasikan dengan pengalaman hidup yang dialami. Dalam langkah ini, tidak menutup kemungkinan bahwa peserta juga memberikan pengetahuannya tentang Tradisi dan Visi kristiani yang sedang ditafsirkan oleh pendamping.

5). Langkah IV (Keempat): Interpretasi/tafsir dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan tradisi dan visi peserta (Menerapkan iman kristiani dalam situasi peserta konkrit)

Tujuan langkah keempat ini adalah mengajak peserta berdasarkan nilai Tradisi dan Visi kristiani, menemukan nilai-nilai hidup yang hendak digarisbawahi, lalu

sikap-sikap yang hendak dihilangkan dan memperkembangkan nilai-nilai baru (Groome, 1997: 48). Pokok-pokok yang ditemukan dalam langkah pertama dan kedua dikonfrontasikan dengan Tradisi dan Visi kristiani. Dari proses tersebut, peserta diharapkan dapat menemukan kesadaran maupun sikap-sikap baru yang hendak diwujudkan dalam langkah keempat (Groome, 1997: 7).

Kekhasan langkah keempat ini adalah memiliki keyakinan bahwa peserta memiliki potensi yang alamiah untuk memahami hubungan yang terjalin antara pengalaman hidup peserta dengan Tradisi dan Visi kristiani. Pengalaman hidup peserta yang dikonfrontasikan dengan Tradisi dan Visi kristiani menjadi pengalaman iman. Pengalaman hidup peserta dalam langkah keempat ini bukan lagi pengalaman hidup yang biasa-biasa saja, tetapi merupakan pengalaman iman yang diyakini oleh peserta bahwa rahmat Allah selalu berkarya dalam kehidupan umat-Nya.

Peranan pendamping dalam tahap ini adalah menghormati kebebasan peserta dan hasil penegasan peserta, termasuk mereka yang menolak tafsiran pembimbing. Pendamping juga mampu meyakinkan peserta bahwa mereka mampu menemukan nilai pengalaman hidup mereka dengan nilai Tradisi dan Visi kristiani. Lalu, pendamping selalu mendorong peserta agar tidak hanya menjadi peserta yang pasif tetapi menjadi peserta yang aktif. Dengan peran pendamping yang demikian, pendamping juga dengan senang hati selalu menanggapi pendapat dan pemikiran peserta (Sumarno Ds, 2009b: 21).

Peserta diajak untuk meneguhkan, mempertanyakan, memperkembangkan dan menyempurnakan pokok-pokok langkah pertama dan kedua. Peserta diajak untuk mengungkapkan perasaan, sikap, intuisi, persepsi, evaluasi, dan penegasannya yang menyatakan kebenaran nilai, serta kesadaran yang diyakini (Sumarno Ds, 2009b: 21). Peserta dapat mempergunakan tulisan, penjelasan, simbol atau ekspresi yang artistik.

Dokumen terkait